Stovia adalah sekolah kedokteran milik belanda yang diperuntukkan bagi pribumi

Liputan6.com, Jakarta Jika mengulas sejarah bangsa, akan ada satu nama yang tidak bisa lepas, STOVIA. STOVIA sering juga disebut sebagai kampus perjuangan. Namun sebenarnya, apa itu STOVIA dan apa perannya dalam sejarah perjuangan Indonesia?

STOVIA adalah singkatan dari School tot Opleiding van Indische Artsen atau Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputera. STOVIA adalah kampus yang mencetak tokoh-tokoh pergerakan Indonesia, seperti Dr Sutomo, Tjipto Mangunkusomo, dan Wahidin Sudirohusodo.

Mengutip Jakartapedia, pada awal tahun 1800-an, ada wabah penyakit yang menyebar di Jawa. Pemerintah Belanda yang saat itu menjajah Indonesia kewalahan menghadapi wabah penyakit ini.

Karena mendatangkan dokter dari Eropa akan memakan biaya besar, muncullah keinginan untuk mendidik kaum pribumi agar bisa mengobati bangsanya sendiri.

Stovia adalah sekolah kedokteran milik belanda yang diperuntukkan bagi pribumi

Menurut situs Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, momentum pendidikan kedokteran di Indonesia lahir pada tanggal 2 Januari 1849, lewat Keputusan Gubernemen Nomor 22. Ketetapan itu menjadi titik awal penyelenggaraan pendidikan kedokteran di Indonesia. Pendidikan itu dilangsungkan di Rumah Sakit Militer (sekarang RSPAD).

Dua tahun setelah keputusan itu, dibukalah Sekolah Pendidikan Kedokteran di Weltevreden dengan lama pendidikan dua tahun dan jumlah siswa 12 orang. Lulusan sekolah itu kemudian diberi gelar Dokter Djawa. Namun sayangnya, walau diberi gelar dokter, lulusan sekolah itu hanya memiliki kewenangan seperti mantri, dan diperkerjakan sebagai mantri cacar.

Seorang Belanda bernama HF Roll, yang saat itu menjabat sebagai direktur Sekolah Dokter Jawa, lalu mengusulkan kepada pemerintah Belanda untuk mengadakan pendidikan kedokteran yang bisa diselenggarakan dengan pendidikan kedokteran di Belanda.

Perlu waktu 10 tahun bagi dokter-dokter Indonesia sebelum mereka memperoleh wewenang agar bisa bekerja lebih dari sekadar Mantri Cacar. Pada tahun 1864, lama pendidikan kedokteran diubah menjadi tiga tahun dan lulusan yang dihasilkan dapat menjadi dokter yang berdiri sendiri, walau masih di bawah pengawasan dokter Belanda.

Stovia adalah sekolah kedokteran milik belanda yang diperuntukkan bagi pribumi

Tahun 1875, lama pendidikan untuk dokter-dokter Indonesia kembali ditambah. Lama pendidikan menjadi tujuh tahun, termasuk pendidikan bahasa Belanda yang dijadikan sebagai bahasa pengantar. Baru 20 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1898, sekolah pendidikan kedokteran yang sesungguhnya berdiri. Sekolah kedokteran itu disebut STOVIA.

Dalam perkembangannya, STOVIA menjadi lembaga yang mendidik dokter-dokter Bumiputera (inlandsch arts) dan bukan hanya dokter Jawa. Sekolah ini mulai membuka kesempatan bagi siapa saja tanpa memandang keturunan. Walau memang, untuk bersekolah di sini dibutuhkan biaya sendiri. Untuk masuk ke STOVIA pun siswanya harus melalui ujian yang ketat.

Tahun 1903, terjadi perubahan dalam sistem penerimaan siswa baru STOVIA. Mereka mulai menerima siswa dari sekolah pribumi (sebelumnya hanya menerima siswa tamatan sekolah Belanda).

