Bagaimana bunyi hadis tentang keharusan memperhatikan khutbah Jumat

Bagaimana bunyi hadis tentang keharusan memperhatikan khutbah Jumat

Bagaimana bunyi hadis tentang keharusan memperhatikan khutbah Jumat

HUKUM SEPUTAR KOTAK INFAK KETIKA SHALAT JUM’AT

Pertanyaan Dari:

Safridarnis, Sungai Tengah, Kalimantan Selatan

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Melalui surat ini saya mohon penjelasan tentang hal-hal  sebagai berikut:

Selama ini di mana-mana baik di masjid Muhammadiyah maupun di masjid selain Muhammadiyah sudah menjadi tradisi mengedarkan kotak infak saat khutbah dimulai (kotak tersebut mempunyai roda atau tidak).

Akhir-akhir ini ada ustadz berpetuah bahwa mendorong kotak infak tersebut dapat merusak nilai ibadah shalat Jum’at. Sehingga diantara kami terjadi kontropersi terhadap petuah tersebut. Untuk itu kami mohon penjelasan melalui Suara Muhammadiyah tentang hal-hal berikut;

  1. Bagaimana hukumnya mengedarkan kotak infak saat khatib sudah naik mimbar pada hari Jum’at?
  2. Apakah perbuatan mendorong kotak infak menjadikan rusaknya nilai ibadah Jum’at? Seperti seseorang berkata ”diam” saat khatib berkhutbah.

Demikian yang dapat kami sampaikan atas penjelasannya kami ucapkan terima kasih.

Jawaban:

Sebelum menjawab pertanyaan saudara perlu disampaikan beberapa  hadits sebagai berikut:

  1. Tentang melangkahi leher jama’ah yang hadir

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ رَجُلاً دَخَلَ الْمَسْجِدَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَرَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَخْطُبُ فَجَعَلَ يَتَخَطَّى النَّاسَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- اجْلِسْ فَقَدْ آذَيْتَ وَآنَيْتَ.

[رواه ابن ماجه]

Artinya: “Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, bahwa ada seseorang masuk masjid ketika Rasulullah saw berkhutbah, dan orang tersebut melangkahi (leher) orang-orang yang hadir. Kemudian Rasulullah saw bersabda:“Duduklah kamu, sungguh kamu telah mengganggu (jama’ah lain) dan terlambat (datang).
” [HR. Ibnu Majah]

Hadis tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Kitab Iqamah as-Shalat wa as-Sunnah Fiiha, Bab Maa Ja-a fi an-Nahyi fi Thakhaththin-Nas Yaumal Jum’ah, dan hadits yang semakna dengannya diriwayatkan oleh an-Nasa-i, Kitab al-Jum’ah, Bab an-Nahyu ‘an Thakhaththi Riqaabin-Nas wal Imam ‘ala al-Minbar Yauma al-Jum’at, Imam Ahmad Musnad asy-Syamilin. Hadis-hadis tersebut menjelaskan bahwa di antara larangan bagi orang-orang yang menghadiri shalat jum’at adalah melangkahi leher orang-orang yang hadir pada hari jum’at

Imam an-Nawawi membedakan antara kalimat “at-Thakhaththi” (melangkahi) dan “at-Tafriq bainasnaini” (menyibak di antara dua orang). Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni berpendapat bahwa kalimat “at-Thakhaththi” semakna dengan kalimat “at-Tafriq”. Sedang al-Iraqy berpendapat bahwa kalimat“at-Thakhaththi” berbeda maknanya dengan “at-Tafriq”. Karena makna at-Tafriq dapat dilakukan dengan duduk antara dua orang meskipun tanpa menyibak antara keduanya. Selanjutnya al-‘Iraqy mengecualikan bolehnya bagi imam melangkahi leher orang yang sudah hadir pada hari Jum’at apabila dipandang sangat darurat dan tidak ada alternatif lain untuk naik mimbar, kecuali melangkahinya.

