Apa yang dilakukan Ki Hajar Dewantara di bidang politik

Apa yang dilakukan Ki Hajar Dewantara di bidang politik

Apa yang dilakukan Ki Hajar Dewantara di bidang politik
Lihat Foto

Dok. KOMPAS

Ki Hadjar Dewantara

KOMPAS.com - Ki Hajar Dewantara dikenal sebagai tokoh nasionalis yang memperjuangkan bangsa Indonesia, khususnya dalam bidang pendidikan.

Bukti fisik sejarah perjuangan Ki Hajar Dewantara dalam membela kepentingan bangsa dan negara yang sampai sekarang masih ada adalah adanya sekolah Taman Siswa di Yogyakarta.

Pada masa perjuangan, Ki Hajar Dewantara juga mendirikan organisasi Indische Partij.

Berikut ini peran Ki Hajar Dewantara dalam memperjuangan kemerdekaan Indonesia.

Bergabung dalam Budi Utomo

Pada 20 Mei 1908, dibentuk organisasi sosial dan politik yang bernama Budi Utomo. Organisasi ini bertujuan untuk menyadarkan masyarakat Indonesia dan berusaha untuk meningkatkan kemajuan penghidupan bangsa dengan cara mencerdaskan rakyatnya.

Tujuan tersebut lantas menarik perhatian beberapa tokoh terkemuka, salah satunya Ki Hajar Dewantara. 

Dalam organisasi Budi Utomo, Ki Hajar Dewantara berperan sebagai tokoh propaganda untuk menyadarkan masyarakat pribumi mengenai pentingnya semangat kebersamaan dan persatuan sebagai bangsa Indonesia. 

Baca juga: Awal Mula dan Cita-Cita Berdirinya Budi Utomo

Mendirikan Indische Partij

Awalnya, Ki Hajar Dewantara hanya seorang penulis dan jurnalis yang kemudian menjadi aktivis kebangsaan.

Ia diketahui tergabung dalam tokoh Tiga Serangkai bersama Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo yang mendirikan sebuah organisasi bernama Indische Partij (IP).

Apa yang dilakukan Ki Hajar Dewantara di bidang politik

Apa yang dilakukan Ki Hajar Dewantara di bidang politik
Lihat Foto

KOMPAS

Meskipun keadaan Jakarta genting disebabkan oleh Terror Belanda/Nica, Sekolah Taman Siswa di Jl. Garuda tetap dibuka (Juni 1946)

Berawal dari mendirikan IP pada 25 Desember 1912, Ki Hajar Dewantara menyadari bahwa jalan untuk melawan kolonialisme dimulai dari pendidikan.

Baca juga: Indische Partij: Pendiri, Latar Belakang, Program Kerja, dan Penolakan

   Politik hakekatnya adalah memimpin rakyat. Sejak kuliah di STOVIA Ki Hadjar Dewantara mulai berjuang di kalangan politik Beliau masuk menjadi anggota Boedi Oetomo, yaitu Perkumpulan Pergerakan Kebangsaan yang dipimpin oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Dr. Soetomo pada tahun 1908. Ki Hadjar Dewantara  ditugasi sebagai bagian propaganda.

   Setelah keluar dari STOVIA tahun 1912 Ki Hadjar Dewantara mendirikan indische Partij. Namun karena partainya bertujuan Indonesia Merdeka, maka tidak memperoleh izin dari pemerintah Hindia Belanda. Selanjutnya beliau menjadi ketua Sarikat Islam Cabang Bandung.

  Pada tahun 1913 Ki Hadjar Dewantara bersama Dr. Cipto Mangunkusumo, dan Dr. Douwes Dekker (Tiga Serangkai) mendirikan Komite Bumiputera. Ketiganya bermaksud memprotes rencana perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda secara besar- besaran di Indonesia dengan memungut biaya dari rakyat secara paksa Komite juga menuntut diadakannya Parlemen di Indonesia.

  Berturut-turut Tiga Serangkai itu melancarkan kritik yang pedas kepada Pemerintah Belanda berupa karangan yang dimuat dimajalah De Express. Ki Hadjar Dewantara menulis kritik dengan judul “Als Ik Eens Nederlander Was” (Andaikata Aku Orang Belanda).

  Dalam tulisan itu diungkapkan dalam bahasa Belanda yang secara singkat isinya : Andaikata aku orang Belanda, aku akan merasa malu kalau untuk merayakan 100 tahun kemerdekaan bangsaku harus memungut biaya secara paksa dari rakyat jajahanku yang bodoh, miskin dan terbelakang.

  Karena tulisannya itu Ki Hadjar Dewantara pada tanggl 18 Agustus 1913 ditangkap dan dipenjara (diinternir) di Bangka. Atas permintaan dan dengan kesanggupan untuk membiayai sendiri, Ki Hadjar Dewantara diasingkan (dieksternir) ke Nederland mulai 6 September 1913 hingga 6 September 1919.

