Bagaimana hubungan manusia dan alam dalam tunjuk ajar Melayu?

Dalam ungkapan Tunjuk Ajar Melayu, Tenas Effendy memaparkan dalam bentuk pantun “banyak periuk dijerang orang//periuk besar tudungnya hitam//banyak petunjuk dikenang orang//tunjuk ajar mengandung alam,”  bahwa orang Melayu belajar dari alam semesta. Kiranya, berpantanglah seseorang jika berlaku merusak alam. Dari ungkapan ini, didapat simpulan bahwa Orang Melayu memandang alam sebagai ruang hidup yang sangat diperhatikan.

Orang Melayu hakikatnya hidup bersebati dengan alam lingkungannya. Alam bukan saja dijadikan alat mencari nafkah, tetapi juga berkaitan dengan kebudayaan dan kepercayaan. Dalam ungkapan Melayu dikatakan bahwa kehidupan mereka amat bergantung kepada alam. Alam menjadi sumber nafkah sekaligus menjadi sumber unsur-unsur budayanya. 

Kalau tidak ada laut, hampalah perut 
Bila tak ada hutan, binasalah badan 

Dalam ungkapan lain dikatakan: 

Kalau binasa hutan yang lebat, 
Rusak lembaga hilang adat

Kebenaran isi ungkapan ini secara jelas dapat dilihat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dari teknologi tradisional yang diwariskan secara turun-temurun, tampak bahwa keseharian Orang Melayu hidup dari hasil laut dan hasil hutan serta dari hasil mengolah tanah. 

Dari hubungan yang erat itu, orang Melayu berupaya memelihara serta menjaga kelestarian dan keseimbangan alam lingkungannya. Dalam adat istiadat ditetapkan “pantang larang” yang berkaitan dengan pemeliharaan serta pemanfaatan alam, mulai dari hutan, tanah, laut dan selat, tokong dan pulau, suak dan sungai, tasik dan danau, sampai kepada kawasan yang menjadi kampung halaman, dusun, ladang, kebun, dan sebagainya. Ketentuan adat yang mereka pakai memiliki sanksi hukum yang berat terhadap perusak alam. Sebab, perusak alam bukan saja merusak sumber ekonomi, tetapi juga membinasakan sumber berbagai kegiatan budaya, pengobatan, dan lain-lain, yang amat diperlukan oleh masyarakat (Tenas Effendy, 2006).

UU Hamidy (2001 dan 2012) dan Tenas Effendy (2006) menjelaskan beberapa pembagian ruang alam dalam adat, dikenal sebagai pembagian hutan tanah dan kepemilikan pribadi,  suku dan kaum,  kerajaan, negeri, masyarakat luas, dan lain sebagainya. Dari segi peruntukan itu, maka hutan dan tanah senantiasa ditentukan menurut adat. Hal ini tercermin dari adanya hutan yang dilindungi yang disebut “rimba larangan”, “rimba kepungan”, atau “kepungan sialang”, dan lain sebagainya.

Kepatuhan

Wilayah adat kedatuan (ulayat) memiliki hutan di ujung negerinya yang disebut hutan simpanan dan hutan larangan. Kedua hutan ini sebagai penyanggah negeri yang di dalamnya tersimpan marwa dan jati diri negeri. Bila suatu negeri tidak memiliki hutan tanah, maka negeri itu dianggap tidak bermarwah dan bermartabat. 

Hukum adat demikian menciptakan kepatuhan orang Melayu terhadap penggunaan alam lingkungan. Di hutan adat, seseorang yang menebang kayu harus mendapat persetujuan negeri dan harus menanam kayu sejenis terlebih dahulu sebelum menebang. Peruntukan kayu yang ditebang itu juga tidak sebagai barang dagangan atau hanya boleh dipergunakan untuk rumah ibadah, sarana umum, bantuan sosial pada keluarga yang kurang mampu, dan peruntukan negeri. Selain peruntukan demikian, perbuatan menebang kayu di hutan adat dianggap sebagai pelanggaran dan kepadanya dijatuhkan denda atau sanksi.

