Apa yang menjadi bukti rendahnya penghargaan bangsa Arab pra islam terhadap Kaum Wanita

Digital. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

(Menyongsong Hari Ibu - 22 Desember 2013)

Kalau kita amati dewasa ini, hampir tak ada lagi pekerjaan pria yang tidak dapat dilakukan oleh perempuan, walaupun tidak semua perempuan dapat melakukannya. Sangat kontras dengan nuansa tahun delapan puluhan, dimana kaum perempuan hanya sebatas rumah dan pasar - sebuah lingkaran sempit - karena kaum perempuan dianggap mustahil dapat mengerjakan apa yang dilakukan laki-laki dengan alasan lemah fisik dan mental sesuai kodratnya. Namun saat ini, hal itu bukan lagi sesuatu yang mustahil karena kaum perempuan mempunyai kemampuan untuk melakukannyadi abad modern ini.

Hal ini disebabkan karena kemajuan IPTEK dan perkembangan budaya dalam masyarakat. Saat ini, kaum perempuan tidak lagi terkungkung oleh lingkaran yang sempit itu. Namun sebaliknya mampu mendobrak lingkaran yang kokoh. Meski tidak ada keinginan bagi kaum perempuan untuk meninggalkan kodratnya, karena yang ada hanyalah keinginan untuk mencari dan memperoleh suatu hal yang baru yang membuat mereka dapat menghasilkan karya nyata sebagaimana yang dapat dilakukan oleh kaum laki-laki. Sehingga saat ini kaum perempuan dapat dikatakan setara dengan kaum laki-laki dan dapat menjadi mitra sejajar bagi kaum laki-laki.

Nasib Perempuan Masa Pra-Islam

Sejarah mencatat bahwa jauh sebelum datangnya Islam, dunia telah mengenal adanya dua peradaban besar (Yunani dan Romawi) dan dua agama besar ( Yahudi dan Nasrani). Bagaimana nasib kaum perempuan saat itu?

Ternyata sesungguhnya kedudukan perempuan saat itu (sebelum datangnya Islam) sangatlah rendah dan hina. Mereka dianggap sebagai manusia yang tidak memiliki hak, jiwa kemerdekaan dan kemuliaan. Mereka menganggap perempuan adalah sumber dari segala malapetaka dan bencana dunia.

Dalam peradaban Yunani, perempuan sangat dilecehkan dan dihinakan. Mereka memandang perempuan sama rendahnya dengan barang dagangan yang bisa diperjualbelikan di pasar. Perempuan boleh dirampas haknya sehingga sama sekali tidak diakui hak-hak sipilnya, sebagai contoh dalam pandangan mereka perempuan tidak perlu mendapat warisan dan tidak mempunyai hak untuk menggunakan hartanya sendiri.

Sementara dalam peradaban Romawi, perempuan berada dalam kekuasaan ayahnya. Dan kalau sudah menikah maka kekuasaannyapun jatuh ke tangan suaminya- sebuah kekuasaan kepemilikan bukan kekuasaan pengayoman - dan kondisi ini berlangsung sampai abad keenam masehi. (Ali Yafi, 1995 : 264)

Ajaran agama Yahudi menganggap perempuan seperti barangwarisan yang dapat diwariskan kepada keluarganya jika suaminya telah meninggal. Mereka menempatkan martabat perempuan sebagai pelayan (budak), sehingga ayahnya berhak untuk menjualnya. Dan mereka juga beranggapan bahwa perempuan tidak bisa mewarisi apapun kecuali jika ayahnya tidak punya anak laki-laki.

Ajaran agama Nasrani memiliki persamaan dengan ajaran agama Yahudi dalam menempatkan kaum perempuan di lingkungan masyarakat. Bahkan lebih kejam lagi, dimana mereka memandang perempuan sebagai pangkal dari segala kejahatan, kesalahan dan dosa. Mereka mengajarkan bahwa perempuan hanyalah pemuas nafsu laki-laki. Namun pada saat perempuan haidh, mereka menganggap perempuan itu sebagai najis yang harus dijauhi. (Ummu Syafa, 2005 : 4)

Begitupun dengan bangsa-bangsa lain seperti, India, Cina bahkan bangsa Arab pada masa Jahiliyah, semuanya menempatkan posisi kaum perempuan dalam posisi yang teramat rendah dan hina. Sebagaimana tersebut dalam sejarah bahwa pada zaman jahiyah orang Arab merasa malu apabila istrinya melahirkan seorang anak perempuan karena itu dianggap sebagai aib terbesar bagi keluarga. Oleh karena itu, bayi perempuan yang baru lahir langsung dikubur hidup-hidup. Ini pernah pula dilakukan oleh sahabat Umar Bin Khatab di masa Jahiliyah. Saat itu para suami tidak lagi memperdulikan jerit tangis sang bayi dan ibunya. Hal ini digambarkan Al Quran dalam Surat At Takwir ayat 8-9 yang artinya :“Apabila bayi perempuan dikubur hidup-hidup bertanya, karena dosa apakah ia di bunuh ?”

