Adapun yang dimaksud dengan badan kehakiman atau peradilan yang bebas dan tidak memihak adalah

Posisi​​ Hakim Sebagai Pejabat Negara

untuk Memperkuat​​ Independensi Peradilan*

Oleh

Bismar Nasution**

Eksistensi hakim dalam suatu sistem hukum​​ tidak terlepas dari​​ ajaran pemisahan kekuasaan (separation of​​ powers)​​ yaitu, Trias Politica,​​ yang membagi kekuasaan negara ke dalam tiga cabang kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif.​​ Trias Politica bertujuan untuk mencegah tindakan penguasa yang sewenang-wenang dan menjamin kebebasan rakyat.​​ Ajaran pemisahan yang mutlak dan murni sulit dipraktekkan, sehingga ajaran tersebut ditafsirkan sebagai pembagian kekuasaan (distribution of powers).​​ 1​​ Dengan kata lain, hanya fungsi pokoknyalah yang dipisahkan, sedangkan untuk selebihnya ketiga cabang kekuasaan saling bekerjasama.2 ​​​​ Demikian pula halnya​​ sebagaimana yang dianut oleh UUD 1945. Menurut UUD 1945, pelaksanaan penyelenggaraan negara diserahkan kepada alat-alat perlengkapan negara seperti MPR, DPR, DPD, BPK, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. ​​ Setiap lembaga negara berdiri sendiri, namun dalam menjalankan kekuasaannya tidak terpisah atau terlepas secara mutlak antara satu dengan yang lain.​​ 

Kedudukan pengadilan (baik di lingkungan peradilan umum, peradilan tata usaha negara, maupun peradilan agama), dalam sebuah sistem peradilan terpadu​​ (integrated judiciary system) merupakan “pusat” proses peradilan. Hakim sebagai pilar utama mempunyai peran penting didalamnya. Dalam hal ini, hakim sebagai tempat terakhir bagi para pencari keadilan (justiciable) diharapkan mampu menghasilkan putusan yang mencerminkan rasa keadilan.3

Sebagai pelaksana kekuasaan yudikatif, hakim merupakan pengemban hukum praktis yang menjadi tulang punggung dalam kegiatan penalaran hukum.​​ Peran hakim dalam suatu tradisi hukum​​ dapat​​ berbeda antara satu dengan yang lain.4​​ Dalam tradisi hukum​​ common lawmisalnya, hakim menempati posisi yang sangat penting dan strategis dalam pembentukan hukum.​​ 5Sementaracivil law​​ mengutamakan hukum tertulis berupa​​ peraturan perundang-undangan sebagai sendi utama sistem​​ hukumnya, sehingga hakim lebih banyak berperan dalam kegiatan menerapkan hukum sesuai dengan peraturan yang sudah ditetapkan oleh legislatif dan eksekutif.6Diantara para penegak hukum​​ lainnya,​​ hakim adalah istimewa. Hakim adalah konkretisasi hukum dan keadilan yang abstrak.7​​ Hakim​​ juga kerap digambarkan sebagai wakil Tuhan untuk menegakkan hukum dan keadilan.​​ 8

Independensi Hakim dan Lembaga Peradilan

Lembaga peradilan dan​​ hakim​​ harus bersifat independen​​ (bebas)​​ serta​​ imparsial​​ (tidak memihak).9Independen berarti​​ keadaan dimana​​ hakim tidak boleh dikontrol atau dipengaruhi oleh pihak lain, terutama pihak yang berperkara.10​​ Hakim dan lembaga peradilan harus​​ bebas dari pengaruh dan kekuasaan pihak lain dalam​​ memeriksa dan memutus perkara, baik yang bersifat politis ataupun ekonomi.11 ​​​​ Imparsial berarti​​ bahwa hakim dan lembaga peradilan haruslah bersifat netral dan tidak berpihak dalam memutus perkara. ​​ Hakim harus mendasarkan putusan pada fakta dan hukum, tanpa batasan, pengaruh, perasaan, tekanan dan ancaman, baik secara lansung maupun tidak langsung dari pihak manapun dan untuk alasan ​​ apapun.12

