Ada kelompok umat Islam yang beranggapan bahwa hidup di dunia ini hanya mementingkan urusan akhirat

  1. 1. PERKEMBANGAN ISLAM PADA MASA MODERN user XI IPS 1
  2. 2. A. Sekilas tentang Dunia Islam pada Masa Modern Masa pembaharuan (modern) bagi dunia Islam adalah masa yang dimulai dan tahun 1800 M sampai sekarang. Masa pembaharuan ditandai dengan adanya kesadaran umat Islam terhadap kelemahan dirinya dan adanya dorongan untuk memperoleh kemajuan dalam berbagai bidang, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada masa pembaharuan ini, telah muncul tokoh tokoh pembaharu dan pemikir Islam di berbagai negara Islam.
  3. 3. Pada awal masa pembaharuan, kondisi dunia Islam, secara politis berada dibawah penetrasi kolonialisme. Baru pada pertengahan abad ke-20 M, dunia Islam bangkit memerdekakan negaranya dan penjajahan bangsa Barat (Eropa). Di antara negara-negara Islam atau negara-negara berpenduduk mayoritas umat Islam, yang memerdekakan dirinya dari penjajahan, seperti :
  4. 4. o Indonesia, memperoleh kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. o Pakistan pada tanggal 15 Agustus 1947. o Mesir secara formal memperoleh kemerdekaan dari Inggris tahun 1922 M. Namun, bangsa Mesir baru merasa benar- benar merdeka pada tanggal 23 Juli 1952, yakni setelah Jamal Abdul Nasir menjadi penguasa, karena dapat menggulingkan Raja Faruq yang dalam masa pemerintahannya pengaruh Inggris sangat besar. o Irak merdeka secara formal dari penjajah Inggris tahun 1932 M, tetapi sebenarnya baru benar-benar merdeka tahun 1958 M.
  5. 5. o Syria dan Libanon, merdeka dari penjajah Prancis tahun 1946 M. o Beberapa negara di Afrika merdeka dari penjajah Prancis, seperti Lybia tahun 1951 M, Sudan dan Maroko tahun 1956 M, dan Aijazair tahun 1962 M. o Di Asia Tenggara, negara-negara yang berpenduduk mayoritas Islam, yang merdeka dari penjajah Inggris adalah Malaysia tahun 1957 M dan Brunei Darussalam tahun 1984 M.
  6. 6.  o Di Asia Tengah, negara-negara yang merdeka dari Uni Soviet tahun 1992 M adalah Uzbekistan, Kirghistan, Kazakhtan, Tajikistan, dan Azerbaijan sedangkan Bosnia merdeka dari penjajah Yogoslavia juga tahun 1992 M.
  7. 7.  Setelah negara-negara yang berpenduduk mayoritas umat Islam tersebut memperoleh kemerdekaan, maka umat Islam bersama-sama dengan pemerintah negaranya melakukan usaha-usaha pembangunan dalam berbagai bidang, demi terwujudnya masyarakat bangsa yang adil dan makmur di bawah naungan rida Allah SWT.
  8. 8. B. Perkembangan Ajaran Islam pada Masa modern Menjelang dan pada awal-awal masa pembaharuan yaitu sebelum dan sesudah tahun 1800 M, umat Islam di berbagai negara, telah menyimpang dari ajaran Islam yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Hadis. Penyimpangan itu terdapat dalam hal :  Ajaran Islam tentang ketauhidan telah bercampur dengan kemusyrikan. Hal ini ditandai dengan banyaknya umat Islam yang selain menyembah Allah SWT juga memuja makam yang dianggap keramat dan meminta tolong dalam urusan gaib kepada dukun-dukun dan orang-orang yang dianggap sakti. Selain itu, ada juga kelompok umat Islam yang meng kultuskan dan beranggapan bahwa sultan adalah orang suci yang segala perintahnya harus ditaati.
