2. apa tujuan masuknya pasukan voc di ambon?jawab:

2. apa tujuan masuknya pasukan voc di ambon?jawab:

2. apa tujuan masuknya pasukan voc di ambon?jawab:
Lihat Foto

Wikimedia Commons/RL Stewart

Lapangan udara Laha di Ambon pada 1945.

KOMPAS.com - Pertempuran Ambon adalah peperangan yang terjadi di Pulau Ambon, Kepulauan Maluku, pada 30 Januari hingga 3 Februari 1942.

Perang ini merupakan bagian dari invasi Jepang atas koloni Belanda di Indonesia pada awal Perang Dunia II.

Dalam Pertempuran Ambon, Jepang melawan pasukan gabungan dari Belanda dan Australia.

Pada akhirnya, peperangan dimenangkan oleh pihak Jepang, yang menguasai Pulau Ambon beserta lapangan udaranya.

Baca juga: Asal-usul Nama dan Sejarah Kota Ambon

Latar belakang

Ambon, yang terletak di Kepulauan Maluku, merupakan salah satu pulau terluar di wilayah Hindia Belanda.

Saat menjajah Indonesia, Belanda tertarik dengan wilayah ini karena memiliki lokasi yang strategis untuk dijadikan pangkalan udara.

Sementara Australia, mulai menyadari bahwa Pulau Ambon dapat menjadi batu loncatan bagi Jepang untuk menyerang negaranya.

Untuk itu, Belanda membuat kesepakatan dengan Australia, agar dibantu memperkuat pertahanan di Ambon dengan mengirimkan pasukan dan peralatan.

Pada 14 Desember 1941, pasukan Gull Force Australia yang terdiri dari 1.090 tentara, mulai berangkat ke Ambon dengan kapal Belanda, Both, Valentijn, dan Patras.

Mereka sempat meladeni serangan pesawat Jepang yang dikirim pada 24 Januari 1942, tetapi segera kembali ke Filipina.

Baca juga: Kedatangan Jepang ke Indonesia

Lukisan kapal Kompeni Belanda di Pelabuhan Nusantara karya Hendrick Cornelisz Vroom (Wikimedia Commons)

Tahun-tahun terakhir abad ke-16 menjadi masa terberat bagi Belanda. Mereka belum memiliki kuasa penuh atas tanahnya. Belenggu kuasa Prancis rupanya masih terlalu kuat di sana. Meski di bawah tekanan, upaya Belanda memajukan bangsanya sudah mulai digalakkan, salah satunya dengan melakukan ekspedisi laut mencari sumber rempah-rempah di Timur yang belakangan ramai diperbincangkan para pelaut Eropa.

Dikisahkan sejarawan Leiden Femme Simon Gaastra dalam De Geschiedenis van de VOC (Riwayat VOC), pada 23 Juni 1595, rombongan penjelajah Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman berhasil menyandarkan kapalnya di Pelabuhan Banten. Peristiwa itu menjadi pembuka kisah penjelajahan Belanda di Nusantara.

Pada persinggahan pertama itu, Belanda belum bisa mengandalkan kekuatan meriamnya. Pendekatan secara halus perlu diutamakan, mengingat mereka harus bersaing dengan Portugis yang telah lebih dahulu berkuasa atas wilayah Malaka. Mereka harus dengan rendah hati mendekati para penguasa setempat untuk memperoleh rempah-rempah dan produk lain yang diinginkan.

Advertising

Advertising

Baca juga: Belanda vs Inggris di Maluku

Namun keadaan seperti itu tidak lama terjadi. Dalam beberapa tahun saja, Belanda sudah dapat merubah kedudukannya. Dalam Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, Nugorho Notosusanto, dkk menyebut jika peristiwa berbaliknya posisi Belanda, dari hanya sekedar “tamu” menjadi pemilik kekuatan di Nusantara terjadi pada 1605. Ketika itu pasukan Belanda pimpinan Steven van der Haghen masuk dalam pergumulan Portugis-Spanyol di Maluku. Saat kondisi lengah, Belanda berhasil merebut benteng Portugis di Ambon.

