Melihat arti dari asal kata moksa jadi dapat disimpulkan pengertian moksha adalah

Dasar pokok keyakinan (kepercayaan Agama Hindu atau Hindu­ Dharma) ialah Moksa, Kata Moksa berasal dari bahasa Sanskerta, dari urat (akar) kata Muc, yang berarti: membebaskan, memerdekakan, melepaskan, mengeluarkan. Dari akar kata Muc, ini. menjadi Mukta (Mukti), Moksa. Kata Moksa dapat diartikan: kelepasan, kebebasan, kemerdekaan. Pengertian selanjutnya mengenai Moksa ialah: Kebebasan jiwatma yang mutlak, kebahagiaan yang kekal abadi tanpa wali duka, kebebasan dari ikatan Karma dan Samsara, bersatunya antara Atma dengan Brahman (Parama Atma, Sang Hyang Widdhi).

Ajaran Tutur, Kamoksan ini, sering juga disebut dengan: Kaparamartnan, Kadhyatmikan, Kalepasan, Kacunyatan. Istilah Moksa disebut juga dengan beberapa istilah lainnya: Mukti, Moktah, Nirwana (Nibbhana menurut ajaran Buddha), Mur (Murccha).

Dalam ajaran yang termuat dalam Kitab Suci Hindu antara lain tersebut:

"la yang melihat Aku di mana-mana, dan melihat semua di dalam Aku, Aku tidak hilang dari dia, dia pun tidak hilang dari Aku". (Bhagawad Gita Bab IV.30). "Kalau memang dengan keputusan hatinya ia tidak memperdulikan ikatan-ikatan benda duniawi, ia menikmati kebahagiaan abadi di dunia ini maupun di dunia baka." (Weda Smreti VI. 80).

Pada kitab suci Weda maupun Smerti terdapat beberapa ungkapan yang menjelaskan tujuan tertinggi serta terakhir ajaran Hindu. "Moksartham jagadhitaya ca iti dharmah, yang artinya: Tujuan ajaran Agama Hindu ialah untuk mencapai Moksa dan kebahagiaan jagat. Ungkapan ini mengandung pengertian yang sangat luas dan dalam.

Secara pokoknya dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pada masa hidup di dunia ini kita harus memiliki dua macam kehidupan yaitu kehidupan di dunia serta kehidupan di alam Surga maupun Moksa. Oleh karena itu selagi hidup ini hendaknya kita berusaha mencapai kesejahteraan hidup material di dunia berdasarkan Dharma (kebenaran), dan di samping itu kita usahakan pula bekal untuk dapat mencapai tingkatan alam Surga, dan Moksa setelah hidup kita di dunia ini berakhir.

Jiwatma (atma) yang masih dipengaruhi maya, karma dan samsara, akan senantiasa terikat mengembara dari satu kehidupan kepada kehidupan yang lainnya, sebelum mencapai kebebasan jiwatma tertinggi (Moksa). Kita yakin bahwa alam semesta beserta isinya adalah ciptaan Tuhan (Brahman, Sang Hyang Widdhi) dengan jalan yadnya (korban suci). Sang Hyang Widdhi merupakan asal serta tujuan kembalinya alam semesta.

Oleh karena itu hendaklah kita mengikuti jalan yadnya (pengorbanan suci), lahir batin, untuk kembali kepada Sang Hyang Widdhi, yang digelari sebagai Sang Hyang Sangkan Paraning Sarat.

Moksa itu ada beberapa macam ditinjau dari segi hubungan antara Atma dengan Brahman (Parama Atma, Sang Hyang Widdhi Waca), yaitu Samipya, Sarupya (Sadharmya), Salokya, dan Sayujya. Untuk mudahnya kita sebut saja dengan Catur Moksa.

Referensi Makalah®

Kepustakaan:

Wiratmadja, Bunga Rampai Agama Hindu, (Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, Indonesia, 1987).

A. Pengertian Moksa

Kata “Moksa” berasal dari bahasa Sanskerta, dari akar kata muc yang berarti membebaskan atau melepaskan. Moksa berarti kelepasan, kebebasan. Dari pemahaman istilah, kata moksa dapat disamakan dengan nirwana, nisreyasa atau keparamarthan. Moksa adalah alamnya brahman yang sangat gaib dan berada di luar batas pikiran umat manusia. Moksa bersifat nirguna. Tidak ada bahasa manusia yang dapat  menjelaskan bagaimana sesungguhnya alam moksa itu. Dia hanya dapat dirasakan oleh orang yang dapat mencapainya. Alam moksa bukan sesuatu yang bersifat khayal, tetapi suatu yang benar-benar ada, karena demikian dikatakan oleh ajaran kebenaran (agama).

Apa yang disabdakan oleh Tuhan yang dituliskan dalam kitab suci (Veda) adalah benar secara mutlak. Ajarannya selalu bersifat suci dan penuh kegaiban, maka dari itu ajarannya patut dipedomani sepanjang masa. Adapun yang dimaksud dengan kebebasan dalam pengertian moksa ialah terlepasnya atman dari ikatan maya, sehingga menyatu dengan Brahman. Bagi orang yang telah mencapai moksa berarti mereka telah mencapai alam Sat cit ananda. Sat cit ananda berarti kebahagiaan yang tertinggi. Setiap orang pada hakekatnya dapat mencapai moksa, asal mereka mengikuti dengan tekun jalan yang ditunjuk oleh agama. Jalan yang ditunjuk oleh ajaran agama untuk mencapai moksa adalah Catur Marga Yoga. Ajaran Catur Marga Yoga dapat ditempuh oleh semua orang dengan menyesuaikan kemampuan dirinya masing-masing.

Sesungguhnya jalan Catur Marga tersebut dalam prakteknya telah dilaksanakan dalam satu kesatuan yang utuh, namun dengan meletakkan satu penonjolan tertentu dari jalan-jalan tersebut. Seseorang yang menempuh jalan bhakti marga yoga juga telah melakukan marga yoga yang lainnya, tetapi dalam porsi yang lebih kecil, demikian pula yang lainnya. Moksa itu dapat dicapai di dunia ini artinya semasih kita hidup. Dan dapat pula dicapai setelah hidup ini berakhir. Kebebasan alam sorga dan neraka yang dicapai oleh seseorang yang ada dalam ajaran agama Hindu, bukanlah merupakan tujuan hidup yang tertinggi. Karena konsep alam sorga dan neraka hanya merupakan penomena yang dialami oleh atma seseorang bersama karma phalanya masing-masing pada waktu hidupnya di dunia. Dalam kehidupan di dunia dapat menumbuhkan adanya rasa cinta dan keinginan yang berlebihan, yang semuanya itu dapat menyebabkan seseorang menjadi terikat.

Bila seseorang menyadari hal ini maka akan tumbuhlah dalam dirinya usaha untuk melepaskan diri yang sejati dari keterikatan itu. Upaya dan usaha melepaskan diri secara sadar inilah dapat mengantarkan manusia menuju moksa. Ketidak-sadaran dengan keterikatan dapat menumbuhkan penderitaan yang berkepanjangan. Agama mengajarkan ada banyak usaha yang dapat ditempuh untuk mewujudkan semuanya itu. Diantara usaha-usaha itu antara lain ; dengan berprilaku yang baik, berdana-punya, beryajna, dan tirthayatra. Usaha itu dapat dilakukan secara bertahap dan didasari dengan niat yang baik dan suci. Dengan demikian seseorang dapat terlepaskan dari keterikatan duniawi.

Orang yang dapat membebaskan dirinya (pikiran dan perasaannya) dari ikatan keduniawian serta pengaruh suka dan duka yang muncul dari tri guna akan dapat mencapai kelepasan itu, sebagaimana diungkap dalam Bhagavadgita sebagai berikut:

Brahmabhūtah prasannātmā, na sochati na kānkshati, samah sarveshu bhūteshu, madbhaktim labhate param (Bhagawadgita, XVIII.54).

Terjemahannya:

Setelah menjadi satu dengan Brahman jiwanya tentram, tiada dhuka tiada nafsu-birahi, memandang semua mahluk-insani sama, ia mencapai pengabdian kepada-Ku yang tertinggi. 

Sattvam sukhe sanjayati,  rajah karmani bhārata, jnānam āvrtya tu tamah,  pramāde sanjayaty uta (Bhagavadgita XIV.9)

Terjemahannya:

Sattwa mengikat seseorang dengan kebahagiaan, rajas dengan kegiatan tetapi  tamas, menutupi budipekerti oh Barata, mengikat dengan kebingungan.

Yadā sattve pravrddhe tu,  pralayam yāti dehabhrit, tado ’ttamavidām lokan,  amalān pratipadyate (Bhagavadgita XIV. 14)

Artinya ;

Apabila sattva berkuasa dikala penghuni-badan bertemu dengan kematian maka ia mencapai dunia suci tempat mereka, para yang mengetahui.

Bhaktyā tv ananyayā sakya, aham evamvidho ‘rjuna, jnātum drashtum cha tattvena praveshtum cha paramtapa (Bhagawadgita,  XI.54)

Terjemahannya:

Tetapi dengan pengabdian jua yang hanya terpusatkan, oh Arjuna Aku dapat diketahui juga sesungguhnya dapat dilihat, Parantapa.