  1. Perbuatan-perbuatan yang  termasuk “lagha”

 عَنْ أَبَيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ أَنْصِتْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ

[روا البخارى]

Artinya: “Diriwayatkan  dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda: Apabila kamu berkata kepada temanmu “diamlah” pada hari Jum’at sedang imam sedang berkhutbah, maka engkau telah berbuat lagha.” [HR al-Bukhari]

Hadis di atas riwayat al-Bukhari, Kitab al-Jum’ah, Bab al-Inshaat Yaum al-Jum’at wa al-Imam Yakhthub, dan hadits yang semakna dengan hadits di atas diriwayatkan oleh Muslim,  Kitab al-Jum’ah, Bab al-Inshaat Yaum al-Jum’at fi al-Khutbah, at-Tirmidzi,  Kitab al-Jum’ah, Bab Maa Ja-a fi Karahiyah al-Kalam wa al-Imam Yakhthub, an-Nasa-i,  Kitab al-Jum’ah, Bab al-Inshaat li al-Khatib Yaum al-Jum’at,Abu Dawud,  Kitab as-Salat, bab al-Kalam wa al-Imam Yakhthub, Malik al-Muwaththa,  an-Nida li as-Salat,ad-Darimy,  kitab as-Salah, Bab Fii al-Istima’ Yaum al-Jum’at ‘an al-Khutbah.

 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ وَزِيَادَةُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا.

[رواه مسلم]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa berwudhu dan membaguskan wudhunya, kemudian memghadiri salat Jum’at, lalu mengengarkan (khutbah) dan diam penuh perhatian, maka diampuni (dosanya) yang ada antara Jum’at yang lalu dan Jum’at hari ini dan ditambah tiga hari. Dan barangsiapa menyentuh (mempermainkan/menggerak-gerakkan) kerikil, maka dia telah berbuat lagha”.” [HR. Muslim]

Hadis di atas diriwayatkan oleh Muslim, Kitab al-Jum’at, Bab Fadlu Man Istama’a wa Anshata fi al-Jum’at, dan hadis yang semakna dengannya diriwayatkan at-Tirmidzi, kitab al-Jum’at ‘an Rasulillah saw, Bab Maa Ja-a fi al-Wudhu Yaum al-Jum’at, Abu Dawud, kitab as-Salah, Bab Fadlu al-Jum’at, Ibnu Majah,kitab Iqamah as-Salah wa as-Sunnah Fiiha, Bab Massa al-Hasha fi al-Jum’at, Ahmad, Baaqi Musnad al-Muksirin.

Hadis al-Bukhari (hadits no.1) dan yang semakna dengannya menjelaskan bahwa apabila salah seorang jamaah salat Jum’at mengatakan “diamlah” kepada temannya, maka ia telah berbuat lagha. Artinya pahala shala Jum’atnya menjadi batal. Begitu pula hadis riwayat Muslim (hadits no.2) dan yang semakna dengannya menjelaskan bahwa mengerak-gerakan pasir termasuk perbuatan lagha.

Hadits di atas menjelaskan beberapa pelajaran:

  • Kewajiban mendengarkan khutbah yang disampaikan khatib
  • Tidak boleh berbicara ketika khatib sedang berkhutbah, karena hal tersebut dapat menghilangkan konsentrasi mendengarkan khutbah.
  • Tidak boleh melakukan hal-hal yang dapat mengganggu konsentrasi dalam mendengarkan khutbah, seperti menggerak-gerakan pasir dan sejenisnya, atau berkata ‘diamlah’ kepada orang lain.

Para ulama berbeda pendapat tentang makna kalimat lagha. Makna lagha dalam kalimat “apabila engkau berkata kepada temanmu: ‘diamlah’ ketika khatib berkhutbah, maka engkau telah berbuat lagha” adalah pahala salat Jum’atnya batal, berubah keutamaannya seperti salat Dhuhur. Abdullah bin Abdurrahman Ali dalam kitab Taysirul ‘Alam menjelaskan: Kata lagha seperti kata ghaza, artinya mengucapkan perkataan yang tidak ada manfaatnya (pahalanya).