Perlakuan buruk lainorang Arab jahiliyah terhadap kaum perempuan adalah dijadikannya budak-budak (pembantu-pembantu) perempuan mereka untuk melacur dan mereka mendapat keuntungan dari pelacuran tersebut.

Demikianlah nasib kaum perempuan masa lalu dalam sejarah bangsa-bangsa di dunia di awal abad ketujuh sebelum datangnya Islam. Eksistensi mereka tidak lebih dari makhluk tanpa harga diri yang kehilangan hak dan kepemilikannya. Posisinya teramat rendah dan hina.

Nasib Perempuan Pasca Islam

Bila kita kembali membuka sejarah khususnya di Indonesia, sesungguhnya kondisi kesetaraan kaum perempuan dengan kaum laki-laki terjadi jauh sebelum R.A. Kartini di Jateng dan Raden Dewi Sartika di Jabar mengumandangkan emansipasi perempuan yang menuntut adanya persamaan hak antara kaum laki-laki dan kaum perempuan dalam segala bidang terutama di bidang pendidikan. Karena empat abad yang lalu, dengan datangnya Islam yang dibawa oleh Nabi Muhamad Saw. berkat pejuangan beliau, kaum perempuan tidak lagi direndahkan dan dihinakan .

Islam telah mampu mengangkat derajat kaum perempuan menjadi sejajar dengan kaum laki-laki. Islam memberikan derajat yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam hal pahala dan derajat mereka di sisi Allah SWT sebagaimana diungkapkan Al-Qur’an dalam surat An-Nahl ayat 97.

Islam telah mengangkat mereka dari lembah kehinaan dan sumber keburukan, menyelamatkan mereka dari kekejaman perlakuan keji manusia biadab di jaman jahiliyah. Bahkan Islam telah memberikan penghargaan dan penghormatan yang setinggi-setingginya kepada kaum perempuan. Sebuah kedudukan yang teramat mulia dan luhur. Hal ini tercantum dalam sebuah hadist Rasulullah Saw yang artinya :

“Bahwa pada suatu ketika Rasulullah Saw ditanya oleh seorang sahabat : “Ya Rasululullah, kepada siapa aku harus berbakti selain kepada Allah swt?”. Rasul menjawab: “Ibumu”, sahabat bertanya lagi: “ Ya Rasulullah kepada siapa lagi aku harus berbakti?”. Rasulullah menjawab: “Ibumu”. Sahabat itu bertanya lagi: “Ya Rasulullah kepada siapa lagi aku harus berbakti?”. Rasul Saw masih menjawab : “Ibumu”. Ke-empat kalinya sahabat tersebut bertanya lagi: “Ya Rasulullah kepada siapa lagi aku harus berbakti?”, Rasulullah Saw baru menjawab: “Bapakmu”.

Sampai tiga kali Rasul menyebutkan bahwa kita harus berbakti dan menghormati ibu. Sementara bapak, Rasul Saw hanya menyebutkan satu kali. Hal ini menunjukkan begitu pentingnya berbakti dan menghormati ibu –seorang perempuan- yang telah mengandung, melahirkan dan membesarkan kita. Secara logika, hal ini memang bisa dipahami, mengapa seorang ibu harus lebih dihormati dari seorang bapak?. Jawabannya adalah karena ada Tiga hal kelebihan (kodrat) ibu yang tidak bisa dilakukan oleh bapak, yaitu: (1)Mengandung, (2)Melahirkan, dan (3)Menyusui. Ketiga kodrati kaum perempuan inilah yang menjadikan kedudukan perempuan (ibu) menjadi teramat mulia dan luhur.

Namun adanya ketiga kodrat tersebut, tidak menghalangi kaum perempuan untuk berkarya (karier) di luar rumah. Sehingga saat ini telah susah dihitung dengan jari, seorang perempuan yang beranimengungkapkan sesuatu, baik melalui suara, gerak, ekpresi, serta keterlibatan mereka dalam segala bidang. Keberadaan mereka tidak saja diakui komunitas internal tapi juga mendapat acungan jempol dari komunitas eksternal yang selama ini sering menyangsikan potensi mereka. Penyangsian akan ilmu, kemampuan dan keberanian, kekuatan fisik yang terbatas, kelemahan pada mental, hingga kecerdasan otak dalam menganalisa sesuatu.

Sesungguhnya potensi kaum perempuan sebagai salah satu unsur dalam menunjang pembangunan Nasional di Indonesia tidak disangsikan lagi, karena separuh dari penduduknya adalah perempuan. Apalagi angka-angka statistik tentang populasi rakyat Indonesia menggambarkan bahwa perempuan Indonesia merupakan suatu potensi sumber daya manusia yang cukup besar. Kalau potensi yang besar ini tidak didorong dan didukung serta dimanfaatkan secara optimal dalam pembangunan nasional, maka kemungkinan bangsa dan negara ini akan mengalami kelambanan atau bahkan kemunduran .

