Pilihan atas desentralisasi dan otonomi daerah, sebagai satu dari “Enam Tuntutan Reformasi”, membawa cara baru dalam menyelenggarakan pemerintahan. Pola relasi pusat-daerah dirumuskan ulang. Akses politik rakyat juga dibuka lebar lewat ajang pemilihan pemimpin di tingkat lokal. Dalam praktiknya, desentralisasi yang ideal tersebut acap tak mewujud. Sesudah dua windu melaksanakan otonomi, aneka ironi hadir berselisihan. Desentralisasi menjelma bagai humus di taman sari inovasi, mengalirkan banyak gairah yang tak terbayangkan di zaman sentralisme Orde Baru. Namun, kontras pada kasus lainnya, eksperimen sistem baru tersebut menghadirkan persoalan pelik yang menjadi pengganjal kemajuan daerah. Merespons dua tendensi yang saling berpunggungan ini, tawaran solusi pastilah tak gampang disepakati. Apalagi berharap menemukan panasea. Namun, jika refleksi kritis kita fokuskan pada kerisauan publik terhadap noda hitam desentralisasi, inefisiensi, dan korupsi, model-model intervensi patut segera dirumuskan. Inefisiensi dan Korupsi Delapan belas tahun otonomi ditandai penguatan fiskal daerah. Tak kurang dari 53 persen uang negara berputar di daerah, termasuk Rp 766 triliun dari total belanja Rp 2.220 triliun (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2018) yang disalurkan lewat skema transfer. Kemandirian keuangan daerah memang terbilang rendah dari sisi pendapatan, tapi ruang bagi diskresi di sisi pengeluaran merentang lebar seiring dengan meningkatnya alokasi, insentif, dan bantuan pemerintah pusat. Tantangan ada pada politik anggaran dan tata kelola (budgetary governance). Bukan lagi berjuang agar makin banyak uang menyebar dari Jakarta ke seantero negeri, tapi bagaimana uang dibelanjakan dengan tepat dan memberi manfaat bagi publik. Mismanajemen masih terlihat pada daya serap (ratusan triliun dana nganggur di bank) dan mutu administrasi laporan keuangan (hanya sebagian kabupaten/kota memperoleh opini wajar tanpa pengecualian dari Badan Pemeriksa Keuangan). Perihal kontribusi manfaat, kualitas hidup manusia adalah tujuan paling paripurna desentralisasi. Sistem ini harus melahirkan manusia unggul yang berbadan sehat (kesehatan), berotak cerdas (pendidikan), dan berkantong tebal (daya beli ekonomi). Sayangnya, laporan Badan Pusat Statistik (2018) menunjukkan masih ada 18 provinsi dan sebagian kabupaten dengan indeks pembangunan manusia rendah dan sedang, khususnya terkait dengan kematian bayi dan putus sekolah. Di aras makro, kesenjangan sosial dan ketimpangan regional menjadi masalah struktural yang seperti sulit diurai. Mengapa semua itu terjadi? Dari perspektif teknokratik, ada gap yang nyata antara otoritas (uang dan kuasa) yang besar dan kapasitas tata kelola yang memble dalam sistem politik dan birokrasi. Kas pemerintah daerah digerus inefisiensi alokasi: ongkos tukang (pegawai) dan operasional (cost delivery) memakan porsi lebih besar ketimbang ceruk buat rakyat. Pengaruh fiskal terhadap perekonomian berdenyut lemah. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah gagal menjadi sumber pembiayaan layanan publik dan stimulan ekonomi. Namun ada yang lebih berbahaya dari inefisiensi: korupsi. “Desentralisasi” korupsi kini masuk stadium IV, level kritis yang bisa melumpuhkan sel-sel bangsa. Korupsi tersebut merata, berulang, dan masif: sepanjang 2005-2018, sebanyak 348 pemimpin daerah, 3.600 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan 2.000 birokrat terjerat perkara rasuah. Korupsi politik di era otonomi melahirkan pasar gelap kekuasaan. Kepala daerah memegang kuasa