Secara umum setiap peristiwa sosial menimbulkan satu atau beberapa peristiwa sosial yang lain, demikian seterusnya yang satu mempengaruhi yang lain sehingga merupakan satu lingkaran sebab akibat. Hal ini disebut hubungan kasual yang artinya adalah hubungan sebab akibat atau kausalitas. Hubungan sebab akibat adalah hubungan logis dan mempunyai mata rantai dengan peristiwa berikutnya. Setiap peristiwa selalu memiliki penyebab dan penyebab ini sekaligus menjadi sebab dari sejumlah peristiwa yang lain.Ajaran kausalitas dalam ilmu pengetahuan hukum pidana dimaknai sebagai suatu ajaran yang mencoba mengkaji dan menetukan dalam hal apa seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana sehubungan dengan rangkaian peristiwa yang terjadi sebagai akibat rangkaian perbuatan yang menyertai peristiwa-peristiwa pidana tersebut.[1] Sisi lain yang tak kalah penting bahwa dalam mempelajari Ajaran kausalitas disamping melihat hubungan logis antara sebab dan akibat untuk menentukan pertanggungjawaban pidana maka ajaran kesalahan menjadi suatu hal perlu dikaitkan sehubungan dengan hal tersebut di atas. Ajaran kausalitas sering dikaitkan dengan unsur perbuatan yang menjadi dasar dari penentuan apakah seorang sudah melakukan suatu tindak pidana atau tidak (apa ada unsur kesalahan di dalamnya). Dalam penentuan dasar pertanggungjawaban pidana seseorang, dimana adanya kontrol pelaku (sebagai kehendak bebas keadaan lainnya di luar kehendak pelaku) sebagai penyebab, maka unsur kesalahan menjadi penting. Unsur kesalahan menjadi unsur yang menentukan dapat tidaknya seseorang dipidana sebagai pelaku tindak pidana dalam hubungannya dengan ajaran kausalitas.[2] Sehubungan dengan kontrol pelaku sebagai kehendak bebas untuk melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan, misalnya A mengendarai motor tiba-tiba diserempet oleh mobil truk yang dikemudikan oleh B dan A terjatuh di jalan, ketika terjatuh A ditabrak oleh C yang ternyata saat C mengemudi tiba-tiba kemudi stir mobil oleh D dengan tangannya diarahkan paksa ke A sehingga terjadi kecelakan maut. Apakah B, C, atau D yang dipertanggungjawabkan terhadap matinya A? Tentunya hal ini tidak terlepas dari unsur kesalahan dalam menilai kausalitas. Dalam hubunganya dengan suatu keadaan di luar kehendak pelaku sebagai penyebab, misalnya A menabrak B sehingga B kehilangan banyak darah, karena itu B secepatnya dibawa ke rumah sakit. Sayangnya di rumah sakit A tidak mendapatkan perawatan segera karena dokter terlambat datang. Sementara saat dokter datang, peralatan kesehatan yang dipakainya tidak higienis, sehingga keesokan harinya B meninggal. Dalam peristiwa ini apakah penyebab meninggalnya B karena tertabrak atau lambatnya penanganan dokter atau karena peralatan yang dipakai tidak higienis? Dalam kedua contoh kasus tersebut diatas tampak bahwa dalam mempelajari ajaran kausalitas sehubungan dengan pertanggungjawaban pidana, tentunya tidak terlepas kaitannya dengan unsur kesalahan yang ada pada diri pelaku kejahatan. Hal ini menjadi penting untuk memahami apakah perbuatan yang merupakan salah satu peristiwa yang menjadi mata rantai terwujudnya tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang atau tidak. Atau ada seseorang yang harus berbuat tetapi tidak melakukan perbuatan sesuai kewajibannya, misalnya petugas rumah sakit yang lalai menyiapkan peralatan kesehatan sehingga penggunaan alat tidak higienis yang mengakibatkan infeksinya luka pasien adalah merupakan suatu hal yang turut dan perlu dipertimbangkan dalam penentuan unsur kesalahan (pertanggungjawaban pidana).