Apa saja yang dapat mewujudkan Indonesia emas tersebut brainly

A.Pengantar

Pada tahun 2045, Kemerdekaan Indonesia akan berusia 100 tahun. Ketika telah genap mencapai usia 100 tahun itu, bangsa Indonesia diharapkan menjadi bangsa yang sudah maju, makmur, modern dan madani. Inilah yang selanjutnya dikenal sebagai tahun generasi emas. Dalam dokumen Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang disusun oleh Menteri Kordinator Perekonomian, dicangankan, bahwa pada tahun 2015 Indonesia telah menjadi negara mandiri, maju, adil, dan makmur yang ditandai dengan pendapatan perkapita sekitar 15.000 dollar AS atau setara dengan  Rp. 180.000.000, (Seratus delapan puluh juta rupiah) per-tahun atau sekitar 15.000,-/per-bulan. Pada saat itu, Indonesia diharapkan sudah menjadi kekuatan ekonomi 12 besar dunia. Lebih lanjut pada tahun 2045, Indonesia diproyeksikan menjadi satu dari tujuh kekuatan ekonomi di dunia dengan pendapat perkapita sekitar 47.000 dollar atau sekitar Rp. 562.000.000,- (Lima ratus enam puluh dua juta) per-tahun, atau sekitar 47.000,-/per-bulan, atau sekitar Rp.1.600.- (satu juta enam ratus ribu rupiah) perhari. Sebagai negara maju, dalam dokumen MP3EI disebutkan, bahwa yang dimaksud dengan negara maju adalah negara yang tingkat pertumbuhan ekonominya positif dan tingkat inflasinya menurun. Dengan pendapatan in com per-kapita yang demikian itu, maka Indonesia sebagai negara makmur dan modern akan dapat dicapai.

Namun demikian, pada tahun emas itu, Indonesia bukan hanya menjadi negara yang maju, makmur dan modern secara ekonomi, namun juga menjadi masyarakat madani. Yaitu suatu masyarakat yang makin berbudaya dan beradap yang didasarkan pada nilai-nilai agama, falsafat, nilai-nilai luhur, jati diri dan budaya Indonesia. Dengan ciri madani ini, maka kemajuan, kemakmuran dan kemodernan yang dicapai bangsa Indonesia ini, akan memiliki jati diri dan karakter yang Indonesia, dan berbeda dengan kemajuan, kemakmuran dan kemodern sebagaimana yang dicapai Barat, yang hanya menekankan aspek ekonomi.

Adanya keinginan mewujudkan Indonesia emas di tahun 2045 itu patut disambut dengan baik, dengan beberapa alasan. Pertama, adanya pencanangan Indonesia emas ini akan menjadi pemicu lahirnya motivasi dan komitmen yang kuat dari generasi sekarang untuk benar-benar berusaha mewujudkannya. Kedua, adanya pencanangan Indonesia emas ini akan menjadi fokus perhatian, agar segala aktivitas yang dilakukan terarah pada cita-cita yang luhur itu. Ketiga, adanya Indonesia emas mengingatkan kita agar menjadi bangsa yang besar sebagaimana yang pernah dicapai generasi terdahulu. Sejarah mencatat, bahwa bangsa Indonesia pernah mengalami dua milenium. Pada milinium pertama, bangsa kita berhasil membangun sebuah Candi yang sekarang menjadi Candi terbesar dan terindah di dunia, yaitu Candi Borobudur. Selanjutnya pada milenium kedua, rakyat Indonesia di bawah  naungan Kerajaan Majapahit berhasil menguasai dan menjadi pelaku penting dalam percaturan dunia, sampai akhirnya Belanda datang menjajah dan menguasai bangsa ini sampai 350 tahun lamanya. Mereka menjadi tuan di tanah Nusantara. Seluruh rakyat Indonesia dipaksa harus patuh dan tunduk pada keinginan penjajah. Hampir seluruh kerajaan Islam tunduk, dan tidak dapat melawan. Demikian pula masuknya Jepang yang menjajah negara Indonesia dengan kekerasan dan tidak mengenal belas kasihan. Pada saat itu, bangsa Indonesia menjadi terbelakang, tidak dapat berkembang. Mereka hanya sebatas menjadi buruh.

Pendidikan selama ini diposisikan sebagai sarana yang paling strategis untuk menyiapkan sumber daya manusia agar siap dalam mewujudkan Indonesia emas yang akan datang. Hal ini disebabkan, karena dunia pendidikanlah yang secara langsung berhadapan dengan tugas mempersiapkan manusia yang demikian itu. Di antara komponen pendidikan yang paling berpengaruh dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang demikian itu adalah proses pembelajaran (learning process).  Pertanyaannya adalah model pembelajaran yang bagaimanakah yang dapat menyiapkan manusia memasuki era keemasan tersebut?

