Mengapa yudas memanggil yesus dengan sebutan guru

Yudas Iskariot adalah salah satu dari dua belas murid Yesus. Yudas adalah nama Yunani dari Yehuda, nama yang dihormati oleh salah satu suku Israel. Mengenai ‘Iskariot’ pada nama Yudas, ada banyak penafsiran. Namun pada umumnya itu dikatikan dengan nama tempat; íš Qeriyōt berarti “laki-laki dari Keriot, sebuah kota di selatan Yudea” (Raymond Brown, The Gospel According to John, 298).

Yudas sosok terkenal karena Injil mencatat kisah pengkhianatannya terhadap Yesus gurunya. Dalam daftar nama para murid Yesus versi Sinoptik, pada nama Yudas ditambahkan keterangan ‘pengkhianat’ (Mrk 3:19; Mat 10: 4; Luk 6: 13-16). Penginjil Markus dan Matius dengan jelas menyebut Yudas sebagai orang yang ‘menyerahkan’ Yesus kepada para imam dan ahli-ahli taurat (Mrk 14: 43-45; Mat. 26: 47-49).

Yesus sendiri mengatakan: “Lebih baik kalau orang itu tidak pernah lahir” (Mrk 14: 21). Teks-teks tersebut menjadi dasar pendangan tradisional dalam Gereja bahwa Yudas adalah pelaku dosa besar: Ia mengkhianati Tuhan. Ia satu-satunya orang yang pasti masuk neraka. Dalam artikel ini, pandangan tradisional ini perlu dievaluasi. Tetapi sebelumnya akan dipaparkan dulu narasi biblisnya.

Markus, Injil tertua ini menunjukkan bahwa pengkhianatan oleh Yudas sudah diramalkan oleh Yesus pada saat perjamuan terakhir (Mrk 14:17), jadi Yudas juga ikut dalam Perjamu Akhir bersama Yesus. Pengkhianat bukanlah orang di luar kelompok Yesus, tetapi justru satu dari mereka yang paling dekat dengan Yesus dan ikut ambil bagian dalam perjamuan terakhir. Mendengar kata-kata Yesus itu para murid merasa sedih. Tampaknya, kata-kata Yesus ini menggemakan apa yang diungkapkan pemazmur: “Bahkan sahabat karibku yang kupercayai, yang makan rotiku, telah mengangkat tumitnya terhadap aku” (Mzm 41:9).

Yesus sendiri menyatakan bahwa pengkhianatan ini akan mendatangkan celaka bagi si pelaku: “Anak Manusia memang akan pergi sesuai dengan yang ada tertulis tentang Dia, akan tetapi celakalah orang yang olehnya Anak Manusia itu diserahkan. Adalah lebih baik bagi orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan” (Mrk 14:21). Perkataan Yesus ini dapat dimaknai sebagai peringatan bagi si pengkhianat (Garland, A Theology of Mark’s Gospel, 166).

Perlu diperhatikan bahwa dalam ayat tersebut Yesus tidak menyebut secara eksplist nama Yudas sebagai pengkhianat. Yesus juga tidak mengutuk Yudas. Ia malah menegaskan bahwa pengkhianatan Yudas termasuk rencana Allah. Tetapi tindakan Yudas jelas dicela. Tidak dikatakan apakah dia juga ikut mengajukan pertanyaan “Bukan aku, ya Tuhan?” (ay 19). Tidak dikatakan pula bahwa Yudas meninggalkan perjamuan sebelum waktunya (Yoh 13: 26-30). Penginjil Markus hendak menegaskan bahwa perjamuan Paskah seolah-olah dinodai hadirnya Yudas pengkhianat Yesus (Bdk. Stefan Leks, Tafsir Injil Markus, 438).

Di taman Getsemani Yudas menyerahkan Yesus kepada otoritas Yahudi dengan sebuah tanda, yaitu ciuman (Mrk 14:44-45). Karena rombongan yang dipimpin Yudas tidak mengenal Yesus, maka sebelum beraksi, Yudas memberi sebuah tanda. Ia memilih tanda yang ‘manis’ sekaligus ‘mematikan’. Setiap murid seorang guru Yahudi biasa menyapa pemimpinnya lalu mengecup pipinya. Yudas juga menyapa Yesus dengan sebutan Rabi. Sapaan hormat ini tercemar oleh motivasi jahat, maka ciuman itu masuk dalam sejarah sebagai lambang pengkhinatan. Yudas tampaknya berotak cemerlang sekaligus busuk (Bdk. Stefan Leks, Tafsir Injil Markus, 455).