“Belanda menjadi kekuatan yang hebat di Asia. Boleh dibilang ia menguasai perdagangan rempah-rempah, dan tidak perlu lagi menyambut perutusan Asia dengan penuh kebesaran dan kemegahan,” tulis Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950.

Mengembalikan Nama Baik

Setelah memastikan kekuasaannya di Ambon, pemerintah Belanda bergerak cepat melakukan pendekatan terhadap para penguasa lokal. Mereka berusaha mengambil simpati demi menjaga kedudukan di perairan Maluku. Karenanya pada awal abad ke-17, sejumlah orang diundang untuk mengunjungi Belanda.

Undangan itu merupakan buntut dari fitnah yang banyak dilayangkan orang-orang Portugis terhadap Belanda. Selama ini di kalangan rakyat Ambon orang-orang Belanda disebut sebagai bangsa perompak yang banyak melakukan kejahatan. Kabar itu cukup mempengaruhi kedudukan orang Belanda, mengingat banyak rakyat Ambon yang percaya.

Baca juga: Misi Gagal Spanyol-Portugis Mengusir Belanda dari Nusantara

“Matelieff membawa mereka agar mereka memperoleh gambaran yang lain tentang kita, sebab seringkali mereka caci kita sebagai perompak, tak punya negeri, dan tak punya pemerintahan. Maka ia menilai ada gunanya mempersilahkan anak-anak orang kaya itu melihat hal yang sebalinya di negeri kita,” ungkap naturalis Belanda Francois Valentijn seperti dikutip Poeze.

Yang dimaksud Matelieff (de Jonge)  adalah salah seorang komandan armada laut Belanda terkemuka. Pada 1607, ia membawa tiga orang pangeran muda dari Ambon yang berusia antara 10 dan 12 tahun. Salah seorang anak adalah putra penguasa daerah yang menjadi sekutu Belanda. Ia diharapkan menjadi pengganti ayahnya di masa mendatang, dan tetap menjalin hubungan baik dengan Belanda setelah mengunjungi negeri di barat Eropa tersebut.

Sedangkan dua anak lainnya berasal dari kalangan penguasa yang masih mempercayai orang-orang Portugis. Menurut Valentijn, mereka berada di tengah-tengah antara Portugis dan Belanda. Namun hati mereka masih mempercayai ucapan orang Portugis terhadap anggapan negatif orang-orang Belanda.

“Dalam beberapa tahun ini sudah berubah alasan mengapa mereka membawa orang Ambon berkunjung ke Negeri Belanda. Tujuan Matelieff bahkan bersifat murni politis,” tulis Poeze.

Misi Penyebaran Agama

Pada masa Cornelis de Houtman, sekitar tahun 1611, beberapa pemuda Ambon dibawa dengan tujuan yang berbeda. Selama di Belanda, para pemuda ini dibimbing menjadi seorang guru sekolah. Mereka diharapkan dapat menyebarkan ajaran-ajaran dari Belanda dan diterapkan di negerinya. Salah satu pelajaran yang harus diajarkan adalah agama Kristen.

Sekitar 1620, masalah agama mulai menjadi perhatian utama pemerintah Belanda. Kali ini empat orang anak –Marcus de Roy, Andrea de Castro, Laurens de Fretis, dan Laurens Queljo– dikirim ke Belanda untuk mempelajari bahasa dan agama. Salah satu tujuannya adalah “agar sesudah beberapa lama nanti lebih dekat dengan kita dan juga dengan agama kita, dan mengembangkan agama itu dengan segala kemampuan mereka,” ungkap Valentijn.

Baca juga: Ketika Bangsa Eropa Memperebutkan Maluku

Banyaknya putra para penguasa Ambon diberangkatkan ke Belanda merupakan ide Letnan Gubernur Ambon Herman van Speult. Berdasar keputusan pejabat VOC pada 1619, agama Kristen harus mulai disebarkan di Ambon dan Ternate. Tugas itu harus dijalankan oleh masyarakat setempat sehingga para pemuda cerdas di Ambon mesti diangkat menjadi pendeta. Dan menuntut ilmu agama di Belanda adalah syarat utamanya.