Pembebasan diri dari pengaruh tri guna adalah usaha yang sangat berat, tetapi pasti dapat dilakukan dengan mendasarkan diri pada disiplin.Renungkanlah sloka di atas bila ingin mencapai alam moksa. Penghayatan dan pengamalan semua bentuk ajaran agama dalam hidup ini merupakan wujud konkrit dari pengamalan sabda Tuhan yang ada dalam pustaka suci. Lakukan pemujaan dan kerja sebagaimana mestinya guna mewujudkan bhakti kita kepada Tuhan. Tanamkanlah keyakinan pada diri kita bahwa segala sesuatu berawal dan berakhir pada Tuhan. Segala sesuatu tidak mungkin akan terjadi tanpa Beliau ikut di dalamnya. Semua makhluk akan dapat mencapai moksa, hanya saja proses yang dilalui satu sama lain berbeda. Ada yang cepat dan ada pula yang lambat dan sebagainya. Bila seseorang dapat mengurangi sifat egoisnya terhadap sesuatu dan mengarahkan pikiran dan perasaannya pada Tuhan, maka secara perlahan-lahan dan pasti akan dapat menyatu dengan Brahman.

Tujuan utama hidup manusia adalah untuk menyadari dirinya yang sejati. Setelah orang menyadari dirinya yang sejati barulah ia dapat menyadari Tuhan yang meresap dan berada pada semua yang ada di alam semesta ini. Dalam kehidupan nyata di dunia ini masih sangatlah sedikit jumlah orang yang menginginkan mendapatkan kebahagiaan rohani ”moksa”, kebanyakan diantara mereka hanyut oleh kenikmatan duniawi yang penuh dengan gelombang suka dan duka. Kiranya setiap orang perlu menyadari bahwa tubuh ini adalah suatu alat untuk mendapatkan moksa. Moksanam sariram sadhanam yang artinya bahwa tubuh ini adalah sebagai alat untuk mencapai moksa. Dengan demikian peliharalah tubuh ini sebaik-baiknya. Demikian yang dikatakan dalam kitab  Brahma Purana (228.45).

B. Tingkatan  Moksa

Ada beberapa tingkatan ”moksa” yang diajarkan dalam ajaran agama Hindu. Ajaran ini didasarkan pada keadaan ”atma” dalam hubungannya dengan Brahman. Adapun bagian-bagiannya dapat dijelaskan sebagai berikut ;

Jiwamukti adalah tingkatan moksa atau kebahagiaan/kebebasan yang dapat dicapai oleh seseorang semasa hidupnya, dimana atmanya tidak lagi terpengaruh oleh gejolak indrya dan maya. Istilah ini dapat pula disamakan maksudnya dengan samipya dan sarupya.

Widehamukti adalah tingkat kebebasan yang dapat dicapai oleh seseorang semasa hidupnya, dimana atmanya telah meninggalkan badan wadagnya (jasadnya), tetapi roh yang bersangkutan masih kena pengaruh maya yang tipis. Tingkat keberadaan atma pada dalam posisi ini adalah setara dengan Brahman, namun belum dapat menyatu dengan-Nya, sebagai akibat dari pengaruh maya yang masih ada. Widehamukti dapat disejajarkan dengan salokya.

Purnamukti adalah tingkat kebebasan yang paling sempurna. Pada tingkatan ini posisi atma seseorang keberadaannya telah menyatu dengan Brahman. Setiap orang akan dapat mencapai posisi ini, apabila yang bersangkutan sungguh-sungguh dengan kesadaran dan hati yang suci mau dan mampu melepaskan diri dari keterikatan maya ini. Istilah Purnamukti dapat disamakan dengan sayujya.

Secara lebih rinci sesuai uraian di atas tentang keberadaan tingkatan-tingkatan moksa dapat dijabarkan lagi menjadi beberapa macam tingkatan. Moksa dapat dibedakan menjadi empat jenis yaitu: Samipya, Sarupya (Sadarmya), Salokya, dan Sayujya. Adapun penjelasan keempat bagian ini dapat dipaparkan  sebagai berikut ;

  1. Samipyaadalah suatu kebebasan yang dapat dicapai oleh seseorang semasa hidupnya di dunia ini. Hal ini dapat dilakukan oleh para Yogi dan oleh para Maharsi. Beliau dalam melakukan Yoga Samadhi telah dapat melepaskan unsur-unsur maya, sehingga beliau dapat mendengar wahyu Tuhan. Dalam keadaan yang demikian itu atman berada sangat dekat dengan Tuhan. Setelah beliau selesai melakukan samadhi, maka keadaan beliau kembali sebagai biasa, di mana emosi, pikiran, dan organ jasmaninya aktif kembali.
  2. Sarupya (Sadharmya) adalah suatu kebebasan yang didapat oleh seseorang di dunia ini, karena kelahirannya, di mana kedudukan Atman merupakan pancaran dari kemahakuasaan Tuhan, seperti halnya Sri Rama dan Buddha dan Sri Kresna. Walaupun Atman telah mengambil suatu perwujudan tertentu, namun ia tidak terikat oleh segala sesuatu yang ada di dunia ini.
  3. Salokya adalah suatu kebebasan yang dapat dicapai oleh Atman, di mana Atman itu sendiri telah berada dalam posisi dan kesadaran yang sama dengan Tuhan. Dalam keadaan seperti itu dapat dikatakan baliau Atman telah mencapai tingkatan Dewa yang merupakan manifestasi dari Tuhan itu sendiri.
  4. Sayujyaadalah suatu tingkat kebebasan yang tertinggi di mana Atman telah dapat bersatu dengan Tuhan Yang Esa. Dalam keadaan seperti inilah sebutan Brahman Atman Aikyam yang artinya: Atman dan Brahman sesungguhnya tunggal.

Dalam hubungan untuk mewujudkan suatu kebebasan dalam hidup ini sangat baik kita merenungkan dan mengamalkan sloka berikut:

Sribhagavan uvacha: Akasaram brahman paramam svabhavo dhyatmam uchyate,bhutabhavodbhavakaro visargah karmasamjnitah (Bhagawadgita VIII. 3. 129).

Terjemahannya:

Sri Bhagawan Bersabda: Brahman (Tuhan) adalah yang kekal, yang maha tinggi dan adanya di dalam tiap-tiap badan perseorangan disebut Adhyatman. Karma adalah nama yang diberikan kepada kekuatan cipta yang menjadikan makhluk hidup.

Mengenai kebahagiaan atau kebebasan abadi yang mesti diupayakan dalam hidup dan kehidupan ini, kitab suci Sarasamuscaya menyebutkan sebagai berikut:

Mātāpitrsahasrāni putradāra çatani ca, yuge yuge wyatītāni kasya te kasya wā wayam. Anādi ketang janma ngaranya, tan kinawruhan tembenya, luput kinalakaran, wilangning janmāntara, mewwiwut pwa bapanta, ibunta, anakta, rabinta, ring sayugasyuga, paramārthanya, ndyang enak katepetana sānu lawan ika, ndyang tuduhan anunta (Sarasamuscaya, 35.486)

Terjemahannya:

Tidak diketahui hubungan penjelmaan manusia itu pada permulaannya, tidak dapat diperkirakan akan banyaknya penjelmaan yang lain, beribu-ribu bapa, ibu, anak dan istri pada tiap-tiap yuga; pada hakekatnya, siapakah yang sebenarnya dapat mengatakan dengan tepat keturunan mereka itu, dan yang mana dapat ditunjuk seketurunan dengan engkau sendiri ?.

Nāyamatyantasamwāmsah kadācit kenacit saha, api swena marīrena kimutānyena kenacit. Tātan hana teka nitya patemunya ngaranya, ikang patemu ika, ikang tan temu ika, kapwa tan langgeng ika, patemunta lawan iking çariranta tuwi, tan langgeng ika, mapasaha mara don iking paneoadadi, haywa tinucap ikang len (Sarasamuscaya, 35. 487).

Terjemahannya:

Tidak ada yang kekal yang dinamakan pertemuan itu, yang bertemu satu dengan yang lain; yang tidak bertemu satu dengan yang lain, semuanya itu tidak kekal, bahkan hubunganmu dengan badanmu sendiripun tidak kekal, pasti akan berpisah dari badan; tangan, kaki, dan lain-lain bagian tubuh itu, jangan dikatakan dengan yang lain-lainnya.

Ādarçanādāpatitāh punaçcādarçanam gatāh, na te tawa na tesām twam kā tatra paridewanā. Keta sakeng taya marika, muwah, ta ya mulih ring taya, sangksipta tan akunta ika, ika tan sapa lawan kita, an mangkana, apa tojara, apa polaha (Sarasamuscaya, 35.488).

Terjemahannya:

Katanya mereka datang dari Taya (kenyataan yang tidak nyata), dan kemudian kembalinya lagi ke Taya, singkatnya, bukan kepunyaanku itu, itu tidak ada hubungannya dengan engkau, jika demikian halnya, apa yang akan dikatakan dan apa yang akan dikerjakan.

