Lihat Foto JAKARTA, KOMPAS.com - Menyusul baku tembak yang terjadi antara tentara Thailand dan Kamboja di perbatasan kedua negara pada tanggal 4-6 Februari lalu, yang menewaskan sedikitnya 8 orang dan mencederai beberapa orang lainnya, pada hari ini (22/02) di Jakarta digelar Informal ASEAN Foreign Minister’s Meeting (pertemuan informal para Menlu ASEAN) dengan agenda tunggal pembahasan penyelesaian konflik Thailand dan Kamboja. Seperti dilaporkan Aris Heru Utomo, pegawai departemen luar negeri di Kompasiana, pertemuan informal para Menlu ASEAN yang diprakarsai Indonesia selaku Ketua ASEAN, merupakan tindak lanjut dari hasil sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Sidang itu sebelumnya meminta Thailand dan Kamboja bekerjasama dengan ASEAN sebagai mediator untuk menuntaskan persoalan perbatasan melalui jalan damai. Di tengah upaya negara-negara ASEAN mengimplementasikan kesepakatan yang tercantum dalam Piagam ASEAN dan proses pembentukan Komunitas ASEAN 2015, pertemuan informal para Menlu ASEAN kali ini memiliki arti yang sangat penting sebagai sebagai langkah awal untuk memperlihatkan kredibilitas ASEAN dalam menangani masalah internal kawasannya. Konflik Internal ASEAN Sebagai suatu organisasi kerjasama regional, ASEAN yang didirikan pada tanggal 8 Agustus 1967 oleh lima negara yaitu Indonesia, Filipina, Malaysia, Singapura dan Thailand, terus tumbuh dan berkembang sebagai suatu organisasi yang semakin solid. Dari suatu organisasi yang longgar, ASEAN tumbuh dan berkembang menjadi organisasi yang berdasarkan hukum seperti tercermnin dari diratifikasinya Piagam ASEAN pada akhir tahun 2008. Selain Piagam ASEAN, negara-negara ASEAN juga memiliki Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama di Asia Tenggara (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) yang ditandatangani di Bali tahun 1976. Melalui Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama negara anggota ASEAN menyepakati code of conduct atau aturan perilaku dalam pelaksanaan hubungan kerjasama antar negara anggota ASEAN yang meninggalkan kekerasan dan mengedepankan cara-cara damai dalam penyelesaian konflik di antara mereka. Sayangnya, Piagam ASEAN dan Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama belum pernah sekalipun digunakan untuk menyelesaikan konflik antar negara-negara ASEAN. Bukan karena tidak ada konflik di negara-negara ASEAN, melainkan karena masih rendahnya rasa saling percaya di antara negara anggota. Negara-negara ASEAN yang bekonflik lebih memilih penyelesaian secara bilateral atau menyerahkan penyelesaian persoalan kepada lembaga internasional seperti Mahkamah Internasional yang berkedudukan di Den Haag. Pada tahun 1996, ketika Indonesia dan Malaysia bersengketa mengenai masalah perbatasan di Sipadan dan Ligitan, keduanya membawa permasalahan tersebut ke Mahkamah Internasional. Sementara itu Filipina yang ditahun 1990-an tengah berupaya menyelesaikan konflik di Mindanao Selatan, pihak yang diundang untuk menyelesaikan adalah Organisasi Konperensi Islam (OKI). Langkah Indonesia, Malaysia dan Filipina yang melibatkan lembaga internasional dalam penyelesaian konflik pada akhrnya diikuti pula oleh Kamboja. Bahkan Kamboja tidak perlu waktu lama unuk segera meminta bantuan DK PBB di New York. Langkah cepat Kamboja melaporkan permasalahan perbatasannya ke DK PBB tentu saja memunculkan kekhawatiran bahwa penyelesaian konflik perbatasan Thailand dan Kamboja akan diselesaikan atas bantuan pihak eksternal di luar ASEAN. Kalau sampai DK PBB mengabulkan permintaan Kamboja agar PBB membantu penyelesaian konflik perbatasannya dengan Thailand, maka muka ASEAN akan tercoreng dan keberadaan ASEAN kembali dipertanyakan. Bagaimana mungkin ASEAN bisa berperan di forum global seperti yang tercermin dalam tema ASEAN 2011 “ASEAN Community in a Global Community of Nations”, jika mengelola konflik internal saja tidak berhasil. Peran ASEAN dan Indonesia