[3] Berdasarkan literatur, teori-teori kausalitas sangat banyak, tetapi dapat digolongkan menjadi 2 (dua) golongan besar, yaitu: (1) teori Conditio sine qua non (teori syarat), dan (2) teori Adequate. Kedua teori tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Teori conditio sine qua non dikemukakan oleh Von Buri, yang berpendapat bahwa: suatu perbuatan atau masalahnya haruslah dianggap sebagai “sebab” dari suatu akibat, apabila perbuatan atau masalah itu merupakan syarat dari akibat itu. Oleh karena itu harus diselidiki dulu perbuatan atau masalah mana yang merupakan syarat dari suatu akibat. Apabila perbuatan itu atau masalah itu tidak dapat ditiadakan untuk timbulnya akibat itu, maka perbuatan atau masalah itu adalah “sebab”.[4] Dengan demikian menurut Von Buri, bahwa: “semua syarat yang turut menyebabkan suatu akibat dan tidak dapat ditiadakan dalam rangkaian faktor-faktor yang bersangkutan, harus dianggap “sebab” (causa) dari akibat itu”. Hal ini karena tiap-tiap perbuatan atau masalah itu merupakan syarat dan harus dianggap sebagai sebab, maka syarat-syarat itu mempunyai nilai yang sama.[5] Teori conditio sine qua non menyamakan antara syarat dengan sebab. Dalam hal-hal tertentu keduanya harus dibedakan terutama dalam hukum pidana untuk menentukan unsur pertanggungjawaban pidana dari rangkaian perbuatan itu, haruslah dipilih perbuatan yang secara hukum bahwa perbuatan itu sangat membahayakan kepentingan hukum seseorang secara langsung. Oleh karena itu perlu dilakukan pembatasan-pembatasan tentang perbuatan yang dapat dinilai sebagai sebab timbulnya akibat. Menurut Andi Sofyan,[6] teori yang membatasi pada keadaan atau perbuatan tertentu yang dapat dipandang sebagai sebab timbulnya akibat adalah:
Teori adequate ini merupakan bantahan dari teori yang dikemukakan oleh Von Buri. Menurut teori ini di antara rangkaian peristiwa yang mendahului akibat tersebut adalah yang dekat/sepadan dengan timbulnya yang dilarang (adequate). Contoh: (A) diajak oleh (C) pergi ke Jakarta, di tengah jalan bertemu dengan (D), kemudian terjadi perkelahian, (D) menusuk (A), sehingga (A) meninggal dunia. Kasus ini jika dilihat dari ajaran adequate, maka yang dapat dipertanggung-jawabkan adalah (D), dan bukan (C). Teori-teori yang muncul setelah Von Buri adalah:
[1]Andi Sofyan dan Hj. Nur Azisa, Buku Ajar Hukum Pindana, Pustaka Pena Press, Makassar, 2016, Hal.56. [2]Eva Achjani Zulfa, Hukum Pidana Materil & Formil: Kausalitas, USAID-The Asia Foundation-kemitraan Partnership, Jakarta, 2015, hal.160. [3]Andi Sofyan dan Hj. Nur Azisah, Op.cit., Hal.57. [4]H.M. Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, Hukum Pidana, Setara Press, Malang, 2015, Hal.275. [5]E.Y. Kanter dan SR. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHM-PTHM, Jakarta, 1983, hal.126. [6]Andi Sofyan dan Hj. Nur Azisah, Op.cit., Hal.61. [7]Tongat, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, UMM Press, Malang, 2008, Hal.176. [8]Ahmad Sofyan, Ajaran Kausalitas Hukum Pidana, Prenadamedia Group (Divisi Kencana), Jakarta, 2018, Hal.117. [9]Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1985, hal.113. |