Teori fungsional struktural talcott parsons

Ayahnya adalah seorang anggota parlemen dan aktif dalam gerakan reformasi sosial seperti The Social Gospel movement.

Parsons memperoleh  gelar sarjana di Amherst College dengan kajian utama biologi, leisure and tourism, dan filsafat.

Ia pernah belajar ke London School of Economics (LSE). Reputasi kecemerlangan intelektualnya dan posisi yang sering berseberangan dengan dosennya menyebabkan dia kemudian belajar sosiologi.

Pada tahun 1949, Parsons terpilih sebagai presiden The American Sociological Association. Selain mengajar di Harvard University, ia juga menjadi dosen tamu di Cambridge.

Karya-karya yang paling berpengaruh antara lain: (1) The Structure of Social Action (1937); (2) The Social System (1995).

Beberapa tokoh yang memengaruhi pemikirannya adalah Max Weber, Vilfredo Pareto, dan Emile Durkheim.

Sistem Tindakan AGIL

Masyarakat sebagai sistem sosial menurut Parsons paling tidak harus memiliki empat fungsi imperatif yang sekaligus merupakan karakteristik suatu sistem.

Keempatnya berhubungan dengan sistem tindakan (action  systems). Keempat fungsi imperatif ini dikenal dengan sebutan AGIL yang merupakan kepanjangan dari:

  • Adaptation, adaptasi
  • Goal Attainment, pencapain tujuan
  • Integration, integrasi
  • Latent Pattern Maintenance, pranata sosial/unsur yang mengatur perilaku masyarakat

Fungsi Adaptasi merupakan sistem untuk mempertahankan sumber-sumber penting dalam sistem dalam menghadapi gangguan dari luar.

Fungsi Goal attainment/pencapaian tujuan  merupakan fungsi ketika sistem memprioritaskan tujuan dan memobilisasi sumber daya untuk mencapai tujuan.

Fungsi Integration/integrasi merupakan proses-proses yang terjadi di internal sistem yang mengkoordinasi  inter-relationship berbagai subsistem (unit-unit sistem).

Sementara itu, fungsi Latency atau pemeliharaan pola merupakan proses ketika sistem memelihara motivasi dan kesepakatan sosial dengan menggunakan control sosial dari dalam.

Sekalipun cenderung berada dalam kondisi keseimbangan (ekuilibrium), setiap sistem sosial tidak tertutup kemungkinan mengalami perubahan sosial.

Hanya saja dalam pandangan stuktural fungsional, perubahan tersebut berlangsung secara gradual dan berdampak pada berbagai penyesuaian yang dilakukan masing-masing unsur sistem.

Apabila dilihat dari segi sumbernya, perubahan dapat berasal dari luar (eksternal) maupun dari dalam (internal).

Seperti perubahan komponen genetik penduduk yang berpengaruh terhadap perilaku dan peran-peran sosial.

Sumber-sumber perubahan dapat terorganisasi secara politis seperti misalnya perang, hubungan antar negara, dan difusi budaya.

Apabila tantangan berupa kecenderungan ke arah ketidakseimbangan antara dua atau lebih unit sistem menjadi cukup besar dan mekanisme kontrol tidak dapat mempertahankan konformitas, upaya yang dilakukan sistem adalah menghindari perpecahan struktur.

Dalam menghadapi persoalan tersebut, terdapat paling tidak tiga alternatif, yakni

  1. resolusi: merestorasi konformitas dengan ekspektasi-ekspektasi normatif;
  2. isolasi: sekalipun konformitas penuh tidak tercapai, tetapi terdapat beberapa akomodasi yang dapat diterima;
  3. perubahan di dalam struktur.

Parsons mengembangkan Grand Theory, sebagai suatu usaha untuk mengintegrasikan semua disiplin ilmu sosial ke dalam kerangka teoretikus.

Tujuan utamanya adalah terbangunnya action theory yang menjelaskan bahwa tindakan manusia adalah sukarela, intensional, dan simbolik.

Teori sistem sosial Parsons terkenal dengan sebutan General System Theory yang merupakan kerangka konseptual yang memberi perhatian terhadap perilaku seseorang pada lingkungan yang lebih luas bukan terpaku pada model hubungan sebab akibat.

Teori sistem ini melakukan observasi pada tiga hal, yakni seseorang sebagai bagian dari situasi kehidupannya; interaksi dinamis antar-orang; sistem dan lingkungan; serta fungsionalitas seseorang dan sistem.

Salah satu cara terbaik untuk memahami teori ini adalah melihat konteks kehidupan keluarga yang merupakan subsistem dari komunitas yang lebih besar.