  9. 9.  Adanya kelompok umat Islam, yang selama hidup di dunia ini, hanya mementingkan urusan akhirat dan meninggalkan dunia. Mereka beranggapan hahwa memiliki harta benda yang banyak, kedudukan yang tinggi dan ilmu pengetahuan tentang dunia adalah tidak perlu, karena hidup di dunia ini hanya sebentar dan sementara, sedangkan hidup di akhirat bersifat kekal dan abadi. Selain itu, banyak umat Islam yang menganut paham fatalisme, yaitu paham yang mengharuskan berserah diri kepada nasib dan tidak perlu berikhtiar, karena hidup manusia dikuasai dan ditentukan oleh nasib.
  10. 10. Penvimpangan-penyimpangan umat Islam terhadap ajaran agamanya seperti tersebut, mendorong lahirnya para tokoh pembaharu, yang berusaha menyadarkan urnat Islam agar kembali kepada ajaran Islam yang benar, yang bersumber kepada Al-Quran dan As-Sunnah (Hadis). Tokoh-tokoh pembaharu yang dimaksud antara lain: 1. Muhammad bin Abdul Wahhab 2. Rifa’ah Badawi Rafi’ At-Tahtawi, atau At- Tahtawi 3. Jamahiddin Al-Afghani
  11. 11. C. Perkembangan Ilmu Pengetahuan pada Masa Modern Pada masa pembaharuan, perkembangan ilmu pengetahuan mengalami kemajuan. Hal ini dapat dilihat di berbagai negara, seperti Turki, India, dan Mesir. Sultan Muhammad II (1785-1839 M) dan kesultanan Turki Usmani, melakukan berbagai usaha agar umat Islam di negaranya dapat menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Usaha-usaha tersebut seperti : 1. Melakukan modernisasi di bidang pendidikan dan pengajaran, dengan memasukkan kurikulum pengetahuan umum kepada lembaga-lembaga pendidikan Islam (madrasah).
  12. 12. 2. Mendirikan Lembaga Pendidikan “Mektebi Ma’arif’, untuk mencetak tenaga- tenaga ahli di bidang administrasi, juga membangun lembaga “Mektebi Ulumi Edebiyet,” untuk menyediakan tenaga- tenaga ahli di bidang penterjemah. 3. Mendirikan perguruan-perguruan tinggi di bidang kedokteran, militer, dan teknologi.
  13. 13. D. Perkembangan Kebudayaan Islam pada Masa modern Kebudayaan umat Islam pada masa pembaharuan berkembang ke arah yang lebih maju. Hal ini dapat dipelajari di berbagai negara Islam atau negara yang berpenduduk mayoritas umat Islam, seperti Saudi Arabia, Mesir, Irak, Iran, Kuwait, Pakistan, Malaysia, Brunei, dan Indonesia. 1. Arsitektur Arsitektur ada yang berfungsi melayani keagamaan, seperti masjid, makam, madrasah dan ada pula yang berfungsi melayani kepentingan sekuler, seperti istana, benteng, pasar, karavan serai (sejenis hotel), jalan-jalan raya, rel-rel kereta api, dan banyak lagi lainnya. 2. Sastra
  14. 14. 3. Kaligrafi Kata kaligrafi berasal dan Bahasa Yunani : kaligrafia atau kaligraphos. Kallosberarti indah dan grapho berarti tulisan. Jadi, kaligrafi berarti tulisan (aksara) indah yang mempunyai nilai estetis. Dalam Bahasa Arab kaligrafi disebut khatt, yang dalam pengertian sehari-hari berarti tulisan indah yang memiliki nila estetis. Kaligrafi (khatt) merupakan satu-satunya seni Islam, yang murni dihasilkan oleh orang Islam, berbeda dengan seni Islam lainnya seperti seni lukis dan ragam hias yang terpengaruh unsur non-Islam.
  15. 15. Kaligrafi terdiri dari bermacam-macam gaya antara lain enam macam gaya yang disebut Al-Aqlam As-Sittah (The Six Hands/Styles). Seni kaligrafI berkembang sangat cepat ke seluruh pelosok dunia, khususnya ke negara-negara yang penduduknya mayoritas umat Islam seperti Indonesia. Seni kaligrafi dipakai sebagai hiasan di masjid- masjid, penyekat ruang, hiasan dinding rumah, kotak penyimpanan perhiasan, alat- alat rumah tangga dan lain-lain. Media yang digunakannya pun beragam yakni dan kertas, kain, kulit, kaca, emas, perak, tembaga, kayu, dan keramik.