Secara umum,​​ independensi lembaga peradilan dapat​​ dilihat melalui dua hal, yaitu tidak berpihak​​ dan​​ terputusnya​​ relasi dengan para aktor politik.13​​ Imparsialitas hakim​​ berarti hakim​​ mendasarkan putusannya pada hukum dan fakta di persidangan, bukan atas dasar keterkaitan dengan salah satu pihak yang berperkara.Imparsialitas proses peradilan hanya dapat dilakukan, jika hakim dapat lepas dari konflik kepentingan atau faktor semangat pertemanan dengan pihak yang berperkara.14Hakim​​ harus mengundurkan diri dari proses persidangan jika dia melihat adanya potensi imparsialitas.​​ Pemutusan relasi dengan dunia politik​​ juga​​ penting bagi seorang hakim agar tidak menjadi alat untuk merealisasikan tujuan politik atau mencegah pelaksanaan suatu putusan politik.15

Peradilan yang bebas dan tidak memihak merupakan salah satu syarat terselenggaranya pemerintah yang demokratis yang menjunjung tinggi supremasi hukum.16Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. ​​ Kemudian Pasal​​ 3 ayat (2)​​ Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.​​ 

Lebih lanjut,​​ Prinsip 1 dari “Basic Principles on the Independence of the Judiciary​​ (Prinsip-Prinsip Dasar Independensi Peradilan)​​ yang dikemukakan oleh​​ PBB menyebutkan:

The independence of the judiciary shall be guaranteed by the State and enshrined in the Constitution or the law of the country. It is the duty of all​​ governmental and other institutions to respect and observe the independence of the judiciary.”

(Independensi lembaga peradilan harus dijamin oleh negara dan diatur oleh Konstitusi atau hukum negara. ​​ Merupakan tugas pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya untuk menghormati dan memastikan independesi peradilan)​​ 

Pada dasarnya kebebasan​​ atau independensi​​ hakim bertujuan untuk mewujudkan putusan yang objektif yang tidak terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan tertentu baik kepentingan ekonomi, politik. golongan dan lain sebagainya. Dengan dijatuhkannya putusan hakim yang bernilai objektif atau transparan diharapkan pengadilan mampu memberikan kepuasan kepada para pihak yang berperkara,​​ pihak-pihak lain yang mendapat hak daripadanya padakhususnya maupun warga masyarakat pada umumnya.17Independensi merupakan karakteristik dasar yang harus dimiliki oleh seluruh​​ lingkungan peradilan dalam memeriksa dan mengadili perkara yang dihadapkan padanya.​​ Independensi tidak bisa dipisahkan dari keberadaan suatu lembaga peradilan yang ideal.​​ Putusan yang jauh menyimpang dari rasa keadilan akan menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap dunia peradilan. Eksistensi lembaga pengadilan yang tidak​​ disokong oleh​​ public​​ trust​​ akan​​ berpengaruh langsung pada kinerja lembaga pengadilan itu sendiri.

Tanpa independensi,​​ peranan dari lembaga peradilan akan terdistorsi dan mengakibatkan turunnya kepercayaan publik kepada lembaga peradilan khususnya dan penyelenggara negara pada umumnya.18Hanya lembaga peradilan yang independen yang dapat memberikan keadilan tanpa memihak berdasarkan hukum, dan dengan demikian melindungi hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar yang harus dimiliki individu. Agar tugas penting ini dapat dilaksanakan dengan efisisen dan sebagai semestinya, publik harus memiliki kepercayaan terhadap kemampuan pengadilan untuk menjalankan fungsinya secara independen dan imparsial.​​ 19​​ Ketika kepercayaan ini terkikis, baik lembagai peradilan maupun hakim secara individual​​ tidak akan dapat untuk memenuhi tugas penting tersebut.20Reduksi kepercayaan publik secara konstan diakibatkan absennya prinsip independensi peradilan dalam upaya melindungi hak warga negara untuk mendapatkan keadilan dan akses terhadap keadilan.​​ Salah satu penyebab utamanya​​ adalah perilaku korup dari institusi peradilan.21