Ash-Shan’ani dalam kitab Subulus-Salam menjelaskan: “Apabila engkau berkata kepada temanmu: ‘diamlah’ ketika khatib berkhutbah, maka engkau telah berbuat lagha” merupakan penguat larangan berbicara. Apabila hal tersebut (berkata ‘diamlah’) dikategorikan sebagai pebuatan laghapadahal perkataan hal tersebut termasuk pada amar ma’ruf, maka orang yang berbicara lebih berat hukumnya. Dengan pengertian tersebut, maka wajib bagi orang yang akan menegur dengan menggunakan isyarat apabila memungkinkan.

Kembali kepada permasalahan di atas, apakah mengedarkan kotak infak termasuk perbuatan lagha atau tidak? Dengan memperhatikan beberapa penjelasan di atas dan pelajaran yang dapat diambil dari hadits, mengedarkan kotak infak tidak dilarang asal tidak mengganggu konsentrasi mustami’ dalam mendengarkan khutbah dan bukan termasuk perbuatan lagha.

Wallahu a’lam bish shawab. *A.56h)

 
 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

E-mail:  dan  http://fatwatarjih.com

sumber : sangpencerah.com

943,440 total views, 183 views today

MADANINEWS.ID, JAKARTA — Saat khutbah jumat sedang berlangsung, seorang dilarang menyibukkan diri dengan hal-hal yang bisa memalingkan konsentrasinya dari menyimak khutbah. Sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ: [أَنْصِتْ] وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ

“Jika kamu berkata kepada temanmu, “Diamlah” sementara imam sedang berkhutbah di hari jumat, sungguh ia telah berbuat sia-sia.” [Muttafaqun ‘alaihi]

Seruan dia kepada kawannya supaya diam di saat imam sedang khutbah merupakan bentuk amar ma’ruf nahi munkar. Namun karena dilakukan pada saat yang tidak tepat, perbuatan tersebut menjadi tidak berpahala. Bahkan justru berdampak buruk bagi pelakunya. Karena jelas di akhir hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,” فقد لغوت”, artinya: “sungguh kamu telah berbuat sia-sia.” Terlebih pembicaraan yang hukum asalnya mubah. Tentu lebih terlarang lagi.

Maksud sabda Nabi shallallahu’alaihiwasallam: فقد لغوت

[-faqod laghouta- artinya: “..sungguh ia telah berbuat sia-sia.”] dalam hadis di atas adalah, ia terluputkan dari pahala shalat jumat. Dalam riwayat Tirmidzi terdapat kalimat tambahan:

ومن لغا فلا جمعة له

“…barangsiapa berbuat sia-sia, maka tidak ada pahala shalat jumat untuknya.” [Imam Tirmidzi berkata: hadis ini hasan shahih. Para ulama hadis lainnya menilai hadis ini dha’if, hanya saja maknanya benar].

Dalam riwayat lain disebutkan,

ومن لغا وتخطَّى رقاب الناس، كانت له ظهرًا

“Dan barangsiapa yang berbuat sia-sia dan melangkahi pundak-pundak manusia, maka Jum’atannya itu hanya bernilai salat Zhuhur.” [HR. Abu Dawud, no. 347. Dihasankan oleh Al-albani dalam Shahih Abi Dawud

Hal ini bukan berarti shalat jumatnya batal. Shalatnya tetap sah, hanya saja ia terluput dari pahala shalat jumat. Dan cukuplah ini kerugian yang besar bagi seorang mukmin.

Ada pengecualian di sini, yaitu dibolehkan bagi khatib untuk berinteraksi dengan jama’ah, bila memang diperlukan. Begitu pula sebaliknya; seorang jamaah boleh berinteraksi dengan Sang Khatib. Namun ini sebatas kebutuhan saja. Artinya jangan sampai menyebabkan konsentrasi jamaah yang lain terganggu.

Seperti ini pernah terjadi di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika beliau sedang khutbah, salah seorang sahabat masuk ke masjid kemudian langsung duduk. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan dia supaya berdiri untuk shalat tahiyyatul masjid. [Lihat Shahih Al-bukhari, hadis no. 931]

Dalam kesempatan yang lain, ketika Madinah sedang ditimpa paceklik, salah seorang sahabat meminta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam supaya mendoakan turun hujan. Saat itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang khutbah jumat. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangan beliau, sejajar dengan wajah beliau serambi berdoa,

اللَّهُمَّ اسْقِنَا

[Allahummas Qinaa] “Ya Alllah, turunkan hujan kepada kami.”