Makalah ini akan menjawab masalah tersebut dengan terlebih dahulu mengemukakan beberapa kendala yang perlu dipecahkan dalam mewujudkan Indonesia emas, serta faktor-faktor yang diperkirakan dapat mendukung perwujudan Indonesia emas. 

B. Beberapa Kendala

Di antara kendala yang dapat menghambat Indonesia emas tahun 2015 adalah hal-hal sebagai berikut.

Pertama, ledakan penduduk yang tidak terkendali. Pada tahun 2015 yang akan datang penduduk Indonesia diperkirakan akan mencapai sekitar 400 juta jiwa manusia, dan 60% di antaranya adalah berada dalam usia muda. Jumlah penduduk yang demikian besar ini jika tidak diberikan pendidikan yang unggul akan menjadi beban negara. Mereka membutuhkan makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, hiburan, keamanan,  dan sebagainya. Seberapa besar pun usaha di bidang makanan, minuman dan lainnya dilakukan, jika jumlah penduduk tidak dikendalikan, akan tetap saja tidak akan mewujudkan kemakmuran. Saat sekarang saja sudah sangat nampak betap sulitnya masyarakat untuk mendapatkan berbagai kebutuhannya itu.

Kedua, kebutuhan pokok yang mengandalkan impor. Sebagaimana diketahui, bahwa selama ini kebutuhan pokok rakyat Indonesia, seperti beras, jagung, kacang kedelai, susu, daging, buah-buahan bahkan hingga garam masih mengandalkan impor dari negara lain. Ketika ingin memperoleh berbagai kebutuhan tersebut, Indonesia harus membelinya dengan menggunakan dollar. Akibat dari keadaan demikian, maka rupiah harus ditukar dengan dollar, dan dalam keadaan demikian nilai tukar rupiah akan semakin terpuruk. Kebijakan impor ini terjadi karena kebijakan ekonomi yang berorientasi makro yang menguntungkan kaum importir, pengusaha dan konglomerat. Oleh karena itu sungguhpun pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai di atas 4% namun yang dintungkan bukan rakyat kecil, melainkan para konglomerat. Rakyat Indonesia tetap tidak berdaya, berada dalam kemiskinan. Dan jika hal ini terus berlanjut akan sulit mewujudkan Indonesia yang maju, makmur dan sejahtera. Kebijakan ekonomi makro harus diubah dengan kebijakan ekonomi mikro yang dapat menggarakan sektir reel pengusaha kecil.

Ketiga, lebih mengejar tujuan jangka pendek daripada jangka panjang. Kebijakan ekonomi makro yang bergantung pada impor untuk jangka pendek nampak seperti mensejahterakan dan memakmurkan rakyat. Namun untuk jangka panjang menyebabkan rakyat semakin tidak berdaya. Sektor usaha industri kecil, pertanian, perikanan, peteranakan dan lainnya akan tetap tidak mampu bersaing menghadapi barang-barang produk impor yang lebih murah, cepat, dan praktis.

Keempat, masyarakat ekonomi ASEAN 2015. Diketahui, bahwa Indonesia sudah ikut menanda tangani kesepakatan terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN Tahun 2015 yang pada intinya adalah sebuah kesepakatan di antara negara-negara di kawasan ASEAN untuk saling mempersilakan, memberikan kemudahan dalam menjadikan masing-masing negara sebagai pasar untuk menjual produk barang dan jasa dari masing-masing negara. Caranya antara lain dengan menyusun tarip bersama, memperoleh kemudahan dalam menggunakan jasa perbank-an, mempermudah ijin usaha, mempermudah kesempatan tenaga kerja untuk bekerja di masing-masing negara, pasar tunggal dan basis produksi, kawasan ekonomi yang kompetitif, pengembangan ekonomi yang setara, dan integrasi ke dalam ekonomi global.  dan lain sebagainya. Adanya Masyarakat Ekonomi ASEAN ini jika tidak dihadapi dengan serius dan sungguh-sungguh akan merupakan ancaman yang berbahaya bagi kelangsungan ekonomi Indonesia.

Kelima, masih terdapat sejumlah kendala yang menyebabkan Indonesia kurang siap menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 Kendala tersebut antara lain terkait dengan terbatas dan lemahnya infra struktur, seperti jalur transfortasi, pelabuhan udara, pelabuhan laut, birokrasi yang panjang, pajak yang tinggi, tenaga kerja yang kurang terlatih, etos kerja yang rendah, dan masih banyak lagi. Keadaan ini hingga sekarang cenderung makin parah dan belum ada tanda-tanda perbaikan yang siginifikan.

