Wawancara jurnalisme termasuk pada wawancara yang bertujuan apa?

Kegiatan jurnalistik sebetulnya bermula dari kebutuhan dan naluri kita sebagai manusia, yaitu naluri ingin tahu dan naluri ingin memberitahukan. Dalam perkembangannya, kedua naluri ini disahkan menjadi hak asasi manusia (HAM) yang diakui secara universal. Kedua hak ini dikenal sebagai right to know and right to inform. Pada tahun 1948 PBB sepakat memproklamasikan kedua hak tersebut dalam pasal 19 Deklarasi Universal Hak-hak Manusia. Di dalamnya dinyatakan bahwa setiap orang: berhak berpendapat, bebas mengeluarkan/menyatakan pendapat, bebas memiliki pendapat tanpa campur tangan orang lain, serta bebas mencari, menerima, menyampaikan informasi dan pendapat dengan cara apapun, tanpa memandang batas-batas.

Selain diakui secara internasional, right to know and right to inform juga diatur dalam pasal 4 ayat 3 UU no. 40/1999 tentang pers. Dalam pasal 28F dinyatakan bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memeroleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Pasal 6 UUP juga menegaskan peranan pers nasional, sebagai berikut:

1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui2. Menegakkan nilai-nilai demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan HAM, serta menghormati kebhinekaan.3. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar. 4. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum5. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran Secara sosiologis, hak personal ”to know and to inform” didelegasikan kepada profesi wartawan. Masyarakat menyerahkan mandat kepada wartawan untuk merealisasikan hak-haknya. Oleh karena itu wartawan harus konsekuen dan konsisten melaksanakan isi mandat tersebut. Selain itu, wartawan harus rajin bertanya kepada siapa saja yang dianggap relevan (people trail). Bertanya dalam konteks jurnalisme disebut wawancara, yang juga merupakan salah satu kegiatan pokok wartawan. Melalui wawancara, wartawan bisa memeroleh berbagai fakta. Earl English dan Clarence membagi dua jenis fakta. Pertama, fakta/realita sosiologis yaitu peristiwa yang sungguh-sungguh telah terjadi. Kedua, fakta/realita psikologis yaitu sesuatu yang sungguh-sungguh benar. Artinya, sungguh-sungguh telah dinyatakan oleh nara sumber. Pernyataan nara sumber biasanya diperoleh melalui wawancara.

Fakta atau realitas ini tak boleh dicemari karangan atau opini wartawan. Dalam Kode Etik Jurnalistik 2006 pasal 2 ayat d, ditegaskan bahwa wartawan harus menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik, termasuk menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya. Stewart Robertson dan George Fox Mott dalam buku mereka, New Survey of Journalism menuliskan, “Berita adalah pencatatan informasi yang paling menarik, paling penting dan paling cermat yang dapat diperoleh tentang segala apa yang dipikirkan dan dikatakan, dilihat dan digambarkan, direncanakan dan dikerjakan orang.” Ini juga berarti bahwa berita tak mesti berisi laporan mengenai realitas sosiologis, tetapi bisa juga berisi pernyataan narasumber (realitas psikologis).

Khalayak media massa saat ini semakin kritis dan tak puas bila wartawan melaporkan suatu peristiwa hanya berdasarkan unsur-unsur apa, siapa, di mana, dan kapan. Mereka juga ingin tahu bagaimana pendapat para tokoh mengenai peristiwa tersebut. Itulah sebabnya kedua jenis fakta tersebut boleh digabungkan, asal tidak dicampuradukkan dengan opini, imajinasi, dan simpulan wartawan sendiri. Seperti yang telah dinyatakan dalam pasal 3 Kode Etik Jurnalistik 2006, ”Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara seimbang, tidak mencampurkan fakta dengan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.”

Selain fakta, yang juga harus diperhatikan wartawan adalah nilai berita. Artinya, ia harus tahu realitas psikologis dan sosiologis yang benar-benar layak disiarkan, yaitu yang memiliki nilai berita tinggi. Karena tidak semua fakta yang diperoleh wartawan dibutuhkan khalayak. Tak semua fakta yang memiliki nilai berita tinggi layak disiarkan atau diterbitkan. Ada beberapa aspek yang dijadikan acuan untuk menentukan nilai berita suatu fakta: penting (significance), kedekatan (proximity), aktualitas (timeliness), ukuran (magnitude), ketenaran (prominance), konflik, seksualitas, emosi atau naluri (human interest), sesuatu yang luar biasa atau aneh, akibat atau konsekuensi, kemajuan, mukjizat atau peristiwa ajaib, serta tragedi atau bencana.

