Apabila ada orang yang menjelekkan suatu ras atau suku tertentu

2 menit

Ada-ada saja konflik dalam kehidupan bertetangga, apalagi jika Anda tinggal di area yang penduduknya sangat beragam. Dari hal yang sangat sepele seperti masalah sampah, bahkan hal yang sangat berat seperti penghinaan dan menyinggung soal SARA pun bisa terjadi. Jika menjadi salah satu korbannya, apa Anda tahu apa yang harus dilakukan?

Urbanites, Anda harus tahu terlebih dahulu, tindakan penghinaan kepada seseorang dan menyinggung soal SARA, merupakan hal yang dilarang oleh negara.

Ada hukuman yang pasti dan telah ditetapkan undang-undang di negara kita.

Simak ulasan lengkapnya mengenai hukum menghina tetangg berikut ini.

Dasar Hukum Ganjaran Menghina Tetangga

Mengatai-ngatai tetangga dengan ucapan kasar dan tidak mengenakkan sehingga membuat mereka tersinggung termasuk dalam pebuatan penghinaan yang dilarang negara.

Perbuatan menghina orang sendiri diklasifikasikan menjadi dua tingkatan.

  1. Penghinaan ringan, berupa perkataan-perkataan kasar seperti sebutan nama hewan dan umpatan lainnya.
  2. Penghinaan berat, berupa kata-kata tuduhan pada sesorang melakukan sesuatu yang belum terbukti kebenarannnya.

Bagi tetangga yang melakukan penghinaan ringan, mereka dapat dituntut dengan hukuman penjara maksimal 4 bulan 2 minggu dan denda paling banyak Rp4500.

Hal ini diatur dalam Pasal 315 KUHP yang berbunyi:

“Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Apabila ada orang yang menjelekkan suatu ras atau suku tertentu

Hukuman Bagi yang Menyinggung Soal Suku & Ras

Sementara itu untuk penghinaan dan perbuatan menyinggung soal SARA, khususnya suku dan ras diatur dalam Pasal 4 huruf b Undang-Undang No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Undang–undang itu menjelaskan bahwa:

Tindakan diskriminatif ras dan etnis berupa:

  1. ….
  2. menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis yang berupa perbuatan:
  3. membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan, ditempelkan, atau disebarluaskan di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dilihat atau dibaca oleh orang lain;
  4. berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan kata-kata tertentu di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain;
  5. mengenakan sesuatu pada dirinya berupa benda, kata-kata, atau gambar di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dibaca oleh orang lain; atau
  6. melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis.

Berdasarkan UU di atas, hukuman bagi mereka, termasuk tetangga yang menghina, menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain secara sengaja soal SARA, khususnya suku dan ras, dapat dituntut hukuman penjara maksimal 5 tahun kurungan dan/atau denda paling besar Rp500 juta.

Apabila ada orang yang menjelekkan suatu ras atau suku tertentu

Cara Menyelesaikan Perkara Penghinaan

Utamakan langkah mediasi dan musyawarah dalam menyelesaikan masalah dalam bertetangga.

Jika mendapatkan tindakan penghinaan atau singgungan soal SARA, hal pertama yang sangat dianjurkan untuk dilakukan adalah melaporkannya kepada Ketua RT atau RW.

Pihak tersebut dapat berperan sebagai penengah antara Anda dan tetangga yang melakukan penghinaan.

Jika dalam proses musyawarah tersebut tidak menghasilkan mufakat, maka Anda dapat mengadukan tetangga ke pihak berwajib dan menuntut mereka sesuai dengan UU.

Apabila ada orang yang menjelekkan suatu ras atau suku tertentu

Semoga informasi kami di atas dapat bermanfaat bagi Anda semua, Sahabat 99.

Terus kunjungi blog 99.co Indonesia untuk mengetahui seluk-beluk hukum dalam kehidupan di sekitar rumah serta bidang properti!

Jakarta - RUU KUHP mengkodifikasi beberapa UU yang tersebar menjadi satu kitab. Diharapkan KUHP rasa Indonesia ini akan disahkan pada 24 September 2019 dan mengganti KUHP peninggalan penjajah Belanda.Salah satu yang diatur adalah larangan menyebarkan kebencian berdasarkan Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA). Sebagaimana dikutip detikcom, Senin (2/9/2019), Pasal 242 berbunyi:Setiap Orang yang di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap satu atau beberapa golongan atau kelompok penduduk Indonesia berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pasal 243 mengancam lebih detail, yaitu:

1. Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi, yang berisi pernyataan perasaan permusuhan dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, terhadap satu atau beberapa golongan atau kelompok penduduk Indonesia berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik yang berakibat timbulnya Kekerasan terhadap orang atau barang dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.


