Tidak ada yang dapat menolak takdir kecuali doa

Sebagaimana dipahami bahwa doa tidak menolak qadar, tidak mengubah qadha’ dan tidak pula mengubah ilmu Allah swt. Sementara ada nas-nas dari al-Quran dan as-Sunnah yang menurut saya bahwa itu berbeda dengan pemahaman ini. Misalnya beberapa hadis yang menyebut tentang tidak ada yang menolak qadha’ kecuali doa; atau hadis yang semakna. Hadits-hadits ini menetapkan bahwa doa bisa mengubah al-qadar (takdir). Lalu bagaimana menyikapi kontradiksi ini?


Berikut adalah ringkasan jawaban Syaikh 'Atha' bin Khalil Abu Ar-Rasytah terkait pertanyaan di atas.


Pertama,

Memang benar terdapat sebuah hadis yang berbunyi إِنَّ الدُّعَاءَ يَرُدُّ الْقَضَاءَ (Sesungguhnya doa itu menolak qadha'); atau hadis لَا يَرُدُّ الْقَدَرَ إِلَّا الدُّعَاءُ (Tidak ada yang menolak al-qadar (takdir) kecuali doa). Ini semua adalah hadis sahih. Dan memang benar bahwa doa tidak akan menolak qadar (takdir) dan tidak akan menolak qadha' Allah. Apa yang terjadi atas manusia, itu semua ada dalam ilmu (pengetahuan) Allah, dan manusia tidak akan kuasa mengetahui atau mengubah ilmu Allah tersebut.


Kedua,

Dalam Islam, doa memiliki posisi yang mulia. Misalnya dalam surah Ghafir ayat 60. Atau ada sebuah hadis yang berbunyi لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللَّهِ مِنْ الدُّعَاءِ (Tidak ada sesuatu yang lebih mulia bagi Allah dari doa).


Ketiga,

Jika ada dalil qath'i dalam satu perkara yang memberi kepastian hukum; dan ada dalil zhanni sahih tentang perkara tersebut namun dengan hukum yang berbeda; maka harus dilakukan jam'u bainal dalilain (mengkompromikan dua dalil). Sebab, dalam ilmu ushul fiqih dinyatakan i'malud dalilain aula min ihmali ahadihima (mengamalkan dua dalil lebih utama daripada mengabaikan salah satunya). Tapi jika  pengkompromian tidak bisa, maka diambil hukum dari dalil qath'i, sedangkan dalil zhanni ditolak secara dirayah, sebab sanadnya sahih. Tetapi jika dalil zhanni-nya dhaif, maka dalil ini ditolak karena kedhaifannya itu.


Keempat,

Seluruh ayat-ayat Allah tentang qadar yang qath'i secara dalalah, memiliki makna bahwa tidak ada sesuatu pun di langit dan di bumi,. kecuali Allah SWT. telah menetapkannya dan mencatatnya di sisi-Nya. Artinya tidak ada satu pun makhluk yang dapat menghindari qadar atau menghalangi terjadinya qadar.


Kelima,

Lantas bagaimana dengan hadis yang menyatakan bahwa doa dapat menolak qadha' atau qadar? Bukankah ini namanya terjadi kontradiksi? Karena itulah, di sini "dicoba" untuk dikompromikan, antara fakta qadha'/qadar dengan makna dari hadis tersebut.


Keenam,

Dengan memahami fakta atas dalil-dalil ini, maka bisa diambil kesimpulan, bahwa pengkompromian atas dalil-dalil ini tidak bisa dilakukan. Jika demikian, apakah hadis sahih yang ditanyakan tentang doa yang menolak qadha atau qadar, harus ditolak? Jawabannya, ditolak secara dirayah, bukan ditolak secara riwayah (sanad). Sebab, dalil qath'i secara pasti menyatakan bahwa apa yang menimpa manusia, itu semua sudah dicatat di Lauhul Mahfuzh.


Kelima,

Untuk memahami tentang "penolakan" ini, maka harus merujuk pada ilmu ushul fiqih. Dalam ilmu ushul fiqih dinyatakan bahwa apabila makna hakikat terhalang karena adanya indikasi tertentu, maka lafal dari hadis-hadis tersebut harus dimaknai menggunakan makna yang lain, dan dalam hal hadis yang ditanyakan, bisa dimaknai dengan makna majazi, dan bukan makna hakiki. Secara majazi, makna dari kata al-qadha' dan al-qadar bisa dimaknai "apa yang menjadi akibatnya atau dampaknya". 


Keenam,

Jadi, penolakan yang dimaksud dalam hadis yang ditanyakan, bukan pada qadha' atau qadar, melainkan penolakan terhadap dampak dari qadha' atau qadar tersebut. Seorang Mukmin jika ditimpa suatu qadar atau qadha’, misalnya sakit, kehilangan anak, hilang harta, rugi perdagangan, dan sebagainya; maka doa bisa menolak dampak dari qadha' atau qadar itu terhadap dirinya.


Contohnya seperti yang ada di dalam hadits al-Hasan bin Ali ra, “Rasulullah saw mengajarkanku kalimat-kalimat yang aku ucapkan di dalam doa Qunut salat witir: اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ… وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ… (Ya Allah, tunjukilah aku pada orang yang Engkau beri petunjuk … dan jagalah aku dari keburukan apa yang Engkau tetapkan).