Teknik pencarian fakta oleh wartawan tergantung kepada jenis peristiwa/fakta yang diburu. Ada kejadian yang tak disangka-sangka maupun yang telah direncanakan. Selain itu ada pula realitas sosiologis yang jarang menarik perhatian wartawan, yakni yang berupa ”peristiwa diam” atau fakta laten, seperti gejala sosial dalam masyarakat. Dalam ”perburuan” fakta, wartawan dapat mengamati langsung secara pasif maupun aktif. Tinggi-rendahnya kualitas berita yang didapatkan wartawan sangat berpengaruh kepada kekayaan intelektual dan emosionalnya, maupun kekayaan sosial dan rohaniahnya. Istilahnya: kekayaan objek sangat ditentukan oleh kekayaan subjek.Karena keterbatasan panca indera wartawan, maka untuk memperkaya laporannya ia harus melakukan wawancara. Melalui wawancara wartawan dapat menangkap fakta yang tak teramatinya, seperti latar belakang suatu peristiwa, kisah nyata, pengalaman, komentar, harapan, dan sebagainya dari orang yang diwawancarai. Wawancara tak selalu harus bertanya, namun bisa juga melontarkan pernyataan yang bagus dan provokatif, yang bisa memancing tanggapan nara sumber. Dilihat dari segi tujuan, dalam wawancara kita mengenal beberapa jenis pertanyaan, antara lain sebagai berikut:1. Pertanyaan informatif, adalah pertanyaan yang bertujuan meminta informasi/keterangan tentang suatu fakta2. Pertanyaan konfirmatif, adalah pertanyaan yang bertujuan meminta pembenaran atau penegasan dari sumber berita3. Pertanyaan verikatif, bertujuan meminta pemeriksaan atau pengecekan tentang kebenaran laporan kepada sumber berita4. Pertanyaan sugestif, adalah pertanyaan untuk meyakinkan atau memengaruhi nara sumber bahwa ia sependapat dengan sang wartawan5. Pertanyaan provokatif, bertujuan memancing nara sumber untuk menyatakan sesuatu yang diharapkan wartawan. Pertanyaan ini seringkali menjebak narasumber.Pewawancara harus cermat dan tepat memilih pertanyaan. Kualitas jawaban terwawancara sangat ditentukan oleh kualitas pertanyaan pewawancara. Ciri-ciri pewawancara yang profesional antara lain: 1. Memiliki wawasan yang sangat luas2. Memiliki rasa ingin tahu yang besar3. Mampu berbahasa dengan baik (fasih) sesuai bahasa yang dipahami terwawancara4. Tidak mewawancarai dengan kepala kosong. Artinya, sebelum berwawancara ia harus belajar tentang topik yang akan diperbincangkan5. Menyadari statusnya sebagai pemegang mandat masyarakat, maka ia tidak asal bertanya, melainkan selalu berusaha untuk mewujudkan isi hak tahu dan memberitahukan khalayak medianya.6. Bersikap kritis dan skeptis terhadap ucapan terwawancara. Wartawan boleh mendebat terwawancara bila ia kurang yakin akan kebenaran ucapan terwawancara.7. Mampu memosisikan diri sejajar dengan terwawancara8. Tidak angkuh dan sok tahu9. Berlaku sopan dan hormat, harus memperkenalkan diri dengan baik sebelum mulai bertanya10. Tidak menginterogasi terwawancara, tidak pula mengeluarkan kata-kata yang bersifat menghakimi11. Mampu berempati terhadap terwawancara12. Mencermati pesan-pesan non verbal dari narasumber

13. Mengetahui dan menaati Kode Etik Jurnalistik, khususnya pasal 7 Kode Etik Jurnalistik 2006, yang berbunyi, ”Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi nara sumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan.”

Wawancara berita (news interview) adalah kegiatan tanya-jawab yang dilakukan reporter atau wartawan dengan narasumber. Tujuannya untuk memperoleh informasi menarik dan penting yang diinginkan. Informasi yang menarik dan penting itu kemudian diolah untuk dijadikan berita. Seperti ditegaskan Newsom dan Wollert dalam Media Writing, News for The Mass Media (1985:221). Bahwa wawancara merupakan alat utama dalam proses pengumpulan bahan berita (interviews are basic tool of news gathering). Dengan wawancara, reporter atau wartawan akan dapat menggali informasi sebanyak dan sedalam mungkin dari narasumber. 

Agar bisa mencapai hasil seperti itu. Tentu saja diperlukan pengetahuan serta kemampuan dasar (basic skills) dari reporter atau wartawan dalam proses wawancara. Para reporter harus memahami maksud dan tujuan wawancara, menguasai topik dan materi wawancara. Serta dapat menata dengan baik organisasi wawancara. Selain itu, para reporter juga harus tahu kapan (timing), di mana, dan dalam situasi apa sebaiknya wawancara dilakukan. Kemudian, mereka harus bisa segera bisa mendeteksi dan mengevaluasi. Berkaitan dengan informasi yang sudah diperoleh. Apakah informasi sudah memadai dan sesuai dengan situasi dan waktu yang dialokasikan untuk wawancara tersebut.

Wawancara jurnalisme termasuk pada wawancara yang bertujuan apa?

Dilansir dari buku Jurnalistik Indonesia (2017). Menurut Flyod G. Arpan dalam Toward Better Communications seperti dikutip Mappatoto (1999:21-22). Berdasarkan bentuknya, wawancara dapat dikelompokkan ke dalam tujuh jenis. Simak dibawah ini, penjelasan secara lengkapnya!