Penginjil Matius mengikuti kisah Yudas dalam Injil Markus. Hanya saja dalam Injil Matius dinyatakan jumlah yang pasti uang yang dibayarkan oleh imam-imam kepala kepada Yudas, yaitu tiga puluh uang perak. Jumlah ini merupakan harga seorang budak (Kel 21:32) atau upah yang diterima seorang penggembala (Zak 11:13). Agak berbeda dengan Markus, Matius menceritakan bagaimana Yudas kemudian menyesal dan mengakui dosanya, mengembalikan uangnya ke Bait Allah, dan akhirnya menggantung diri (Mat 27: 3-10).

bagi Matius, Yesus tidak hanya mengetahui bahwa Ia akan diserahkan, tetapi juga siapa yang menyerahkan Dia (Bdk. Cathercole, The Gospel of Judas, 3-31): “Dia yang bersama-sama dengan Aku mencelupkan tangannya ke dalam pinggan ini, dialah yang akan menyerahkan Aku. Anak Manusia memang akan pergi sesuai dengan yang ada tertulis tentang Dia, akan tetapi celakalah orang yang olehnya Anak Manusia itu diserahkan. Adalah lebih baik bagi orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan. Yudas, yang hendak menyerahkan Dia itu menjawab, katanya: ‘Bukan aku, ya Rabi?’ Kata Yesus kepadanya: ‘Engkau telah mengatakannya’ ” (Mat 26: 21-25).

Jawaban Yesus Engkau telah mengatakannya bernada afirmatif, artinya pertanyaan Yudas kepada Yesus, Bukan aku, ya Rabi?, justru mengekspresikan tujuan tindakannya. Dialog singat antara Yesus dan Yudas versi Matius ini memberi indikasi bahwa Yudas bukan tidak sadar akan niat jahatnya. Seperti Markus, Matius tidak mengatakan bahwa Yudas meninggalkan perjamuan (Yoh 13: 30). Kiranya Yudas meninggalkan kelompok para murid setelah mencium dan menyerahkan Yesus di taman (Bdk. R. T. France, The Gospel of Matthew, 990-991).

Tindakan pengkhianatan Yudas menjadi semakin jelas di taman, ketika ia memberi salam dan mencium Yesus: “Orang yang menyerahkan Dia telah memberitahukan tanda ini kepada mereka: “Orang yang akan kucium, itulah Dia, tangkaplah Dia. Dan segera ia maju mendapatkan Yesus dan berkata: ‘Salam Rabi’, lalu mencium Dia. Tetapi Yesus berkata kepadanya: “Hai teman, untuk itukah engkau datang?” (Mat. 26: 48-50).

Kata-kata Yesus ‘Hai teman, untuk itukah engkau datang?’ menimbulkan penafsiran yang kabur bahkan berbeda: bisa interogatif, namun bisa imperatif. Ada yang menafsirkan bahwa kata-kata Yesus itu justru sebuah perintah: ‘Friend, do what you have come for!’/ ‘do what you have come to do (Bdk. France, The Gospel of Matthew, 1012). Jadi secara ekstrim, ada yang melihat Yudas sungguh sebagai pengkhianat, tetapi sebaliknya yang lain melihatnya sebagai murid dan sahabat yang dekat dengan Yesus (Robinson, The Secred of Judas, 42).

Lukas. Teks penting ialah Luk 22:3-6: “Maka masuklah Iblis ke dalam Yudas, yang bernama Iskariot, seorang dari kedua belas murid itu. Lalu pergilah Yudas kepada imam-imam kepala dan kepala-kepala pengawal Bait Allah dan berunding dengan mereka, bagaimana ia dapat menyerahkan Yesus kepada mereka. Mereka sangat gembira dan bermufakat untuk memberikan sejumlah uang kepadanya. Ia menyetujuinya, dan mulai dari waktu itu ia mencari kesempatan yang baik untuk menyerahkan Yesus kepada mereka tanpa setahu orang banyak”.