Naste dhane wā dāresu putre pitari mātari, aho kastamiti dhyātwā duhkhasyāpacitin caret. Hilang pwa mās, māti pwang anak, rabi, bapa, ibu, ikāna telas paratra,  atiçaya ta göng nikang lara, mwang dukkhaning hati enget pwa kitan mangkana, gawahenta tikang tambāning duhkha (Sarasamuscaya, 35. 489).

Terjemahannya:

Kekayaan akan habis, anak akan mati, istri, ayah, dan ibu, mereka itu semuanya telah meninggal, maka sangat menyedihkan dan memilukan hati, bila engkau sadarkan keadaan demikian, perbuatanmu itu merupakan obat pelipur duka.

Duhkheswanudwignamanāh sukhesu wigatasprhah, wītaçokabha-yakrodhah sthiradhīrmunirucyate. Sang kinahananing kaprajñān ngaranira, tan alara yan panemu duhkha, tan agirang yan panemu sukha, tātan kataman krodha, mwang takut, prihati, langgeng mahning juga tuturnira, apan majñāna, muni wi ngaraning majñāna (Sarasamuscaya, 35. 505).

Terjemahannya:

Orang yang disebut mendapatkan kebijaksanaan, tidak bersedih hati jika mengalami kesusahan, tidak bergirang hati, jika mendapat kesenangan, tidak kerasukan nafsu marah dan rasa takut serta kemurungan hati, melainkan selalu tetap tenang juga pikiran dan tutur katanya, karena berilmu, budi mulia pula disebut orang yang bijaksana.

Mānasam çamayet tasmāt prajñāya, gnimiwābhasa, praçānte mānase hyasya çārīramupaçāmyati. Matangnya duhkhaning manah, prihen pademen ring kaprajñān, apan niyata juga hilang dening kaprajñān, kadyangganing apuy dumilah, niyata padem nika dening wwai, padem pwa duhkhaning manah, padem ta laranikang çarīra (Sarasamuscaya, 35. 503).

Terjemahannya:

Karena itu penderitaan pikiran hendaklah diusahakan untuk dimusnahkan dengan kebijaksanaan, sebab tentunya lenyap oleh kebijaksanaan, seperti misalnya api yang menyala, pasti padam oleh air, jika telah musnah pen­deritaan pikiran, maka lenyaplah pula sakitnya badan.

Wījāyagnyupadagdhāni na rohanti yathā punah, jñānadagdhaistathā kleçairnātmā sampadyate punah.  Kunang paramārthanya, hilang ikang kleçaning awak, an pinanasan ring jñāna, hilang pwang kleça, ri katemwaning samyagjñāna, hilang tang janma, mari punarbhawa, kadyangganing wīja, pinanasan sinanga, hilang tuwuh nika, mari masewö (Sarasamuscaya, 35. 510).

Terjemahannya:

Adapun maknanya yang terpenting kecemaran badan akan lenyap, jika dilebur dengan latihan-latihan ilmu pengetahuan, jika hilang musnah kotoran badan itu, karena telah diperoleh pengetahuan yang sejati, maka terhapuslah kelahiran, tidak menjelma lagi sebagai misalnya biji benihan yang dipanaskan, dipanggang, hilang daya tumbuhnya, tidak tumbuh lagi.

Demikianlah dapat diuraikan mengenai tingkatan dan keberadaan orang yang dapat mencapai moksa, dan perlu diikuti dengan kesungguhan hati. Petikan sloka tersebut di atas sangat penting untuk direnungkan dan diimplementasikan, sehingga tercapai apa yang menjadi tujuan hidup ini.

C. Ajaran Moksa dalam  Ramayana dan Mahabharata

Tujuan hidup tertinggi dalam Ramayana dan Mahabharata Moksa. Seperti dimaklumi ada empat tujuan hidup manusia yang disebut Catur Varga, yakni Dharma (kebajikan), Artha (harta benda), Kama (kesenangan), dan Moksa (kebebasan dan kebahagiaan abadi). Ramayana menekankan hubungan yang erat antara Dharma, Artha, dan Kama yang disebut Tri Varga. Dharma merupakan landasan untuk mencapai Artha dan memenuhi Kama. Di dalam Ramayana tujuan tertinggi yakni Moksa ditunjukan hanya sekali ketika Sri Rama melaksanakan upacara pembakaran jenasah Jatayu. Ia merakhmatinya untuk mencapai kebebasan tertinggi (Atlekar, 1987:357).

Tujuan hidup yang kedua dan ketiga (Artha dan Kama) dicapai bila tidak sesuai dengan yang pertama (Dharma), maka mereka telah melanggar ajaran Dharma. Tidak jujur dan tidak baik berarti dikutuk oleh Dharma, “Dharma adalah yang tertinggi dan mengatasi segalanya. Kebenaran ditunjukan bila Dharma ditegakan, dan perintah ayahanda adalah termasuk di dalam Dharma”, demikian kata-kata Sri Rama (Val.Ram. 11.21.41). Tidak ada maksud atau tuuan akan tercapai bila tidak berdasarkan Dharma. Para raksasa melakukan pertapaan yang keras dan memperoleh kesaktian yang luar biasa, dan memperoleh kekayaan dengan jalan yang keliru, untuk memuaskan nafsu jahatnya. Mereka telah secara kasar merusak Dharma dan akhirnya mereka runtuh dan hancur.

Di dalam Ramayana (Val.Ram VI.114.25) dinyatakan: “Seseorang yang melakukan perbuatan baik (kebajikan) akan memperoleh pahala kebaikan, dan sebaliknya seseorang yang melakukan perbuatan dosa memperoleh keburukan sebagai pahalanya. Maharsi Valmiki menyusun karya Ramayana merupakan cerita yang hidup (cerita kehidupan) yang penuh dengan kandungan ajaran moral yang aktual dan mudah dipraktekan oleh setiap orang di seluruh negeri, dan menyeberang ke berbagai negara, tidak hanya sebagai cerita yang menyenangkan, tetapi juga merupakan ajaran yang mengandung nilai-nilai moralitas yang sangat tinggi, dan merupakan pembimbing bagi peradaban yang beSilf (Atlekar, 19871361).

Berikut dikutipkan beberapa terjemahan Sloka Ramayana Valmiki yang berkaitan dengan Moksa atau usaha untuk mencapai hal tersebut.

“Saya memuja Sri Rama yang beriringan dengan Laksamana yang merupakan keturunan dinasti Raghu, suami yang tampan dari Dewi Sita, yang datang dari dinasti Kakutsa, yang memiliki kasih sayang, perwujudan kebajikan, yang dicintai oleh para Brahmana, senantiasa berbuat baik dan benar, raja adiraja, putra Raja Dasaratha, yang kulitnya agak kehitaman, yang tenang penampilannya, yang kata-katanya merdu, yang terbaik di dalam keluarga keturunan Raghu, dan yang membunuh Ravana. Di sebelah kanannya berdiri Laksamana dan di sebelahkirinya Dewi Sita yang sangat beruntung, dan Hanuman yang berdiri di depannya. Saya memuja Sri Rama sekali lagi, sekali lagi” (Mangalacarana/lagu pemujaan awal).

Lagu pemujaan awal Ramayana karya Maharsi Valmiki di atas dinyanyikan sebelum mempelajari kitab Ramayana atau memulai pementasan dengan lakon cerita Ramayana, epos besar yang menceritakan bagaimana seorang manusia sempurna jatuh dari kebahagian ke dalam penderitaan dan keterikatan, dan berjuang untuk kembali ke keadaan semula. Pahlawan, Raja Rama, adalah Atman (jiwa tertinggi) di dalam diri semua makhluk. Ia disebut berkulit agak gelap, seperti Sri Krsna (yang berarti hitam), ia tidak dikenatuhui. Keduanya adalah inkarnasi Visnu, Tuhan Yang Maha Esa yang memelihara jagat raya, yang turun ke bumi ketika kebajikan di bumi mendapat ancaman berupa keinginan. Dewi Sita, dan adiknya Laksamana, melambangkan ego dan pikiran yang masing;masing loyal kepada Atman. Meskipun demikian, ego merupakan penyebab Atman jatuh terjerembab. Sita ditipu dan diperbudak oleh keinginan melalui sepuluh organ indriya, yang diwujudkan melalui raksasa Ravana yang memiliki sepuluh kepala. Karena kesalahannya (Dewi Sita) kemudian melakukan tapa, sementara itu keyakinan sepenuhnya kepada Rama -Sang Atman. Hanuman, melambangkan intelek yang mendapatkan inspirasi dari Ktman, memimpin dengan kekuatannya melawan raksasa berupa keinginan (Parthasarathy dalam Brown, l990:75).

Ketika raksasa Maricha menyamar sebagai seekor kijang emas dan berhasil dibunuh oleh Sri Rama, Sri Rama berkata sebagai berikut.

(Rama berkata kepada Laksamana): Di sini raksasa terlentang (mati) dan terbunuh oleh panahku. Ia sebelumnya berubah wujud menjadi seekor kijang yang menyebabkan saya jauh meninggalkan pondok. Demikian ia kenah panahku, seketika itu ia menirukan suaraku dan dengan keras memanggil untuk minta tolong. “Adiku Laksamana, aku mati, tolong aku”, dan suara itu akan terdengar dari jarak jauh. Oleh karena itu, mendengar suara yang keras minta tolong, engkau datang kemari dan meninggalkan Maithili (Sita) di sana” (Val. Ram. III. 59. 25, 27).