Keenam, masih rendahnya mutu pendidikan. Hasil survey lembaga dunia, seperti World Bank, Unesco dan lain-lain, bahwa dari sekitar 147 negara di dunia, posisi Indonesia dalam bidang pendidikan masih menempati rangking 112 jauh di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, Hongkong, Philipina, bahkan Vetnam. Rendahnya mutu pendidikan ini ini dapat dilihat dari sedikitnya HKI (Hak Cipta Intelektual), hak paten, sedikitnya karya ilmiah yang dapat dipublikasi pada jurnal ilmiah internasional terakreditasi, dan sebagainya.

C. Peran Pendidikan

Jika dunia pendidikan ingin berjasa dalam mewujudkan Indonesia emas tahun 2015  maka terdapat sejumlah langkah-langkah yang harus dilakukan sebagai berikut.

Pertama, pendidikan harus menanamkan semangat nasionalisme dan patriotisne dalam arti yang seluas-luasnya. Yakni bahwa cinta tanah air dan semangat memajukan negara ini harus diterjemahkan ke dalam bentuk lebih menyukai dan menghargai produk sendiri, sehingga akan meninggalkan ketergantungan pada impor tegara lain. Semangat nasionalisme ini harus dilanjutkan dengan semangat patriotisme, yaitu berusaha memperjuangkan nasib bangsa sendiri, dengan cara memberdayakan mereka agar dapat mandiri, dan memberikan peluang kepada mereka untuk berusaha dan bekerja di negaranya sendiri, dengan cara membatasi impor. Namun, karena Masyarakat Ekonomi ASEAN tidak memungkinkan Indonesia melarang impor, maka caranya adalah dengan meningkatkan kualitas produk barang dan jasa milik kita dan mendorong masyarakat agar mencintai produk dan jasa milik bangsa sendiri.

Kedua, pendidikan harus mendorong lulusannya agar berani terjun ke dunia bisnis atau membuka usaha, dan bukan hanya pencari kerja. Hal ini perlu dilakukan, karena walaupun anggaran pendidikan sudah dinaikan menjadi20%, selama lulusan pendidikannya tidak berani membuka lapangan kerja, maka dana pendidikan tersebut tidak akan memiliki korela yang signifikan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selama ini data menunjukkan, bahwa bahwa lulusan perguruan tinggi di Indonesia hanya 2% yang terjun ke dunia usaha. Hal ini masih jauh jika dibandingkan dengan lulusan perguruan tinggi di Singapura yang terjun ke dunia usaha sekitar 11%,

Ketiga, membangun kerjasama yang harmonis dan saling menguntungkan antara dunia pendidikan tinggi dengan dunia usaha dengan membentuk visi Corporate University. Yaitu universitas yang berbasis pada kebutuhan dunia usaha.

Keempat, membudayakan karakter masyarakat Madani. Yaitu masyarakat yang menunjunjung nilai demokrasi, multikultural, humanisme, demokrasi, egaliter, keadilan, kebebasan, perdamaian, kejujuran, berorientasi pada kebenaran, dan nilai-nilai luhur lainnya. Hal ini penting dilakukan, agar masyarakat yang dapat diwujudkan, bukan hanya yang sejahtera dan makmur dari segi fisik

D. Model Pembelajaran Alternatif

Untuk menghasilkan lulusan pendidikan yang siap mewujudkan Indonesia Emas tahun 2045 harus dimulai langkah-langkah strategis sebagai berikut.

Pertama, memasuki visi Indonesia emas tahun 2045 yang maju, modern, makmur dan madani harus dimasukan ke dalam visi, misi, tujuan, bahan ajar dan standar kompetensi para lulusan. Misalnya sikap mental wiraswasta, menghargai dan mencintai milik sendiri, dan semangat untuk memajukan bangsa sendiri. Sikap mental yang merasa bangga dan lebih berkelas ketika menggunakan produk barang dan jasa dari luar negeri, mestinya diganti dengan sikap dan merasa bangga jika menggunakan produk dan jasa miliki sendiri. Dia merasa bahwa produk barang dan jasa milik bangsa sendiri jauh lebih sesuai dengan filosofi dan budaya bangsa sendiri. Namun demikian, ini tidak berarti hanya sebatas emosional atau serimonial belaka, melainkan muncul dari keinginan yang kuat dari dalam diri sendiri, sebagai bagian dari semangat nasionalisme dan patriotisme. Dengan kata lain, bahwa sikap mental enterpreuneur dan kewirausahaan yang dibangun adalah enterpreneur dan kewirausahaan yang berbasis pada falsafat dan nilai budaya bangsa sendiri.