Beberapa fakta menunjukkan bahwa:

  1. keseluruhan lebih besar dari jumlah seluruh bagian yang ada;
  2. perubahan pada bagian sistem, berakibat perubahan pada bagian lain dari sistem tersebut;
  3. keluarga terorganisasi dan berkembang sepanjang waktu. Anggota keluarga memegang peran yang berbeda-beda;
  4. keluarga pada umumnya merupakan sistem terbuka dalam menerima informasi dan pertukarannya dengan setiap orang di luar keluarga. Keluarga berbeda derajat keterbukaannya dan kondisi lingkungannya;
  5. disfungsi individual sering merefleksikan sistem emosional aktif.

Dalam mengembangkan teori sistem tindakan (action system theory), Parsons menyebut empat tipe tindakan yang saling interelasi satu sama lain.

Teori ini sering pula disebut sebagai “teori sibernetika”. Keempat sistem tindakan tersebut adalah sistem budaya, sistem sosial, sistem kepribadian, dan sistem organisme perilaku.

Di dalam sistem budaya terdapat sistem simbol yang tertata yang digunakan untuk mengatur perilaku  individu.

Sistem simbol tersebut dapat bersifat terinternalisasi (internalized) maupun terinstitusionalisasi (institutionalized) menjadi seperangkat nilai budaya yang menjadi kekuatan utama untuk mengikat masyarakat.

Di dalam sistem sosial, komponen utamanya adalah interaksi antar-individu yang menghasilkan norma sosial. Tekanannya adalah pada sosialisasi pasif.

Sistem kepribadian merupakan sistem orientasi dan motivasi individu yang terorganisasi. Arah kebutuhan individu merupakan produk dorongan yang dibentuk oleh setting sosial dan menjadi komponen dasar kepribadian  (personality).

Sementara itu, sistem organisme perilaku merupakan predisposisi biologis yang memengaruhi situasi lain.

Teori fungsional struktural talcott parsons

Keempat sistem tersebut berada dalam tatanan hierarki, yaitu sistem yang berada di atas mengontrol sistem yang ada di bawahnya.

Sebaliknya, sistem yang ada di bawah memberikan energi bagi sistem yang ada di atasnya. Semakin tinggi kedudukan sistem, semakin sulit mengalami perubahan.

Menurut Ritzer dan Goodman (2008: 121), organisme perilaku adalah sistem tindakan yang melaksanakan fungsi adaptasi dengan menyesuaikan diri atau mengubah lingkungan eksternal.

Sistem kepribadian melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan menetapkan tujuan sistem dan memobilisasi sumber daya yang ada untuk mencapainya.

Sistem sosial menanggulangi fungsi integrasi dengan mengendalikan bagian-bagian yang menjadi komponennya.

Terakhir, sistem kultural melaksanakan fungsi pemeliharaan pola dengan menyediakan aktor seperangkat norma dan nilai yang memotivasi mereka untuk bertindak.

Keempat sistem tersebut dapat dibedakan secara analitis. Akan tetapi, secara empiris, yakni dalam praktik kehidupan sehari-hari, hubungan antar-sistem tersebut saling berkelindan sehingga tidak dapat dipetakan posisi masing-masing.

Dalam proses interaksi, individu tidak dapat berdiri bebas, bertindak menurut dorongan kepribadiannya tetapi harus memerhatikan nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi produk masyarakatnya.

Dalam perspektif teori struktural fungsional, seorang individu akan bertindak sesuai dengan nilai dan norma sosial karena sebelumnya telah mengalami internalisasi melalui institusionalisasi dan sosialisasi.

Otonomi Individu

Dalam perdebatannya tentang otonomitas tindakan individu, Parsons berbeda dengan Durkheim. Apabila Durkhiem menganggap bahwa tindakan individu murni sepenuhnya ditentukan masyarakatnya,

Parsons melihat bahwa individu pada dasarnya memiliki kebebasan dalam bertindak. Konsep voluntarisme merupakan konsep yang dimaksud Parsons untuk menjelaskan hal tersebut.

Dalam bukunya The Structure of Social Action, Parsons melihat bahwa individu memiliki pilihan dalam bertindak dalam situasi sosial.

Namun demikian, voluntarisme tidak dapat disamakan dengan free will. Konsep voluntarisme berimplikasi pada pikiran, kesadaran, dan pembuatan keputusan yang dipengaruhi dan dibatasi oleh nilai-nilai, norma-norma, ide-ide, situasi-situasi sosial, dan produk masyarakat lainnya.

Sebagian ahli mengartikan bahwa kebebasan tersebut hanya terbatas pada means (cara/alat) mencapai tujuan.