Rama adalah Atman, yang dapat menundukkan keinginannya, menggunakan panah yang diberikan oleh Dewa Indra, penguasa organ indriya. Ditembus dengan sebuah panah, raksasa keinginan menampakan wujud aslinya yang buruk, saat kematiannya ia memanggil pikiran (Laksamana) dan egonya (Sita), menyebut berkali-kali Atman (Ramanama). Pikiran dan ego menderita oleh keterikatan yang mengakibatkan Sang Diri mati. Kematian keinginan menakutkan kita; kita takut dengan kematian kita. Pikiran ditipu oleh sulap berupa keinginan dan terikai dengan hal-hal yang tidak penting. sehingga lupa kepada keabadian Atman. Bila memahami bahwa ego tidak kekal, maka akan tampak luas bahwa keinginan itu berupa raksasa (Parthasarthy dalam Brown. 1990:78).

Wahai sahabat, peganglah keretaku, dengan demikian aku selalu memperoleh kemenangan, keberanian dan ketangguhan adalah rodanya. kebenaran yang tidak bisa dibantah dan karakternya ada pada bendera. Kekuatan. kemampuan membedakan yang baik dan buruk. pengendalian diri. dan kedennawanan adalah kuda-kudanya. Pemaaf. kegembiraan dan keseimbangan pelananya. dan bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah kusir keretanya. Wahai sahabat. siapapun * yang memiliki kereta seperti tidak pemah terkalakan. Dengan kereta ini. seseorang tidak saja mampu mengatasi cobain-cobaan kecil dalam hidup. tetapi juga mengatasi keterikatan dengan dunia ini (Val. Ram. 1.53).

Kereta adalah simbol jiwa individu dan badan dalam satu kesatuan seperti disebutkan dalam kitab suci. Kata-kata tersebut di atas adalah kata-kata Sn Rama yang disampaikan ketika menghadapi raja raksasa Ravana. Pasukan kera Sri Rama banyak membunuh pemimpin para raksasa. Menghadapi situasi yang demikian itu Ravana menerobos ke medan pertempuran untuk membunuh Sn Rama. hal ini mengkhawatirkan Vibhisana. adik Ravana. Sri Rama meyakinkan Vibhisana menggunakan simbol kereta untuk mencegah kekhawatiran. Seseorang yang hidup dalam kemuliaan dengan keberanian dan ketangguhan. mendapat kekuatan dari spirit kebenaran, kemampuan untuk membedakan baik dan buruk. dan pengendalian din’. dirakhmati melalui kemurahan hati. suka memaatkan. dermawan dan kebaktian kepada ‘Ihhan Yang Maha Esa. dapa menghadapi raksasa kehidupan tanpa ketakutan untuk dikalahkan. Orang yang demikian akan mencapai kebahagian yang abadi (Moksa) (Parthasarthy dalam Brown. 1990: 80).

Berdasarkan kutipan di atas. dapat dipahami bahwa Moksa sebagai tujuan tertinggi di dalam Ramayana akan dicapai bila mampu melepaskan keterikatan dengan dunia material, mengembangkan kasih sayang. kejujuran. pengendalian diri, kemurahan hati. pemaaf. kedermawanan dan bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Uraian tentang Purusartha (Dharma, Artha,  Kama, dan Moksa) diuraikan hampir pada semua parva dari Mahabharata. Di dalam Kamapana  58 dinyatakan bawa Dharma sebagai penopang kehidupan masyarakat. dhuwur dhcirayate prajali. Sedang di dalam Pancatantra 3.10 disebutkan bahwa intisari dari Dharma bila perbuatan itu tidak baik untuk diri sendiri, jangan dilakukan terhadap orang lain, atmanah pratikulani paresam na samacret  (Shastri. 2006: 129).

Selanjumya ajaran tentang Moksa di dalam Mahabharata sesungguhnya secara panjang lebar dijelaskan dalam Santiparva. pada Moksadharmaparva : (yang terdiri dari 7.567 sloka). Dimulai dan pemaparan tentang keyakinan  (Sraddha). Kewajiban manusia sebelum menemui ajalnya. Akar dari kebahagiaan dan kesedihan. Asal dan berakhirya kembali semua makhluk ciptaan-Nya. Nilai kekayaan, penyebab kebahagiaan dan cerita tentang Prahlada. Terciptanya Prajapati. tentang swadhamra, kebenaran, pertapaan dan lain-lain, tidak ada perbedaan dalam Parna. Ciri atau karakter dari empat Varna (profesi dalam masyarakat). Aturan pengucapan mantra dengan tidak terdengamya mantra tersebut (manusa japa). Bagaimana seharusnya manusia. menghadap pada Brahma. Yudhisthrra bertanya kapan dia harus mengakhiri kekuasaan dan menjadi seorang pertapa. Kebaikan apa yang cenderung terjadi pada orang yang tidak mendalami ilmu spiritual. Bagaimana menghindari kesengsaraan dan menikmati kebahagiaan. Perjalanan roh/jiwa melalui kelahiran. Sifat roh dan roh yang tertinggi. Penerapan Yoga dan sifat dari roh tertinggi. Penjelasan tentang Vidya dan Avidya (pengetahuan dan tidak berpengetahuan) dan lain-lain. Demikian pula kitab Bhagavadgita secara gamblang menguraikan hal tersebut. Mengingat demikian luasnya ajaran tentang Moksa tersebut di sini diungkapkan sebagian kecil dari hal tersebut.

Sarvepalli RadhaKrsnan dan Charles A. Moore (1957: 99) menyatakan bahwa di dalam Mahabharata ditemukan uraian yang luas tentang Purusartha (tujuan hidup manusia), yaitu tentang Dharma (kebajkan), Artha (harta benda), Kama (kesenangan dunia) dan Moksa (kebebasan dankebahagiaan abadi), Catur Asrama yang terdiri dari Brahmacari (masa belajar), Grhastya (masa berumahtangga), Vinaprastha (masa mengasingkan diri tinggal di hutan) dan Sarhnyfrsa (masa mengembara sebagai seorang pertapa) dan Catur Vama, yakni: Brahmana (para pandita dan guru), Ksatriya (para pahlawan), Vaisya (para pedagang) dan Sudra (para pekerja).

Berikut dikutipkan terjemahan beberapa sloka tentang usaha mencapai Moksa yang dapat dirinci menjadi:

D. Aturan umum tentang tingkah laku

Tidak melukai, berbicara benar (satyavacana), adil, memiliki perasaan kasih sayang, pengendalian diri. Melahirkan (keturunan) dari hanya seorang istri, ramah, kesederhanaan, kesabaran, mereka yang mempraktekkan hal tersebut adalah yang terbaik dari pengamalan ajaran agama seperti dikatakan oleh Manu sendiri (Santiparva 21.11-12).

Menolak pemberian yang tidak tepat, memberikan derma, belajar (kitab suci), melakukan tapa, tidak melukai, benar, bebas dari kemarahan, memuja Dewa-Dewa dalam upacara yajfla, semuanya itu ciri-ciri kebajikan (Santiparva 37. 10).

Tidak melukai dalam bentuk pikiran, kata-kata, dan perbuatan, menghargai setiap makhluk ciptaan-Nya, memiliki perasaan kasih sayang, memberikan derma, merupakan perilaku orang yang berjasa yang patut dihargai. Perbuatan yang tidak bermanfaat bagi orang lain, atau perbuatan yang berakibat orang lain menjadi malu, hendaknya tidak pernah dilakukan (Santiparva 124. 65-66).

Adalah sangat sulit mengatakan apakah kebajikan itu. Tidak mudah pula untuk mengatakan tanda-tandanya. Tidak seorangpun, dalam mewacanakan kebajikan menunjukan tanda-tanda secara pasti. Kebajikan telah disedarkan (oleh Dewa Brahma) untuk kemajuan dan pertumbuhan semua makhluk. Oleh karena itu, siapa saja orang yang demikian itu, yang mengantar kitamenuju kemajuan dan pertumbuhan adalah orang yang memiliki kebajikan. Kebajikan telah diwedarkan untuk menghentikan menyakiti sesama makhluk.  Oleh karena itu, adalah orang yang memiliki kebajikan tidak akan menyakiti semua makhluk (Santiparva 109. 9-11).

Saya mengetahui masalah moralitas, yang abadi, yang semuanya misteri. Tidak juga jauh berbeda dengan ajaran kuno tentang moralitas yang diketahui oleh semua orang, yang terdiri dari keramah-tamahan universal dan penuh manfaat bagi semua ciptaan-Nya. Mode kehidupan yang dibangun secara keseluruhan tidak ada yang membahayakan semua ciptaan-Nya (kecuali dalam kasus tertentu yang sangat aktual) adalah ajaran moral yang tertinggi (santiparva 37. 20).