Pertanyaan : Menyelesaikan konflik yg terjadi di antara anggota asean diselesaikan dengan cara Jawaban : Rapat musyawarah bersama, Demikian Jawaban Menyelesaikan konflik yg terjadi di antara anggota asean diselesaikan dengan cara Semoga membantu adi-adik yang sedang mencari jawaban. Kemudian kami sarankan untuk melakukan pencarian soal selanjutnya dan temukan jawabannya hanya di situs kami. BACA JUGA Nilai lestari dalam uud ri tahun 1945 Dislcaimer : Jawaban yang disediakan diatas hanya untuk digunakan oleh orang tua siswa dalam memandu proses belajar online anak. Soal diatas berupa pertanyaan yang terbuka, artinya banyak jawaban tidak terpaku seperti diatas. mudah-mudahan artikel ini bisa bermanfaat, Trimakasih anancomputer.com
Negara-negara kawasan Asia Tenggara memiliki beberapa permasalahan antar satu sama lain, terutama pada konflik sengketa wilayah. Beberapa wilayah atau pulau diklaim sebagai milik wilayah negara satu dan yang lain. Namun meski demikian, penyelesaian atas konflik perebutan wilayah tersebut dapat diselesaikan dengan damai. Hal tersebut yang disampaikan langsung oleh Tun Dr. Mahathir Muhammad dalam Kuliah Umum Mahathir Global Peace School (MGPS) ke-5 di Sportorium Kampus Terpadu UMY pada (5/12). Ia juga menyebutkan bahwa meskipun negara ASEAN (Association of South East Asian Nation) saling memperebutkan wilayah, namun tidak satupun dari negara-negara tersebut yang berperang satu sama lain. “Indonesia dengan Malaysia mempersengketakan dua pulau. Tetapi kita juga tidak berperang. Kita sampaikan permasalahan tersebut ke United Nations dan mereka yang memutuskan bahwa pulau tersebut adalah milik Malaysia. Meskipun Indonesia bersedih, namun Indonesia tetap menerima keputusan Internasional tersebut. Begitu pula Malaysia yang mempersengketakan Pulau Batu dengan Singapura, namun keputusan Internasional memutuskan bahwa Pulau tersebut menjadi milik Singapura. Malaysia pun tetap dapat menerima keputusan tersebut,” ujar mantan Perdana Menteri Malaysia tersebut. Tun Dr. Mahathir juga menyebutkan bahwa perang juga dipicu oleh pihak penjual senjata perang. Para penjual senjata tersebut mengkonfrontasi pemikiran sebuah negara untuk membeli senjata sebagai alat pertahanan (defense). Industri senjata perang juga dinilai sebagai industri terbesar di dunia. “Industri tersebut menginginkan kita untuk membunuh satu sama lain dengan senjata yang mereka jual. Sedangkan mereka sendiri mendapatkan keuntungan dari pembunuhan tersebut. Hal ini tidaklah beradab (uncivilized). Industri tersebut juga sering menawarkan senjata kepada negara yang sedang tidak berperang. Mereka memanipulasi dengan berkata jika negara tersebut tidak memiliki senjata maka akan diserang oleh negara lain. Padahal kenyataannya tidak ada yang menyerang,” ujar Tun. Tun juga menyebutkan bahwa Islam sendiri juga mengajarkan tentang kejujuran (honest), amanah, dan untuk memperhatikan sesama manusia dan anak-anak. Islam mengajarkan tentang hidup yang baik, namun manusia-lah yang tidak menjalankan hidup dengan baik dengan membunuh satu sama lain. “Islam melarang umatnya untuk membunuh. Tetapi yang kita lihat di negara-negara Muslim, mereka membunuh satu sama lain, bahkan saling membunuh umat sesama Muslim sendiri. Dan mereka menyuarakan kalimat Allahu Akbar sebelum membunuh, sesungguhnya mereka melakukan perbuatan dosa dengan menyebut nama Allah. Padahal dalam hukum Islam disebutkan bahwa jika seseorang mengambil satu nyawa, maka balasannya adalah nyawanya,” sambung Tun. Membunuh atau melakukan peperangan juga disebut Tun sebagai cara yang tidak beradab (uncivilized) untuk menyelesaikan masalah. “Dengan perang, maka tidak ada stabilitas di dunia ini. Manusia akan hidup dalam ketakutan. Kita membutuhkan perdamaian. Datangnya Islam sejak awal adalah untuk membawa umat manusia kepada kedamaian,” tegas Tun. (Deansa) |