anggaran, lisensi atau perizinan usaha, dan alokasi proyek. Resonansinya ke lingkungan pemerintahan memaksa birokrat jadi operator korupsi dari politikus. Sedangkan ke sektor swasta, suap menjadi alat tukar sumber daya publik. Ibarat sungai, korupsi berhulu di politik, mengalir di sepanjang tingkat pemerintahan (otonomi), lalu bermuara atau mungkin daur ulang di hilir (hukum). Di hulu, politik yang korup yang memproduksi korupsi politik. Diskoneksi antara sistem pemerintahan desentralisasi dan sistem politik atau kepartaian yang masih sentralistik membuat tata kelola kekuasaan kedap dari kontrol publik. Terpusatnya kekuasaan pada ketua umum partai menyebabkan proses pengisian jabatan publik tertutup dan ditengarai sarat transaksi. Tak pelak, calon pemimpin yang memikul beban biaya politik tinggi gampang tergoda setelah terpilih. Keinginan balik modal menjelma menjadi perbuatan saat ada peluang: sistem integritas yang lemah; inspektorat yang tak mandiri; koordinasi, bimbingan, dan pengawasan pusat tak efektif; dan seterusnya. Andai mereka apes ditangkap aparat hukum, penyesalan lekas berganti selebrasi: palu hakim tak membuat jera lantaran sanksi yang ringan dan jarang dilapisi pidana tambahan (uang pengganti, sita aset, cabut hak politik). Dengan segudang persoalan tadi, ada saja elite politik yang mengusulkan perubahan sistem pemilihan. Pemilihan kepala daerah dituding berdosa telah memproduksi korupsi dan kontestasi berbiaya mahal. Padahal yang terjadi sebaliknya: dalam sistem politik yang korup, pilkada dijadikan sebagai pintu masuk berburu rente (uang saksi), jual-beli tiket (mahar), dan jual uang beli suara (politik uang), yang menjadi penyebab sebenarnya kontestasi tersebut menjadi mahal.Pintu Masuk Terobosan Kita memerlukan terobosan yang progresif dan menyeluruh. Di hulu, penanganan penyebab korupsi politik harus dimulai dengan reformasi partai. Negara semestinya menanggung sebagian besar pendanaan partai. Terbatasnya akses finansial partai membuat kader mereka di legislatif/eksekutif menjadi pemasok dana bagi operasi partai dan program politik. Alokasi dana partai yang meningkat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2018 perlu disimulasikan lagi ke kisaran yang lebih realistis. Dengan makin besarnya dana ditanggung negara, keuangan partai tidak hanya makin memadai dan mempersempit niat mencari sumber haram, tapi juga membuka ruang negosiasi negara dengan partai. Dana itu menjadi “bantuan bersyarat” bagi pembenahan internal. Pertama, keuangan partai wajib dikelola transparan dan akuntabel (diaudit dan diumumkan). Kedua, tata kelola kepartaian dibuat terbuka dan ada uji publik atas calon-calon pejabat publik. Ketiga, kaderisasi berjenjang dan rekrutmen berbasis merit. Keempat, kode etik bagi perilaku dan tata laksana berpartai. Jika problem hulu ini bisa teratasi, masalah dalam pemerintahan/otonomi menjadi lebih mudah ditata. Korupsi politik tidak akan banyak melahirkan korupsi turunannya. Pemimpin yang bersih akan lebih mudah membersihkan lingkungan birokrasi dan lingkungan politik (DPRD). Sebagai katup pengaman, hukum mesti bekerja dalam semangat yang menggentarkan, dengan menaikkan beban pidana yang jauh lebih berat dibandingkan dengan kenikmatan melakukan korupsi (cost-benefit ratio). Selanjutnya, agenda pembenahan otonomi bisa lebih berfokus pada strategi reformasi sisi teknokratik. Efektivitas bukan hanya berarti pemda wajib mencapai target-target besar desentralisasi, pemerintah pusat juga menjadikan pencapaian tersebut sebagai alat ukur untuk memberikan insentif dan