  Pada tahun 1942 (masa pendudukan Jepang) Ki Hadjar Dewantara bersama Bung Karno, Bung Hatta dan KH. Moh. Mansyur (Empat Serangkai) membentuk Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA). Melalui Putera itu Empat Serangkai mengumpulkan pemuda-pemuda Indonesia untuk berlatih perang dengan menggunakan fasilitas pemerintah Jepang di Indonesia. Melalui latihan itu akhirnya PUTERA dimanfaatkan untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.

  Pada 29 April 1945 Ki Hadjar Dewantara diangkat menjadi Anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang kemudian menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Melalui Badan itu Ki Hadjar Dewantara dapat meyalurkan jiwa, semangat dan nilai-nilainya di dalam ingin membela rakyat menuju kemerdekaan. BPUPKI dan PPKI berhasil menyusun Pancasila, UUD 1945, dan Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

  Setelah Indonesia merdeka, Ki Hadjar Dewantara diangkat sebagai Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan yang pertama (19 Agustus 1945 – 15 November 1945). Diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung RI (23 Maret 1947). Diangkat sebagai anggota Majelis Pertimbangan Pengajaran Agama Islam di Sekolah Rakyat (Dasar). Tahun 1950 (17 Agustus) menjadi anggota DPR RIS, kemudian DPRS RI sampai 1 April 1954. (mengundurkan  diri)

  Melalui perjuangan di bidang politik, Ki Hadjar Dewantara dapat menanamkan konsepsinya, antara lain tentang ekonomi kerakyatan, hubungan kekeluargaan, demokrasi dan pimpinan kebijaksanaan, di samping wawasan Ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan dan kebudayaan. Atas jasa-jasanya dalam perjuangan politik Ki Hadjar Dewantara  mendapat beberapa penghargaan :

  1. Tanggal 8 Maret 1955, ditetapkan Pemerintah RI sebagai Perintis Kemerdekaan
  2. Pada saat wafatnya 26 April 1959, dimakamkan dengan  Upacara Kenegaraan sebagai Perwira Tinggi Anumerta
  3. Pada tanggal 28 November 1959, ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional dengan mendapat anugerah Rumah Pahlawan
  4. Pada tanggal 17 Agustus 1960, dianugerahi Bintang Maha Putera Kelas I dan tanggal 20 Mei 1961 menerima tanda kehormatan Satya Lencana Kemerdekaan

Sumber : PENDIDIKAN KETAMANSISWAAAN JILID I Disusun oleh Ki Soenarno Hadiwijoyo Hal.9-11