Kedua, mengembangkan model pembelajaran yang mendorong peserta didik mampu berfantasi, berimajinasi,  bereksperimen, dan berinovasi dengan menggunakan model pembelajaran active learning yang berbasis pada student centred dengan menggunakan scientific approach sebagaimana diamanatkan dalam kurikulum tahun 2013 atau juga kurikulum tahun 2004 (KBK) dan kurikulum tahun 2006 (KTSP). Sebagaimana diketahui, bahwa model pembelajaran yang selama ini berlangsung adalah model pembelajaran yang berbasis pada psikologi behaviorisme dan empirisme yang bertumpu pada pemikiran John Locke, Pavlop, Skinner, Thorndike, dan Wattson yang menempatkan peserta didik seperti kertas putih yang dapat ditulis apa saja, atau seperti gelas kosong yang dapat diisi air  atau benda apa saja, atau seperti lilin di atas meja yang dapat dibuat apa saja (tabularasa). Model pembelajaran ini diakui berhasil dalam memompakan ilmu pengetahuan, nilai dan sebagainya, namun kurang memberikan pengalaman dan penghayatan yang memadai kepada peserta didik tentang pengamalan atau praktek dari ilmu pengetahuan dan nilai tersebut. Akibatnya peserta didik menjadi pasif, hanya menunggu, tidak kreatif, dan tidak inovatif, serta imajinasi, fantasi dan daya khayalnya tidak bergembang sebagaimana mestinya. Lulusan pendidikan yang demikian, sudah tidak sejalan lagi dengan tuntutan generasi Indonesia Emas tahun 2045 yang maju, makmur, dan madani.

Ketiga, memberikan wawasan pembelajaran yang mengintertain,  menginspire, dan mencerahkan, sebagaimana yang dijumpai pada model pelatihan atau training yang lebih terukur. Dalam kaitan ini, maka seorang guru harus memiliki  8 etos keguruan sebagai berikut: (1)Keguruan adalah rahmat:Aku mengajar dengan ikhlas penuh syukur; (2)Keguruan adalah amanah:Aku mengajar dengan benar dan penuh tanggung jawab; (3)Keguruan adalah panggilan:Aku mengajar tuntas penuh integritas; (4)Keguruan adalah aktualisasi diri:Aku mengajar dengan serius penuh semangat; (5)Keguruan adalah ibadah:Aku mengajar dengan cinta penuh dedikasi; (6)Keguruan adalah seni:Aku mengajar dengan cerdas penuh kreativitas; (7)Keguruan adalah kehormatan:Aku mengajar dengan tekun penuh keunggulan; dan (8)Keguruan adalah pelayanan:Aku mengajar sebaik-baiknya penuh kerendahan hati.

Keempat, memberikan penekanan pada upaya pembelajaran yang berbasis pada learning by doing, magang, workshop, dan sebagainya. Hal ini dilakukan dengan cara membangun kerjasama yang harmonis dengan dunia usaha dan industri. Hal ini sejalan dengan pandangan pendidikan yang progressif dan John Dewey. Menurutnya, bahwa antara masyarakat dan dunia pendidikan harus disatukan; apa yang akan diberikan kepada murid di dalam kelas harus dilihat lebih dahulu relevansinya dengan kebutuhan di masyarakat. Demikian pula apa yang ada di masyarakat harus dapat diakses dan digunakan untuk kegiatan pendidikan. Pandangan ini sejalan dengan paradigma baru tentang pendidikan yang berbasis masyarakat. Untuk itu model pembelajaran yang berbasis masyarakat ini harus terus diupayakan. Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning), Model Pembelajaran yang sesuai dengan konteks permasalahan yang terhadi di masyarakat (Contextual Teaching Learning), Model Pembelajaran Scientifif Approach dengan langkah-langkahnya:mengamati, menanya, melakukan, menganalisa, menyimpulkan dan menciptakan sebagaimana digagas dalam kurikulum 2013 perlu dilaksanakan. Model pembelajaran yang demikian itu disertai pula dengan model penilaian dan evaluasi hasil belajarnya yang bersifat kualitatif, dalam bentuk diskripsi yang otentik tentang sesuatu yang dikerjakan oleh siswa, perilaku yang ditunjukan oleh siswa, serta sikap dan penghayatan yang dijumpai sehari-hari melalui sebuah pengamatan yang berkelanjutan (continous observation). 