disinsentif. Sementara itu, akuntabilitas ditakar dari downward accountability (rakyat) dan upward accountability (pusat) dari sisi administratif, kinerja, dan politik. Untuk itu, prasyarat menyelenggarakan desentralisasi wajib dibereskan. Kepemimpinan dan manajemen politik pemerintah pusat harus kuat dalam memandu perubahan. Desentralisasi memang membuka ruang bagi kian otonomnya daerah. Namun, tanpa tegaknya wibawa pemerintah pusat, desentralisasi menjadi berbahaya. Otonomi yang makin luas menuntut makin kuatnya kontrol pemerintah pusat lewat instrumen fiskal, regulasi, sistem insentif- disinsentif, dan standardisasi nasional. Akhirnya, perubahan kualitas hidup rakyat menjadi ukuran yang mutlak. Kebijakan tak bisa ditoleransi lagi jika rakyat terus terlempar ke garis tepi pembangunan dan menjadi tumbal dari buruknya tata kelola dan kejahatan elite. Sebagai sistem pemerintahan, otonomi wajib membuktikan dirinya berfaedah. Jika tidak, ketidakpercayaan rakyat akan memerosotkan legitimasi desentralisasi, yang bisa berujung pada munculnya niat elite politik untuk memutar haluan ke sistem lama.Penulis: Robert Endi Jaweng Jabatan: Direktur Eksekutif KPPOD Media: Majalah TEMPO, Edisi 27 Mei 2018 Dibaca 2258 kali
Oleh : Dr Maju Siregar (Auditor Ahli Madya Inspektoral Provinsi Sumatera Utara
Kasus korupsi di Indonesia memang sudah menggurita di berbagai lapis dan lini birokrasi. Ketika otonomi daerah (otda) digulirkan, banyak kalangan menyambutnya dengan sikap optimis. Rasa bosan dan trauma terhadap kekuasaan monolitik yang bertumpu di Pusat, disadari atau tidak telah melahirkan era baru yang dinilai akan sanggup menyejahterakan rakyat. Otonomi daerah diharapkan akan mampu menumbuhkembangkan potensi genius lokal sehingga kesenjangan ekonomi antar daerah bisa dikurangi, tingkat kesejahteraan makin merata, rakyat makin makmur, bangsa kian mandiri, dan muncul semangat lokal berbasis global untuk memicu adrenalin-adrenalin baru dalam membangun pranata kehidupan berbangsa dan bernegara. Penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia telah mengalami lompatan tajam dari sentralisasi menjadi desentralisasi, seiring diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Namun sayangnya, kelahiran UU ini tidaklah didasarkan pada kehendak politik (political will) yang tulus dari pemerintah, melainkan hanya sebagai respon untuk meredam munculnya tuntutan dari beberapa bagian wilayah Indonesia yang hendak memisahkan diri dari NKRI. Undang-undang No. 22 Tahun 1999 telah direvisi, bahkan diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 dan kemudian UU No. 12 Tahun 2008. Jika dilihat dari semangatnya, UU No. 32 Tahun 2004 seolah-olah diarahkan untuk memperkuat otonomi daerah, yakni dengan merevisi penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dari semula dipilih oleh DPRD, kemudian dipilih secara langsung oleh rakyat. Namun jika diteliti lebih mendalam, maka akan ditemukan beberapa semangat untuk menarik kembali desentralisasi dan otonomi daerah, sehingga UU tersebut diganti lagi dengan UU No. 23 Tahun 2014 Semenjak digulirkannya otonomi daerah, daerah justru menjadi sarang korupsi yang kian sulit terkontrol. Bupati/ wali kota, anggota dewan, bagaikan pemimpin baru yang menggunakan pedang kekuasaan secara semena-mena untuk memanjakan naluri dan kemaruk politik. Praktik korupsi di era reformasi yang kian menyebar ke daerah dan melibatkan semakin banyak aktor, tentu menggambarkan suatu ironi dari desentralisasi. Hal yang paling mengkhawatirkan adalah sebagian besar praktik korupsi di daerah justru