Apa persiapan israel menghadapi dunia tentang jerusalem ibu kota israel

Apa persiapan israel menghadapi dunia tentang jerusalem ibu kota israel

Apa persiapan israel menghadapi dunia tentang jerusalem ibu kota israel
Lihat Foto

AP PHOTO/Yonatan Sindel

Unit artileri Israel menembak ke arah target di Jalur Gaza, pada 12 Mei 2021.

GAZA CITY, KOMPAS.com - Israel mulai mengerahkan ribuan tentara ke perbatasan Gaza, sedangkan sayap bersenjata kelompok Palestina, Hamas, mengancam akan terus melanjutkan serangan roket dengan mengatakan bahwa menghantam kota seperti Tel Aviv lebih mudah dibandingkan meneguk air minum.

Juru bicara tentara Israel mengatakan, 3.000 tentara cadangan telah dipanggil untuk bersiap.

Hamas terus meluncurkan roket ke Israel, dengan sirene bergaung di kota-kota Israel, tetapi sejauh ini tak ada korban lebih lanjut.

Baca juga: Israel Persiapkan Pasukan Darat untuk Invasi ke Jalur Gaza

Di Gaza, setidaknya 83 orang dilaporkan tewas akibat serangan udara Israel sejak serangan terjadi pada Senin (10/5/2021). Sementara di Israel, tujuh orang meninggal sejauh ini.

Wartawan BBC di Gaza mengatakan, wilayah itu mengalami masa paling sulit sejak perang pada 2014.

Saling serang antara kelompok Palestina dan tentara Israel meningkat signifikan di Jalur Gaza dan PBB mengkhawatirkan terjadinya "perang skala penuh".

Lebih dari 1.000 roket diluncurkan oleh kelompok Palestina selama lebih dari 38 jam, kata Israel, sebagian besar diarahkan ke Tel Aviv.

Sementara Israel melancarkan ratusan serangan udara, menghancurkan dua blok gedung di Gaza pada Selasa dan Rabu (12/5/2021).

Sekretaris Jendral PBB António Guterres mengatakan, ia "sangat prihatin" atas berlanjutnya kekerasan.

Baca juga: Gal Gadot Dikecam setelah Beri Pesan Terkait Konflik Israel-Palestina

Sebelumnya, Israel menetapkan keadaan darurat di pusat kota Lod setelah muncul kerusuhan dari warga Arab Israel.

Michael Hernandez

WASHINGTON

Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan AS secara resmi telah mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, Rabu.

Dia juga telah memberikan arahan kepada Departemen Luar Negeri AS untuk memulai persiapan pemindahan kedutaan besar Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Yerusalem, kota yang diklaim oleh warga Israel dan Palestina. Langkah ini diperkirakan akan memakan waktu beberapa tahun.

"Pengumuman saya hari ini menandai dimulainya sebuah pendekatan baru untuk konflik antara Israel dan Palestina," kata Trump di Gedung Putih.

"Tentu akan ada pertentangan dan perbedaan pendapat mengenai pengumuman ini -- namun kami yakin pada akhirnya, saat kami mengatasi pertentangan ini, akan ada pemahaman dan kerja sama yang lebih baik," kata dia.

Keputusan Trump ini bertentangan dengan kebijakan AS selama puluhan tahun, serta seluruh masyarakat internasional, kecuali Israel. Tidak ada negara lain yang memiliki kedutaan besar di Yerusalem. Hal ini juga cenderung menghalangi upaya untuk memulai kembali perundingan damai Israel-Palestina yang kini terhenti.

Langkah kontroversial Trump hampir pasti menggagalkan perundingan perdamaian antara Palestina dan Israel. Warga Palestina menginginkan Yerusalem Timur menjadi ibu kota negara masa depan mereka. Daerah tersebut telah diduduki oleh Israel sejak 1967.

Partai Republik telah sejak lama menyatakan bahwa AS harus memindahkan kedutaan besar dari Tel Aviv ke Yerusalem; namun hingga saat ini tidak ada pemerintahan AS yang mengambil langkah resmi untuk mengakui bahwa Yerusalem adalah ibu kota Israel.

Menurut Undang-undang Kedutaan Besar Yerusalem yang diadopsi Kongres AS pada tahun 1995, pemerintah AS perlu memindahkan kedutaan besar dari Tel Aviv ke Yerusalem.

Namun pada masa kepresidenan Bill Clinton, George W. Bush dan Barack Obama, undang-undang tersebut ditunda setiap enam bulan sekali selama 21 tahun karena alasan “keamanan nasional”.

"Ada yang bilang mereka tidak memiliki keberanian, tapi mereka membuat penilaian terbaik berdasarkan fakta saat mereka memahaminya pada waktu itu," kata Trump merujuk pada para mantan presiden yang menandatangani penundaan.

