Apa Dasar hukum pelaksanaan hukuman mati bagi terpidana narkoba di Indonesia

Apa Dasar hukum pelaksanaan hukuman mati bagi terpidana narkoba di Indonesia

Apa Dasar hukum pelaksanaan hukuman mati bagi terpidana narkoba di Indonesia
Lihat Foto

KRISTIANTO PURNOMO

Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) melakukan aksi unjuk rasa di Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (28/4/2015). Mereka menolak hukuman mati terhadap terpidana narkotika. KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO

KOMPAS.com - Pidana mati bukan bentuk hukuman yang baru di Indonesia. Pidana mati telah dikenal sejak zaman kerajaan di Indonesia.

Hukuman mati adalah hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan atau tanpa pengadilan sebagai bentuk hukuman terberat untuk seseorang akibat perbuatannya.

Dasar Hukum

Pada mulanya, hukuman mati di Indonesia dilaksanakan menurut ketentuan dalam pasal 11 Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP yang menyatakan bahwa "Pidana mati dijalankan oleh algojo atas penggantungan dengan mengikat leher di terhukum dengan sebuah jerat pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan dari bawah kakinya".

Pasal tersebut kemudian diubah dan dijelaskan dalam Undang-undang atau UU Nomor 2/PNPS/1964. Hukuman mati dijatuhkan pada orang-orang sipil dan dilakukan dengan cara menembak mati.

Dalam pasal 10 KUHP, hukuman mati tergolong ke dalam salah satu pidana pokok. Kejahatan yang diancam dengan hukuman mati di dalam KUHP antara lain:

  • Pasal 104 KUHP: Makar membunuh kepala negara.
  • Pasal 111 ayat 2 KUHP: Mengajak negara asing untuk menyerang Indonesia.
  • Pasal 124 ayat 3 KUHP: Memberikan pertolongan kepada musuh pada saat Indonesia dalam keadaan perang.
  • Pasal 140 ayat 4 KUHP: Membunuh kepala negara sahabat.
  • Pasal 340 KUHP: Pembunuhan yang direncanakan lebih dahulu.
  • Pasal 365 ayat 4 KUHP: Pencurian dan kekerasan oleh dua orang atau lebih dan mengakibatkan seseorang mengalami luka berat atau mati.

Selain itu, beberapa pasal dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika juga mengatur pidana mati. Pasal 118 dan Pasal 121 ayat 2 menyebutkan bahwa ancaman hukuman maksimal bagi pelanggar adalah pidana mati.

Baca juga: Kriminolog Sebut Herry Wirawan Bisa Tolak Vonis Hukuman Mati PT Bandung

Hukuman mati juga berlaku bagi pelaku tindak pidana korupsi. Sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi.

Pelaksanaan Hukuman Mati

Berikut tata cara pelaksanaan hukuman mati berdasarkan UU Nomor 2/PNPS/1964:

  • Tiga kali 24 jam sebelum eksekusi, jaksa memberitahukan terpidana tentang rencana hukuman mati.
  • Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati dapat dilaksanakan 40 hari setelah anaknya dilahirkan.
  • Kepala Polisi Daerah atau Kapolda membentuk regu tembak yang terdiri dari seorang bintara, 12 orang tamtama, di bawah pimpinan seorang perwira.
  • Setibanya di tempat pelaksanaan pidana mati, komandan pengawal menutup mata terpidana dengan sehelai kain.
  • Terpidana dapat menjalani pidana dengan berdiri, duduk, atau berlutut.
  • Jarak antara titik terpidana berada dengan regu penembak tidak lebih dari 10 meter dan tidak kurang dari lima meter.
  • Komandan regu penembak dengan menggunakan pedang memberikan isyarat dan memerintahkan anggotanya membidik jantung terpidana.
  • Apabila terpidana masih memperlihatkan tanda kehidupan, maka regu penembak melepaskan tembakan terakhir dengan menekankan ujung laras senjata pada kepala terpidana tepat di atas telinga.

Kontroversi Hukuman Mati

Amandemen kedua UUD 1945 dengan tegas menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya. Negara Indonesia mengakui adanya hukum kodrat, di mana hak untuk hidup melekat dan tidak dapat dirampas oleh siapapun.

Undang-undang yang masih memasukkan hukuman mati sebagai salah satu bentuk hukuman menjadi bertentangan dengan konstitusi. Sehingga, banyak pihak menuntut adanya amandemen terhadap UU yang masih memberlakukan hukuman mati.