Hujan pun turun ketika itu juga sampai hari jumat yang berikutnya. [Lihat Sunan An-Nasa’i, hadis no. 1515]

Diperbolehkan pula bagi makmum untuk melakukan hal-hal yang ada kaitannya dengan khutbah. Seperti mengamini doa khatib dan bershalalawat kepada Nabi shallallahu’alaihiwasallam.

Ada hadis lain yang menjelaskan tentang adab ketika khatib sedang khutbah Jumat, berikut ini hadisnya:

مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوْءَ ثُمَّ أَتَى الْجُمْعَةَ فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ, غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمْعَةِ وَزِيَادَةُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ, وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَى

“Barangsiapa yang berwudhu lalu memperbagus wudhunya kemudian dia mendatangi shalat Jum’at, dia mendengarkan khutbah dan diam, maka akan diampuni dosa-dosanya antara Jum’at ini dengan Jum’at yang akan datang, ditambah tiga hari. Dan barangsiapa yang bermain kerikil, sungguh ia telah berbuat sia-sia.” [HR. Muslim]

Hadis kedua ini menjelaskan tentang larangan yang berkaitan dengan perbuatan. Adapun hadits pertama tadi menjelaskan tentang larangan yang berkaitan dengan ucapan.

Kesimpulannya adalah, saat khatib sedang berkhutbah, seorang makmum tidak boleh menyibukkan diri dengan hal-hal yang bisa membuyarkan kosentrasinya dari mendengarkan khutbah Jumat. Baik hal tersebut berkaitan dengan ucapan maupun perbuatan.

Bagaimana dengan orang yang bermain handphone ketika khutbah jumat?

Jawabannya adalah bermain handphone di saat khatib sedang berkhutbah juga tidak boleh. Hukumnya sama dengan orang yang bermain kerikil yang disinggung dalam hadis di atas. Jadi seorang yang sibuk bermain handphone ketika khatib sedang khutbah, ia juga terluputkan dari kesempurnaan pahala shalat jum’at.

Bagaimana bila seorang ingin merekam khutbah jum’at dengan handphone-nya?

Jawabannya adalah tetap terlarang bila dilakukan saat khatib sedang berkhutbah. Bila ia hendak merekam khutbah, sebaiknya dipersiapkan sebelum khatib memulai khutbah. Seperti saat khatib sedang naik mimbar atau sejak sebelumnya. Yang terpenting selama khatib belum memulai khotbah, maka dibolehkan bagi Anda untuk mengobrol atau mempersiapkan handphone Anda untuk merekam dst. Karena konteks hadisnya berbunyi: “Jika kamu berkata kepada temanmu, “Diamlah” sementara imam sedang berkhutbah di hari jumat, sungguh ia telah berbuat sia-sia.” [Muttafaqun ‘alaihi].

Artinya bila imam tidak sedang berkhutbah; seperti saat sedang naik mimbar atau saat duduk antara dua khutbah, maka dibolehkan bagi Anda apa yang dilarang dalam hadiss tersebut.

Tags: adab jumatkhutbah jumatshalat Jumat


Hadis Tentang Larangan Berbicara Saat Khutbah Jum'at. Dan untuk takhrij hadisnya bisa dilihat di sini.

و إذا قال لصاحبه: أنصت فقد لغوْتَ.

و قال سلمان عن النبي صلي الله عليه و سلم: بنصت إذا تكلم الإمام

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair berkata, telah menceritakan kepada kami Al Laits dari 'Uqail dari Ibnu Syihab berkata, telah menceritakan kepadaku Sa'id bin Al Musayyab bahwa Abu Hurairah mengabarkan kepadanya, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika kamu berkata kepada temanmu pada hari Jum'at 'diamlah', padahal Imam sedang memberikan khutbah maka sungguh kamu sudah berbuat sia-sia [tidak mendapat pahala]."