Kelima, karena Indonesia Emas tahun 2045 juga mengharuskan adanya masyarakat yang bukan hanya maju, makmur dan modern dari segi materi, melainkan juga harus berkarakter masyarakat madani, maka proses pembelajarannya juga harus berwawasan madani. Yaitu proses belajar mengajar yang dilandasi oleh sikap saling menghormati, menghargai, tolong menolong, saling mencintai, menyayangi, dan membantu dalam suasana kekeluargaan dan persaudaraan yang Islam. Cara-cara pembelajaran yang curang, nyontek, mengganggu teman, membocorkan soal ujian, kekerasan dan sebagainya harus dihindari. Dengan cara demikian, proses pembelajaran dapat dinilai sebagai sebuah kesempatan atau kegiatan yang mempraktekan nilai-nilai masyarakat madani yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, persaudaraan, persatuan, musyawarah, keadilan, dan kesederajatan. Guna mewujudkan pembelajaran yang diperlukan, maka diperlukan karakter guru yang sejalan dengan nilai-nilai tersebut. Khusus untuk guru PGMI diperlukan persyaratan yang khas dibandingkan dengan guru lainnya. Dalam kaitan ini menarik sekali apa yang dikatakan Ibn Khaldun. Menurutnya, bahwa bagi seorang guru muslim hendaknya melakukan komunukasi dan hubungan yang akrab dengan sesama guru dan para pekerja pendidikan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara: (1)membentuk kelompok debat dan diskusi antara guru dan murid; (2)memilihkan satu bidang ilmu yang cocok bagi seorang murid; (3)membantu murid untuk mencapai tujuan pendidikannya dengan jelas; dan (3)memelihara kesanggupan peserta didik dan menolongnya agar memahami pelajaran.   Hal tersebut juga sejalan dengan pendapat Mohd.Athiyah al-Abrasyi menyebutkan sifat-sifat yang harus dimiliki seorang guru pendidikan agama Islam adalah: (1)zuhud, yakni tidak mengutamakan materi dan mengajar karena mencari keridhaan Allah SWT semata; (2)senantiasa membersihkan diri, yakni bersih tubuhnya, jauh dari dosa dan kesalahan, bersih jiwa, terhindar dari dosa besar, sifat ria (mencari nama), dengki, permusuhan, perselisihan dan lain-lain sifat tercela; (3)Ikhlas dalam pekerjaan, termasuk pula serang yang sesuai kata dengan perbuatan, melalukan apa yang ia ucapkan, dan tidak malu-malu mengatakan: “Aku tidak tahu,” bila ada yang tidak diketahuinya; (4)suka pema’af. Yakni suka memaafkan muridnya, sangguh menahan diri, menahan amarah, lapang hati, banyak sabar dan jangan marah karena sebab-sebab yang kecil; (5)seorang guru merupakan seorang bapak sebelum ia seorang guru. Yakni seorang guru harus mencintai murid-muridnya seperti cintanya terhadap anak-anaknya sendiri, dan memikirkan keadan mereka seperti ia memikirkan keadaan anak-anaknya sendiri; (6)harus mengetahui tabi’at murid, yakni mengetahui tabiat pembawaan, adat kebiasaan, rasa dan pemikiran murid agar ia tidak kesasar di dalam mendidik anak-anaknya., serta (7)harus menguasai mata pelajaran.  Dari ketuju sifat tersebut sebagian besar berkaitan dengan kompetensi kepribadian. Sedangkan yang lainnya, yakni menguasai mata pelajaran termasuk kompetensi profesional, dan kompetensi pedagogik, yakni harus mengetahui tabi’at murid, agar dapat menyampaikan mata pelajaran sesuai dengan tabiat murid tersebut. Sementara itu, Ib Taimiyah berpendapat, bahwa seorang guru agama agar memiliki sifat-sifat sebagai berikut: (1)Senantiasa berpegang teguh kepada ajaran Rasulullah SW dalam segala bidang, dari berbagai aspek kehidupannya, perjalanan hidup dan akhlaknya, karena itu wajib baginya agar senantiasa tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. Hal yang demikian sejalan dengan kedudukannya sebagai pewaris para nabi; (2)senantiasa menjadi contoh teladan yang baik bagi para muridnya dalam hal berkata yang benar (al-shidq), memegang teguh akhlak yang mulia dan melaksanakan syari’at Islam; (3)menyebar-luaskan ilmunya tanpa malas atau lalai, karena lalai dalam menyebarkan ilmu sama hanya dengan lalai daam  berjihad, Allah SWT akan menghukum orang yang menyembunyikan ilmu atau mengabdikannya untuk memperoleh kemewahan dunia, dan dipandang makruh orang yang menyembunyikan sedikit dari ilmu sehingga ia tidak dapat dipergunakan dalam berdebat. Seorang guru yang shalih adalah mereka yang mengajarkannya kepada orang lain; (4)senantiasa memelihara dan mengembangkan ilmunya dengan cara menghafal dan menambahnya dan tidak melupakannya. Demikian pula seorang ahli ilmu yang menghafalkannya kepada umat berupa al-Qur’an, al-Sunnah, baik dalam bentuk atau maknanya, disertai pandangan, bahwa menghafal ilmu itu farlu kifayah bagi umat pada umumnya. 