Teks ini menampilkan tindakan aktif dan sadar dari Yudas: Ia pergi kepada imam-imam, berunding bersama mereka, menyetujui permufakatan menangkap Yesus, mencari kesempatan yang baik. Semua itu ia lakukan tanpa diketahui banyak orang, tentu karena ia sadar itu bukan sebuah perbuatan baik. Apa yang terjadi ini sebenarnya pemenuhan perkataan Iblis sebelumnya ketika Ia gagal mencobai Yesus di padang gurun. “Sesudah Iblis mengakhiri semua pencobaan itu, ia mundur dari pada-Nya dan menunggu waktu yang baik” (Luk 4:13). Inilah waktu yang baik itu. Iblis memakai Yudas untuk mengalahkan Yesus sekali lagi.

Yesus tahu bahwa Iblis berada di balik pengkhianatan ini. Lantas Dia menyatakan bahwa mereka yang terlibat dalam penangkapan-Nya, para pemimpin Yahudi dan Yudas berada di bawah kuasa kegelapan (Luk 22:53). Berada di bawah kuasa kegelapan berarti hidup dalam kejahatan, dikendalikan oleh hasrat dosa.

Kisah Para Rasul mencatat bahwa Yudas mati secara tragis, perutnya terbelah dan isinya tertumpah keluar di tanah yang dibeli dari upah kejahatannya (Kis 1: 18). Jadi perihal akhir hidup Yudas terdapat dua versi. Mana yang tepat: Yudas mati karena menggantung diri (Matius) atau dengan perut terbelah (KPR)? Pertanyaan ini kiranya kurang penting. Sebab Teks Kisah para Rasul menonjolkan pergantian peran Yudas dalam komunitas pelayanan: Dahulu ia salah satu ‘yang mengambil bagian dalam pelayanan’ tetapi kemudian ‘menjadi pemimpin orang-orang yang menangkap Yesus’. Karena itu harus ada orang lain yang menggantikannya (Bdk. Fitzmyer, The Acts of the Apostles, 219-220). Akhir kisah kemuridan Yudas ialah putus asa, bukan niat untuk bertobat.

Teks tersebut menunjukkan bagaimana komunitas para Rasul dipertahankan oleh Tuhan sendiri melalui doa dan persekutuan jemaat. Sikap Yudas mewakili kecenderungan manusia menyalahgunakan kepercayaan dari Tuhan dengan memilih jalannya sendiri (bdk 1: 25). Namun sikap manusia itu tidak membatalkan rencana Tuhan untuk terus memelihara jemaat-Nya (Bdk. Fitzmyer, The Acts of the Apostles, 221).

Mengapa yudas memanggil yesus dengan sebutan guru
Kisah Para Rasul mencatat bahwa Yudas Iskariot mati secara tragis, perutnya terbelah dan isinya tertumpah keluar di tanah yang dibeli dari upah kejahatannya. (Foto: Ilustrasi)

Dalam Injil Yohanes, Yesus menegaskan bahwa Ia sendirilah yang memilih dua belas murid, namun salah satu di antaranya adalah Iblis: “Bukankah Aku sendiri yang telah memilih kamu yang dua belas ini? Namun seorang di antaramu adalah Iblis” (6: 70). Penginjil memberi keterangan bahwa Iblis yang dimaksud Yesus ialah Yudas, anak Simon Iskariot; sebab dialah yang akan menyerahkan Yesus, dia seorang di antara kedua belas murid itu” (ay 71).

Kata-kata Yesus tersebut memberi kesan bahwa pengkhianatan Yudas itu tidak terhindarkan. Apakah dengan demikian Yudas tidak bebas. Pakar Injil Yohanes, Raymond Brown menolak kesimpulan seperti itu. Baginya, “Judas’ betrayal has an air of inevitability; this is no a denial of free will but reflects the inevetability of the plan of salvation” (The Gospel According to John, 229).

Reputasi buruk Yudas memang telah terlihat dari sikapnya sebagai bendahara yang tidak jujur. Ia disebut pencuri karena sering mengambil uang yang disimpan dalam kas kelompok (Yoh 12:6). Yudas lebih tertarik pada uang, bukan prihatian pada orang misikin.