Apabila ada kekuasaan lembaga peradilan yang independen, maka diyakini lembaga peradilan akan menjadi suatu mekanisme yang sangat kuat untuk mempertahankan konstitusi dan sebuah keadilan.22​​ Seperti itu nampak adannya korelasi antara fungsi lembaga peradilan dan proses demokratisasi, dimana pembentukan dan jaminan independensi kekuasaan lembaga peradilan seharusnya diciptakan secara aktif oleh seluruh elemen pelaksana kekuasaan negara.23

Asshiddiqie menatakan bahwa dalam proses bekerjanya,​​ lembaga pengadilan dan  setiap  individu hakim harus menempatkan diri dengan tepat dari kemungkinan intervensi dari ketiga ranah kekuasaan tersebut. Setiap hakim dan lembaga pengadilan harus bebas dari intervensi kepentingan sepihak;24

  • dari kekuasaan negara yang tercermin baik dalam fungsi kekuasaan​​ eksekutif maupun  legislative

  • kekuatan  masyarakat  (civil  society)  yang  seringkali  hanya didominasi oleh kepentingan elite aktivis yang belum tentu mencerminkan kepentingan publik dalam pengertian​​ yang sebenarnya, ataupun;

  • dari kekuatan-kekuatan modal. Pendek kata, pengadilan – terutama dalam memeriksa, memutus dan mengadili sesuatu perkara -- harus terbebas dari segala bentuk intervensi, baik politik maupun ekonomi.

Prinsip-Prinsip Dasar Independensi Peradilan MenurutPBB

Pada tahun 1985, Kongres Ketujuh Perserikatan Bangsa-Bangsa​​ (PBB)​​ tentang Pencegahan Tindak Kejahatan dan Perlakuan terhadap Pelaku mengadopsi Prinsip-Prinsip Dasar Independensi Peradilan, yang secara aklamasi disetujui oleh General​​ Assembly.​​ Adapun prinsip-prinsip tersebut berkaitan dengan: (i) independensi lembaga peradilan; (ii) kebebasan berekspresi dan berasosiasi; (iii) kualifikasi, seleksi dan pelatihan;​​ (iv)​​ kondisi jabatan; (v) immunitas dan kerahasiaan jabatan; dan (vi) disiplin, suspensi dan pemberhentian.​​ 25

Dalam hubungannya dengan independensi peradilan, PBB menyatakan secara garis besar terdapat dua bentuk independensi, yaitu independensi institusional (institutional independence) dan​​ independensi individual (individual independence).​​ Independensi institusional berarti bahwa peradilan atau yudikatif harus independen dari eksekutif dan legislatif. ​​ Dalam hal ini, independensi lembaga peradilan atau yudikatif harus dijamin dan dikuatkan oleh Konstitusi.​​ 26

1. Independensi Institusional27

Secara umum, setidaknya terdapat beberapa indikator independensi​​ institusional lembaga peradilan:

  • Independensi dalam Mengelola Urusan Administrasi

Peradilan harus dapat mengelola administrasinya sendiri dan hal-hal yang menyangkut dengan aktivitas operasionalnya secara umum.​​ 

  • Independensi dalam mengelola urusan keuangan

Lembaga peradilan harus diberikan dana yang memadai untuk dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Tanpa dana yang cukup, lembaga perhadilan tidak hanya akan kesulitan menjalankan fungsinya, tetapi juga akan menjadi rentan terhadap tekanan-tekanan eksternal maupun korupsi.​​ 

  • Independensi dalam Membuat Putusan​​ 

Cabang-cabang pemerintahan lainnya (eksekutif dan legislative) harus menghormati independensi lembaga peradilan.​​ Semua pihak harus​​ menghormati dan mematuhi putusan hukum lembaga peradilan. Hal ini penting untuk mempertahankan supremasi hukum sebagai suatu negara hukum.​​ 

Independensi lembaga peradilan​​ juga meliputi yurisdiksi atau kekuasaan atas semua permasalahan yang bersifat yudisial dan​​ untuk menentukan apakah permasalahan yang dihadapkan padanya untuk diperiksa termasuk kedalam wilayah kewenangan atau kekuasaannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku​​ (judicial autonomy in the determination of questions of competence).