dilakukan oleh kepala daerah dan anggota legislatif (DPRD) yang jelas-jelas dipilih oleh rakyat. Negara Indonesia pada era reformasi telah membangun suatu komitmen yang tinggi tentang penegakan supremasi hukum di tanah air. Semangat reformasi kemudian bergema dan memberikan angin segar bagi setiap lapisan masyarakat yang tentunya para pencari keadilan. Pemerintah tidak lagi memberikan suatu keistimewaan (previllage) berupa "kekebalan hukum" bagi para kroni-kroninya yang telah melakukan tindak pidana korupsi seperti pada masa orde baru. Pemerintah telah mengambil sikap yang keras terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi yang telah menjadi penyakit dan menggorogoti setiap sendi dalam masyarakat. Pemberantasan tindak pidana korupsi dinyatakan sebagai suatu tindak pidana atau kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Suatu kejahatan luar biasa karena telah merugikan keuangan negara dan tentunya mengakibatkan rakyat Indonesia semakin menderita. Sikap tegas dari pemerintahan Indonesia untuk memerangi korupsi ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan. Terbukti praktik korupsi semakin merajalela, dilihat dari indeks persepsi korupsi Indonesia versi World Bank 2007. Sejarah mencatat praktik korupsi di Indonesia sudah tumbuh subur dari masa ke masa. Praktik korupsi seiring dengan jalannya sistem penyelenggaraan pemerintahan. Penyelenggaraan pemerintahan yang seharusnya diharapkan dapat menyejahterakan rakyat Indonesia. Dari masa ke masa praktik korupsi di Indonesia semakin meningkat dan meluas. Hal tersebut seiring dengan kondisi pemerintahan yang berlaku. Praktik korupsi pada masa orde lama tidak tercium karena kondisi politik dan ekonomi pada saat itu belum stabil. Berbeda halnya pada masa orde baru, praktik korupsi lebih banyak dipertontonkan para elit negeri ini. Orde baru dengan penerapan sistem perekonomian yang berorientasi pada karakteristik "top down" mengakibatkan praktik korupsi berkutat di wilayah Presiden dan para kroni-kroninya. Tingkat kesejahteraan juga hanya berputar di pusat. Setelah tumbangnya rezim orde baru, semangat barupun tumbuh. Era reformasi membawa angin segar bagi seluruh rakyat Indonesia. Salah satu perubahan yang sangat menonjol terlihat dari segi penyelenggaraan pemerintahan yang bukan lagi terpusat di ibu kota negara (sentralisasi). Politik sentralisasi kemudian mengarah ke sistem desentralisasi. Sistem desentralisasi yang memberikan kewenangan besar kepada pemerintah daerah dalam mengatur rumah tangganya sendiri (otonomi daerah). Tujuan utama dari desentralisasi untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan keistimewahan suatu daerah. Pemerintah daerah dan DPRD menyelenggarakan tugas pemerintah dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya. Kekuasaan besar yang dimiliki pemerintah daerah, sangat rawan untuk disalahgunakan. Desentralisasi telah membentuk "Raja-raja" baru di daerah. Pihak eksekutif maupun legislatif (DPRD) telah melakukan perselingkuhan dalam melanggengkan praktik korup, karena kedua lembaga itu memiliki otoritas dalam hal mengatur dan mengelolah anggaran. Hubungan antara DPRD dan kepala daerah saling menimbulkan ketergantungan kepentingan yang menciptakan praktik-praktik korupsi. Modus korupsi di daerah pun bermacam-macam. Menurut hasil penelitian World Bank yang dilakukan sejak Mei hingga November 2006, modus korupsi yang dilakukan legislatif di daerah dilakukan dengan memperbanyak dan memperbesar mata anggaran dalam RAPBD, menyalurkan APBD kepada yayasan milik anggota DPRD serta memanipulasi