7 Jenis Wawancara Berita Jurnalistik

1. Wawancara Sosok Pribadi (Personal Interview)

Pada wawancara ini dilakukan dalam dua golongan sosok pribadi. Pertama. Dengan orang yang baru tampil dalam suatu profesi seperti profesi dalam politik, niaga, perbankan, ilmu pengetahuan, hiburan, kegiatan sosial, olah raga. Kedua, dengan orang yang berada di luar orbit berita yakni orang biasa yang sebenarnya tidak melakukan kegiatan bernilai berita. Sebagaimana layaknya orang-orang besar. Tetapi orang itu menarik karena misalnya bertingkah laku aneh, atau melakukan pekerjaan aneh.

2. Wawancara Berita (News Interview)

Pada umumnya wawancara diselenggarakan sehubungan dengan adanya berita besar dengan maksud untuk memperoleh pendapat atau tanggapan dari orang yang berwenang. Biasanya wawancara ini dinamakan dengan sebutan wawancara cantelan berita (news peg). Umumnya wawancara berita dilakukan untuk memperoleh keterangan atau pendapat dari seseorang atas pertimbangan kewenangannya, prestasinya, keahliannya. Kemudian untuk diterbitkan sebagai berita lempang (straight news). Sumber berita itu misalnya presiden, para menteri, para petinggi negara, olahragawan, ilmuwan, pemodal, politisi, dan tokoh masyarakat.

3. Wawancara Jalanan (Man In The Street Interview)

Biasanya wawancara ini diadakan di jalan-jalan umum. Yaitu dengan menyetop dan menanyai orang yang lewat tentang pendapat mereka berkenaan dengan suatu berita penting. Dengan wawancara ini diharapkan dapat diperoleh pendapat umum tentang kejadian penting itu. Misalnya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

4. Wawancara Sambil Lalu (Casual Interview)

Dalam penyelenggaraan wawancara ini tidak direncanakan secara khusus tetapi berlangsung secara kebetulan. Pertemuan dan dialog dengan orang berwenang dalam suatu resepsi adalah sarana dari wawancara ini. Hal itu ditujukan untuk memperoleh keterangan dari orang besar yang ditemui pada kesempatan itu.

5. Wawancara Telepon (Telephone Interview)

Bertujuan untuk memperoleh keterangan dari seseorang yang berwenang. Dengan dilakukan melalui telepon yang sewaktu-waktu dapat diadakan antara pewarta dan sumber berita. Cara memperoleh keterangan melalui wawancara ini akan lebih lancar jika sudah ada saling percaya antara pewarta dan sumber berita. Artinya, di mata sumber berita pewarta yang bersangkutan memiliki integritas pribadi dan dapat dipercaya tidak akan salah kutip. Sebaliknya, pihak pewarta tidak mempunyai kepentingan lain dengan sumber berita kecuali memperoleh keterangan atau informasi.

6. Wawancara Tertulis (Written Interview)

Kelemahan dalam wawancara tertulis yakni sekiranya ada bagian yang tidak jelas dari jawaban tertulis itu. Pewarta tidak dapat meminta penjelasan dari sumber berita pada saat itu seperti yang dapat dilakukan dalam wawancara berita. Keuntungannya, berita yang disusun berdasarkan jawaban tertulis diasumsikan tidak akan dibantah oleh sumber berita. Kecuali kalau susunan berita bertentangan dengan maksud sumber berita.

7. Wawancara kelompok (Discussion Interview)

Pada wawancara ini dilakukan dengan sekelompok orang, seakan akan pewarta adalah peserta dalam suatu seminar atau simposium. Hasil wawancara yang akan diberitahukan bukan pendapat satu orang dalam seminar. Tetapi rangkuman pendapat yang transparan dalam seminar (Mappatoto 1999:22-24).

Hal yang Harus Diperhatikan Selama Wawancara

Jurnalis, reporter atau wartawan, dituntut untuk mengetahui dan menguasai banyak hal. Namun tetap dalam koridor normatif jurnalistik. Sebagai contoh, seperti diingatkan seorang wartawan senior salah satu surat kabar terkemuka ibu kota. Ketika tiba waktunya untuk mengadakan wawancara, maka seorang jurnalis harus bisa, sebagai berikut.

  • Menjaga suasana,
  • Bersikap wajar,
  • Memelihara situasi,
  • Tangkas dalam menarik kesimpulan,
  • Menjaga pokok persoalan,
  • Bersikap kritis,
  • Senantiasa menjaga sopan santun.

Nah, itu tadi penjelasan mengenai tujuh wawancara berita jurnalistik, beserta hal-hal yang perlu diperhatikan seorang jurnalis, reporter, atau wartawan selama wawancara. Semoga artikel ini bermanfaat, jangan lupa komen dibawah ya!

Wawancara jurnalisme termasuk pada wawancara yang bertujuan apa?

Wawancara jurnalisme termasuk pada wawancara yang bertujuan apa?