Ini berarti kaum perempuan mempunyai peluang besar untuk berperan aktif dalam pembangunan nasional. Terbukti saat ini keberadaan mereka bermunculan ibarat jamur di musim hujan, karena memang sudah saatnya kaum perempuan berani untuk tampil menjadi yang terdepan dalam mengasah ketajaman intelektual dan mengerahkan kemampuan yang mereka miliki. Dan pada akhirnya, tindakan mereka ini juga mendapat respon yang positif dari kaum laki-laki.

Contoh nyata dapat kita lihat dalam keterlibatan mereka dalam ranah politik di tata pemerintahan Indonesia. Dulu sedikit sekali perempuan Indonesia yang dapat menjadi anggota dewan (MPR/DPR), menteri dan jabatan – jabatan penting lainnya, namun sekarang banyak jabatan - jabatan penting yang dijabat oleh perempuan Indonesia. Bahkan sekitar tahun 2002/2003 presiden RI juga dijabat oleh seorang perempuan (Presiden Megawati Soekarno Putri). Kalau dulu jabatan menteri yang dijabat perempuan hanya menteri peranan wanita (sekarang Mentri Pemberdayaan Perempuan), namun saat ini banyak jabatan menteri yang dijabat perempuan seperti menteri keuangan dan menteri kesehatan. Dulu jarang sekali perempuan dapat menjabat sebagai kepala daerah, namun sekarang banyak jabatan kepala daerah baik tingkat Kabupaten ataupun Provinsi yang yang dijabat perempuan Indonesia.

Melihat fenomena diatas, ada kenyataan yang menarik antara kiprah politik perempuan dengan laki-laki, ternyata keduanya mempunyai potensi yang sama, yakni sama-sama berpotensi baik dan tidak tertutup kemungkinan mempunyai potensi buruk. Sayangnya, stigma umum kerap mengatakan kalau potensi buruk lebih banyak kemungkinan terlakoni pada perempuan. Dan stigma ini semakin kuat ketika pentas politik Indonesia di tahun 2003 menampilkan politikus perempuan yang tidak seperti yang dibayangkan. Walau tidak semua seperti itu, tetapi pemandangan fenomenal itu bisa menguatkan stigma tidak enak (tidak baik) untuk kiprah politik kaum perempuan yang sesungguhnya mampu berbuat banyak untuk bangsa ini.

Sebagai contoh adalah seorang politikus perempuan (Ratu Balqis) yang diceritakan Al Quran dalam Surat An Naml ayat 32 - 35. Mencermati ayat tersebut, maka akan terlihat jelas bagaimana sosok Ratu Balqis seorang penguasa tertinggi Kerajaan Saba di negeri Yaman dalam membuat kebijakan politik untuk negeri yang dipimpinnya. Ia lebih mengedepankan musyawarah dengan bawahannya dibanding kepentingan pribadi, lebih menempuh jalan damai dibanding peperangan, serta lebih mementingkan kemaslahatan yang banyak bagi rakyat yang dipimpinnya. Itulah fakta sejarah yang ditampilkan Al Quran yang mengungkapkan bahwa pernah ada seorang politikus perempuan yang begitu piawai dalam mengelola jabatan politiknya dan begitu bijak dalam menelurkan kepentingan-kepentingan politiknya.

Ungkapan diatas bukan membanding-bandingkan antara peran politik perempuan dengan laki-laki. Apalagi menarik garis dikotomi antar keduanya karena Allah SWT menciptakan kedua jenis manusia bukan untuk saling menyalahkan, tapi justru sebagai mitra untuk saling melengkapi. Mitra suami dalam lingkungan keluarga, menjadi mitra kaum laki-laki di dalam lingkungan sosial kemasyarakatan.

Salah satu bukti hasil perjuangan kaum perempuan Indonesia saat ini adalah dengan keluarnya Undang-undang KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dan dengan disahkannya UU Pornografi dan Pornoaksi –meski masih pro dan kontra- dimana kedua UU tersebutbetul-betul melindungi hak-hak kaum perempuan. Ini menunjukan betapa kaum perempuan Indonesia telah begitu mendapat perhatian yang lebih dari pemerintah. UU KDRT melindungi perempuan dari sikap dzalim suami, dimana sepanjang tahun 2007 terjadi 146 kasus KDRT pada istri (Suara Merdeka, 12 Nov. 2008:13). Dan dengan adanya UU Pornografi dan Pornoaksi diharapkan semoga kaum perempuan tidak lagi menjadi komoditas yang diperjualbelikan pada beberapa jenis industri, akan tetapi justru dapat menjadi rambu-rambu bagi perempuan Indonesia dalam menumpahkan ekspresinya.

Dalam rangka menyongsong seratus tahun kebangkitan perempuan Indonesia, maka kaum perempuan Indonesia harus terus mengasah ketajaman intelektual dan mengerahkan segenap potensi yang dimiliki sehingga selain akan terus melahirkan karya-karya yang positif juga mampu bersaing dengan mitranya kaum laki-laki dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan di bumi pertiwi tercinta ini, tentu saja dengan tanpa meninggalkan kodratnya sebagai perempuan. Dan akhirnya, semoga hidayah dan taufik-Nya senantiasa menyertai semua aktivitas kita untuk mencapai ridho-Nya Amiin.