Subak merupakan contoh pembangunan sosial budaya yang berasal dari

  Pengolahan Sawah di Jatiluwih. Foto: Pesona Indonesia

Subak merupakan organisasi kemasyarakatan bagi para petani di Pulau Dewata, Bali. Dengan adanya Subak, Para petani dapat bermusyawarah untuk bersama-sama mengelola sistem pengairan sawah dalam bercocok tanam.

Indonesia secara geografis terletak diantara dua samudera, yakni samudera Pasifik dan samudera Hindia, serta diapit oleh Benua Australia dan Asia. Indonesia sendiri memiliki luas teritorial sepanjang 1,905 juta km2 yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Oleh karena itu, Indonesia diakui sebagai negara dengan penduduk terbanyak ke-4 di dunia dengan total 264 juta penduduk. Tentu dari jumlah populasi penduduk terbanyak ini menggambarkan ekosistem alam yang juga tidak sedikit jumlahnya.

Sebagai negara agraris yang dikaruniai kelimpahan sumber daya alam (SDA), melabelkan Indonesia menuju kedaulatan pangan di dunia pada tahun 2045, tahun dimana Indonesia memasuki usia yang ke 100 tahun. Melalui sektor pangan, komitmen pemerintah mewujudkan Indonesia sebagai negara lumbung pangan dunia ini perlu disambut baik semua sektor, baik pemerintah, pengusaha, masyarakat umum hingga petani.

Masyarakat dan petani adalah aset terpenting bangsa ini. Tanpa petani, kebutuhan pokok masyarakat sulit teratasi. Begitupun sebaliknya, masyarakat membutuhkan petani yang bekerja keras di ladang demi kelangsungan hidup. Itulah prinsip kolektif kolegial dalam kehidupan sosial. Prinsip itu pun tertanam di lingkungan kita karena masyarakat Indonesia yang dikenal akan budaya gotong royong yang tinggi.

Seperti halnya pada masyarakat di Pulau Dewata Bali. Kerukunan dibalik keberagaman hidup masyarakat Bali menjadi contoh budaya gotong royong di Indonesia. Bagi masyarakat Bali, hidup rukun, bersatu padu, dibingkai dalam suatu organisasi begitu penting sebagai cara untuk saling melengkapi ketika diterpa permasalahan alam maupun lingkungan di sekitarnya. Misalnya saja melalui perkumpulan kelompok petani.

Organisasi Subak

Subak merupakan organisasi kemasyarakatan yang dikenal luas oleh masyarakat Dewata Bali. Subak secara khusus mengatur dan mengelola sistem pengairan sawah dalam bercocok tanam. Untuk menunjang hasil pertanian yang berkualitas baik, diperlukan sistem irigasi yang berfungsi untuk mengairi sawah agar tidak kering saat musim kemarau tiba. Masyarakat Bali meyakini bahwa, tanpa adanya komitmen dan kesepakatan bersama dalam merawat sawah, sektor pertanian mereka akan mengalami kemunduran, baik secara hasil yang didapatkan maupun pertumbuhan bibit tanaman yang berkualitas. Olehnya itu, Subak sebagai satu-satunya wadah bagi masyarakat khususnya petani sebagai alat untuk senantiasa menjaga ikhtiar tersebut.

Organisasi Subak sendiri memiliki beberapa manfaat, diantaranya sebagai penyambung tangan kesejahteraan para petani melalui sistem irigasi. Melalui Subak, sistem irigasi yang berlaku berasaskan pada keadilan bersama. Sebagai contoh, jika petani kesulitan mendapatkan air dalam situasi krisis, maka Subak hadir memberikan solusi untuk mengatasi masalah tersebut agar sistem bagi-bagi air secara merata dirasakan oleh semua petani tanpa terkecuali.

Manfaat lainnya adalah untuk menghindari terjadinya konflik antar masyarakat maupun petani itu sendiri, hanya karena memperebutkan aliran air ke sawah masing-masing. Selain itu, kehadiran Subak juga mencerminkan kehidupan masyarakat Bali yang dominan menggunakan asas gotong royong sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

Atas peran dan kontribusi dari organisasi Subak yang menjalankan sistem irigasi para petani ini, ternyata nama Subak sudah go internasional. bahkan, penghargaan terbaik yang diterima Subak yakni, dikenal menjalankan sistem irigasi dengan metode pengairan sawah tradisional dan pernah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO.