Mahasiswa muslim hendaknya dapat menyeimbangkan antara belajar untuk dunia dan akhirat. Hal ini dimaksud agar luaran dari mahasiswa muslim tidak hanya mementingkan kariernya, tetapi juga perannya dalam masyarakat. Peran di masyarakat yakni dengan berkontribusi mewujudkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin, menyebarkan agama Islam dengan baik sehingga terjadi keharmonisan di dalam masyarakat.

Topik ini disampiakan kepada 6000 mahasiswa baru Universitas Islam Indonesia (UII) tahun ajaran 2020/2021 dalam kegiatan Pesona Ta’aruf (PESTA) melalui platform Youtube pada sabtu (12/9). Menghadirkan Ust. Das’ad Latif, seorang pemuka agama Islam dan dosen di Makassar, talkshow mengangkat tema Peran Mahasiswa dalam Mewujudkan Islam Rahmatan ‘Alamin.

Ust. Das’ad mengatakan bahwa sebagai mahasiswa haruslah mempelajari ilmu pengetahuan dan yang terbaik adalah mengimbangi antara belajar untuk kuliah dengan belajar untuk agama. Dalam menuntut ilmu haus selalu dengan niat yang baik dan bertujuan untuk mendapatkan ridha Alla Swt.

“Nabi kita memperintahkan kita jika ingin selamat di dunia dan akhirat maka pelajarilah ilmu, baik ilmu dunia dan maupun agama. keduanya sama-sama memiliki kebermanfaatan yang baik. Oleh karena itu, menjadi mahasiswa di universitas Islam merupakan kesempatan besar untuk bisa belajar agama maupun ilmu dunia. Kita harus bisa mengimbanginya dengan membuat skala prioritas,” paparnya.

Selanjutnya, Ustadz Das’ad mencotohkan kenapa mempunyai ilmu yang baik sangat diperlukan, sebagaimana perkataan Ali bin Abi Thalib RA. yang lebih mementingkan mengejar ilmu daripada harta benda. Bahwa dengan banyaknya harta belum tentu membuat kita selamat di akhirat, tapi dengan banyaknya ilmu kita akan lebih dijamin selamat di dunia dan akhirat nanti.

Untuk mudah memahami ilmu, yang pertama adalah tidak boleh sombong. Hal ini sesuai dengan tujuan Islam ramatan ‘alamin yaitu dapat diterima dengan baik oleh semua orang. Dengan adanya kesombongan justru membuat orang lain tidak nyaman dan cenderung menolak. “Orang berilmu tidaklah boleh sombong, ciri orang yang sombong adalah tidak mau menerima atau mendengar pendapat orang lain,” ucap Ust. Das’ad.

Selain itu, kita juga harus mempunyai tutur kata yang baik dalam menyampaikan ilmu kepada orang lain, mempersatukan persaudaraan dengan sesama masyarakat, berbakti kepada orang tua, dan yang terakhir melaksanakan sholat tahajjud untuk memperbanyak doa.