Mirip dengan Lukas, Yohanes menampilkan Yudas yang diperalat Iblis. Julukan ‘iblis’ yang dalam tradisi Sinoptik ditujukan kepada Petrus (Mrk 8: 33; Mat 16: 23) di sini dialihkan ke Yudas. Yudas adalah iblis, karena ia ‘kerasukan iblis’ dan ‘iblis membisikkan rencana ke dalam hatinya’ (Yoh 13: 3, 27). Dalam bab 13, secara ironi Yohanes menunjuk Yudas sebagai murid ‘yang menyerahakan Dia’ (11), ‘seorang yang sangat dekat dengan Yesus – makan roti-Ku’ (18), ‘seorang di antara kamu’ (21), ‘yang kepadanya Aku akan memberikan roti’ (26) [bdk. M. Harun, Yohanes Injil Cinta Kasih, 142, 204). Dalam tradisi Yahudi, orang yang diundang untuk makan sehidangan adalah orang dekat, sahabat atau tamu terhormat. Penginjil menampilkan semacam kontradiksi dalam diri Yudas: Ia diperlakukan oleh Yesus seperti sahabat dekat, namun Ia menyalahgunakan kebaikan itu.

Dalam Injil Yohanes, pengkhianatan Yudas yang terjadi pada waktu malam (13:30) mengandung kiasan bahwa Yudas sebenarnya sedang di bawah kuasa kegelapan, yaitu Iblis sendiri. Yudas berasal dari kegelapan dan gagal untuk tinggal dalam terang. Dia bergabung dengan para pemimpin Yahudi yang lebih memilih kegelapan (Yoh 9:39-41). Yesus adalah terang yang datang ke dunia yang tidak bisa dikuasai oleh kegelapan (Yoh 1:5). Yudas adalah wajah dari mereka yang menolak untuk percaya pada Yesus (Yoh 12:45; 14:9). Lebih dari seorang pengkhianat, Yudas adalah gambaran mereka yang tidak percaya.

Selain teks-teks yang telah ditunjukkan di atas, menarik untuk dicatat bahwa kesaksain tertua tentang kebangkitan Yesus terkesan sebagai tradisi yang tidak mengenal narasi pengkhianatan dari Yudas (Lindemann, “The Resurrection of Jesus”, 558-561). Rasul Paulus memberi kesaksian bahwa Yesus yang telah bangkit menampakkan diri “kepada Kefas dan kemudian kepada kedua belas murid-Nya” (bdk. 1 Kor 15: 3-5).

Sosok dan kisah Yudas dalam Injil memunculkan pertanyaan-pertanyaan. Jika memang kehendak Allah untuk menyelamatkan banyak orang, apakah kehadiran Yudas merupakan bagian dari skenario yang direncanakan Allah? Pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan sulit, sesulit pertanyaan-pertanyaan ini: Mengapa Allah membunuh anak-anak sulung Mesir, mengapa Allah menyuruh Abraham mengurbankan anaknya Ishak, dan seterusnya. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut (dan masih banyak lagi) kiranya hanya dapat ditemukan pada logika Allah. Kesaksian Injil yang paling utama ialah bahwa kasih Allah tidak terbatas.

Apakah Yudas menyesali perbuatannya? Penginjil Matius mengisahkan dengan jelas bahwa Yudas memang kemudian menyesal dan mengakui perbuatanannya sebagai dosa. Ia mengembalikan uang yang diberikan kepadanya, dan akhirnya menggantung diri. “Pada waktu Yudas, yang menyerahkan Dia, melihat, bahwa Yesus telah dijatuhi hukuman mati, menyesallah ia. Lalu ia mengembalikan uang yang tiga puluh perak itu kepada imam-imam kepala dan tua-tua, dan berkata: ‘Aku telah berdosa karena menyerahkan darah orang yang tak bersalah’ (bdk. Mat 27: 3-5).

Menarik bahwa Yudas sendiri mengakui di hadapan publik bahwa tindakannya adalah dosa. Ia tidak menuduh orang lain, tidak membela diri. Ia sadar bahwa orang yang ia jual itu tidak bersalah. Menggantungkan diri merupakan ungkapan penyeselan yang mendalam (Steve Brown, Jesus Drank, Judas Repented, 58), meskipun itu bukan tindakan yang baik secara moral maupun spiritual. Sedangakan tindakan mengembalikan uang mengingatkan kita akan bentuk penyesalan Zakheus pemungut cukai.

Terkait akhir kisah keuridan Yudas, menarik untuk diperhatikan bahwa murid sekaliber Petrus pun telah menyangkal Yesus sampai tiga kali: layak disebut pengkhinat juga. Namun itu bukan akhir dari ziarah kemuridannya: setelah tahu kesalahannya, ia berusaha bangun kembali untuk menjadi murid Yesus, berlari ke kubur Yesus, dan kemudian menjadi Rasul yang hebat yang memberi kesaksian tantang Kristus.