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk pengaturan hukuman mati dalam UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dan bagaimana pelaksanaan hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika serta pro dan kontra atas hukuman mati tersebut. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Dewasa ini, dengan perkembangan teknologi dan akses informasi yang mudah, kejahatan luar biasa (extraordinary crime terjadi dimana-mana, dimana salah satu kejahatannya ialah tindak pidana narkotika. Dalam UU No. 35 Tahun 2009 terdapat bebarapa jenis pidana yang dikenakan bagi terpidana kasus narkotika. Hukuman terberatnya yaitu hukuman mati. Bentuk pengaturan pidana mati terdapat dalam beberapa pasal yaitu Pasal 113, 114, 116, 118, 119, 121 dan Pasal 133. Dalam pasal-pasal tersebut memuat kriteria dan unsur-unsur seseorang dapat dihukum mati. Walaupun pendahulu UU No. 35 Tahun 2009 yakni UU No. 22 Tahun 1997 juga memuat pengaturan hukuman mati tapi dengan melihat perkembangan yang ada, dibuatlah UU No. 35 Tahun 2009 agar dalam menetapkan terpidana mati dalam pidana narkotika ini, jelas apa-apa saja kriteria penyalahan narkotika sehingga seseorang dapat dipidana mati. 2. Pelaksanaan hukuman mati yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dilaksanakan dengan cara ditembak sampai mati. Tata cara pelaksanaan pidana mati ini telah diatur dalam UU No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer. Mengenai teknis yang lebih spesikfik dalam eksekusi mati, diatur dalam Perkapolri No. 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati. Pelaksanaan hukuman mati pun mengundang berbagai pendapat pro dan kontra, bagi pihak yang pro menganggap pidana mati dapat memberi efek jera dan harus tetap dilaksanakan sesuai peraturan Perundang-undangan yang ada, sedangkan pihak kontra menganggap hukuman mati seharusnya ditiadakan dengan alasan utama melanggar ketentuan Hak Asasi Manusia.

Selasa, 26 Maret 2013, JAKARTA – Kejahatan narkotika merupakan kejahatan yang serius dan extra ordinary sehingga tindakan negara juga harus tegas dan keras terhadap kejahatan narkotika. Pelaksanaan hukuman mati bukan hanya untuk efek jera (deverant) ataupun pemberian hukuman setimpal, tetapi yang lebih penting dimaksudkan untuk melindungi masyarakat (defend society) serta menyelamatkan anak bangsa dari bahaya penyalahgunaan narkoba.Penegasan itu disampaikan Deputi Hukum dan Kerja Sama Badan Narkotika Nasional (BNN) Ambassador Bali Moniaga, menanggapi berbagai polemik di masyarakat tentang pelaksanaan hukuman mati di Indonesia. Selanjutnya Bali Moniaga yang ditemui di Gedung BNN, Jumat (22/3) menjelaskan, BNN sebagai executing agency di bidang Pencegahan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN), wajib bekerja secara profesional dan wajib melaksanakan semua amanah Undang-Undang, baik KUHP maupun UU No. 35 Tahun 2009, yang secara tegas memberikan hukuman setimpal bagi pelanggar berat kejahatan narkotika berupa hukuma mati.Dalam putusan Mahkamah Konstitusi dijelaskan bahwa penerapan sanksi pidana mati bagi para pelaku tindak pidana Narkotika tidak melanggar hak asasi manusia, akan tetapi justru para pelaku tersebut telah melanggar hak asasi manusia lain, yang memberikan dampak terhadap kehancuran generasi muda di masa yang akan datang, tandas Bali Moniaga lagi.Selain itu, tambah Bali Moniaga, hukuman mati telah diatur dalam KUHP, pasal 10 yang merupakan bagian dari sistem hukum nasional dan telah berlaku berabad-abad lamaya, Pelaksanaan hukuman mati tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan ICCPR. Dalam membaca dan menafsirkan pasal-pasal dalam UUD 1945 tidak bisa sepotong-sepotong, hak setiap orang untuk hidup sebagaimana tertera dalam pasal 28 a dan 28 i ayat (1) harus dibaca dan ditafsirkan dalam kesatuan dengan pasal 28 j ayat (2) yaitu dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis, jelas Bali Moniaga.International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), yang sudah diratifikasi oleh Indonesia dalam pasal 6 ayat (1) menyatakan : Every human being has the inherent right to life. This right shall be protected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his life,Tetapi ICCPR masih membolehkan adanya hukuman mati bagi tindak pidana narkotika karena kejahatan narkotika adalah kejahatan extra ordinary most serious transnational organized crime, ujar Bali Moniaga. Meskipun pelaksanaan hukuman mati di Indonesia tetap dipertahankan, tapi dalam pelaksanaannya sangat selektif dan cenderung hati-hati. Sejak hukuman hati diberlakukan di Indonesia, terdapat 134 terpidana mati, tapi hingga kini baru 22 terpidana mati yang sudah dieksekusi, jadi masih ada 112 lagi yang menunggu dieksekusi, Dari 22 terpidana mati yang sudah dieksekusi, terdapat enam terpidana kasus narkoba. Kalau dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Amerika atau Malaysia kita paling selektif dan sangat hati-hati dalam menerapkan hukuman mati, jelas Bali Moniaga. Sementara itu, Kepala BNN Komjen Pol. Anang Iskandar, menekankan perlunya segera dilaksanakan hukuman mati terhadap terpidana mati kasus narkoba yang telah berkekuatan hukum tetap dan tidak ada upaya hukum lagi, Alasannya, hukuman mati diperlukan utamanya apabila yang bersangkutan selama di penjara masih mengedarkan narkotika, selain itu juga sebagai bagian dari memenuhi rasa keadilan masyarakat, serta menunjukkan keseriusan pemerintah dalam penegakan hukum. Diharapkan hukuman mati bisa efektif untuk memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di Indonesia, tandas Anang Iskandar. (pas)

Terkait