dana kegiatan atau perjalanan dinas. Kontrol pemerintah pusat tidak sekuat dulu dan ada perubahan relasi politik di tingkat eksekutif dan legislatif di daerah. hubungan antara DPRD dan kepala daerah saling menimbulkan ketergantungan kepentingan yang menciptakan praktik-praktik korupsi. Terutama pada musim-musim tertentu. Saat pemilihan kepala derah, penetapan APBD dan pertanggungjawaban kepala daerah kepada DPRD. Hasil penelitian World Bank itu juga memperlihatkan bahwa kelompok masyarakat sipil mempunyai peran sebagai pemain kunci dalam mengungkap dan menyelesaikan kasus korupsi di Indonesia. Pendapat ini tentu tidak sepenuhnya benar, sebab pemberantasan korupsi tidak mungkin dilakukan jika hanya mengandalkan gerakan sosial, dan pengungkapan yang dilakukan masyarakat menjadi tidak berguna jika proses hukumnya kandas di tengah jalan karena ketidakseriusan aparat penegak hukum. Karena itu, gerakan sosial kelompok masyarakat sipil tidak menjadi lebih penting dibanding yang lainnya (proses hukum). Ada beberapa faktor yang menyebabkan maraknya korupsi pada pemerintahan daerah yakni : faktor pertama, perilaku buruk partai politik yang belum berubah mengakibatkan biaya politik menjadi sangat mahal. Perilaku buruk itu salah satunya persyaratan mahar bagi siapa pun yang ingin maju mencalonkan diri. Dengan biaya politik atau mahar ini, calon yang memenangkan pemilu akan dipaksa mengembalikan modal politiknya, misalnya dengan berperilaku korup. Ini yang menyebabkan korupsi tidak kunjung tuntas. Kedua, perilaku kepala daerah yang koruptif, bergaya hidup mewah. Faktor ketiga yang juga turut berperan membuat kepala daerah korup, yakni perilaku masyarakat yang apatis, misalnya meminta uang kepada calon kepala daerah agar dipilih. Akumulasi tiga hal tersebut yang membuat korupsi kepala daerah terjadi terus menerus. Maraknya kasus korupsi yang dilakukan kepala daerah juga disebabkan pengawasan di tingkat daerah yang tidak efektif. Banyak kasus pengawasan kurang optimal disebabkan karena Inspektorat setempat yang fungsi utamanya adalah melakukan pengawasan dan pembinaan merasa segan, karena yang diawasi adalah atasannya sendiri. Seharusnya Inspektorat bisa lebih independen agar fungsi pengawasan dan pembinaan yang merupakan tugas pokok dan fungsi dari Inspektorat daerah dapat berjalan lancar. Untuk mengatasi hal tersebut maka perlu dilakukan revitalisasi Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (Apip), sehingga Inspektorat daerah tidak lagi segan dan tidak terhambat lagi untuk mengawasi wali kota atau bupati. Sebab, undang-undang mengatur status mereka independen dan bertanggung jawab bukan kepada atasan langsung, dalam hal ini wali kota atau bupati. Selain itu perlu dirancang suatu peraturan pemerintah tentang pengendalian gratifikasi. Pengendalian gratifikasi akan lebih sistematis nantinya, termasuk pada korporasi. Karena bukan hanya mencegah para pejabat untuk menerima, tetapi juga memastikan mencegah korporasi untuk tidak memberi. Selain itu hukuman yang diberikan terhadap koruptor terlalu ringan menyebabkan tidak adanya efek jera bagi pelaku koruptor. Hal ini dapat dilihat dari hukuman yang diterima oleh koruptor yang merugikan kerugian keuangan negara puluhan miliar, hanya dikenakan hukuman 6 - 10 tahun penjara. Ringannya hukuman yang diperoleh koruptor tidak menyebabkan rasa takut kepada pelaku koruptor, sebab dengan menjalani hukuman hanya beberapa tahun saja, para koruptor dapat mendapatkan uang yang sangat besar yang kemungkinan tidak akan dapat diperolehnya selama masa jabatanya. (c)
|