E. Kepatutan dan jalan tengah 

Kembali lagi yang disebut kebajikan, terkandung pada waktu dan tempat, bisa menjadi dosa. Pemberian (untuk orang lain), yang tidak benar, dan melukai atau membunuh, barangkali dalam situasi tertentu, dapat menjadi kebajikan. Perbuatan yang demikian itu (tampaknya) jahat, apa bila dalam situasi tertentu dianggap berhubungann dengan Dewa-Dewa, kitab suci, kehidupan itu sendiri, atau dalam arti menjujung kehidupan, sebagai konskuensinya hal itu dapat dipandang sebagai kebajikan (Santiparva 37.1 1,14).

Ketahuilah, wahai anaku, ada kebenaran tertentu, tidak selalu bernilai (berjasa) dan memaafkan juga tidak selalu berjasa! Memberi maaf yang berdampak pada penderitaan dapat disebut buruk, Oleh karena itu, orang yang terpelajar menyatakan tidak selalu harus memberi maaf.

Dengarkan sekarang, sesuatu tidak bernilai adalah orang yang tidak berkenan memberi maaf ! Manusia yang’diliputi kemarahan, yang dikelilingi oleh kegelapan, selalu mengakibatkan kebingungan, dengan kekuatannya sendiri, bermacam hukuman kepada orang-orang apakah sepantasnya menerima hal itu atau tidak, seharusnya dipisahkan dari sahabatnya sehingga tidak menyalah gunakan kekuatannya. Orang yang demikian dibenci oleh sahabatnya sendiri dan orang lain. Orang yang demikian, karena ia menghina orang lain, menderita oleh karena hilang miliknya dan mendapat celaan dan peneritaan, kebencian, kebingungan, dan musuh-musuh, Ia merupakan objek peringatan dari dunia. Orang-orang yang selalu melukai, mereka akan memperoleh lorong (yang gelap). Oleh karena itu, hendaknya tidak memperlihatkan sesuatu yang tidak baik, dan menjadi pemaaf dalam berbagai kesempatan (Vianparva 6.8-10).

(Dikatakan): “Berbicaralah benar dan konsisten dengan kebajikan. Tidak ada yang melebihi selain kebenaran”. Saya sekarang, O Bharata, berbicara kepadamu, yang umumnya tidakdiketahui oleh semua orang. Adalah kekeliruan yang tampak sebagai aspek dari kebenaran, kebenaran tidak dapat dikatakan. Dan lagi, kebenaran akan mengambil wujud ketikabenaran, dari ketidakbenaran akan dikatakan benar (Santiparva 109.4-5).

Hendaknya selalu berkata benar. Kembali lagi, lebih baik mengatakan yang lebih bermanfaat dari pada mengatakan kebenaran. Saya berpandangan bahwa kebenaran yang penuh dengan kebesaran sangat bermanfaat bagi  semua makhluk ciptaan-Nya (Santiparva 329.13).

Dalam keadaan yang sukar dan berbahaya, seseorang mengatakan ketidakbenaran, memperoleh jasa dari berkata benar, walaupun seseorang menyelesaikan perbuatan yang tidak baik, ia dianggap orang berjasa bila melakukan perbuatan baik. Perbuatan baik adalah tempat perlindungan bagi kebajikan. Anda harus tahu apa itu kebajikan, dan hal dibantu oleh perbuatan baik (Santiparva 259.6).

Ketahuilah bahwa para Ksatriya (pemimpin) adalah pelindung sekaligus juga penghancur umat manusia. Oleh karena itu, seorang Ksatriya dalam keadaan yang sukar (dengan kekuasaannya) apa yang dapat dikerjakan, dengan pandangan (yang tertinggi) melindungi umat manusia.

Tidak seorang pun di dunia ini dapat mendukung hidupnya tanpa melukai makhluk lain. Tidak terkecuali para pertapa yang tinggal jauh di tengah hutan. Hal yang sangat menarik dalam waktu tertentu mempengaruhi setiap makhluk. Segala sesuatu di dunia ini matang karena waktu, penderitaan yang menghancurkan.

Beberapa, wahai Raja, membunuh satu orang manusia. Pembunuh lagi membunuh yang lain. Ini bahasa di dunia. Dalam kenyataan, bagaimanapun, jangan, jangan membunuh. Kebenaran adalah kalahiran dan kehancuran semua makhluk telah diatur, untuk terjadi sebagai konskuensi karakter alam (Santiparva 109. 9-11).

F. Tujuan akhir dan usaha untuk mencapainya

Semua perbuatan, baik atau buruk, yang dilakukan di masa yang silam pahalanya kembali kepada yang melakukannya. Mengetahui segala sesuatunya seseorang akan senang atau atas berlangsung masa kini adalah merupakan akibat perbuatan di masa yang silam, Sang Diri berusaha untuk mengetahui berbagai arah yang berbeda (oleh karena itu perbuatan (baik) akan melenyapkan pahala-pahala buruk di masa yang silam (Santiparva 293. 42).

Dan pikirkan juga bahwa Anda didorong oleh Kekuatan Yang Tertinggi untuk melakukan (perbuatan baik) itu! Seperti halnya senjata dibuat oleh pande besi atau tukang kayu yang mengerjakan sesuatu dikendalikan oleh orang yang menangani hal itu, dan bergerak seperti ada yang menggerakkan. Demikian pula jagat raya ini, dikendalikan oleh perbuatan pada waktunya, seperti halnya perbuatan itu (Santiparva 34.21-22).

Hendaknya anda selalu mengerjakan dengan cepat, tanpa cepat maka tujuan tidak akan tercapai, segala sesuatunya dibahagiakan oleh raja (pemimpin). Keduanya itu, mengerjakan dan tujuan adalah seimbang (dalam pelaksanaannya). Kepada mereka, Saya menghormati, mengerjakan lebih tinggi posisinya, dan tujuan diketahui dengan pasti dan hasil apa yang  dikerjakan pada awalnya (Santiparva 109. 9-11).

Belajar, melakukan tapa (pengendalian diri), kekayaan yang banyak, sungguh, segala sesuatu dapat dijadikan sumber penghidupan dengan mengerjakan hal itu. Mengerjakan sesuatu merupakan perwujudan makhluk hidup, diatur oleh intelegensinya. Seorang raja atau pemimpin pernah tergantung dengan tujuan (Santiparva 120. 45, 54).

G. Kebiasaan tingkah laku 

Tingkah laku yang baik (praktek-praktek kebiasaan) adalah akar dari kesejahteraan, tingkah laku yang baik menjadikan seseorang semakin terkenal. Tingkah laku yang baik menghancurkan semua halangan dan kejahatan. Tinglah laku yang baik disebut lebih tinggi dibandingkan semua cabang ilmu pengetahuan. (Anusasanaparva 104.155-157).

H. Ketidakterikatan dan pertapaan 

Tidak terikat kepada semua (keduniawian), penuh kesenangan, meninggalkan harapan terhadap segala sesuatu, dan kasih sayang, Semua itu merupakan kebajikan tertinggi bagi seseorang yang telah mampu menguasai indera-inderanya dan memperoleh pengetahuan tentang Sang Diri.

Tidak diperlukan keterikatan diri sendiri kepada keduniawian. Keterikatan kepada objek-objek duniawi menghasilkan kejahatan.

Sahabat, anak-anak, pasangan hidup, badan itu sendiri, dan semua kepemilikan tersimpan dengan baik, semuanya tidak kokoh dan terbukti tidak berguna di dunia sana. Hanya perbuatan, baik atau buruk, yang dilakukan  seseorang, yang akan mengikuti seseorang ke dunia sana         (Santiparva 329. 19, 23, 32).

Orang yang demikian dikatakan benar-benar terpelajar dan benar-benar memiliki kebijaksanaan yang meninggalkan setiap tindakan, yang tidak menuruti hawa nafsunya, yang sepenuhnya tidak terikat dengan keduniawian yang mengelilinya, siapa saja yang meninggalkan keterikatan dengan dunia ini tidak akan terikat dengan dunia ini.

Orang yang demikian, yang tidak terikat dengan hal tersebut, menikmati objek indera dan semuanya terkendalikan, yang memilikiketenangan jiwa, ia yang tidak berubah karena kesenangan dan penderitaan, yang perhatiannya terpusat untuk meditasi Yoga, yang hidup diiringi oleh para Dewa yang mengendalikan indera-inderanya dan tidak terikat dengan keduniawian, dan ia yang terikat oleh badan, tidak pernah mengidentifikasikan dirinya dengan badan itu, segera akan mencapai kebebasan yang merupakan kebajikan tertinggi (Santiparva 330. 14-16).

Apapun objeknya, di antara sesuatu yang diinginkan, semuanya itu ditinggalkan, menjadi sumber kebahagiaan. Orang yang memburu objek objek kesenangan menemukan kehancuran dalam memenuhi dorongannyz itu. Tidak ada kebahagiaan yang muncul dari memenuhi dorongan nafsu, tidak ada kebahagiaan pun di sorga, mendekati enam belas bagian dan kebahagiaan yang muncul dari penghancuran semua kesenangan (Santiparva: 330. 47-48).