Menguti dari sumber pemerintah setempat. Subak memiliki struktur organisasi yang erat kaitannya dengan sejarah Bali. Anggota Subak atau dalam Bahasa Bali disebut sebagai Krama Subak, adalah para petani yang memiliki garapan sawah dan mendapatkan bagian air pada sawahnya. Anggota Subak sendiri dikelompokan menjadi tiga. Pertama, Krama Aktif. Disebut sebagai anggota yang aktif seperti Krama Pekaseh, Sekaa Yeh atau Sekaa Subak. Kedua, Krama Pasif yaitu anggota yang mengganti kewajibannya dengan uang atau natura. Hal ini karena beberapa penyebab yang biasa disebut dengan pengampel atau pengohot. Anggota yang ketiga adalah Krama Luput. Karma Luput adalah anggota atau karma yang tidak aktif dalam setiap kegiatan Subak karena memiliki tugas penting lainnya, seperti kepala desa atau Bendesa Adat.

Layaknya struktur pengurus organisasi pada umumnya. Subak juga memiliki struktur yang lengkap. Organisasi Subak ini dipimpin oleh Kepala Subak yang dikenal sebagai Pekaseh atau Kelian. Kemudian, struktur dibawahnya ada Pangliman.Petajuh menjadi Wakil Kepala Subak, Peyarikan/Juru Tulis adalah sekretaris, Petengen/Juru Raksa bertugas sebagai bendahara, Saya/Juru juga dikenal memiliki banyak sebutan yang berfungsi menjalankan tugas dalam urusan pemberitahuan atau pengumuman, kalau di organisasi pada umumnya dikenal sebagai Humas. Dan pengurus terakhir yakni Pemangku yang bertugas khusus dalam urusan ritual atau keagamaan. Selain pengurus, di dalam organisasi Subak juga memiliki Kelompok atau Sekaa yang memiliki tugas dan fungsinya masing-masing.

Filosofi Tri Hita Karana dalam Organisasi Subak

Masyarakat Bali sangat menjunjung tinggi kearifal lokal daerah, baik adat istiadat, budaya maupun keberagman lainnya yang terikat. Seperti daerah lain di Indonesia, salah satu sumber kehidupan masyarakat bali adalah di bidang pertanian. Meskipun pada faktanya, Bali telah terkenal hingga ke manca negara sebagai tempat wisata terfavorit di dunia. Namun, tentunya bukan saja tempat wisata yang memperkenalkan Pulau keunggulan bangsa ini.

Dalam organisasi Subak, masyarakat meyakini bahwa karunia Tuhan yang diberikan patut selalu disyukuri. Ekosistem alam yang dimiliki Bali merupakan manifestasi dari sebuah filosofi yang kental melekat dalam dari masyarakat Dewata. Adalah Tri Hita Karana.

Tri Hita Karana berasal dari tiga kata, Tri yang artinya tiga, Hita adalah kebahagiaan atau kesejahteraan, dan Karana artinya penyebab. Maka, Tri Hita Karana adalah tiga penyebab terciptanya kebahagiaan dan kesejahteraan. Itulah manifestasi dari filosofi Tri Hita Karana yang diyakini masyarakat Bali hingga saat ini. Tri Hita Karana sendiri memiliki nilai sejarah yang bermakna, sehingga penerapannya di Subak menggambarkan kebahagiaan dan kesejahteraan.

Adapaun bentuk penerapan dari Tri Hita Karana sendiri dibagi menjadi tiga unsur penting sebagai wujud ritual atau hubungan antara manusia, Tuhan dan alam. Hal tersebut tercermin melalui makna dari Parahyangan yang menjelaskan hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, Pawongan yaitu hubungan harmonis antar sesame manusia, serta Palemahan yang menunjukan hubungan harmonis antara manusia, alam dan lingkungan sekitarnya.