Dengan adanya sifat-sifat yang melekat pada seorang guru yang demikian itu, maka adalah wajar jika seorang guru mendapatkan penghormatan yang berbeda engan penghormatan yang diterima profesi lainnya. Imam al-Ghazali misalnya mengatakan, bahwa profesi guru merupakan pekerjaan yang paling mulia di antara seluruh pekerjaan yang dilakukan manusia di muka bumi. Ia berargumen dengan cara menganalogikan kedudukan profesi dengan objek yang dikerjakan. Seorang tukang emas lebih terhormat dibandingkan dengan tukang kulit, karena nilai emas melebihi nilai kulit. Barang yang wujud di permukaan bumi yang paling mulia adalah manusia, dan bagian yang paling mulia dari manusia adalah akal dan jiwanya. Sedangkan tugas seorang guru mengembangkan dan menyempurnakan akal dan jiwanya, menghiasi, menyucikan dan membimbingnya untuk dapat mendekati Allah Yang Maha agung dan Mahamulia. 

Senada dengan itu, Ibn Khaldun berpendapat, bahwa guru harus menjadi sosok yang pantas digugu dan ditiru. Ia mengutip pendapat Amr bin Utbah dalam sebuah pesan kepada salah seorang guru yang mengajar puteranya, dengan mengatakan:”Mulailah dalam upayamu memperbaiki anakku, dengan lebih dahulu memperbaiki sikap dan perilakumu sendiri. Sebab pandangan anak-anak itu terikat pada pandanganmu, maka apa yang engkau lakukan akan dianggap baik bagi mereka, dan apa yang engkau tinggalkan akan dianggap jelek bagi mereka. 

Dengan demikian, seorang guru adalah seorang yang pada dirinya terdapat sejumlah sifat, kepribadian, kecakapan, dan keutamaan lainnya yang dengannya ia dapat menolong, membantu, dan meningkatkan harkat dan martabat manusia dengan cara menumbuhkan, menggali, membina,  dan mengembangkan berbagai potensi peserta didik agar tumbuh dan nampak serta terbina dengan sempurna serta dapat menolong dirinya, keluarga, masyarakat, bangsa, negara dan agamanya. Seorang guru juga adalah mereka yang memelihara, meningkatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, pengalaman dan keterampilannya untuk diberikan kepada para siswanya dan masyarakat pada umumnya. Semua peran dan fungsi ini dilaksanakan sebagai amanah, tanggung jawab, panggilan jiwa, dan ibadah semata-mata karena Allah SWT. Dengan demikian, sosok seorang guru itu adalah sosok yang khas, tidak dapat dimiliki oleh orang lain, serta menempati kedudukan yang terhormat, karena ia terkait langsung dengan upaya membina harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang dimuliakan Allah SWT.

Sejalan dengan itu, Augusto Cury mendorong agar seorang guru bukan hanya berpredikat baik, melainkan juga mengagumkan, dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1)Guru yang baik pandai bicara, sedangkan gurtu yang mengagumkan tahu cara kerja pikiran; (2)Guru yang baik mempunyai metodologi, sedangkan guru yang mengagumkan mempunyai kepekanaan; (3)Guru yang baik mendidik kecerdasan logika, sedangkan guru yang mengagumkan mendidik emosi; (4)Guru yang baik menggunakan memori sebagai penyimpan informasi, sedangkan guru yang mengagumkan menggunakannya sebagai pendukung seni berfikir; (5)Guru yang baik adalah pemimpin sementara, sedangkan guru yang mengagumkan adalah pemimpin tak terlupakan; (6)Guru yang baik memperbaiki perilaku, sedangkan guru yang mengagumkan menyelesaikan konflik dalam ruang kelas; dan (7)Guru yang baik mengajar karena itu adalah pekerjaannya, sedangkan guru yang mengagumkan mengajar karena itulah tujuan hidupnya.  Selain itu seorang guru juga jangan melakukan tujuh dosa besar, yaitu (1)menegur di depan umum; (2)memperlihatkan otoritas secara agresif; (3)mengkritik secara berlebihan:menghambat masa kanak-kanak; (4)menghukum ketika Anda marah dan membuat batasan tanpa penjelasan; (5)menjadi tidak sabar dan putus asa dalam mendidik; (6)tidak menepati kata-kata, dan (7)menghancurkan harapan dan impian.  Kriteria guru yang baik (pandai bicara, mempunyai metodologi, kecerdasan logika, menyimpan informasi, pemimpin sementara, memperbaiki perilaku, mengajar karena pekerjaannya), dan guru yang mengagumkan (tahu cara kerja pikiran, mendidik emosi, mempunyai kepekaan, pendukung seni berfikir, pemimpin tak terlupakan, menyelesaikan konflik dalam kelas dan mengajar sebagai tujuan hidupnya) adalah sesuatu yang baik dan bermanfaat, dan karenanya merupakan sesuatu yang diperintahkan agama. Sebaliknya hal-hal yang dipandang sebagai dosa besar bagi guru, adalah sesuatu yang pada pokoknya merupakan hal-hal yang buruk, dan dilarang pula oleh agama.