“Kepada mahasiswa baru UII, carilah ilmu dengan ikhtiar terbaik dengan cara memaksimalkan belajar dengan memperhatikan guru, membaca buku sebanyak-banyaknya, dan memaksimalkan ibadah seperti baik dan patuh kepada orangtua, beribadah wajib dengan baik, dan usahakanlah berdoa di sepertiga malam,” tutup Ust. Das’ad. (MH/RS)

Ada kelompok umat Islam yang beranggapan bahwa hidup di dunia ini hanya mementingkan urusan akhirat
Bersikap Seimbang untuk Dunia dan Akhirat

Oleh : Sofwan Hadikusuma, Lc, M.E

Jika ada yang bertanya, untuk apa sebenarnya manusia diciptakan di dunia ini? Sebagai seorang muslim, tentu akan mudah menjawabnya: untuk beribadah. Demikian karena tujuan penciptaan memang telah jelas dititahkan oleh Allah swt. yaitu dalam firman-Nya pada surat adz-dzariyat ayat 56 yang artinya berbunyi: “Tiadalah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah (menyembahku)”. Ayat ini berlaku umum  menjelaskan bahwa tugas pokok kita sebagai manusia pada dasarnya adalah untuk beribadah semata. Namun demikian, apakah yang dimaksud dengan ibadah di sini hanya seperti yang kita bayangkan yaitu melaksanakan rukun Islam semata? Atau hanya berdiam di masjid berdzikir kepada Allah tanpa henti tanpa melakukan kegiatan apapun selainnya? Tentu tidak. Ketentuan bahwa satu-satunya tugas kita sebagai makhluk ciptaan Allah adalah untuk beribadah memang tidak dapat didustakan. Namun kenyataan bahwa kita hidup di dunia juga tidak dapat dikesampingkan.

Setiap manusia di dunia memiliki jalan takdir hidupnya masing-masing. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Rasulullah saw. menerangkan bahwa nasib manusia pada hakikatnya sudah ditentukan, termasuk rezeki, ajal, amal, kesedihan, dan kebahagiaannya. Hal ini seharusnya meniscayakan adanya iman kepada Allah bahwa Dia lah satu-satunya yang berkuasa dan tiadalah manusia melakukan sesuatu apapun kecuali ditujukan untuk menggapai ridha-Nya.

Manusia memang diciptakan dengan berbagai macam watak dan karakter. Berdasarkan tingkat kesadarannya, aktivitas yang dilakukan tentu juga akan berbeda-beda. Seseorang dengan kesadaran bahwa kehidupan di dunia hanya sementara, akan bisa menyeimbangkan kebutuhan duniawi dengan akhiratnya. Sementara seseorang dengan tingkat kesadaran tidak berimbang, akan lebih condong memprioritaskan salah satu dari keduanya.

Dari Anas ra. ia berkata, Ada tiga orang mendatangi rumah istri-istri Nabi saw. untuk bertanya tentang ibadah beliau. Setelah diberitahukan, mereka menganggap ibadah mereka sedikit sekali. Mereka berkata, “Kita ini tidak ada apa-apanya dibandingkan Nabi saw., padahal beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu maupun yang akan datang.” Salah seorang dari mereka mengatakan, “Aku akan melakukan shalat malam seterusnya.” Lainnya berkata, “Aku akan berpuasa seterunya tanpa berbuka.”  Kemudian yang lain juga berkata, “Sedangkan aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah.”

Melihat kepada potongan hadis di atas, tentu ada rasa kagum bagaimana semangat ibadah para sahabat yang sangat tinggi. Namun ternyata, setelah kabar ketiga sahabat tersebut sampai kepada Nabi saw., beliau memiliki tanggapan yang berbeda. Beliau menegaskan bahwa telah berlebih-lebihan dalam melakukan ibadah sehingga melupakan aspek kehidupan dunia, padahal amalan yang demikian tidak dicontohkannya. Pada lanjutan hadis dijelaskan bahwa Rasulullah saw. mendatangi mereka seraya bersabda, “Benarkah kalian yang telah berkata begini dan begitu? Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertaqwa kepada-Nya di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat (malam) dan aku juga tidur, dan aku juga menikahi wanita. Maka siapa yang tidak menyukai sunahku, ia tidak termasuk golonganku.”