Bebas dari keterikatan, bebas dari keinginan, kesukaan, ketenangan kebenaran, pengendalian diri, memaafkan, dan kasih universal, adalah mereka yang memiliki kualitas yang saat ini datang kepada-Ku. Kebahagiaan yang murni kini datang kepada-Ku (Santiparva 177.43, 48).

Seseorang yang tidak mengerti Yoga tidak dapat diarahkan menuju kebebasan (Moksa). Orang yang tidak mengerti Yoga tidak pernah merasakan kebahagiaan. Kasih sayang dan mampu mengatasi penderitaan, keduanya tersebut sebagai tanda-tanda orang yang dapat mencapa kebebasan (Santiparva 287. 16).

I. Pengetahuan yang benar dan usaha mengasingkan diri  

Seseorang menjadi bersih dari dosa dalam arti melalui pengetahuan yang benar, hidup di dalam Brahman yang tinggi. Mengenakan pakaian coklat (sapron) kepalanya digundul, membawa tongkat berujung tiga (Trisula), dan kendi kamandalu (kendi tempat air minum) demikain tampak luarnya. Tetapi mereka tidak memiliki nilai-nilai sebagai sarana yang membantunya mencapai kebebasan.

Walaupun mengenakan pakaian seperti (Sarhny’asin) itu, pengetahuanlah satu-satunya yang menjadikan seseorang mencapai kebebasan dari penderitaan., dan pakaian yang dikenakan itu sepenuhnya tidak berguna.

Atau, bila, seseorang mampu meringankan penderitaan, dan kemudian mengenakan pakaian seperti seorang Samnyasin (pertapa), mengapa mereka kesulitan mengatasi penderitaan, tampak membawa payung dan tongkat kesucian. Saya dapat merealisasikan diri saya?

Kebebasan (Moksa) tidak ada pada kemelaratan, tidak pada keterikatan dengan kekayaan. Seseorang mencapai kebebasan hanya melalui pengetahuan, tidak dengan menjadi seorang yang sangat miskin atau orang yang berkelimpahan kekayaan.

Untuk alasan tersebut, mengetahui Aku hidup berada dalam kondisi yang bebas, walaupun Aku pura-pura dalam kenikmatan pelaksanaan Dharma, kekayaan, kesenangan, dalam bentuk kerajaan dan pasangannya, yang merupakan sebuah lapangan keterikatan (seperti pada umumnya dialami oleh manusia).

Keterikatan oleh kerajaan dan kekayaan, dan keterikatan oleh kemelekatan. Aku memotongnya dengan pedang pennenungan dengan mengasahnya pada batu kitab suci untuk mendapatkan kebebasan (Moksa) tersebut (Santiparva 321.46-52).

J. Menghadapi kesenangan duniawi 

Keinginan terhadap kekayaan tidak dapat mengantarkannya menuju kebahagiaan. Bila diperoleh menimbulkan kecemasan yang sangat mengkhawatirkan. Apabila hilang semuanya itu, seseorang merasakan seperti kematian. Akhirnya, memburu kekayaan merupakan sesuatu yang tidak pasti.

Kekayaan tidak diperoleh walaupun dengan penyerahan diri seseorang. Apa yang lebih menyedihkan selain seperti ini? Ketika diperoleh seseorang tidak pernah puas dengan memenuhi keinginannya itu, namun seseorang terus membrmmya. Seperti rasa manisnya nii Sungai (langit. Kekayaan  menimbulkan keinginan seseorang (yang tidak pernah terpuaskan)(Santiparva 177.43, 48).

K. Kebahagiaan dan penderitaan 

Di dalam penghargaan ini dikatakan bahwa mereka yang memiliki kebijaksanaan, melihat dunia itu diliputi dengan penderitaan, baik jasmani mapun rohani, dan dengan kebahagiaan semuanya dengan meyakinkan akan mengakhiri penderitaan, tidak akan pernah menderita ataupun terbius olehnya. Orang yang bijaksana akan berusaha menyelamatkan dirinya dari penderitaan. Kebahagiaan semua makhluk akan memberikan kedamaian di sini dan setelah kematian nanti.

Kebahagiaan ada dua jenis, jasmani dan rohani. Di dunia ini dan dunia yang lain, yang tampak dan yang gaib merupakan buah dari karma sangat istimewa (di dalam Veda) untuk mewujudkan kebahagiaan. Tidak ada lagi yang lebih penting di antara berbagai buah karma, yang merupakan tiga tujuan hidup (Dharma, Artha, dan Kama). Kebahagiaan dirindukan. Kebahagiaan itu merupakan tanda dari Sang Diri (Atman). Kebajikan dan manfaatnya yang diharapkan. Kebajikan (Dharma) adalah akarnya. Hal ini (Dharma), sungguh-sungguh adalah asalnya. Semua perbuatan diarahkan untuk mencapai kebahagiaan (Moksa)(Santiparva 190. 6-7, 9).

Sesungguhnya di dunia ini hanya ada penderitaan bukan kebahagiaan tetapi   penderitaan datang setelah kesenangan, dan kebahagiaan datang setelah penderitaan. Seseorang tidak selalu menderita dan tidak pula selalu berbahagia. Kesenangan selalu berakhir dengan penderitaan, dan kadangkadang mendahului penderitaan tersebut. Di sini, oleh karena itu, bila merindukan kebahagiaan yang abadi, tinggalkan keduanya itu.

Namun kesenangan dan penderitaan, keduanya sangat ramah atau kadang-kadang tidak ramah, apakah datang dan akan lahir dengan tidak mempengaruhi hati.

Mereka yang benar-benar sangat bodoh dan mereka yang telah menguasai dirinya, yang menikmati kebahagiaan di dunia ini. Mereka, bagaimanapun menempati ruang di atas penderitaan dan kesedihan.

Nmun tidak ada akhir duka cita ini, dan duka cita muncul dari kesenangan. Kebahagiaan dan penderitaan, kekayaan dan kemiskinan, mendapatkan dan kehilangan, ‘hidup dan mati, dalam putaran yang dialami semua makhluk Untuk alasan tersebut orang yang bijaksana senantiasa tenang dalam kenikmatan kesenangan atau sedih oleh penderitaan (Santiparva 25. 22-24, 26-27, 30-31)

Bila seseorang merefleksikannya dengan baik (yang hatinya telah disucikan dengan merefleksikan diri), orang tersebut akan mengetahui sesuatu bahwa dunia tidak ada nilainya seperti halnya jerami. Dengan tanpa keragu’ raguan, seseorang bebas dari keterikatan dan menghargai segala sesuatunya.

Ketika dunia ini penuh dengan cacat celanya, dengan demikian seseorang yang cerdas akan berusaha untuk mencapai kebebasan abadi (Moksa).

Lihatlah, semua makhluk, yang tinggi. menengah, dan yang bawah, semuanya kembali kepada tingkah lakunya masing-masing, dan semuanya terikat dengan duka cita.

Aku tidak memandang tentang Atman yang ada pada diriku sebagai milikku, di lain pihak seluruh dunia ini adalah milikku. Aku kembali  memikirkan bahwa semua yang saya lihat adalah milikku dan milik orang lain! Bila mampu menguasai pikiran, penderitaan tidak akan dapat mendekatiku.

Milikilah pemahaman yang demikian itu! Mampu mengatasi kesenangan dan kesedihan. Seperti halnya dua patung kayu yang mengambang di samudra luas, sekali waktu datang ke mari dan pada saat yang lain menjauh lagi, demikianlah kesatuan semua maklilukhidup di dunia ini.

Anak-anak, cucu-cucu, orang baik, sahabat, dan berbagai hal lainnya. Seseorang hendaknya jangan terlckat padanya suatu saat akan berpisah dengan mereka.

Duka cita muncul dari penyakit yang disebabkan oleh keinginan. Kebahagiaan akan muncul sebagai hasil penderitaan dan penyakit yang telah disembuhkan. Dari kesenangan muncul penderitaan, dan hal itu akan berulang kembali.

Penderitaan datang setelah kesenangan, kesenangan setelah penderitaan. Keduanya ini seperti pemutaran sebuah roda. Tidak ada seseorang yang menderita selamanya, dan tidak ada omng yang akan senang selamanya (Santiparva 174. 4-5, 13-17, 19-21).

Demikianlah ajaran tentang Moksa di dalam Mahabharata. Ajaran tersebut juga secara luas dan mendalam disampaikan dalam kitab suci Bhagawadgita yang merupakan wejangan Sri Krsna dengan Arjuna. Tujuan akhir dalam Bhagavadgita (Masih, 1983:214) adalah untuk mengakhiri siklus kelahiran. Hal yang penting disampaikan bahwa seorang Karmayogi konsisten melakukan kerja yang disebut nis/rama karma untuk memelihara dan mewujudkan kesejahteraan dalam masyarakat, tetapi yang jelas adalah pencapaian ketenangan, tidak goyah oleh setiap perubahan dalam hidup. Kondisi ini disebut Stliitaprajfia. Dalam konteks ini T. G. Mainkar (dalam Masih, 19831214) menulis. “Sthitapmjna dalam Bhagavadgita adalah Samayasin dalam kitab-kitab Upanisad, Bhiksu dalam Bauddha dan Sramana dalam Jaina….”