E.Penutup

Berdasarkan uraian dan analisa sebagaimana tersebut di atas, dapat dikemukakan catatan penutup sebagai berikut.

Pertama,  bahwa  yang dimaksud dengan Indonesia emas tahun 2045 adalah sebuah keadaan di mana usia kemerdekaan Indonesia sudah berusia selama 100 tahun. Pada masa itu, diharapkan Indonesia sudah menjadi negara yang maju, makmur, modern dan madani. Kemajuan dan kemakmuran dan kemodernan tersebut bukan hanya dalam bidang fisik dan material, melainkan juga bersifat intelektual, moral, kebudayaan dan peradaban yang dijiwai nilai-nilai ajaran Islam.

Kedua, bahwa untuk mewujudkan  Indonesia emas yang maju, makmur, modern dan madani di tahun 2045, Indonesia masih menghadapi berbagai kendala yang cukup fundamental, antara lain ledakan penduduk yang tidak terkendali yang membutuhkan sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan lain sebagainya; ketergantungan kebutuhan pokok hidup pada negara lain yang menyebabkan terpuruknya nilai rupiah atas mata uang lain, terutama dollar; terbatasnya infrastruktur, rendahnya etos kerja, dan kurang profesional.

Ketiga, bahwa untuk dapat mengatasi berbagai kendala tersebut untuk tujuan jangka panjang adalah pendidikan. Hal yang demikian, karena melalui pendidikanlah berbagai potensi fusik, intelektual dan spiritual manusia dapat dibina dengan sebaik-baiknya dan terencana. Lulusan pendidikan yang dibutuhkan adalah lulusan pendidikan yang kreatif, inovatif, berjiwa interpreneur, percaya diri, imajinatif, berani mengambil resiko yang diperhitungkan, religius, berwawasan nusantara, berjiwa Pancasila, memahami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai budaya bangsa, berjiwa nasionalisme dan patriotisme.

Keempat,  untuk menghasilkan lulusan pendidikan sebagaimana tersebut pada butir tiga di atas, diperlukan adanya model pembelajaran yang berbasis pada aktivitas peserta didik (student centris), seperti model pembelajaran yang berbasis pemecahan masalah (problem based learning), berbasis pada situasi dan kontek permasalahan yang real yang dihadapi dalam kehidupan (contextual teaching learning), cooperative, inter-active learning, scientific approaches, melalui kegiatan mengamati, menanya, melakukan, menganalisa, menyimpulkan dan menciptakan. Dengan cara demikian, setiap peserta didik diberikan pengalaman dalam memahami, menghayati dan melakukan sebuah pekerjaan.

Kelima, bahwa model pembelajaran yang dibutuhkan untuk menghasilkan lulusan yang dapat mewujudkan Indonesia emas tahun 2045 adalah model pembelajaran yang menghasilkan lulusan yang kreatif, inovatif, progressive, percaya diri, berani mengambil resiko yang diperhitungkan yang dijiwai nilai-nilai ajaran Islam, falsafat Pancasila, berjiwa nasionalisme dan patriotisme yang kuat, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai budaya dan tradisi lokal yang tumbuh berkembang di Indonesia, seperti kekerabatan, kekeluargaan, gotong royong, sopan, santun, saling menghargai, dan lain sebagainya. Dengan cara demikian, selain akan menjadi bangsa yang maju, makmur dan modern, namun juga berjiwa madani.

Daftar Pustaka

Al-Abrasyi, Mohd. Athiyah, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (terj.) Bustami A. Gani dan Djohar Bahry, dari judul asli al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Jakarta:Bulan Bintang, 1974), cet. II.

Abu al-Ainain, Ali Khalil, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah di al-Qur’an al-Karim, (Beirut: Dar al-Fikr al-Araby, 1980), cet. I.

Al-Ahwany, Ahmad Fu’ad, al-Tarbiyah fi al-Islam, (Mesir: Dar al-Ma’arif,  tp.th.).

Cury, Augusto, Briliant Parents Fascinating Teachers Kiat Membentuk Generasi Muda yang Cerdas dan Bahagia, (Jakarta:Gramadia Pustaka Utama,, 2007).

Bafadal, Ibrahim, “Pendidikan Berkualitas untuk Generasi Emas,” diunduh dari Goegle, pada hari Senin, 11 Mei 2015.

Buchori, Mochtar, Ilmu Pendidikan & Praktek Pendidikan dalam Renungan, (Jakarta:IKIP Muhammadiyah Jakarta Press, 1994),

Djamarah, Syaiful Bahri, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif Suatu Pendekatan Teoritis Psikologis, (Jakarta:Rineka Cipta, 2005), cet. III.