Jadi, doa seorang mukmin kepada Allah adalah dalam rangka meminta agar dihindarkan dari akibat atau dampak dari apa yang sudah ditetapkan Allah. Misalnya, berdoa meminta kesabaran dalam menanggung qadha' atau qadar Allah; yang seolah-olah doa itu telah menolak qadha' atau qadar Allah, padahal yang dimaksud adalah menolak dampak atau akibat dari qadha' dan qadar Allah.


Betapa banyak orang yang tertusuk duri lalu kekuatannya melemah dan keadaannya menjadi kacau. Sebaliknya, betapa banyak orang yang ditimpa musibah tetapi lisannya senantiasa basah melafalkan dzikir mengingat Allah berdoa kepada-Nya agar menjaganya dari keburukan musibah dan dampaknya, lalu dia bersabar atasnya dan keadaannya pun tetap lurus, seolah-olah doanya telah menolak musibah itu secara majazi.


Ketujuh,

Begitulah, hadits tersebut di atas dipahami, bahwa al-qadar pasti terjadi; tetapi doa seorang Mukmin dengan benar dan ikhlas bisa menolak dampak dari al-qadar itu terhadap dirinya. Maksudnya adalah meringankannya dan membantunya menanggung dan bersabar atas apa yang terjadi, serta meringankan beban musibah itu terhadapnya. Dan berikutnya kehidupannya menjadi baik, seolah-olah musibah itu tidak terjadi.


Dan semua itu telah dicatat di Lauhul Mahfuzh. Allah swt. telah menetapkannya dan mengetahuinya sejak azali. Yakni dicatat di Lauhul Mahfuzh bahwa itu telah ditetapkan terjadi pada hamba ini musibah tertentu dan bahwa musibah itu pasti terjadi. Dan bahwa hamba ini berdoa kepada Allah swt. agar melindunginya dari keburukan musibah itu dan Allah menjawabnya serta membantunya menanggung musibah itu dan bersabar atasnya sehingga seolah-olah musibah itu tidak terjadi padanya, secara majazi.


Kedelapan,

Sebagai pengetahuan, hal ini juga dinyatakan oleh ulama'ulama terdahulu. Dalam kitab Syarhu as-Sunnah karya Abu Muhammad al-Husain al-Baghawiy asy-Syafi’iy, di sana dinyatakan: Dari Abdullah bin Abi al-Ja’di dari Tsawban, ia berkata, Rasulullah saw bersabda: لا يَرُدُّ الْقَدَرَ إِلا الدُّعَاءُ (Tidak ada yang bisa menolak al-qadar kecuali doa). Saya katakan: Abu Hatim as-Sijistani menyebutkan, “bahwa kontinunya seseorang berdoa membuat baik baginya terjadinya al-qadha’, jadi seolah-olah doa menolaknya …”.


Dalam kitab Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih karya Abu al-Hasan Nuruddin al-Mula al-Harawi al-Qari. Tertulis dalam kitab tersebut, bahwa Rasulullah saw berdabda: «لا يَرُدُّ الْقَضَاءَ إِلا الدُّعَاءُ (Tidak ada yang menolak al-qadha’ kecuai doa”). Al-qadha’ adalah perkara yang telah ditetapkan, atau yang dimaksudkan penolakan al-qadha’ jika yang dimaksudkan adalah makna hakikatnya adalah memudahkannya dan mempermudah perkara tersebut sehingga seolah-olah tidak turun). Wallahu a'lam bish shawab.[]

Apakah doa lebih kuat daripada takdir?

Dalam beberapa hadis yang diriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah merubah suatu takdir melainkan doa” (HR. Al Hakim, Hasan). Kemudian, “Tak ada sesuatu yang dapat menolak Qodar kecuali doa” (HR. at-Tirmidzi).

Kenapa doa bisa merubah takdir?

Karena doa mampu mengubah apa yang tercatat dalam Lauhul Mahfudz. Dan Allah SWT mengetahui bahwa orang tersebut akan berdoa, dan mengetahui bahwa apa yang tercatat dalam Lauhul Mahfudz itu akan berubah, serta juga mengetahui bahwa orang itu akan berhasil dalam ujian," tutur Syekh Jum'ah.

Apakah doa Termasuk takdir?

Dan sesungguhnya perbuatan baik (kepada orang tua) itu memperpanjang umur,” HR. Ahmad no. 22438, Ibnu Majah no. 22438, dihasankan oleh Syu'aib Al-Arnauth dalam Takhrij Al-Musnad. Maka, berdoa itu adalah bagian dari takdir, dan takdir itu pasti terjadi. Atas kehendak Allah-lah terjadi dan tercegahnya segala sesuatu.

Apa yang bisa merubah takdir?

Hal yang dapat mengubah takdir adalah doa, sehingga doa merupakan senjata utama umat Muslim. Diriwayatkan Al-Hakim dalam kitab shahihnya (Al Mustadrak) dari Aisyah ra., ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sikap waspada tidak mampu menolak takdir.