Dalam teori tindakan voluntaristik Parsons, terdapat tiga aspek “unit tindakan”. Agen (pelaku) berusaha merealisasikan tujuannya dalam suatu situasi ketika kondisi material dan cara-cara yang memungkinkan dipakai untuk merealisasikan tujuan tersebut.

Parsons percaya bahwa norma-norma sosial yang terinternalisasi selama proses sosialisasi membentuk sebuah basis alternatif tindakan terhadap apa yang ditawarkan oleh keinginan individual.

Pencarian seorang individu berada di antara egoisme keinginan dengan norma-norma yang terinternalisasi.

Seorang aktor (individu) tidak dapat memilih antara penderitaan dan kesenangan berhubungan dengan tindakan, tetapi dapat memilih sejauh mana hal itu diperhitungkan ketika melakukan tindakan.

Secara alamiah, penderitaan dari penyimpangan norma meningkat, seorang aktor akan memilih untuk lebih sering menyesuaikan, tetapi apa pun pilihannya berakibat pada tindakan (Loyal, 2003: 63–64).

Sebuah tindakan adalah volunter, tidak dipaksakan, dengan pilihan seorang agen (aktor/individu) berada di antara dua jenis tekanan.

Tindakan harus selalu dipandang sebagai pelibatan tekanan antara dua elemen tatanan berbeda: normatif dan kondisional.

Parsons menyadari bahwa seorang individu menyesuaikan diri dengan norma-norma yang ada oleh karena tekanan-tekanan yang ada baik internal maupun eksternal.

Sanksi dari masyarakat juga merupakan tekanan bagi individu untuk menyesuaikan diri dengan norma.

Akan tetapi, sanksi tersebut merupakan dukungan sekunder yang berasal dari tatanan normatif dan tidak mempunyai arti independen.

Dalam analisis Parsons, sejumlah tindakan yang menyesuaikan norma akan berbeda tergantung pada seberapa kuat dan ekstensifnya norma-norma terinternalisasi.

Juga terhadap seberapa kuat keinginan individu merealisasikan tujuannya meskipun harus berlawanan dengan norma, selain pada seberapa banyak usaha yang dilakukan individu untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma (Loyal, 2003: 65).

Konsep voluntarisme dikemukakan Parsons pada tahun 1937 dan kemudian konsep tersebut mengalami penurunan atau marginalisasi dalam perdebatan ilmiah.

Voluntarisme

Pada awal dekade 1950-an, konsep voluntarisme mengalami revitalisasi seiring penjelasan Parsons tentang orientasi-orientasi motivasional.

Sebelum bertindak, individu atau aktor menggunakan kerangka orientasi-orientasi motivasionalnya untuk menganalisis fenomena sosial yang menarik baginya.

Perhatian utamanya ditujukan pada fenomena aktual atau yang paling potensial memberikan kepuasan bagi pemenuhan kebutuhannya. Proses ini melibatkan tiga dimensi tindakan.

Pertama, aktor harus menganalisis situasi secara kognitif. Ia harus menempatkan fenomena sosial (individu, kolektivitas, objek-objek kebudayaan fisik) secara terpisah dengan fenomena sosial lain.

Menghubungkan dengan kategori-kategori objek, menentukan properti-properti suatu fenomena sosial, dan menentukan fenomena-fenomena  sosial aktual atau fungsi-fungsi potensial.

Kedua, secara simultan, seorang aktor harus menilai signifikansi kataktik dari fenomena tersebut, terutama dampak bagi dirinya.

Ketiga, aktor bertindak melalui proses evaluatif yang menentukan bagaimana mereka mengalokasikan energi-energi yang dimilikinya untuk mengoptimalkan gratifikasi (kepuasan) dan meminimalisasi deprivasi (Ritzer, 1983: 187–188).

Karya Parsons yang berjudul The Structure of Social Action (Struktur Tindakan Sosial) mempunyai dua tujuan.

Pertama, mengonsolidasi dasar-dasar filosofi sosiologi dengan cara melacak konvergensinya di antara empat teoretikus klasik besar, yakni Marshall, Pareto, Weber, dan Durkheim.

Kedua, sebagai kritik terhadap filsafat utilitarian. Parsons percaya bahwa aliran filsafat tersebut mendominasi ilmu sosial pada waktu itu.

Parsons menggunakan utilitarianisme sebagai titik sentral kritiknya.

Meskipun Parsons menggunakan terma “utilitarianisme”, bukti-bukti menunjukkan bahwa dia tidak merujuk secara spesifik premis-premis  filsafat utilitarian, tetapi pada premis yang lebih luas dari itu, yakni individualisme.