Sebaliknya, terlalu memperhatikan dunia hingga melupakan akhirat tentu juga tidak baik. Manusia memang diciptakan dengan akal dan dihiasi dengan keinginan (syahwat) pada keindahan-keindahan duniawi. Allah swt berfirman dalam surat Ali Imran ayat 14 yang artinya adalah, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”

Dalam ayat tersebut Allah menjelaskan bahwa wanita, anak, harta, kendaraan, termasuk sawah ladang adalah keindahan dunia yang wajar jika manusia condong kepadanya. Kecintaan terhadap beberapa hal tersebut pada dasarnya adalah sah karena fitrah manusia memang diciptakan demikian. Namun kemudian menjadi tidak wajar jika kecintaan yang timbul menjadi berlebihan, apalagi menjadikan kesemuanya itu hanya sebagai tujuan hidup tanpa memperhatikan urusan akhirat.

Sejatinya, dunia memang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 29 yang artinya berbunyi, “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” Dipahami dari ayat ini adalah bahwa bumi dijadikan untuk manusia, artinya manusi memiliki hak untuk memanfaatkan segala apa yang ada di dalamnya. Pemanfaatan itu tentu harus dipahami pada hal-hal yang mengandung maslahat saja, termasuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder, maupun tersier, dalam ukuran yang diizinkan oleh syariat.

Tentu kita semua pernah mendengar atau membaca kisah viral seseorang yang memiliki kekayaan tiada bandingannya di muka bumi ini, Qarun. Dikisahkan bahwa pada awalnya Qarun adalah seseorang yang miskin. Lalu dia meminta Nabi Musa as. untuk mendoakannya agar diberikan kekayaan kepadanya. Doa itu akhirnya dikabulkan dan Qarun lantas menjadi orang yang kaya. Al-Quran menggambarkan betapa kekayaan tersebut sangat melimpah. Saking kayanya, bahkan kunci-kunci gudang hartanya sangat berat dan harus diangkat oleh beberapa orang kuat. Namun, kecintaannya yang berlebihan terhadap harta kekayaannya memunculkan perasaan sombong yang pada akhirnya mengantarkannya pada kebinasaan.

Imam Bukhari meriwayatkan satu hadis dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw. berkata, “Celaka budak dinar, dirham, dan kain (qathifah). Jika diberi dia ridha, jika tak diberi dia tak rela.” Melalui hadis tersebut, Rasulullah saw. menekankan bahwa sungguh tak elok manusia yang hatinya terpaku pada keberadaan harta. Menjadi kaya memang tidak salah, tapi menempatkan kekayaan pada hati tidaklah dianjurkan. Tercatat dalam sejarah, tidak sedikit para alim ulama yang mempunyai kekayaan yang banyak, namun kekayaan tersebut tidak menggoyahkan hati mereka dalam menyikapi kehidupan di akhirat.

Islam menganjurkan keseimbangan dalam menyikapi kehidupan dunia dan akhirat. Tidak berlebihan pada dunia, sebaliknya juga tidak berlebihan pada akhirat. Dalam surat Al-Qashash ayat 77 Allah swt. berfirman, “Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa akhirat memang telah disediakan sebagai tempat kembali, namun sebelumnya manusia juga ditakdirkan hidup di dunia. Dengan begitu, sebagaimana akhirat harus dipersiapkan, dunia juga harus dijadikan tempat mempersiapkan hidup di akhirat kelak.

Dalam sebuah ungkapan dikatakan bahwa dunia adalah ladang akhirat (ad-dunya mazra’at al-akhirah). Maksudnya adalah bagaimana kita harus bersikap terhadap dunia untuk menjadikannya sebagai ladang di mana kita menanam berbagai amal baik untuk dipanen nantinya di akhirat. Jika amal yang kita tanam berasal dari bibit yang kurang baik, kita harus bersiap memanen hasil yang kurang baik. Sebaliknya jika yang kita tanam berasal dari bibit yang baik, maka kita akan bergembira dengan hasil yang baik pula di akhirat kelak. Allah berfirman, “Siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun dia akan melihat (balasan)nya. Siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun dia akan melihat (balasan)nya pula.”