Dalam rangka memperingati 109 tahun Kebangkitan Nasional, Musium Kebangkitan Nasional menerbitkan buku “Ki Hajar Dewantara - Pemikiran dan Perjuangannya.” Sesuai dengan judulnya, buku ini memuat pemikiran dan perjuangan Ki Hajar Dewantara. Pemikiran Ki Hajar Dewantara tidak hanya di bidang pendidikan, tetapi juga di bidang kebangkitan nasional. Buku ini menyuguhkan dengan sangat baik perkembangan pemikirian Ki Hajar Dewantara dalam hal politik kebangkitan nasional dan tentang pendidikan yang Indonesia. Pemikiran kebangkitan nasional dan pendidikan ini tumbuh selaras dengan perjuangannya. Ki Hajar Dewantara lahir pada tanggal 2 Mei 1889 di Jogjakarta dengan nama Suwardi Suryaningrat. Beliau adalah kerabat Paku Alam. Itulah sebabnya beliau mengenyam pendidikan sekolah Belanda, bahkan sampai ke STOVIA, sekolah untuk para calon dokter Jawa (hal 10). Namun Ki Hajar Dewantara tidak menamatkan pendidikannya tersebut. Lingkungan keluarganya, yaitu Pakualaman sangat berpengaruh terhadap cara berpikir dan bertindak Suwardi Suryaningrat. Lingkungan Pakualaman adalah lingkungan yang sudah terbiasa berpikir maju, terlibat dalam organisasi-organisasi, seperi Budi Utomo dan pendirian sekolah-sekolah untuk rakyat. Ki Hajar Dewantara berkarier di dunia jurnalisme. Tulisan-tulisannya sangat tajam tetapi halus. Ia memperjuangkan anti diskriminasi yang dipraktikkan oleh kaum penjajah di Hindia Belanda. Bahkan saat sudah dalam pembuangan di Belanda, beliau masih sangat aktif menjadi jurnalis. Ki Hajar Dewantara mengupayakan bagaimana caranya orang-orang bumiputra yang terpinggirkan ini mendapat kesempatan untuk mendapat kesetaraan secara sosial-politik dalam masyarakat kolonial (hal 13). Ki Hajar Dewantara tidak hanya berjuang melalui politik, tetapi juga melalui pendekatan kultural. Ki Hajar Dewantara menjadi perhatian pemerintah kolonial secara mendalam saat beliau menerbitkan artikel berjudul “Seandainya Aku Seorang Belanda.” Artikel ini secara keras mengkritik pemerintah kolonial yang akan memperingati kemerdekaan Belanda dari Perancis dimana biayanya dibebankan kepada rakyat. Akibat dari artikel tersebut, Tiga Serangkai yang mendirikan Indische Partij ditangkap dan diasingkan ke Belanda (hal. 18). Dalam pembuangan itulah Ki Hajar Dewantara mengalami pematangan perjuangan politik. Suasana politik di era Ki Hajar Dewantara adalah suasana dimana partisipasi politik orang Bumi Putera dibatasi. Itulah sebabnya perjuangan politik orang Jawa lebih banyak melalui jalur perjuangan kultural, seperti Organisasi Budi Utomo dan berdirinya sekolah-sekolah untuk orang Jawa (hal. 15). Kiprah Ki Hajar Dewantara di bidang perjuangan nasional bermula dari Organisasi Budi Utomo. Namun saat kesempatan berpolitik secara aktif terbuka, Ki Hajar Dewantara segera memanfaatkannya. Ia bergabung dengan Douwes Dekker dan Tjipto Mangoennkoesoemo mendirikan Indische Partij. Meski partai ini tidak mendapatkan ijin dari pemerintah kolonial dan akhirnya mati, namun berdirinya partai ini telah membuat tonggak nasionalis di Hindia Belanda (hal. 16). IP telah membangkitkan semangat kebangsaan, termasuk kepada organisasi Syarekat Islam. Gagasan modernism dan reformasi Islam yang muncul di Universitas Al-Azhar di Kairo bertemu dengan semangat kebangsaan yang dipicu oleh Tiga Serangkai. Saat dibuang ke Belanda gagasan perjuangan politik dan pendidikan Ki Hajar Dewantara matang. Profesinya sebagai jurnalis membuat ia memahami apa yang sedang terjadi di Negeri Belanda. Ia terus berhubungan dengan situasi politik Belanda. Saat pembuangan di Belanda juga dimanfaatkan oleh Ki hajar Dewantara untuk mempelajari sistem pendidikan yang baik. Keluarga Ki Hajar Dewantara tidak mendapatkan dukungan keuangan yang cukup saat berada di Belanda. Untuk menambah penghasilan Sutartinak, istri Ki Hajar Dewantara mengajar di sebuah taman kanak-kanak. Diilhami oleh profesi istrinya sebagai guru, Ki Hajar Dewantaramengambil kuliah singkat tentang pendidikan (hal. 55). Bekal ilmu dari kuliah inilah yang kemudian membawa Ki Hajar Dewantara bisa mendirikan Taman Siswa yang sangat bagus. Sementara gerakan nasionalisme terus bertumbuh, Ki Hajar Dewantara membangun gerakan kultural dengan mendirikan Taman Siswa (1922). Meski sudah membangun gerakan kultural melalui Taman Siswa, kiprah Ki Hajar Dewantara di dunia gerakan tidak berhenti. Beliau ikut terlibat dalam penyelenggaraan Sumpah Pemuda (1928). Bisa disimpulkan bahwa perjuangan nasionalisme Ki Hajar Dewantara adalah melalui gerakan kultural dan gerakan politis secara bersamaan. Perkembangan persekolahan swasta untuk orang Bumi Putra dimulai sejak tahun 1920, bersamaan dengan munculnya politik etik Belanda. Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa adalah sebagai alat mobilisasi politik dan sekaligus sebagai penyejahtera umat (hal. 33). Ia membangun persekolahan yang beda sama sekali dengan persekolahan kolonial. Menurut Ki Hajar Dewantara persekolahan yang cocok untuk bangsa timur adalah persekolahan yang humanis, kerakyatan, dan Kebangsaan (hal. 34). Untuk mewujudkan hal tersebut, perilaku guru harus Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Hubungan guru dan murid harus seperti hubungan dalam keluarga. Proses belajar harus terjadi sepanjang hari dan sepanjang hayat. Namun upaya pendidikan Bumi Putera ini tidaklah mulus. Belanda berupaya menghalangi bertumbuhnya persekolahan Bumi Putera yang sejalan dengan berkembangnya nasionalisme. Itulah sebabnya pada tahun 1932, Pemerintah Kolonial mengeluarkan Undang-Undang “Ordonansi Sekolah Liar” atau “Onderwijs Ordonantie” disingkat OO 1932, dimuat dalam Staatblad 1932 No. 494 (hal. 165). Ki hajar Dewantara tidak tinggal diam. Beliau melawan secara politis sampai akhirnya penerapan undang-undang ini ditunda. Kiprahnya dalam perjuangan nasional dan pendidikan membuat Ki Hajar Dewantara diberikan jabatan Menteri Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan pada kabinet pertama Republik Indonesia yang disusun oleh Sukarno dan Hatta.

Sudah terbukti bahwa Ki Hajar Dewantara adalah pejuang nasionalisme Indonesia sekaligus pelopor pendidikan nasional Indonesia. Sudah selayaknya hari lahir beliau diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.