2.​​ Independensi Hakim (Individual Independence)28

Independensi hakim berhubungan dengan independensi hakim dalam menjalankan​​ tugasnya secara profesional. ​​ Hal ini bukan berarti hakim dapat memutuskan suatu perkara secara sesuka hati, tetapi hakim memiliki​​ hak​​ dan kewajiban untuk memutus suatu perkara berdasarkan hukum tanpa secara bebas dari rasa takut akan adanya tindakan pembalasan dalam bentuk apapun yang bersifat pribadi, terutama dalam kaitannya dengan perkara-perkara yang sulit dan sensitif.​​ 

Adapun faktor-faktor yang menentukan independensi hakim​​ antara lain:

  • Perekrutan/Pengangkatan Hakim (Appointment)

Prinsip-prinsip Dasar yang dikemukakan oleh PBB tidak secara spesifik memberikan pedoman mengenai perekrutan/pengangkatan hakim yang sangat bervariatif pelaksanaannya di setiap negara. Namun pola atau cara perekrutan hakim merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi independensi hakim. Sistem rekrutmen hakim haruslah terbuka dan didasarkan pada aturan dan prosedur yang jelas. ​​ Rekrutmen harus difokuskan pada menjaring calon-calon hakim yang berkualitas.​​ Selain itu rekrutmen juga harus dilakukan berdasarkan sistem yang terpisah dengan sistem rekrutmen untuk cabang eksekutif. Hal ini sangat​​ penting untuk membebaskan para hakim dari pengaruh eksekutif. ​​ Sebagai pejabat negara, rekrutmen hakim di Indonesia sampai saat ini masih dilakukan sama seperti Calon Pegawai​​ Negeri Sipil​​ (CPNS)​​ pada umumnya. ​​ Seharusnya rekrutmen hakim berbeda dan dilakukan secara terpisah.

  • Jaminan jabatan​​ (Security of tenure)

Tanpa adanya jaminan jabatan jangka panjang, seperti renumerasi yang cukup, jaminan pensiun, ketentuan usia pensiun berdasarkan peraturan,​​ terdapat risiko yang lebih besar hakim menjadi tidak independen karena menjadi lebih rentan terhadap pengaruh negatif dalam memutuskan perkara.​​ 

  • Jaminan Finansial (Financial Security)

Jaminan keuangan juga dapat menjadi salah satu faktor yang penting untuk merekrut kandidat-kandidat hakim yang berkualitas dan juga membentengi hakim dari korupsi atau diintervensi secara politis dalam memeriksa perkara.​​ 

Independensi lembaga peradilan juga dapat dipengaruhi dengan kewenangan yang dimiliki oleh cabang eksekutif dan legislatif untuk mengendalikan anggaran lembaga peradilan.​​ ​​ Namun, dalam urusan administrasi dan manajemen,​​ lembaga pengadilan​​ mau tidak mauharus berhubungan dengan cabang eksekutif​​ dan legislatif. Keduanya sama-sama memegang kekuasaan yang berkaitan dengan budget.29​​ Lebih-lebih dengan pemerintah yang memegang kekuasaan atas administrasi negara dan Presiden yang dipandang sebagai administrator negara yang tertinggi. Dalam urusan anggaran, tentu pengadilan tidak dapat melepaskan diri dan membutuhkan kerjasama dari parlemen yang mempunyai kekuasaan dalam  menentukan APBN. 30