Keterangan Hadis

Mendengarkan khutbah jum’at merupakan salah satu kewajiban jum’at. Imam Bukhari menolak pendapat yang mewajibkan mendengarkan khutbah itu dilakukan sejak khatib keluar, karena sabda Rasulullah SAW dalam hadis “dan Imam berkhutbah” adalah jumlah haliyah [susunan kalimat yang menunjukkan keadaan] sehingga tidak mencakup waktu sejak imam keluar dan sesudahnya, sampai imam memulia khutbahnya. Memang benar sebenarnya seseorang seseorang lebih baik diam seperti yang telah dianjurkan.

Adapun pada saat duduk di antara dua khutbah, penulis kitab Al-Mughni menyebutkan dua pendapat dari para ulama dalam masalah ini, yaitu berdasarkan bahwa pada saat itu imam tidak sedang berkhutbah atau karena waktu diamnya terlalu singkat seperti menarik nafas.

و إذا قال لصاحبك أنصت فقد لغا [Apabila dia berkata kepada temannya “Diamlah!” maka sesungguhnya ia telah melakukan perbuatan sia-sia] Ini seperti riwayat Nasa’I dari Qutaibah dari Al-Laits yang menyebutkan dengan lafadz,  فقد لغا من قا ل لصاحبه أنصت  [Barangsiapa mengatakan kepada temannya, “Diamlah!”, mka dia telah melakukan perbuatan sia-sia]. Maksud dari kata shahib di atas adalah orang yang diajak bicara.

Ibnu Khuzaimah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Inshat adalah dia tidak emngucapkan kata-kata kepada orang lain selain zikir kepada Allah. Pendapat Ibnu Khuzaimah ini menuai kritikan, karena apabila yang demikian yang dimaksudkan maka membaca Al-Qur’an dan zikir ketika khutbah juga diperbolehkan. Secara lahiriah yang dimaksud adalah diam secara mutlak, dan orang yang membedakan antara keduanya harus menguatkan dengan dalil-dalil yang menunjukkannya.

يوم الجمة [Pada hari jum’at]. Pengertiannya bahwa selain hari Jum’at [khutbah Jum’at], maka hukuk tersebut tidak berlaku. Namun hal ini masih perlu dikaji lebih mendalam.

فقد لغوت [maka sengkau telah melakukan perbuatan sia-sia] Al-Ahkfasy mengatakan, Al-Laghwu adalah ucapan atau perkataan yang tidak mempunyai dasar, yaitu perkataan yang batil dan sejenisnya. Menurut Ibnu Arafah, Al-Laghwu adalah perkataan yang hina atau tidak berguna. Sedangkan pendapat lain menyatakan perkataan yang keluar dari kebenaran. Bahkan ada yang mengartikannya dosa, seperti firman Allah swt:

Artinya: “dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan [orang-orang] yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui [saja] dengan menjaga kehormatan dirinya. [Q.S. Al-Furqan: 72]

            Menurut Ibnu Al-Manayyar, ahli tafsir sepakat bahwa Al-Laghwu adalah perkataan yang tidak baik. Adapun perkataan Abu Abid Al-Harawi dalam kitab Al-Garib sangat aneh, karena dia mengatakan bahwa kata Al-Laghwu memiliki arti berbicara. Nadhruddin Syumail mengatakan bahwa kata Laghauta berarti kamu tidak mendapat ganjaran .

Ahmad meriwayatkan dari hadis Ali RA dengan sanad yang marfu’, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: من قال: صه فقد تكلم, و من تكلم فلا جمعة له [Barangsiapa mengatakan “Diamlah”, maka ia telah berbicara, dan barangsiapa berbicara, maka dia tidak emndapatkan [pahala atau keutamaan] Jum’at].

Begitu juga apa yang telah diriwayatkan oleh Abu Daud. Adapun riwayat Ahmad dan Al-Bazar dari Ibnu Abbas, dengan sanad yang marfu’, bahwasanya Rasulullah bersabda: من تكلم يوم الجمة والإمام يخطب فهو كالحمار يحمل أسفارا, والذي أنصت ليست له جمة  [Barangsiapa yang berbicara pada hari Jum’at sedangkan imam berkhutbah, maka ia seperti himar [keledai] yang memikul kitab-kitab. Sedangkan orang yang menenangkan dengan mengatakan, “Diamlah!”, maka ia mendapatkan pahala Jum’at]. Hadis ini diperkuat oleh hadis mauquf dalam kita Jaami’ Hammad bin Salamah, dari Ibnu Umar.