SUSURI JUGA:  Taat Setia Kepada Pemimpin

Dialogik 

Keterbukaan orang Melayu dalam menjaga alam lingkungannya telah berlangsung lama. Dialog antara manusia dengan alam lingkungannya tergambar dalam berbagai cara orang Melayu memanfaatkan alam dan memeliharanya. Pada kegiatan menumbai misalnya, orang Melayu tidak membunuh lebah yang melindungi madu di sarangnya. Mereka menempatkan lebah sebagai binatang yang patut dijaga dan disanjung. 

Manumbai adalah kegiatan mengambil madu lebah di pohon sialang yang dilaksanakan dengan serangkaian prosesi. Kegiatan ini umumnya dilaksanakan pada malam bulan gelap, di lokasi tumbuhnya sialang atau pohon tempat lebah bersarang.

Manumbai dipimpin oleh seorang dukun lobah (dukun lebah) yang disebut juagan (juragan). Ia dibantu oleh dukun sambut, yang bertugas mengumpulkan madu setelah juagan mengambil sarang dari dahan pohon. Di beberapa masyarakat adat, prosesinya dihadiri oleh kepala suku. 

Perlengkapan yang diperlukan antara lain: tunam yaitu suluh atau obor dari daun kelapa kering (untuk mengusir lebah dari sarangnya), tempayan (penampung madu dan lilin lebah), tali (untuk menurunkan tempayan yang berisi madu dan lilin lebah), dan tangga bambu (untuk memanjat pohon). 

Prosesi dilaksanakan dengan melantunkan nyanyian yang syair-syairnya berbentuk pantun,  menggambarkan situasi yang dihadapi dan dijalani oleh juagan. Tema utama prosesi sebagaimana tercermin dalam pantun-pantun ituadalah tamsilan kunjungan sosial seorang laki-laki kepada kekasihnya. Dalam hal ini, lebah dianalogikan sebagai gadis kekasih sang juagan. 

Kunjungan sosial tersebut berlangsung secara bertahap, sebagai berikut:

‘Meminta izin berkunjung ke rumah si gadis’. Pada tahap ini, juagan memulai dengan membaca mantera, kemudian perlahan-lahan menepuk batang sialang menunggu jawaban lebah-lebah. Dengung ribuan lebah adalah pertanda juagan diizinkan memanjat pohon. Tetapi jika tidak terdengar dengung, maka pemanjatan harus ditunda. 

‘Mengucap salam dan menghormati tuan rumah’. Setelah mendapat izin, sambil mengelilingi pohon sialang tiga kali, juagan menyanyikan lagu ritual menuo sialang yang berisi penghormatan kepada roh atau “tuan” pohon sialang. Salah satu versi pantun menuo sialang yaitu:

Pinjam tukul pinjam landean (pinjam pemukul pinjam landasan)
Untuk memukul kalakati (untuk memukul kalakati)
Pinjam dusun pinjam laman (pinjam dusun pinjam halaman)
Numpang memain sekolam ki (numpang bermain di kelam ini)

Popat-popat tana ibu (pepat-pepat tanah ibu)
Ma’i popat di tana tombang (mari dipepat di tanah tombang)
Nonap-nonap Cik Dayang tidou (lelap-lelap Cik Dayang tidur)
Juagan mudo di pangkal sialang (juagan muda di pangkal sialang)

SUSURI JUGA:  Kerajaan Siak Sri Inderapura

Cik Dayang menggulung daun (Cik Dayang menggulung daun)
Tagulung suat katoba (tergulung surat khotbah)
Tujuh musim sombilan tahun (tujuh musim sembilan tahun)
Buat kito jangan diubah (buat kita jangan diubah)

‘Menaiki rumah’. Juagan bersiap-siap memanjat pohon sambil menyanyikan lagu berikut:

Di ilei awang di ulu awang (di hilir awang di hulu awang)
Pandan tebuang di tongah-tongah (pandan terbuang di tengah-tengah)
Di ilei kasih di ulu sayang (di hilir kasih di hulu sayang)
Badan tebuang di tongah-tongah (badan terbuang di tengah-tengah)