"Setelah lebih dari dua dekade penundaan, kita tidak mendekati kesepakatan damai antara Israel dan Palestina. Akan menjadi kebodohan jika menganggap bahwa mengulangi cara yang sama sekarang akan menghasilkan hasil yang berbeda atau lebih baik," tambah Trump.

Para pemimpin Palestina menyerukan "tiga hari kemarahan" untuk memprotes keputusan Trump.

Yerusalem adalah kota suci bagi umat Yahudi, Kristen dan Muslim, perubahan status kota yang diperebutkan tersebut mendapat tentangan keras.

Keputusan Israel untuk membatasi akses umat Muslim ke areal masjid al-Aqsa pada tahun 2015 memicu kekerasan jalanan antara warga Palestina dan pasukan keamanan Israel. Selain itu, keputusan Israel untuk memasang detektor logam di pintu masuk masjid awal tahun ini juga harus ditarik kembali setelah mendapat protes dari warga Palestina.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.

Pada 6 Desember 2017, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan bahwa AS secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Meski ada peringatan tentang kerusuhan regional atas langkah tersebut, keputusan ini disebut memenuhi janji kampanye Trump.

"Sejumlah presiden pendahulu telah membuat langkah ini sebagai janji kampanye besar, mereka gagal memenuhi janji. Hari ini, saya memenuhi janji saya," tutur Trump di Gedung Putih.

Mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel adalah "pengakuan kenyataan yang ada, itu juga hal yang seharusnya dilakukan," tambahnya.

Trump menggambarkan keputusan itu sebagai "langkah yang sudah lama ditunggu" untuk memajukan proses perdamaian di Timur Tengah.

Meski mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, Trump mengatakan AS masih mendukung solusi dua negara sebagai penyelesaian konflik yang telah berlangsung lama ini.  Dia menegaskan, AS tetap mendukung status quo di Haram al-Sharif atau Temple Mount.

  • home
  • dunia
  • Apa persiapan israel menghadapi dunia tentang jerusalem ibu kota israel

    Presiden Donald Trump dengan ditemani Wakil Presiden Mike Pence, menunjukkan tandatangan hasil pernyataannya di Gedung Putih, di Washington, AS, 6 Desember 2017. Selama tujuh dekade, AS bersama dengan hampir seluruh negara lainnya di dunia, menolak mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel sejak negara itu mendeklarasikan pendiriannya pada 1948. REUTERS

    TEMPO.CO, Jakarta - Keputusan presiden Amerika Serikat, Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel telah memicu kecaman global dari para pemimpin dunia. Mengingat keputusan itu akan menghambat proses perdamaian antara Israel-Palestina serta melanggar berbagai perjanjian internasional.

    Berikut beberapa alasan kenapa Amerika Serikat tidak boleh mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel, mengutip CNN dan Al Jazeera.

    Baca: Mahmoud Abbas: Yerusalem Ibukota abadi Palestina

    1. Yerusalem adalah wilayah pendudukan Israel

    Di bawah Rencana Pemisahan PBB 1947 untuk membagi Palestina antara negara-negara Yahudi dan Arab, Yerusalem diberikan status khusus dan dimaksudkan untuk ditempatkan di bawah kedaulatan dan pengawasan internasional. Status khusus didasarkan pada kepentingan religius Yerusalem terhadap tiga agama Abraham.

    Dalam perang tahun 1948, setelah keluar rekomendasi PBB untuk membagi Palestina, pasukan Zionis menguasai bagian barat kota tersebut dan mendeklarasikannya sebagai wilayah Israel.

    Kemudian, pecah perang tahun 1967, Israel merebut bagian timur Yerusalem, yang berada di bawah kendali Yordania pada saat itu, dan mulai menguasainya dengan menabrak hukum internasional.

    Pada tahun 1980, Israel mengesahkan hukum Yerusalem, yang menyatakan bahwa seluruh Yerusalem adalah ibukota Israel dengan demikian meresmikan aneksasi Yerusalem Timur.

    Dewan Keamanan PBB kemudian mengeluarkan Resolusi 478 pada tahun 1980, yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut batal demi hukum.

    Aneksasi ilegal Israel terhadap Yerusalem Timur melanggar beberapa prinsip di bawah hukum internasional, yang menjelaskan bahwa kekuasaan pendudukan tidak memiliki kedaulatan di wilayah yang didudukinya. Makanya, semua kedutaan besar berbasis di Tel Aviv.

    Presiden Donald Trump dengan ditemani Wakil Presiden Mike Pence, menunjukkan tandatangan hasil pernyataannya di Gedung Putih, di Washington, AS, 6 Desember 2017. Selama tujuh dekade, AS bersama dengan hampir seluruh negara lainnya di dunia, menolak mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel sejak negara itu mendeklarasikan pendiriannya pada 1948. REUTERS

    2. Posisi masyarakat internasional

    Masyarakat internasional, termasuk Amerika Serikat, secara resmi menganggap Yerusalem Timur sebagai wilayah yang diduduki. Selain itu, tidak ada negara di dunia yang mengakui bagian Yerusalem sebagai ibukota Israel, kecuali Rusia, yang mengumumkan pengakuannya atas Yerusalem Barat sebagai ibukota Israel awal tahun ini.