Lebih jauh istilah Sthitaprajna muncul dalam Bhagavadgita, sebagai pertanyaan Arjuna kepada Sri Krsna (Bhagawadgita II. 54, 55, 56) sebagai berikut.

Arjuna uvaca: Sthitaprajnasya ka bhasa samadhisthasya kesava Sthitadhih kim prabhaseta asita vrajera kim.

Terjemahannya:

Arjuna bertanya: Apakah tanda-tanda orang yang memiliki kebijaksanaan yang mantap (Sthitaprajfia), yang teguh dalam melakukan samadhi, Wahai Kesava. Bagaimanakah orang yang kecerdasannya telah mantap itu berbicara, duduk, dan cara beijalannya?

Sri Bhagawan Uvaca: Prajahati yada Kaman sarvan partha manogatan Atmany evatmana tus ah sthiprajna tadocyet.

Terjemahannya:

Sri Bhagavan berkata: Bilamana seseorang telah mampu menyingkirkan segala keinginannya, Oh Partha (Arjuna) dan manakala jiwanya telah terpuaskan oleh dirinya sendiri maka mereka itulah yang disebut sebagai orang yang telah mencapai Sthitaprajna (kecerdasannya yang stabil).

Duhkhesv anudvighna manah sukhesv vighata sprhah Vita raga bhaya krodhah sthitadhir munir ucyate.

Terjemahannya:

Ia yang pikirannya tidak terusik di tengah tengah kesedihan dan terbebas dari hasrat di tengah tengah kesenangan, yang nafsu, rasa takut dan kemarahannya telah lenyap, ia disebut pandita (muni)  yang teguh iman.

Dalam bagian lain Bhagavadghita (II.72,72) menyebutkan Sthitaprajna (kondisi jiwa yang stabil dan mantap) dengan istilah Brahmisthiti, yakni kondisi jiwa sudah mencapai penyatuan dengan Brahman atau sebagai Brahmanirvanam, sebagai berikut:

Esa brahmi sthitih partha nainam prapya vimuhyati Sthitavasyam antakale pi brahma nirvanamrchati.

Terjemahannya:

Ini merupakan kondisi kahyangan, O Partha dan mereka yang telah mencapai tingkatan ini tidak lagi dibingungkan, bahkan saat ajal tiba, ia tetap termantapkan dalam kondisi tersebut dan mencapai kebahagiaan Brahman (Brahmanirvana).

Berdasarkan kutipan tersebut di atas maka yang dimaksud dengan Sthiprajna adalah kondisi jiwa yang telah menyatu dengan Tuhan Yang Maha Esa yang disebut dengan Moksha yang dapat diwujudkan dalam kehidupan ini. Kondisi sthiprajna ini sama dengan Jivamukti. Penjelasan lebih jauh tentang Brahmasthiti ini dapat dijumpai dalam Bhagavadghita IV.31, V.16, 19,20,24,25, VI.27-28, dan XIII.12. Tentang kondisi Sthiprajna ini lebih jauh dijelaskan oleh Sri Krsna (Bhagavadghita V.19, 20, VI.10, 14,21,22 berikut:

Ihaiva tair jatah sargo yesam samye sthitam manah Nir dosam hi samamm brahma tasmad brahmani te sthitah.

Terjemahannya:

Bahkan di bumi sebagai ciptaan ini diatasi oleh mereka yang pikirannya mantap dalam keseimbangan, karena Tuhan Yang Maha Sempurna dan bertindak sama terhadap semuanya. Oleh karena itu, orang mencapai keadaan Sthiprajna senantiasa mantap pada Tuhan Yang Maha Esa. 

Na prahsyet priyam prapya nodvijet prapya capriyam Sthirabudhhir asammudho brahma vid brahmani sthitah.

Terjemahannya:

Seseorang hendaknya tidak bergembira dalam memperoleh kesenangan ataupun bersedih ketika mendapatkan kesusahan. Ia yang pemahamannya mantap dan tidak terbingungkan yang mengetahui Tuhan Yang Maha Esa seperti itu tetap teguh dalam keyakinan.

Yogi yunjita satatam atmanam rahasi sthitah Ekaki yata cittama nirasir aparigrahah

Terjemahannya:

Biarlah seorang Yogi yang secara konstan memusatkan pikirannya (pada Dia yang tertinggi), dengan mantap dalam kesendirian dengan pikiran terkendali, bebas dari keinginan dan kerinduan akan kekayaan. 

Prasantatma vigata bhir brahmacari vrate sthitah Manah sanyamya mac citto yukta asita mat parah

Terjemahannya:

Tenteram dan tanpa ketakutan, mantap dalam disiplin (brata) Brahmacari (membujang), dengan menundukkan pikiran, biarkanlah duduk dengan menyelaraskan pikirannya yang ditujukan kepada Aku dan hanya tertuju kepada Aku. 

Sukham atyatikam yat tad buddhigrahyam atindriyam Vetti yatra na cai va yamsthitas calati tattvatah

Terjemahannya:

Bahwa ia menemukan kebahagiaan tertinggi, yang dirasakan oleh kecerdasan, dan di  pencapaian indera-indera, disana ia merasakan kemantapan dan tidak jauh dari kebenaran. 

Yam labdhva caparam labham manyate nadhikam tatah, Yasmin sthoto na duhkena gurunapi vicalyate

Terjemahannya:

Bahwa dalam pencapaiannya ia berpikir tidak ada perolehan yang lebih besar daripada Sthiparjna itu, yang kemantapannya tidak tergoyahkan walau oleh kesedihan yang terberat sekalipun.

Lebih jauh dengan Sthiprajna seseorang memperoleh kebahagiaan dan kehidupan abadi (Bhagavadghita II.15, XIV.20, dan 27). Disebutkan bahwa Sthitaprajna merupakan kebahagiaan yang tidak terbatas (Bhagavadghita V.21, VI.27, XIII.12, dan XIV.27). Selanjutnya dinyatakan pula bahwa dengan Sthitaprajna seseorang dapat mengatasi kelahiran dan kematian (Bhagavadghita II.51, VI.7, XII.7, XIII.23, dan XIV.20). Akhirnya ditegaskan bahwa Sthitaprajna merupakan persatuan dengan Brahman (Moksa) (Bhagavadghita VI.31, 47, VII.18-19, XI.54-55,XII.4,8,XIV.19, XVIII.55). Dinyatakan pula bahwa pahala tertinggi dari Bhakti (kebaktian) kepada Tuhan Yang Maha Esa mengantarkan seseorang mmencapai Sthitaprajna, seperti dinyatakan Bhagavadghita (X.10) berikut.

Tesam satata yuktanam bhajatam priti purvakam Dadami buddhiyogam tam yena ma upayanti te.

Terjemahannya:

Kepada mereka yang terus menerus berbhakti kepada Aku, yang memuja Aku dengan cinta kasih yang konstan. Aku menganugrahkan Budhhiyoga (intelek yang luhur) yang akan membawanya kepada Aku.

Dari penjelasan tersebut, Sthitaprajna juga disebut Buddhiyoga. Lebih jauh lagi dinyatakan oleh G.W.Kaveeshwar bahwa kondisi Sthitaprajna ini dibedakan dalam empat keadaan, sebagai disebutkan dalam Bhagavadghita XII.8-11, berikut:

  • Yang teguh dan mantap (konstan) dalam bakti kepada-Nya (Bhagawadghita XII.8)

May eva mana adhatsva mayi buddhim nivesaya

Nivasisyasi may eva ata udhvam ma samyasah

Terjemahannya:

Pusatkan pikiranmu hanya kepada-Ku, biarlah pemahamanmu berada di dalam Ku. Hanya di dalam-Ku engkau akan tinggal, oleh karena itu janganlah engkau ragu lagi.

  • Yang selalu mencarinya melalui Latihan Yoga (Bhagavadghita XII.9)

Atha cittam samadhatum na saknosi mayi sthiram

Abhyasa-yogena tato mam icchaptum dhananjaya

Terjemahannya:

Namun, apabila engkau tak mampu memuaskan pikiranmu secara mantap pada Ku, maka usahankalah untuk mencapai Aku dengan melaksanakan konsentrasi, wahai Dananjaya.

  • Yang melalui program kerja pelayanan sosial (Bhagavadghita XII.10)

Abhayase’py asamartho’si mat karma paramo bhava

Mad-artham api karmani kurvan siddhim avapyasi

Terjemahannya:

Bila engkau juga tidak mampu melakukan ini, maka jadikanlah dirimu sebagai orang yang melayani diriku, bahkan dengan melaksanakan kegiatan demi untuk-Ku saja, engkau akan mencapai kesempurnaan.

  • Yang merupakan tujuan tertinggi melalui Bhakti dan penyerahan diri (Bhagavadghita XII.10)

Athaitad apy asakto si kartum mad yogam asritah

Sarva karma phalatyagam tatah kuru yatatmavan.

Terjemahannya:

Bila yang demikian tak dapat engkau lakukan, maka berlindunglah di dalam kegiatan-Ku yang penuh disiplin, lepaskanlah hasil segala kegiatan kerja dengan menyerahkan dirimu (kepada-Ku).