Begitu mencapai dahan tempat sarang lebah, juagan menyanyikan lagu berikut:

Masak bua kombang mani (masak buah kembang manis)
Masak sabutie dijaut ungko (masak sebutir dijangkau ungka)
Kami batomu nan itam mani (kami bertemu dengan si hitam manis)
Mangulang da’a ke muko (menjulang darah ke muka)

Ketika makin mendekati sarang lebah, juagan menyanyikan:

Bukan elok ulu badik (bukan (main) elok hulu badik)
Untuk pa’uki baling-baling (untuk pengukir baling-baling)
Bukan elok tompat adik (bukan (main) elok tempat adik)
Tompat kito duduk besanding (tempat kita duduk bersanding)

‘Bertemu si gadis’. Ketika juagan telah di dekat sarang dan akan mulai menyingkirkan lebah-lebah, juagan menyanyikan lagu berikut:

Anak buayo mudik mendudu (anak buaya mudik mendudu)
Iyak sampai di pelabuhan (riak sampai di pelabuhan)
Putih Kuning bukakan baju (Putih Kuning bukakan baju)
Abang menengok betubuhan (abang menengok petubuhan)

Lalu juagan mengusap sarang lebah dengan tunam. Percikan api dari tunam diikuti oleh lebah-lebah ke tanah. Lebah-lebah yang jatuh itu tidak mati, dan menjelang siang mereka terbang kembali ke pohon. Setelah lebah-lebah meninggalkan sarangnya dan juagan mulai mengambil madu, ia menyanyikan lagu yang disesuaikan dengan situasi yang dihadapinya. Jika juagan menemukan sarang yang tidak bermadu, ia misalnya akan menyanyikan lagu berikut:

Banyak nyamuk sialang bandung (banyak nyamuk sialang bandung)
Duo kali tu’un ke tanah (dua kali turun ke tanah)
Apo mengamuk ati nan jantung (kenapa mengamuk hati dan jantung)
Itam mani indak di umah (hitam manis tidak di rumah)

Jika juagan menemukan sarang bermadu, ia mengambil lilin lebah, lalu dimasukkan ke dalam wadah yang sudah disiapkan, kemudian diturunkan dengan tali dan disambut oleh pembantu-pembantu yang menunggu di bawah pohon bersama kepala suku. 

‘Menyampaikan salam perpisahan’. Bila pekerjaan mengambil madu hampir selesai, juagan menyanyikan lagu perpisahan sebagai berikut:

Apo tensu kayu diimbo (apa tensu kayu di rimba)
Mai ko buat papan penaik (mari kubuat papan penaik)
Adik bongsu jangan baibo (adik bungsu jangan berhiba)
Kolam esok naik balik (kelam besok naik balik)

macanen wacan aksara Jawa ing ngisor Iki kanthi patitis​

7. Basa dicarékan barudak téh jarempling baé​

Apa alasan pohon kelapa di depan rumah wajib ditebang?​

Apa jenis kutu yang amat mengerikan? ​

cara menyikapi problematika seperti: aliran Islam transnasional di Indonesia (terbaru muncul khilafatul mukminin di DKI dan Lampung), jelaskan​

45. Gantinen nganggo aksara jawa! "Satria loro padha uleng-ulengan"​

Contoh kolaborasi di bidang pendidikan yang menggunakan aplikasi berbasis android yaitu

mohon bantuan nya teman2 semuanyayg tau cara ngerjakan matakuliah kalkulus boleh bantu saya,,ini jasa joki yah​

Rangkumlah dongeng "Nyi Maribaya " menjadi 3 paragraf. (Awal cerita sampai Istrinya bermimpi ,Ki panutan di Gunung Putri sampai mempunyai kulah, kehid … upan berubah sampai cerita berakhir) serta amanat dongeng Nyi Maribaya dalam basa Sunda​

Nonton bodoran Dadi gemuyuWayah sore dilanjut cerita Kita senang ana ning Dermayu Tambah akeh tempat wisata teks parikan ning duwur nduweni pola guru … lagu / purwakanti ​