Keempat putra Ambon ini berangkat pada Oktober 1620 dengan menaiki kapal Walcheren. Mereka tinggal di Belanda selama 8 tahun, terhitung sejak 1621 sampai 1629. Begitu tiba di Belanda, empat tamu muda itu diterima Pangeran Maurits. Selama di sana mereka juga berkesempatan mengunjungi kota-kota penting di Belanda, tanpa sedikitpun mengeluarkan uang. Biaya hidup selama 8 tahun itu ditanggung VOC.

Untuk memudahkan pengajaran agama Kristen, mereka diharuskan tinggal di rumah Pendeta Petrus Wassenburgius di Amersfoort. Selain soal agama, pendeta itu juga memberikan pelatihan bahasa Latin. Namun tidak lama, keempat putra Ambon itu dipindahkan ke Leiden karena di sana akan dibangun seminari khusus, bernama Seminarium Indicum, yang menjadi sekolah pendidikan khusus anak-anak Hindia. Barulah pada 1630, tiga dari empat pemuda Ambon itu kembali ke tanah airnya.

“Sayang mereka tidak memperlihatkan minat terhadap agama Kristen. Mereka menginginkan sesuatu yang lain, dan karena itu diangkat sebagai kadet laut dengan gaji masing-masing 20 gulden sebulan,” tulis Poeze.

Sesudah anak-anak Ambon itu, ada beberapa orang Hindia yang juga diberangkatkan ke Belanda. Tujuannya masih tetap sama, yakni memperdalam dan menyebarkan ilmu agama. Kali ini sasarannya lebih luas, melibatkan putra para penguasa dari daerah-daerah strategis di Hindia. Pemerintah Belanda berharap nantinya merke dapat menjadi alat bagi berdirinya “Gereja Tuhan”.

Baca juga: Masuknya Kristen di Indonesia

tirto.id - Perpindahan pusat pemerintahan pernah dilakukan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) alias Kompeni Belanda dalam sejarah pendudukannya di Nusantara atau Indonesia. Semula, kegiatan VOC dipusatkan di Ambon, Maluku. Namun, "ibu kota" kompeni ini kemudian dipindah jauh ke barat, yakni Jayakarta atau yang nantinya berganti nama menjadi Batavia.

Didirikan pada 20 Maret 1602, VOC semula merupakan perkumpulan dagang. Menurut A. Kardiyat Wiharyanto dalam Sejarah Indonesia Madya Abad XVI-XIX (2006), VOC dibentuk untuk menghindari persaingan antara sesama pedagang Belanda di Asia. Selain itu, VOC bertujuan menyaingi kongsi dagang dari Inggris, Portugis, maupun Spanyol.

Pada 1603, VOC membangun kantor perwakilannya di Banten. Penguasa Kesultanan Banten saat itu, Sultan Abdul Mafakhir Mahmud Abdulqadir (1596-1647) mengizinkan VOC melabuhkan kapal serta membangun dermaga, kantor administrasi, benteng kecil, dan gudang di wilayahnya.

Pos dagang di Banten ini merupakan kantor perwakilan VOC pertama, juga bisa disebut sebagai pusat kegiatan kongsi yang menyatukan kaum saudagar Belanda di Nusantara.

Namun, Banten juga memberikan hak yang sama kepada saingan VOC, yakni East India Company (EIC) dari Inggris. Bahkan, perwakilan EIC di Banten mendapat lokasi yang jauh lebih baik ketimbang yang ditempati VOC. Hal ini membuat VOC mulai berpikir untuk memindahkan pusat aktivitas dagangnya.

Baca juga: Raja Banten, Sultan "Resmi" Pertama di Nusantara

Bermarkas di Timur: Maluku

VOC sempat mengincar Makassar karena letaknya yang sangat strategis. Disebutkan dalam The Indonesian City: Studies in Urban Development and Planning (1986) suntingan Peter J. Nas, Makassar kala itu merupakan pusat perdagangan yang menghubungkan wilayah timur dan barat Nusantara.