Demikian ajaran Sthitaprajna dalam Bhagavadghita yang merupakan wejangan Sri Krsna kepada Arjuna yang disebut juga Bramisthiti atau Buddhiyoga yang merupakan kondisi atau usaha untuk mencapai Moksa atau mewujudkan Moksa dalam kehidupan ini.

L. Jalan Menuju Moksa

Tujuan terakhir dan tertinggi yang ingin dicapai oleh umat Hindu adalah Moksa. Berbagai cara/jalan dilakukan oleh umat Hindu guna mewujudkan tujuan utamanya ini salah satunya adalah dengan sembahyang. Melalui kegiatan sembahyang bathin seseorang menjadi tenang, demikian pula melalui Dharana (menetapkan cipta), Dhyana (memusatkan cipta) dan Samadhi (mengheningkan cita), manusia berangsur-angsur ingin dapat mencapai tujuan hidupnya yang tertinggi yaitu bebas dari segala ikatan keduniawian. Empat jalan menuju Tuhan atau pemusatan pikiran kepada Tuhan yg disebut dengan Catur Marga Yoga.

1) Bhakti Marga Yoga

Bhakti Marga Yoga merupakan proses atau cara mempersatukan Atman dengan Brahman berlandaskan atas dasar cinta kasih yang mendalam kepada Tuhan. Bhakti marga yoga berarti jalan cinta kasih atau persembahan. Cinta kasih yg mendalam adlh suatu cinta kasih yg bersifat umum dan mendalam yg disebut Maitri. Bagi seorang Bhakta cinta kasihnya kepada semua ciptaan Tuhan sangat subur dan kasih sayangnya tanpa batas. Seorang Bhakta akan selalu berusaha melenyapkan kebenciannya kpd semua makhluk. Sebaliknya ia akan selalu mengembangkan sifat-sifat Catur Paramita yaitu Maitri (persahabatan/persaudaraan), Karuna (sifat kasih sayang), Mudita (sifat simpati dan peduli kepadap penderitaan orang lain), dan Upeksa  (sifat yang arif bijaksana kepada semua ciptaan Tuhan tanpa membedakan statusnya).

2) Karma Marga Yoga

Karma Marga Yoga adalah jalan atau usaha untuk mencapai kesempurnaan atau moksa dengan perbuatan atau kebajikan tanpa pamrih. Hal yang paling penting dari Karma Marga Yoga adalah melepaskan semua hasil kerja dan segala perbuatannya hanya kepada Tuhan. Dalam Bhagawadgita III.19. dinyatakan:

Tasmad asaktah satatam karyam karma samacara, asakto hy acaran karma param apnoti purusah

Terjemahannya:

Oleh karena itu, laksanakan segala kerja sebagai kewajiban tanpa terikat pada hasilnya, sebab dengan melakukan kegiatan yang bebas dari keterikatan, Orang itu sesungguhnya akan mencapai yang utama.

Bagi seorang Karmin semua perbuatan yg ia lakukan ia serahkan hasilnya kepada Tuhan, karena penyerahan hasilnya kepada Tuhan bukan berarti kehilangan, bahkan akan datang balasan berlipat ganda Ajaran agama selalu menyarankan kepada umatnya agar menjadi seorang Karma Yogi yang selalu mendambakan pedoman Rame Inggawe Sepi Ing Pamrih (banyak melakukan pekerjaan tanpa menginginkan imbalan atau hasilnya).

3) Jnana Marga Yoga

Jnana artinya kebijaksanaan filsafat (pengetahuan). Yoga berasal dari kata Yuj yang artinya menghubungkan diri. Jnana Marga Yoga artinya mempersatukan Jiwatman dengan Paramatman yang dicapai dengan jalan mempelajari ilmu pengetahuan dan filsafat pembebasan diri dari ikatan-ikatan keduniawian.

Ada tiga hal yang penting dalam menghubungkan diri dengan Tuhan, dalam hal ini kebulatan pikiran, pembatasan pada kehidupan sendiri, dan keadaan jiwa yang seimbang atau tenang maupun pandangan yang kokoh, tentram, dan damai.  Ketiga hal tersebut merupakan Dhyana Yoga. Untuk mencapai hal tersebut dengan jalan Abhyasa, yaitu latihan-latihan dan Vairagya, yaitu keadaan tidak mengaktifkan diri.

4) Raja Marga Yoga

Raja Marga Yoga merupakan suatu jalan mistik (rohani) untuk mencapai kelepasan atau Moksa. Dengan Raja Marga Yoga seseorang lebih cepat untuk mencapai Moksa, namun tantangan  yang dihadapinya pun lebih berat, dimana orang yang mencapai moksa dengan jalan ini diwajibkan mempunyai seorang guru kerohanian yg sempurna.

Adapun tiga jalan pelaksanaan yang ditempuh oleh seorang Raja Yogin, yaitu melakukan Tapa Brata, Yoga, dan Samadhi. Tapa Berata, merupakan suatu latihan untuk mengendalikan emosi dan nafsu yg ada dalam diri ke arah positif sesuai dengan petunjuk ajaran kitab suci. Yoga dan Samadhi adalah latihan untuk dapat menyatukan Atman dengan Brahman dengan melakukan meditasi atau pemusatan pikiran.

Seorang Raja Yoga dapat mencapai moksa dengan melalukan Astangga Yoga, yaitu delapan tahapan Yoga untuk mencapai Moksa. Astangga Yoga di ajarkan Oleh Rsi Patanjali dalam bukunya Yoga Sutra Patanjali. Adapun tahapannya adalah :

  • Yama, adalah  suatu bentuk larangan yang harus dilakukan oleh seseorang dari segi jasmani, seperti tidak membunuh (Ahimsa), berbohong (Satya), tidak menginginkan sesuatu yang bukan miliknya (Asteya), pantang melakukan hubungan seksual (Brahmacari), tidak menerima pemberian orang lain (Aparigraha).
  • Nyama, adalah bentuk pengendalian diri yang lebih bersifat rohani, yaitu : Sauca (tetap suci lahir batin), Santosa (selalu puas dgn apayg datang), Swadhyaya (mempelajari kitab-kitab keagamaan), dan Iswara Pranidhana (selalu bhakti kepada Tuhan), dan Tapa (tahan uji).
  • Asana, adalah sikap duduk yang menyenangkan, teratur, dan disiplin.
  • Pranayama, adalah mengatur pernafasan sehingga menjadi sempurna melalui tiga jalan yaitu: (1) Puraka (menarik napas), (2) Kumbhaka (menahan nafas), dan (3) Recaka (mengeluarkan nafas).
  • Pratyahara, yaitu mengontrol dan mengendalikan semua indrya dari ikatan obyeknya, sehingga orang dapat melihat hal-hal suci.
  • Dharana, yaitu usaha-usaha untuk menyatukan pikiran dengan sasaran yang diinginkan, terfokus pada satu obyek tujuan yaitu Brahman.
  • Dhyana, yaitu pemusatan pikiran yang tenang, tidak tergoyahkan kepada suatu obyek. Dhyana dapat dilakukan terhadap Ista Dewata.
  • Samadhi, adalah puncak penyatuan Atman, sang diri sejati dengan Brahman. Bila seseorang melakukan latihan Yoga dengan teratur dan sungguh-sungguh ia akan dapat menerima getaran-getaran suci / wahyu Tuhan.

Tentang pencapaian Moksa ini didalam kitab suci Bhagawadgita dijelaskan hanya orang yogi yg mampu memusatkan pikirannya pada Tuhan. Hal ini disuratkan  dalam sloka Bhagawadgita, VI, 10, 27,  sebagai berikut:

Yogiyuhjita satatam atmanam rahasi sthitah, ekaki yata-citatma nirasir aparigrahah”

Terjemahannya:

Seorang yogi harus tetap memusatkan pikirannya (kepada atman yg maha besar) tinggal dlm kesunyian dan tersendiri, menguasai dirinya sendiri, bebas dari anggan-anggan dan keinginan untuk memiliki.

Prasanta-manasam hy enam yoginam sukham uttamam, upaiti santa-rajasam brahma-bhutam akalmasam

Artinya:

Karena kebahagiaan tertinggi datang pada yogin yang pikirannya tenang, yang nafsunya tidak bergolak, yang keadaannya bersih bersatu dengan Tuhan.

Empat jalan yang ditempuh untuk mencapai moksa itu sesungguhnya memiliki kekuatan yang sama bila dilakukan dengan sungguh-sungguh. Maka setiap orang akan mampu mencapai moksa walaupun dengan jalan yang berbeda namun tujuannya sama yaitu mencapai Moksa atau bersatunya Atman dengan Brahman. Moksa merupakan tujuan hidup spiritual bukanlah janji hampa melainkan suatu keyakinan yang berakhir dengan kemyataan. Kenyataan dalam dunia batin merupakan alam super transendental yang hanya dapat dibuktikan berdasarkan intuisi yang mendalam.

Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan tertinggi umat Hindu adalah Moksa. Moksa merupakan kebebasan, bebas dari ikatan keduniawian, bebas dari kelahiran berulang-ulang dan bersatunya atman dengan paratman. Moksa berarti ketenangan dan kebahagiaan spiritual yang kekal abadi (suka tan pewali duka).

Was this article helpful?