Dalam urusan dengan personi kepegawaian, sarana dan prasarana, dan sebagainya, pengadilan juga memerlukan kerjasama dari pihak pemerintah. Artinya, dalam sistem​​ tripartite antara pengadilan, parlemen, dan pemerintah ini, di satu pihak terdapat hubungan erat saling​​ mengendalikan, hubungan saling membutuhkan dan di pihak lain mengharuskan adanya sikap saling menghormati independensi dan kewenangan masing-masing.31

Adanya sistem promosi yang objektif yang didasarkan pada kemampuan, integritas dan pengalaman dapat menjadi faktor penting untuk memacu kinerja positif para hakim.​​ 

  • Akuntabilitas (pertanggungjawaban)

Adanya bentuk pertanggungjawaban yang jelas bagi segala bentuk pelanggaran etika atau pelanggaran hukum oleh hakim dan harus ditangani oleh lembaga yang independen atau imparsial untuk memastikan berlakunya hukum secara semestinya.

  • Kebebasan berpendapat dan berkumpul

Kebebasan berserikat dan berkumpul bagi para hakim sangat penting dalam masyarakat demokratis demi tegaknya supremasi hukum dan hak asasi manusia. ​​ Dengan mendirikan serikat atau perkumpulan, para​​ hakim dapat dengan lebih baik mempertahankan independensi mereka dan kepentingan profesional lainnya.​​ 

Urgensi Pemberlakuan Undang-Undang Jabatan Hakim Untuk Memperkuat Independesi Peradilan

Pembentukan Undang-Undang​​ Jabatan Hakim sebenarnya merupakan amanat Pasal 19 UU Nomor 48 Tahun 2009.​​ Tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang di bidang peradilan yang terbit tahun 2009, termasuk Undang-Undang​​ Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, hanya mengatur secara umum mengenai profesi jabatan hakim. Rekrutmen hakim​​ seharusya​​ lebih ketat daripada rekrutmen​​ lembaga penegakan hukum lainnya, seperti​​ pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau komisioner Komisi Yudisial (KY).​​ 

Sampai dengan saat ini,​​ ​​ rekrutmen hakim masih menggunakan sistem seleksi CPNS karena memang aturan jabatan hakim pejabat negara belum jelas.  Urgensi Undang-Undang​​ Jabatan Hakim sangat tinggi terutama sejak sejumlah paket undang-undang peradilan menyebut hakim sebagai pejabat negara.​​ 

Selain itu,​​ ​​ sistem rekrutmen, kepegawaian, kepangkatan maupun​​ penggajian​​ hakim belum​​ jelas. Pengaturan hakim sebagai pejabat negara sebagian sudah diatur dalam undang-undang paket peradilan. Namun, ada beberapa hal yang belum diatur sama sekali pasca penyatuan atap dari​​ Kementerian Hukum dan HAM ke Mahkamah Agung​​ pada​​ tahun​​ 2004.

Dengan adanya Undang-Undang Jabatan Hakim, hakim​​ diyakini​​ akan​​ dapat​​ ​​ bekerja lebih profesional​​ dan terlepas dari bayang-bayang eksekutif karena perekrutan hingga​​ urusan finansial​​ akan diurus sendiri.

Penutup

Hakim sebagai tempat terakhir bagi para pencari keadilan (justiciable) diharapkan mampu menghasilkan putusan yang mencerminkan rasa keadilan.Lembaga peradilan dan hakim​​ harus bersifat independen​​ (bebas)​​ serta​​ imparsial (tidak memihak).​​ Peradilan yang bebas dan tidak memihak merupakan salah satu syarat terselenggaranya pemerintah yang demokratis yang menjunjung tinggi supremasi hukum.Independen berarti keadaan dimana pengadilan (independensi institusional) dan hakim (independensi individual) tidak boleh dikontrol atau dipengaruhi oleh pihak lain, terutama pihak yang berperkara. Imparsialitas​​ pengadilan dan​​ hakim​​ putusan yang diambil harus didasarkan​​ pada hukum dan fakta di persidangan, bukan atas dasar keterkaitan dengan salah satu pihak yang berperkara.