(2) Jika Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan Tindak Pidana tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan Tindak Pidana yang sama, pelaku dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf f.

Selain melarang penyebaran kebencian atas dasar SARA, RUU KUHP juga melarang diskriminasi. Ancamannya 1 tahun penjara atau bisa dinaikkan menjadi 16 bulan penjara.Pasal 244:

Setiap Orang yang melakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori III.

Pasal 245:

Setiap Orang yang melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, perkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan Kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis, pidana ditambah dengan 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidananya.

"Pasal 15 dan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dicabut dan dinyatakan tidak berlaku," demikian bunyi Pasal 626.

Koalisi Pemantau Peradilan Tolak Pasal Menghina Pengadilan di RUU KUHP:

[Gambas:Video 20detik]

(asp/rvk)

Apabila ada orang yang menjelekkan suatu ras atau suku tertentu


Belakangan sedang ramai menjadi perbincangan warga Bekasi dan Jakarta terkait penghinaan terhadap suku/etnis Betawi dari salah seorang oknum anggota ormas di Bekasi. Video yang viral di media sosial kemudian memicu berbagai golongan yang merasa terhina melaporkan kejadian ini ke pihak kepolisian di Jakarta dan Bekasi. 

Menempuh jalur hukum adalah langlah bijak sebelum isu ini meluas dan berkembang menjadi masalah yang lebih besar.

Kasus seperti ini juga pernah terjadi di akhir 2-14 atau awal 2015 yang dikenal dengan Kasus Iklan Indosat yang berujung dengan tuntutan pidana dan perdata. Untuk laporan pidana memang dicabut setelah pihak Indosat meminta maaf, tapi gugatan class action yang dilayangkan oleh Lintas Komunitas Budaya Bekasi terus berjalan. 

Berdasarkan Undang-undang Konsumen Nomor 8 tahun 1999, tentang tentang Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha. Di situ, perusahaan tidak boleh menawarkan barang atau produknya dengan palsu, termasuk iklan yang ditawarkan tidak merugikan pihak lain baik individu maupun kelompok masyarakat. Gugatan class action ini akhirnya dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Bekasi. 

Indonesia adalah negara yang terdiri dari berbagai suku. Namun, seringkali terjadi pertikaian yang disebabkan perbuatan penghinaan terhadap suku tertentu yang diwujudkan dengan kebencian. Padahal, ada risiko hukum bagi mereka yang bertikai sambil menghina suku tertentu.

Apa yang dikatakan oleh oknum anggota ormas yang terekam di video dan viral tersebut memicu ketersinggungan warga suku / etnis Betawi, baik dari Jakarta maupun Bekasi. Tercatat beberapa pihak secara resmi melaporkan oknum tersebut ke pihak kepolisian, baik di wilayah Jakarta dan Bekasi.

Perbuatan penghinaan terhadap suku tertentu yang diwujudkan dengan kebencian merupakan salah satu bentuk tindakan diskriminasi ras dan etnis. Diskriminasi ras dan etnis adalah segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

Ras adalah golongan bangsa berdasarkan ciri-ciri fisik dan garis keturunan. Sedangkan etnis adalah penggolongan manusia berdasarkan kepercayaan, nilai, kebiasaan, adat istiadat, norma bahasa, sejarah, geografis, dan hubungan kekerabatan.

Selanjutnya untuk menjamin tidak terjadi kon­flik dan diskriminasi, Indo­nesia membentuk UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Perbuatan diskriminasi ras dan etnik ini dilarang dalam Pasal 4 huruf b Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis yang berbunyi:

b.    menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis yang berupa perbuatan:

  1. membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan, ditempelkan, atau disebarluaskan di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dilihat atau dibaca oleh orang lain;
  2. berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan kata-kata tertentu di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain;
  3. mengenakan sesuatu pada dirinya berupa benda, kata-kata, atau gambar di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dibaca oleh orang lain; atau
  4. melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis.

Pasal 16 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis mengatur: “Setiap orang yang de­ngan sengaja menunjukkan ke­bencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskrim­inasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 1, angka 2, atau angka 3, dipidana dengan pidana pen­jara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak 500 juta rupiah.” Sanksi pidana ber­dasarkan UU Nomor 40 Tahun 2008 ini lebih berat dari KUHP Pa­sal 156 dan asal 157.

Sedangkan dalam Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), “Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pi­dana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus ru­piah. 

Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau bebera­pa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebang­saan atau kedudukan menurut hukum tata Negara”.

Lebih lanjut Pasal 157 Ayat (1) KUHP menegaskan, “Barang siapa meny­iarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum, yang isinya mengandung pernyataan perasaan per­musuhan, kebencian atau penghinaan diantara atau terhadap golongan-go­longan rakyat Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam de­ngan pidana penjara paling lama dua tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat rupiah lima ratus rupiah.”

Sementara itu Pasal 28 Ayat 2 UU ITE men­jelaskan pelaku kejatahan ras, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuh­an individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasar­kan atas suku, agama, ras, dan antargolongan.” Pelakunya terancam Pasal 45 Ayat 2 yang menegaskan sanksi pelaku ke­jahatan ras dihukum penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak satu juta rupiah.

Jadi, jika perbuatan menghina suku itu dilakukan dengan cara mengungkapkan atau melontarkan kata-kata tertentu yang menunjukkan kebencian pada ras dan etnis tertentu, maka pelakunya dapat dipidana dengan berbagai pasal di atas.  

Perihal orang yang memaki dengan perkataan atau kata-kata kasar, perlu diperjelas lebih lanjut perkataan  kasar seperti apa yang terjadi. Jika orang tersebut memaki dengan perkataan  yang membuat seseorang merasa terhina, maka perbuatan itu dikategorikan sebagai tindak pidana penghinaan. Akan tetapi, pidana penghinaan banyak macamnya, apakah Termasuk Pencemaran Nama Baik atau lainnya.

Jika penghinaan yang dilakukan oleh tetangga tersebut adalah dengan tindakan selain “menuduh seseorang melakukan suatu perbuatan tertentu”, misalnya dengan mengatakan “anjing”, “asu”, “sundel”, “bajingan” dan sebagainya, maka perbuatan orang tersebut termasuk Pasal 315 KUHP dan dikategorikan sebagai “penghinaan ringan”.

Perhatikan Pasal 315 KUHP yang mengatur sebagai berikut:

“Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Menurut R. Soesilo dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, untuk dapat dikatakan sebagai penghinaan ringan, maka perbuatan itu dilakukan tidak dengan jalan “menuduh suatu perbuatan”. 

Penghinaan yang dilakukan dengan “menuduh suatu perbuatan” termasuk pada delik penghinaan (lihat Pasal 310 KUHP) atau penghinaan dengan tulisan (lihat Pasal 311 KUHP). Penghinaan yang dilakukan dengan jalan selain “menuduh suatu perbuatan”, misalnya dengan mengatakan “anjing”, “bajingan” dan sebagainya, dikategorikan sebagai penghinaan ringan.

Tindak pidana penghinaan ini merupakan delik aduan. Artinya, tuntutan hanya bisa dilakukan apabila ada aduan yang disampaikan oleh pihak yang dirugikan kepada pihak berwajib. Karenanya, korban yang dirugikan atau yang merasa terhinalah yang harus melakukan pengaduan kepada pihak berwajib agar perkara tersebut dapat diproses sesuai hukum yang berlaku.

Indonesia memandang delik diskriminasi ras dan etnis sangat penting untuk di­atur sehingga dalam RUUHP ada pasal tersendiri yang mengaturnya, hal ini dimaksudkan untuk menjamin agar tak ada konflik dan diskriminasi SARA ke depannya. Mengingat Indonesia terdiri dari berbagai suku, agama, etnis, dan ras maka hal ini menjadi penting.

Larangan diskriminasi ras yang telah diatur secara jelas dan tegas dalam hukum positif di berbagai perundang-undangan ini tujuan utamanya adalah menghindari perpecahan bangsa yang dapat mengancam Kesatuan Negara Republik Indonesia.

Era sekarang paradigma penegakan hukum pidana telah bergeser dari retributif yang menekan­kan pembalasan ke pende­katan korektif, rehabilitatif, dan restoratif. Korektif artinya mengoreksi pelaku agar menya­dari kesalahan, meminta maaf dan tidak mengulangi kejahat­an tersebut.  Rehabilitatif lebih pada memperbaiki pelaku serta restoratif memulihkan kembali ke keadaan semula.

Kita berharap agar aparat penegak hukum bertindak tegas dan tuntas saat menangani masalah konflik diskriminasi ras. Tentunya diharapkan penegakan hukumnya berdasar paradigma hukum pidana modern. Yang mana pengusutan tidak lagi hanya menenekankan pembalasan atau pencegahan. Tetapi, lebih menekankan pada pendekatan korektif, rehabilitatif, serta restoratif demi NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.