Fadjar, A.Malik, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta:Fadjar Dunia, 1999), cet. I.

Falah, Saiful, Guru adalah Ustadz adalah Guru, Catatan Seorang Pendidikan dengan Lebih dari 10.000 Anak Didik, (Jakarta:Republika, 2012), cet. I.

Mahmud, Ali Abd al-Halim, al-Tarbiyah al-Islamiyah di al-Madrasah, (Mesir:Dar al-Tauzi’ wa al-Nasyr al-Islamiyah, 1425 H./2004 M.), cet. I.

-----------, al-Tarbiyah al-Islamiyah fi Surah al-Azhaab, ((Mesir:Dar al-Tauzi’ wa al-Nasyr al-Islamiyah,  1996) 1425 H./2004 M.), cet. I.

------------, al-Tarbiyah al-Islamiyah fi Surah al-Anfaal, (Mesir:Dar al-Tauzi’ wa al-Nasyr al-Islamiyah,  1996) 1425 H./2004 M.), cet. I.

------------, al-Tarbiyah al-Diniyah (al-Ghaibah), (Mesir:Dar al-Tauzi’ wa al-Nasyr al-Islamiyah,1421 H./2000 M.), cet. I.

------------, al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Mujtama’, ( Mesir:Dar al-Tauzi’ wa al-Nasyr al-Islamiyah,  1426 H./2005 M.), cet. I.

------------, al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Bait, ( Mesir:Dar al-Tauzi’ wa al-Nasyr al-Islamiyah,  1426 H./2005 M.), cet. I.

Muthahhari, Ayatullah Murtadha, Dasar-dasar Epistimlogi Pendidikan Islam, (Jakarta:Sadra International Institut, 2011), cet. I

Al-Naqib, Abd al-Rahman Abd al-Rahman, Kaifa Nu’allimu Auladana al-Islam bi Thariqah Shahihah,  (Mesir:Dar al-Salam lith-Thaba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi’ wa al-Tarjamah, 1428 H./ 2007 M.), cet. II.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, (Jakarta:Novinco Pustaka Mandiri, 2009), cet. I.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 200 9 tentang Dosen, (Jakarta:Novinco Pustaka Mandiri, 2009), cet. I.

Kailany, Majid Irsan, al-Fikr al-Tarbawiy in Ibn Taimiyah, (al-Madinah al-Munawwarah: Maktabah Dar al-Turats,  tp.th.).

Khayyat, Muhammad Jamil, al-Nadzariyat al-Tarbawy fi al-Islam Dirasah Tahililiyah, (Makkah al-Mukarramah:Jami Umm al-Qura, 1986).

Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta:Pustaka Al-Husna, 1987), cet. I.

Rooijakkers, AD. Mengajar dengan Sukses Petunjuk untu Merencanakan dan Menyampaikan Pengajaran, (Jakarta:Grasindo, 1991).

Saleh, M.Nurul Ikhsan, Peace Education, Kajian Sejarah, Konsep, & Relevansinya dengan Pendidikan Islam, (Jakarta:AR-RUZZ MEDIA, 2012), cet. I.

Sembiring,  Taman Hidayat, “Pancasila sebagai Pedoman Hidup Menuju Indonesia Emas 2045,” diunduh dari Goegle pada hari Senin, 11 Mei 2015.

Sinamo, Jansen, 8 Etos Keguruan, (Bogor: Institut Darma Mahardika, 2010), cet. I.

Syams al-Din, Abd al-Amir, al-Fir al-Tarbawiy ind Ibn Khaldun wa Ibn al-Azraq, (Libanon: Dar Iqra, 1404 H./1984 M.) cet. I.

Sucipto dan Raflis Kosasi, Profesi Keguruan, (Jakarta:Rineka Cipta, 2002), cet. I.

Susanta, Agustinus, Merancang Outbond Training Profesional, (Yogyakarta:Andi Yogyakarta, 2008), cet. I.

Tafsir, Ahmad, (ed.), Epistimologi untuk Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung:Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Jati, 1995).

Yudho, Winarno, (ed.), Sosok Guru Ilmuwan Yang Kritis dan Konsisten,  (Jakarta:ELSAM, HUMA dan WALHI, 2002), cet. I.

Undang-undang Nomor 20 tentang  Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional),(Bandung:Fokusmedia, 2010), cet. I.

Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, (Jakarta:Novindo Pustaka Mandiri, 2009), cet. I.

Usman, Moh. Uzer, Menjadi Guru Profesional, (Bandung:Remaja Rosdakarya, 1997), cet. VIII. 

Utomo, Pristiadi, “Menuju Indonesia Emas 2045,” Diunduh dari Goegle pada hari Senin, 11 Mei 2015.