Sistem rekrutmen hakim haruslah terbuka dan didasarkan pada aturan dan prosedur yang jelas. ​​ Rekrutmen harus difokuskan pada menjaring calon-calon hakim yang berkualitas. Selain itu rekrutmen juga harus dilakukan berdasarkan sistem yang terpisah dengan sistem rekrutmen untuk cabang eksekutif. ​​ Posisi hakim sebagai pejabat negara harus diperkuat dengan pemberlakuan Undang-Undang Jabatan Hakim, yang diharapkan dapat memperkuat independensi dan profesionalisme hakim sebagai pelaksana kekuasaan yudikatif.

DAFTAR PUSTAKA

Asrun, A. Muhammad.​​ Krisis Peradilan: Mahkamah Agung di Bawah Soeharto.​​ (Jakarta: Elsam, 2004).

Asshiddiqie, Jimly. “Reformasi Tata Kelola Peradilan”. http://www.jimlyschool.com/read/analisis/239/reformasi-tata-kelola-peradilan/

Baringbang, RE.​​ Catur Wangsa Yang Bebas Kolusi Simpul Mewujudkan Supremasi Hukum. (Jakarta: Pusat Kajian Reformasi, 2001).​​ 

Budiardjo, Miriam.​​ Dasar-Dasar Ilmu Politik. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1977).

Herbert Jacob, dkk,​​ Court, Law and Politics in Comparative Perspective, (Chicago: University of Chicago Press, 1997)

Lotulung, Paulus E. Makalah,​​ Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Ri Denpasar, 14 -18 Juli 2003.

Office of the High Commissioner for Human Rights in Cooperation dan International Bar Association.​​ Human Rights in the Administration of Justice: A Manual on Human Rights for Judges, Prosecutors and Lawyers. (New York & Geneva: United Nations, 2003)

Prasidi, Dimas. “Seri Independensi Peradilan: Independensi Peradilan Nasional”, https://dimasprasidi.wordpress.com/2008/12/02/seri-independensi-peradilan-independensi-peradilan-nasional/

Sutanto. ​​ “Independensi Lembaga Peradilan di Indonesia”. Makalah,​​ Diskusi Panel Pembangunan Hukum Arah Pengembangan Sistem Peradilan Indonesia, BPHN Departemen Hukum dan HAM Rl bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, pada tanggal 24-27 April 2007 di Yogyakarta.

Syahuri, Taufiqurrahman. “Status Hakim Sebagai Pejabat Negara dan Seleksi Pengangkatannya”. http://fish.uinsby.ac.id/wp-content/uploads/2014/09/Materi-Taufiqurrohman-Syahuri-STATUS-HAKIM-SEBAGAI-PEJABAT-NEGARA1.doc.

Wahyuni, Fitri. “Independensi Kekuasaan Kehakiman dalam Penegakan Hukum di Indonesia”. http://fakultashukumunisi.blogspot.co.id/2012/05/independensi-kekuasaan-kehakiman-dalam.html

Winarta, Frans. “Makna Independensi dan Imparsialitas Hakim”.​​ Suara Pembaruan, Jumat, 4 Oktober 2013.

Disampaikan pada acara​​ Focus Group Discussion​​ mengenai “Kedudukan Hakim Sebagai Pejabat Negara” yang dilaksanakan oleh Badan Litbang Diklat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung, di Medan, tanggal 3 November 2015.