Pada 1603, VOC mengirimkan surat kepada Sultan Alauddin I (1593-1639) agar diperkenankan berdagang di bandar niaga Makassar. Sultan Gowa mengabulkan permintaan itu dengan syarat, VOC hanya semata-mata berdagang di wilayah kerajaan itu.

Situasi ini berjalan selama beberapa tahun. VOC, tulis M.C. Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia (1993), akhirnya memperoleh izin mendirikan kantor dagang pertama di Sulawesi Selatan pada 1609.

Tetapi, VOC ternyata berambisi memonopoli dan bakal menjadikan Makassar sebagai pusatnya. Tindakan antisipasi pun dilakukan pihak Gowa dengan mengizinkan Portugis, Spanyol, Perancis, dan Inggris, untuk turut berdagang di Makassar. Alhasil, relasi antara VOC dengan Gowa pun retak.

Gagal di Makassar, VOC melirik agak ke timur lagi, yakni Kepulauan Maluku dengan kota tersibuknya: Ambon. Sebelumnya pada 1605, seperti yang ditulis John Pattikayhatu dalam Sejarah Daerah Maluku (1978), VOC atau Belanda telah merebut Ambon dari Portugis. Maka, sejak 1610, Ambon ditetapkan sebagai pusat aktivitas VOC dalam menjalankan bisnis dagangnya.

Alasan utama VOC bermarkas di Ambon adalah karena Maluku merupakan kepulauan penghasil rempah-rempah utama di Nusantara. Kala itu, Belanda memang hanya fokus berdagang hasil bumi, terutama rempah-rempah, yang sangat laku dan berharga mahal di Eropa.

Baca juga: Kerajaan Tanah Hitu dan Jurang Dua Agama di Maluku

Pembangunan langsung dilakukan di Ambon. Salah satunya, ungkap R.Z Leirissa dan Djuariah Latuconsina dalam buku Sejarah Kebudayaan Maluku (1999) adalah Benteng Victoria yang direbut dari Portugis pada 1605 dan rusak parah akibat diguncang gempa bumi direnovasi serta diperbesar. Benteng megah ini kemudian diberi nama Nieuw Victoria.

Pemimpin tertinggi atau gubernur Jenderal VOC pertama saat itu adalah Pieter Both yang menjabat hingga 1614. Selanjutnya, ada dua gubernur Jenderal lagi selama VOC beribukota di Ambon, yakni Gerard Reyns (1614-1615) kemudian Laurens Reael (1615-1619).

Kembali ke Barat: Jayakarta

Jan Pieterszoon Coen menjadi gubernur Jenderal VOC ke-4 sekaligus yang terakhir di Ambon. Ia ditunjuk menggantikan Reael yang meletakkan jabatannya lebih cepat karena terlibat beberapa masalah. Coen memiliki visi membangun jaringan perdagangan inter-Asia.

Menurut Coen, lokasi Ambon tidak cukup mendukung untuk mewujudkan ambisinya itu. Maluku memang penghasil utama rempah-rempah, namun letaknya kurang strategis dan jauh dari rute niaga Asia sehingga sulit atau jarang dijangkau oleh kapal-kapal dari berbagai wilayah lain.

Coen berpikir Ambon tampaknya sudah tidak ideal lagi untuk dijadikan pusat pemerintahan VOC. Nusantara bagian barat kini justru lebih menggiurkan dan potensial. Maka, Coen menetapkan Jayakarta akan menjadi ibu kota baru VOC.

Sebenarnya, sudah sejak lama Coen mengincar Jayakarta. Pada 1614, Coen mengatakan kepada The Heeren XVII (Dewan Direksi VOC) bahwa ada cara untuk memperkokoh kekuasaan mereka di Nusantara, yaitu menguasai Jayakarta.