Menurut para ulama maknanya adalah ua tidak mendapatkan pahala shalat Jum’at secara keseluruhan. Ibnu At-Tin meriwayatkan dari sebagian ulama yang membolehkan berbicara kerika khutbah, yaitu dengan menta’wilkan sabda Rasulullah SAW, di mana arti kalimat فقد لغوت menurut mereka adalah kamu telah menyuruh diam orang yang tidak mau [diam]. Ini adalah takwil yang sangat sulit untuk dibenarkan.

Kata-kata “Diamlah” meskipun memiliki konotasi makna yang baik tetatpi tetaplah dianggap sebagai sesuatu yang sia-sia, maka kata-kata selainnya lebih patut dikatakan sebagai perbuatan yang sia-sia. Dalam riwayat Ahmad dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah RA di akhir hadis bab, bahwa setelah kalimat فقد لغوت disambung dengan kalimat عليك بنفسك [peliharalah dirimu].

Hadis tersebut menjadi dalil dilarangnya semua bentuk pembicaraan ketika khutbah berlangsung. Jumhur ulama juga berpendapat demikian bagi orang yang mendengarkan khutbah. Begitu pula hokum orang yang tidak mendengarkannya. Mereka mengatakan, ”Jika hendak berbuat kebaikan, maka hendaknya dengan isyarat.”

Menurut Ibnu Abdul Barr menukil ijma’ ulama bahwa kewajiban diam hanya bagi mereka yang mendengar, kecuali hanya sedikit dari tabi’in yang menyetujuinya. Adapun lafadznya adalah sebagai berikut: “Tidak ada perbedaan antara ulama-ulama fiqih di seluruh negeri tentang kewajiban diam bagi orang yang mendengar khutbah Jum’at. Berdasarkan hadis tersebut, apabila kita mendapatkan orang yang tidak tahu tentang hukum ini, lalu ia berbicara ketika imam khutbah, maka kita tidak boleh mengatakan kepadanya “Diamlah!” atau kata-kata yang serupa dengannya.”

Dalam masalah ini Imam Syafi’I mempunyai dua pendapat yang masyhur. Menurut sebagian pengikut Syafi’I, bahwa letak perbedaan pendapat tersebut adalah apakah dua khutbah tersebut sebagai ganti dari dua raka’at shalah Zhuhur atau bukan. Berdasar pendapat yang pertama, khutbah merupakan pengganti dua raka’at shalat Zhuhur, maka berbicara disaat khatib sedang berkhutbah adalah haram.

Sedangkan berdasar pendapat yang kedua maka tidaklah haram, dan inilah yang benar menurut mereka. Maka tidaklah mengapa jika ada yang berbicara saat khatib di atas mimbar.

Dari Ahmad, ada dua riwayat yang keduanya juga membedakan antara orang yang mendengar khutbah dengan orang yang tidak mendengar khutbah. Sebagian pengikut Syafi’I membedakan antara orang yang berkewajiban menghadiri Jum’at dan mereka yang tidak berkewajiban. Bagi mereka yang berkewajiban shalat Ju’at, maka harus diam. Sedang bagi yang tidak berkewajiban hal itu disamakan dengan fardhu kifayah.

Keharusan diam ketika khutbah berlangsung bagi yang mendengarnya, telah diisyaratkan oleh hadis yang telah disebutkan, و من دنا فلم ينصت كان عليه كقلان من الوزر [Barangsiapa ayng dekat [mendengar suara khatib] dan tidak diam, maka ia mendapat dua dosa] karena dosa bukan diakibatkan melakukan hal yang mubah  atau sesuatu yang makruh tanzih [lebih baik ditinggalkan].

Pengecualian diam ketika khutbah apabila khatib sudah keluar dari jalur yang disyariatkan di dalamnya, misalnya mendo’akan penguasa. Bahkan pengarang kitab At-Tahdzib menegaskan, bahwa berdo’a untuk penguasa adalah makruh.


Video yang berhubungan