Di atas semuanya, ia merujuk pada premis-premis filsafat ekonomi berkaitan dengan tindakan ekonomi rasional seorang aktor.

Dalam hal ini, Parsons menganggap bahwa aliran individualistik mempunyai keunggulan dalam memperlakukan “kepuasan” yang merupakan pendorong tindakan aktor dalam perspetif teori-teori ekonomi, filsafat, dan psikologi utilitarian.

Filsafat Utilitarian Parsons

Dalam diskusinya tentang filsafat utilitarian, Parsons menguji pertama formulasi problem Hobbesian yang termuat dalam karyanya Leviathan.

Dari situ dilacak berbagai cara di mana para filsuf modern berusaha mengatasi problem tatanan sosial: bagaimana mereka menjelaskan koordinasi unit-unit tindakan.

Parsons memulai dengan karya Hobbes bukan hanya karena Hobbes merupakan salah satu filsuf politik pertama yang paling menonjol yang bergelut dengan persoalan penjelasan tatanan sosial dalam terma-terma rasional, kepentingan-diri individual.

Melainkan juga karena menurut Parsons teori sistem sosial dari Hobbes merupakan yang paling murni dalam membahas utilitarianisme.

Bagi Parsons, Hobbes melihat problem tatanan sosial dengan sangat jelas dan tidak berlebihan. Pernyataannya pun tetap valid hingga saat ini.

Problem tatanan sosial (social order) bagi Hobbes berkaitan dengan asumsi manusia sebagai makhluk rasional, didorong oleh kepentingan-diri, individu yang otonom.

Pada titik ini, asumsi Hobbes dapat diterima Parsons, tetapi mekanisme penciptaan tatanan sosial melalui bellum omnium contra omness (perang  semua lawan semua)  bagi Parsons tidak dapat dipahami.

Dalam pandangan Parsons, Hobbes hanya dapat menjelaskan penciptaan tatanan di luar kondisi alamiah.

Dengan demikian, pandangan ini berlawanan dengan premis-premis utilitarian. Menurutnya, Hobbes melupakan otonomitas individu (King, 2009: 9).

Terinspirasi karya Hobbes, Parsons mengidentifikasi pertanyaan sentral dalam sosiologi yakni problem tatanan sosial yang ia sebut sebagai “problem Hobbesian” atau bagaimana aspek-aspek konfliktual dan egoistik dalam diri manusia berpotensi tidak saja menghalangi,  tetapi juga dapat merusak hubungan-hubungan sosial.

Dalam menyintesiskan tulisan-tulisan Weber, Durkheim, Pareto, dan teoretikus Eropa lain, Parsons mengidentifikasi  berbagai tatanan/aturan struktural yang berfungsi mengatur atau meningkatkan tatanan, termasuk penerapan otoritas politik dan hukum serta institusionalisasi kompetisi-kompetisi ekonomi berlandaskan hukum.

Akan tetapi, ia berpendapat bahwa proses tatanan sosial merupakan sebuah komponen paling efektif.

Sebuah perangkat primer bagi individu untuk mencapai tujuan-tujuannya, juga merupakan aturan tindakan sosial yang menghubungkan dirinya dengan keluarga selain sebagai model norma-norma lebih umum yang mengatur perilaku.

Parsons menggunakan kerangka psikoanalisis untuk mengembangkan “teori tindakannya”. Motivasi individu dipahami sebagai secara intrinsik penting bagi struktur sosial.

Kerangka yang sama juga digunakan untuk mengembangkan teorinya tentang sosialisasi. Menurut Parsons, dalam sosialisasi, aktor sosial menginternalisasi simbol-simbol dan nilai-nilai kultural.

Parsons menyintesiskan teori Durkheim dan Freud serta pandangan teoretikus sebelumnya dalam mengembangkan teorinya tentang sosialisasi.

Dalam pandangan Parsons, terdapat konvergensi antara Durkheim dan Freud, yang keduanya meneorikan tindakan sosial.

Durkheim memulai analisisnya dengan meneorikan cara-cara individu menginternalisasikan norma-norma dan nilai-nilai kolektif, sementara Freud memulai analisisnya tentang kepribadian individu dan mengakui adanya superego.

Di sini, dia juga meneorikan internalisasi norma-norma dan nilai-nilai kolektif dalam diri individu.

Perbedaannya, Durkheim melupakan monoisme individu, sementara Freud justru membangun teorinya berdasarkan hal tersebut.

Parson bersama sahabatnya Edward Shils mengembangkan  variebel-variabel pola (pattern variables) merujuk pada orientasi-oreintasi motivasional individu dalam tindakan sosial.