Itulah filosofi yang dapat menggambarkan kehidupan masyarakat Bali yang penuh kebahagiaan dan kesejahteraan. Oleh karena itu, melalui Subak yang merupakan sebuah kata asli Bahasa Bali yang pertama kali dilihat dalam prasasti Pandak Bandung ini, memiliki cerita sejarah ini yang bermula sekitar tahun 1072 M. Uniknya lagi, Subak secara fungsinya juga mencerminkan wajah Indonesia sebagai negara yang menganut asas demokrasi. (K-1)

  Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin konten ini dengan mencantumkan sumber Indonesia.go.id

Oleh:

I Made Geria, Surjono H, Widiatmaka, dan Rachman Kuriawan

Institut Pertanian Bogor, Bogor

Subak adalah sistem tata kelola irigasi tradisional yang menjadi pilar kebudayaan masyarakat Bali. Situs warisan dunia yang telah diakui UNESCO ini kini mulai mengalami permasalahan. Padahal subak adalah benteng peradaban Bali, yang merupakan sarana pembelajaran masyarakat Bali dalam menghargai dan menjaga lingkungannya. Penelitian ini mencoba meninjau permasalahan yang terjadi serta melihat eksistensi peradaban subak dalam masyarakat Bali saat ini.

Budaya subak yang erat kaitannya dengan ritual sangat melekat dengan konsep Tri Hita Karana (THK). Konsep dasar THK yang bersumber dari agama Hindu ini berkaitan dengan peradaban Bali sangat mempengaruhi perilaku subak dan aktivitas anggotanya dalam pembangunan pertanian di lahan sawah. Dalam tataran ritual dan kepercayaan budaya subak yang erat dengan konsep THK masih sangat efektif, namun muncul permasalahan yaitu degradasi alam yang berpotensi melemahkan harmonisasi antara masyarakat dan lingkungan di sejumlah subak. Degradasi alam yang terjadi di subak akibat konversi lahan, alih profesi, ekonomi yang lemah dan kurangnya ketertarikan dari generasi muda untuk melanjutkan keberadaan subak.

Menurut Windia dan Dewi (2011), THK yang merupakan landasan utama subak mengandung pengertian tiga hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan yang Maha Esa (parhyangan), hubungan antarmanusia (pawongan), dan hubungan manusia dengan alam (palemahan). THK juga memiliki aspek budaya dengan nilai-nilai tradisional yang dianut dalam budaya subak. Nilai tradisional yang meliputi kepercayaan dengan beragam ritual yang bersumber dari agama Hindu, nilai gotong royong, nilai musyawarah mufakat, nilai awig-awig atau instrumen hukum adat yang berlaku dan nilai budaya lainnya.

Selain aspek budaya, peradaban subak juga terkait dengan aspek sosial. Menurut Sanderson (2000), ada tiga elemen dasar dalam sistem sosio-kultural, yaitu superstruktur, struktur sosial, dan infrastruktur material. Superstruktur meliputi cara-cara yang telah terpolakan, yang dengan cara tersebut para anggota masyarakat berpikir, melakukan konseptualisasi, menilai dan merasakan sesuatu, di dalamnya tercakup beberapa unsur di antaranya unsur umum, agama, ilmu pengetahuan, kesenian, dan kesusastraan.

Sedangkan struktur sosial merupakan perilaku aktual manusia yang muncul dalam hubungan antarmanusia maupun dalam hubungan mereka dengan lingkungan alam (biofisik) yang meliputi beberapa unsur yaitu stratifikasi sosial, stratifikasi rasial dan etnik, kepolitikan, pembagian kerja secara seksual dan ketidaksamaan secara seksual, keluarga, dan kekerabatan, serta pendidikan. Terakhir, infrastruktur material yang berisi bahan baku dan bentuk sosial yang berkaitan dengan upaya manusia mempertahankan hidup dan beradaptasi dengan lingkungannya. Infrastruktur material terdiri atas empat unsur, yaitu teknologi, ekonomi, ekologi, dan demografi.

Ketiga elemen ini merupakah konsep yang sama secara filosofi dengan konsep THK, misalnya superstruktur sama dengan parahyangan, struktur sosial sama dengan pawongan, dan infrastruktur material sama dengan palemahan. Kedua konsep yang saling berkaitan ini digunakan dalam penelitian untuk melihat keberadaan budaya subak dalam masyarakat Bali saat ini. Penelitian ini juga membahas strategi kebijakan pengembangan peran subak sebagai destinasi wisata peradaban ekologi untuk menjaga keberlanjutan subak yang sesuai dengan konsep triple bottom line yang meliputi planet, people, dan profit.