​​ Mendapat Sarjana Hukum dari USU (1983), Magister Hukum dari Universitas Indonesia (1994), Doktor dari Universitas Indonesia (2001), Guru Besar Hukum Ekonomi Fakultas Hukum USU, Dosen Fakultas Hukum USU Medan, tahun 1987-sekarang, Dosen Pascasarjana Hukum USU Medan, tahun 1999-sekarang, Dosen Magister Manajemen Pascasarjana USU Medan, tahun 2002, Dosen Magister Kenotariatan Pascasarjana USU Medan, tahun 2002, Dosen Magister Hukum Pascasarjana Univ. Pancasila Jakarta, tahun 200-sekarang, Dosen Magister Hukum Pascasarjana Univ. Krisnadwipayana Jakarta, tahun 200-sekarang, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta, tahun 1997-2000). Penguji Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia, tahun 2002-sekarang. Dosen pada​​ Program Pascasarjana IAIN Medan, 2007. Dosen pada Sekolah Tinggi Hukum Militer, 2005 – sekarang, Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU, Tahun 2001-2006, Ketua Program Studi Pascasarjana Hukum (S2&S3), tahun 2006-2010. Ketua Lembaga Kajian Hukum Ekonomi F. Hukum USU, tahun 2013,​​ Kepala Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Sumatera Utara, dari Mei 2015.​​ 

​​ Miriam Budiardjo,​​ Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1977), Hal.222.

​​ Taufiqurrahman Syahuri, “Status Hakim Sebagai Pejabat Negara dan​​ Seleksi Pengangkatannya”,​​ http://fish.uinsby.ac.id/wp-content/uploads/2014/09/Materi-Taufiqurrohman-Syahuri-STATUS-HAKIM-SEBAGAI-PEJABAT-NEGARA1.doc, diakses pada tanggal 15 Oktober 2015.​​ 

​​ Fitri Wahyuni, “Independensi Kekuasaan Kehakiman dalam Penegakan Hukum di Indonesia”, http://fakultashukumunisi.blogspot.co.id/2012/05/independensi-kekuasaan-kehakiman-dalam.html

RE. Baringbang, 2001,​​ Catur Wangsa Yang Bebas Kolusi Simpul Mewujudkan Supremasi Hukum, Pusat Kajian Reformasi, Jakarta, hlm. 117.Terdapat​​ setidaknya​​ 6 (enam) syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis dibawah​​ rule of Law, yaitu:  Perlindungan Konstitusional, peradilan atau badan-badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak, Pemilihan Umum yang bebas, kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi, pendidikan kewarganegaraan.

​​ Frans Winarta, ​​ “Makna Independensi dan Imparsialitas Hakim”, ​​ Suara Pembaruan, Jumat, 4 Oktober 2013, hal. 10.

​​ Herbert Jacob,dkk, ​​ Court, Law and Politics in Comparative Perspective, (Chicago: University of Chicago Press, 1997), hal.609.

Paulus E Lotulung, Makalah,​​ Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Ri Denpasar, 14 -18 Juli 2003.

​​ Sutanto, ​​ “Independensi Lembaga Peradilan di Indonesia”, Makalah ​​ yang disampaikan dalam Diskusi Panel Pembangunan Hukum Arah Pengembangan Sistem Peradilan Indonesia, diselengarakan oleh BPHN Departemen Hukum dan HAM Rl bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, pada tanggal 24-27 April 2007 di Yogyakarta.

​​ Dimas Prasidi, “Seri Independensi Peradilan: Independensi Peradilan Nasional, https://dimasprasidi.wordpress.com/2008/12/02/seri-independensi-peradilan-independensi-peradilan-nasional/

Office of the High Commissioner for Human Rights in Cooperation (OHCHR) dan International Bar Association,​​ Human Rights in the Administration of Justice: A Manual on Human Rights for Judges, Prosecutors and Lawyers,​​ (New York & Geneva: United Nations, 2003),​​ hal.115.

A. Muhammad Asrun,​​ Krisis Peradilan: Mahkamah Agung di Bawah Soeharto,​​ (Jakarta: Elsam, 2004),Hal.53.

Jimly Asshiddiqie, “Reformasi Tata Kelola Peradilan”, http://www.jimlyschool.com/read/analisis/239/reformasi-tata-kelola-peradilan/

​​ OHCHR,​​ op.cit, hal. 113-149.

​​ Asshiddiqie,​​ loc.cit.