Konsep motivasional menunjuk pada keinginan seseorang untuk memaksimalkan kepuasan (gratifikasi) dan meminimalkan deprivasi, termasuk menyeimbangkan antara tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang.

Orientasi nilai menunjuk pada standar-standar normatif yang mengatur pilihan-pilihan individu dan prioritas dengan penghargaan perbedaan kebutuhan dan tujuan.

Variabel pola membantu menentukan orientasi-orientasi  seseorang yang dianggap cocok ketika mereka berinteraksi.

Secara esensial, menurut Parsons terdapat lima pilihan yang bersifat dikotomis, baik secara implisit maupun eksplisit.

Variabel-variabel pola merupakan seperangkat pilihan yang ditentukan individu sebelum melakukan tindakan.

Pada tingkat ini, variabel pola merupakan alat analisis terhadap proses kesadaran. Dalam setiap situasi tindakan, individu selalu menghadapi  problem orientasi sebagai berikut.

Affectivity-neutral affectivity

Problem ini seputar seberapa besar dan kuat emosi dan afeksi (perhatian) dicurahkan kepada orang lain ketika berinteraksi.

Sebagai contoh, seorang dokter yang sedang menangani pasien, apakah harus terlibat emosi yang cukup intens terhadap pasien ataukah harus mengambil jarak terhadapnya.

Collectivity-Self orientation

Dilema yang dihadapi seseorang dalam berinteraksi terkadang juga seputar apakah harus mengejar kepentingan diri atau harus berbagi dengan orang lain sebagai kolektivitasnya.

Particularism-universalism

Dalam mengambil keputusan, seseorang terkadang dihadapkan pada dilema apakah akan menggunakan standar-standar universal ataukah standar-standar spesifik yang sarat dengan ikatan-ikatan emosional.

Sebagai contoh, dalam rekrutmen pegawai, seorang direktur dihadapkan pada standar universal berupa kompetensi seseorang ataukah kedekatan ikatan persaudaraan.

Ascription-achievement

Problem yang terjadi dalam interaksi sosial pada konteks ini, apakah status seseorang lebih banyak “diberikan” atau harus dicapai melalui perjuangan.

Apakah seseorang dilahirkan memiliki kemampuan menjadi dokter ataukah kemampuan tersebut harus dipelajari?

Diffuseness-Specificity

Problem yang terjadi dalam interaksi sosial pada konteks ini adalah apakah seseorang akan menggunakan ukuran-ukuran berdasarkan keahlian seseorang, ataukah kompetensi lain juga ikut berpengaruh.

Sebagai contoh, seorang pasien apakah akan menerima seluruh nasihat dokter ataukah hanya nasihat-nasihat yang sesuai bidang keahlian dokter saja (Baert, 1998: 51–52).

Referensi

Baert, Patrick. 1998. Social Theory in The Twentieth Century. Cambridge, Oxford: Polity Press in Association with Blackwell Publisher Ltd.

Loyal, Steven. 2003. The Sociology of Giddens. First Published. London: Pluto Press.

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi Modern.  Terjemahan: Alimandan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Apa itu Teori Struktural Fungsional Talcott Parsons?

FORMULASI TEORI FUNGSIONALISME STRUKTURAL TALCOTT PARSONS Fungsionalisme Struktural memandang masyarakat sebagai suatu sistem yang terintegrasi secara fungsional ke dalam suatu bentuk ekuilibrium. Pendekatan fungsionalisme struktural ini timbul lewat cara pandang yang menyamakan masyarakat dengan organisme biologis.

Apa saja teori yang dikemukakan oleh Talcott Parsons?

Teori Talcott Parsons yaitu masyarakat sebagai suatu sistem saling berhubungan dan saling bergantung. Faktor terpenting dari suatu integrasi sistem sosial yaitu kesepakatan. Kemudian Talcott Parsons mengembangkan konsep imperatif fungsional untuk membuat sistem bertahan.

Jelaskan apa yang dimaksud dengan teori struktural fungsional?

Teori Fungsionalisme Struktural menekankan kepada keteraturan dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Konsep utamanya adalah fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifest dan keseimbangan.

Bagaimana pandangan Talcott Parson terhadap teori sistem?

Parsons berpandangan bahwa sepenting-pentingnya struktur lebih penting sistem kultur bagi sistem social. Seperti dijelaskan di atas, sistem kultur berada di puncak sistem tindakan (personal system) . Sistem kultur menurutnya merupakan kekuatan utama yang mengikat berbagai unsur dunia sosial (mengikat sistem tindakan).