    Israel menduduki Yerusalem Timur pada akhir Perang 1967 dengan Suriah, Mesir dan Yordania; bagian barat kota suci telah direbut dalam perang Arab-Israel 1948.

    Pendudukan Israel di Yerusalem Timur telah menempatkan seluruh kota di bawah kendali Israel secara de facto. Yurisdiksi Israel dan kepemilikan Yerusalem, bagaimanapun, tidak diakui oleh masyarakat internasional, termasuk Amerika Serikat.

    Status Yerusalem tetap menjadi salah satu poin utama dalam upaya menyelesaikan konflik Palestina-Israel.

    Baca: Hamas Serukan Palestina Intifada Hadapi Israel

    3. Nasib warga Palestina di Yerusalem

    Meskipun ada penggabungan Israel secara de facto di Yerusalem Timur, orang-orang Palestina yang tinggal di sana tidak diberi kewarganegaraan Israel.

    Saat ini, sekitar 420.000 warga Palestina di Yerusalem Timur memiliki kartu identitas tinggal permanen. Meskipun memiliki paspor Yordania tapi tidak diberikan nomor identifikasi nasional. Ini berarti bahwa mereka bukan warga Yordania seutuhnya dan memerlukan izin untuk bekerja di Yordania dan tidak memiliki akses terhadap layanan dan manfaat pemerintah seperti pengurangan biaya pendidikan.

    Warga Palestina di Yerusalem pada dasarnya tanpa kewarganegaraan, mereka bukan warga negara Israel, juga bukan warga Yordania atau Palestina.

    Jika Israel mengklaim dan mencaplok Yerusalem, maka akan membuat warga Palestina di wilayah itu semakin terpuruk.

    Israel memperlakukan orang-orang Palestina di Yerusalem Timur sebagai imigran asing. Mereka diharuskan memenuhi persyaratan tertentu untuk mempertahankan status kependudukan mereka dan hidup dalam ketakutan terus-menerus.

    Adapun menurut lembaga penelitian strategis Jerusalem Institue, sekitar 850 ribu orang tinggal di Yerusalem, 37 persen di antaranya keturunan Arab dan 61 persen Yahudi. Dari populasi Yahudi, sebanyak 200 ribu di antarnya merupakan ultra Yahudi Ortodoks, dan sisanya umumnya Yahudi sekuler. Dan sebagian besar, 96 persen penduduk kota Arab ini Muslim dan sekitar 4 persen penganut Kristen.

    4 Nasib penduduk Palestina di luar Yerusalem

    Setiap orang Palestina yang tinggal di luar batas-batas wilayah Yerusalem untuk jangka waktu tertentu, baik di luar negeri atau bahkan di Tepi Barat, berisiko kehilangan hak mereka untuk tinggal di sana.

    Jika Yerusalem menjadi ibukota abadi Israel, maka menyulitkan penduduk wilayah itu untuk dapat kembali.

    Selama ini Israel memberlakukan semena-mena terhadap penduduk Yerusalem di luar. Mereka yang tidak dapat membuktikan bahwa pusat kehidupan mereka ada di Yerusalem dan mereka telah tinggal di sana secara turun temurun, kehilangan hak mereka untuk tinggal di kota kelahiran mereka. Mereka harus menyerahkan puluhan dokumen termasuk akta, kontrak sewa, dan slip gaji.

    Sejak 1967, Israel telah mencabut status 14.000 warga Palestina, menurut kelompok hak asasi manusia B'Tselem.

    Sementara setiap orang Yahudi di seluruh dunia menikmati hak untuk tinggal di Israel dan untuk mendapatkan kewarganegaraan Israel di bawah Hukum Kembali Israel.

    Baca: Trump Umumkan Yerusalem sebagai Ibukota Israel

    5 Pemukiman Ilegal

    Proyek permukiman Israel di Yerusalem Timur yang ditujukan untuk mengkonsolidasikan kendali Israel atas kota tersebut, juga dianggap ilegal menurut hukum internasional.

    PBB telah menegaskan dalam beberapa resolusi bahwa proyek pemukiman tersebut bertentangan langsung dengan Konvensi Jenewa Keempat, yang melarang negara pendudukan memindahkan penduduknya ke wilayah-wilayah yang didudukinya.

    Namun, sejak 1967, Israel telah membangun lebih dari selusin kompleks perumahan bagi orang-orang Yahudi Israel, beberapa diantaranya berada di tengah lingkungan Palestina di Yerusalem Timur.

    Sekitar 200.000 warga Israel tinggal di Yerusalem Timur di bawah perlindungan tentara dan polisi, dengan kompleks pemukiman tunggal terbesar yang menampung 44.000 orang Israel.