Lokasi Jayakarta dianggap amat strategis dan termasuk jalur perdagangan Asia. Selain itu, Jayakarta dekat dengan Selat Malaka dan Selat Sunda, juga bisa terhubung relatif mudah dengan beberapa pelabuhan besar, seperti Banten, Cirebon, serta sejumlah bandar dagang di Sumatera, Aceh, dan kawasan Malaya.

Baca juga: Seabad Malaka Berjaya, Kemudian Musnah

Pamor Jayakarta yang terkenal sebagai salah satu pusat perdagangan paling sibuk di Jawa bagian barat sudah terdengar sejak dulu. Wilayah ini sebelumnya bernama Sunda Kelapa dan menjadi bagian dari kekuasaan Pajajaran, kerajaan Sunda yang berpusat di Bogor dan eksis hingga 1579 Masehi.

Sanusi Pane dalam Sedjarah Indonesia (1955) menuliskan, Sunda Kelapa pada masa Pajajaran sudah dikenal sebagai kota pelabuhan internasional. Bandar dagang ini menjadi tempat bertemunya kaum saudagar dari berbagai penjuru dunia, termasuk dari Eropa dan Timur Tengah.

Selain itu, para peniaga lintas bangsa dari negeri-negeri Melayu, India, Jepang, serta Cina juga kerap singgah di Sunda Kelapa, selain para pedagang dan nelayan dari berbagai daerah di Nusantara.

Tekad Coen semakin mantap untuk segera memindahkan pusat VOC ke Jayakarta. Hanya saja, Jayakarta saat itu masih menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kesultanan Banten. Coen pun menyusun kekuatan dalam rangka misi merebut tanah yang diidam-idamkan itu.

undefined

Dikutip dari Batavia 1740: Menyisir Jejak Betawi (2010) karya Windoro Adi, Coen merekrut ribuan orang Ambon sebagai milisi untuk menyerbu Jayakarta, selain tentu saja pasukan berkebangsaan Belanda. Dengan berkekuatan 16 kapal perang, armada tempur VOC pun berlayar ke barat, hanya beberapa pekan setelah Coen diresmikan sebagai gubernur Jenderal.

Armada Coen memang sempat kalah dari pasukan Banten yang dibantu Inggris dalam pertempuran di pesisir Jayakarta. Namun, ia segera menyusun kekuatan kembali dan pada 30 Mei 1619, Coen memimpin 1.000 orang menyerbu pos-pos musuh mereka yang sedang lengah.

Tanggal 30 Mei 1619, Coen berhasil menduduki Jayakarta dan hanya kehilangan 1 orang prajuritnya yang tewas. Kota pelabuhan itu pun dibumihanguskan sebelum diduduki sepenuhnya oleh VOC.

Selain itu, tulis Joko Darmawan dalam Sejarah Nasional: Ketika Nusantara Berbicara (2017), VOC juga berhasil mengusir orang-orang Inggris sekaligus menaklukkan Kesultanan Banten dengan kemenangan mutlak.

Di atas puing-puing Jayakarta, Coen memerintahkan pembangunan benteng baru yang lebih besar dan kuat. Selain itu, ia juga membangun kota kecil untuk tempat bermukim orang-orang yang telah turut bertempur bersamanya.

Baca juga: Kala J.P. Coen Menaklukkan Jayakarta dan Mendirikan Batavia

Nama Jayakarta pun diganti dengan Batavia yang nantinya digeser agak ke tengah sebagai pusat pemerintahan VOC. Dari kota inilah Belanda mampu menaklukkan hampir seluruh wilayah Nusantara dan menjajahnya hingga berabad-abad lamanya.

Setelah Belanda kalah dari Jepang pada 1942 dalam Perang Dunia Kedua, nama Batavia diganti menjadi Jakarta. Dan, sejak proklamasi kemerdekaan dinyatakan pada 17 Agustus 1945, Jakarta ditetapkan sebagai ibu kota negara RI dan menjadi pusat pemerintahan hingga saat ini.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Iswara N Raditya
(tirto.id - isw/win)


Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Windu Jusuf

Subscribe for updates Unsubscribe from updates