Subak Bali merupakan banteng peradaban Bali yang menjadi sarana pembelajaran masyarakat Bali dalam menghargai dan menjaga lingkungan sangat erat kaitannya dengan konsep Tri Hita Karana.

Kawasan subak Sarbagita Bali yang terdiri dari wilayah Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan dipilih sebagai obyek penelitian karena merupakan kawasan yang menjadi daerah tujuan wisata dan pembangunannya berkembang pesat.

Masyarakat di Kawasan Sarbagita secara superstruktur saat ini tetap melaksanakan pelestarian lingkungan dengan sangat efektif dan memiliki eksistensi yang kuat. Hal ini terlihat dari aktivitas subak berupa pemujaan dan ritual di pura subak dengan tujuan pemuliaan alam. Upacara dan ritual seperti  adalah upacara magpag toya menjemput air secara ritual, adanya bangunan pemujaan atau pelinggih penyawangan di sawah untuk memuja keberadaan pura di tamblingan sebagai pusat sumber air, serta melakukan upacara saat akan memulai tanam padi, tetap perlu dipertahankan.

Organisasi subak adalah struktur sosial yang terbentuk dalam peradaban subak Bali. Organisasi subak bersifat otonom namun tidak mempunyai kaitan perintah dan tanggung jawab langsung kepada Lembaga lain di tingkat desa maupun kecamatan. Organisasi subak di Kawasan Sarbagita cukup efektif menjalankan komponen-komponen subak. Walau demikian, secara struktur sosial masyarakat di Kawasan ini mengalami pelemahan karena perubahan fungsi lahan yang semakin luas dan alih profesi masyarakat yang semakin meningkat.

Permasalahan yang timbul akibat degradasi lahan dan alih profesi masyarakat setempat mengancam eksistensi subak Bali. Oleh karena itu eco-cultural tourism dapat dijadikan solusi yang menyinergikan bidang pertanian dan pariwisata di peradaban subak.

Pada infrastruktur material, komponen yang utama adalah jaringan irigasi subak. Melalui sistem subak inilah para petani mendapatkan air sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan secara musyawarah oleh masyarakat. Namun, akibat alih fungsi lahan, lahan sawah yang terus berkurang terutama pada daerah perkotaan menjadi masalah utama. Sehingga sebagian masyarakat khawatir tidak sanggup memenuhi kebutuhan mereka yang menyebabkan alih profesi dan generasi muda semakin tidak mau lagi bersubak.

Komitmen masyarakat dalam menjaga lingkungan dan budaya subak menjadi permasalahan utama. Oleh karena itu, eco-cultural tourism dapat menjadi salah satu solusi untuk menangani permasalahan ini. Eco-cultural tourism adalah konsep di mana aspek ekologis dan budaya suatu wilayah digabungkan bersama-sama dan menciptakan surge wisata alam.

Konsep ini merupakan tujuan wisata di mana anugerah budaya dan alam menjadi daya tarik utama sehingga dianggap sebagai strategi potensial untuk mendukung konservasi habitat alam bersamaan dengan meningkatkan perekonomian bagi masyarakat setempat. Untuk meningkatkan peradaban subak Bali sebagai eco-cultural tourism, memerlukan strategi prioritas yaitu memanfaatkan kekuatan kearifan budaya subak untuk pengembangan dan peningkatan peran masyarakat Bali.

Memanfaatkan sistem religi yang kuat dipegang oleh masyarakat Bali masih menjadi bagian terpenting terutama dalam bidang konservasi lingkungan. Namun, bidang ekonomi juga perlu mendapatkan perhatian khusus, karena alih profesi masyarakat dari pertanian ke pariwisata dapat mengancam konservasi lingkungan subak. Dengan demikian, solusi subak Bali sebagai eco-cultural tourism dapat diimplementasikan untuk menyinergikan pertanian dan pariwisata. (INT)

Ditulis ulang dari penelitian yang diterbitkan dalam Amerta, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Volume 37 Nomor 1 Tahun 2019. Untuk mengakses penelitian lebih lengkap dapat mengunjungi laman berikut:  https://jurnalarkeologi.kemdikbud.go.id/index.php/amerta/article/view/520/395