Apakah Yudas bertindak bebas? Jelas bahwa Yudas merancang tindakannya. Tampaknya ia tidak menduga bahwa pengkhianatannya berujung pada kematian Yesus. Seperti mentalitas para murid pada umumnya, sangat mungkin ia mengharapkan bahwa Yesus bangkit melawan musuh-musuh-Nya. Ternyata harapan Yudas itu tidak terjadi pada Yesus. Yang menarik Yudas bukan hanya uang, tetapi juga kekuasaan. Sekiranya Yesus bangkit sebagai mesias politik, Yudas akan mendapat bagian kekuasaan pula. Tetapi tentu tidak fair orang menuduh Yudas seorang diri. Ia hidup dalam mentalitas sosial tertentu, dan berada dalam pengaruh para imam yang bersekongkol membunuh Yesus. Dosa pribadi sering kali terjadi atau sulit dihindari karena pengaruh situasi sosial.

Dalam Teologi berlaku pandangan bahwa prinsip yang niscaya tidak bergantung pada prinsip yang terbatas. Keselamatan Allah adalah niscaya, sebaliknya tindakan Yudas bersifat terbatas (ia tidak harus bertindak jahat). Artinya tindakan Yudas bukan prasyarat bagi tindakan Allah. Sebab, Allah mewujudkan keselamatan semata-mata karena kasih-Nya yang bebas. Seandainya Yudas tidak berkhianat (dan dahulu Adam tidak berdosa) pun, Allah tetap mewujudkan karya keselamatan seturut cara-Nya sendiri – cara yang tentu melampaui logika manusia. Pandangan seperti ini, dikemukakan oleh teolog Fransiskan Abad Pertengahan Yohanes Duns Scotus.

Dengan kata lain: “Tanpa Yudas pun, pimpinan bangsa Yahudi yang mau membunuh Yesus tentu dapat menangkap Yesus. […] Tanpa Yudas pun mereka akan menemukan-Nya. Peran Yudas terbatas pada menunjukkan tempat Yesus di malam hari. Oleh karena itu, peran Yudas bukan peran kunci”. (Franz Magnis Suseno, Menggereja di Indonesia, 107).

Pemahaman akan peran Yudas ini membantu kita memahami bagaimana cara Allah sendiri bertindak bagi kita. Keselamatan dari Allah yang terwujud dalam diri Yesus, juga dalam peristiwa salib, tidak bergantung pada disposisi manusia: “Tentu Yesus, ya Allah, dapat menebus kita, mengampuni dosa-dosa kita dan membuka keselamatan bagi kita dengan cara yang lain daripada dengan mati di salib. Bahkan, tanpa kematian Yesus, Allah dapat mengampuni segala dosa kita […]. Sama sekali tidak masuk akal bahwa tanpa pengkhianatan Yudas, Allah tidak dapat menebus manusia” (Franz Magnis Suseno, Menggereja di Indonesia, 107).

Apakah Yudas diampuni Yesus (diselamatkan)? Tidak mudah menjawab pertanyaan itu. Namun doa Yesus, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk 23:34), kiranya berlaku pula bagi seorang Yudas. Dan pertanyaan serupa dapat diajukan juga kepada kita sekarang: Adakah sesuatu yang Yesus berikan kepada kita, yang setara atau bahkan lebih besar dari yang Ia berikan kepada Yudas? Steve Brown menjawab dengan lugas: “I can think of none, other than my own sin” (Jesus Drank, Judas Repented, 47).

Dengan pertanyaan lain, apakah Yudas pasti masuk neraka? Dalam pandangan tradisional, berdasarkan teks-teks Perjanjian Baru tentang pengkhianatan Yudas, diyakini bahwa Yudas adalah orang yang pasti masuk neraka. Lagi pula, setelah mengetahui kesalahannya, bukannya bertobat, ia malah membunuh diri. “Yudas memang seorang penjahat, seorang pendosa berat. Tetapi itu tidak berarti bahwa Yesus tidak mencintainya dan tidak menyelamatkannya. Di situ ada satu hal yang perlu kita ingat: Kita pun pendosa. Barangkali tidak sedramatik Yudas […]. Tetapi Yesus amat keras memperingatkan kit agar jangan menganggap diri lebih baik daripada orang lain, misalnya dari Yudas” (Franz Magnis Suseno, Menggereja di Indonesia, 112-113).