STOVIA juga kemudian membebaskan siswa-siswanya dari kewajiban membayar. Bahkan, mahasiswanya mendapat alat-alat kuliah dan seragam gratis. Siswa-siswa STOVIA juga menerima uang saku sebesar 15 gulden per bulan.

Pembebasan biaya itu membuka kemungkinan dari pemuda-pemuda golongan priayi untuk belajar di STOVIA. Hal ini kemudian menghasilkan tokoh-tokoh bangsa dari kalangan priayi, seperti Wahidin Sudirohusodo dan Tjipto Mangoenkoesomo.

Scroll down untuk melanjutkan membaca

School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (bahasa Indonesia: Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputra), atau yang juga dikenal dengan singkatannya STOVIA, adalah sekolah untuk pendidikan dokter pribumi di Batavia pada zaman kolonial Hindia Belanda. Saat ini sekolah ini telah menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.[1]

Stovia adalah sekolah kedokteran milik belanda yang diperuntukkan bagi pribumi

Para akademisi Stovia tahun 1916

Kekhawatiran akan kurangnya tenaga kesehatan untuk menghadapi berbagai macam penyakit berbahaya di wilayah-wilayah jajahannya, membuat pemerintah kolonial menetapkan perlunya diselenggarakan suatu kursus juru kesehatan di Hindia Belanda. Pada 2 Januari 1849, dikeluarkanlah Surat Keputusan Gubernemen no. 22 mengenai hal tersebut, dengan menetapkan tempat pendidikannya di Rumah Sakit Militer (sekarang RSPAD Gatot Subroto) di kawasan Weltevreden, Batavia (sekarang Gambir dan sekitarnya).

Pada tanggal 5 Juni 1853, kegiatan kursus juru kesehatan ditingkatkan kualitasnya melalui Surat Keputusan Gubernemen no. 10 menjadi Sekolah Dokter Djawa, dengan masa pendidikan tiga tahun. Lulusannya berhak bergelar "Dokter Djawa", akan tetapi sebagian besar pekerjaannya adalah sebagai mantri cacar.

Pada akhir abad ke-19, Belanda mengalami perubahan kebijakan dengan penerapan politik etis yang bertujuan untuk menciptakan kesetaraan kepada warga pribumi atau rakyat Indonesia saat itu. Kebijakan ini mencakup tiga bidang, yaitu irigasi, edukasi, dan emigrasi.[2] Salah satu bidangnya, yaitu edukasi inilah yang membuka kesempatan untuk warga pribumi mengenyam pendidikan. Ditambah lagi, wabah penyakit telah tersebar di Pulau Jawa, tetapi biaya untuk mendatangkan dokter dari Eropa membutuhkan biaya yang sangat mahal.[3] Kondisi inilah yang menimbulkan pemikiran untuk memberikan pendidikan pada kaum pribumi untuk menjadi mantri.Sebagai solusi dari masalah ini, Hermanus Frederik Roll, yang saat itu menjabar sebagai direktur Sekolah Dokter Jawa pun mengusulkan ke pemerintah Belanda untuk membangun tempat pendidikan kedokteran yang dapat disetarakan dengan pendidikan kedokteran yang ada di Belanda. STOVIA pun didirikan pada tahun 1851, yang berlokasi di sebelah rumah sakit militer. STOVIA tidak membutuhkan biaya serta memberikan peralatan kuliah, seragam gratis sekaligus beasiswa 15 gulden tiap bulannya untuk menarik perhatian kaum pribumi bersekolah disini. Situasi inilah yang menyebabkan STOVIA mendapat julukan sebagai 'sekolah orang miskin'.[4] Mahasiswa STOVIA wajib menjalani ikatan dinas selama sepuluh tahun. Apabila ikatan dinas tidak ditepati, mereka akan didenda sebesar 5.800 gulden.[5]

Selanjutnya Sekolah Dokter Djawa terus-menerus mengalami perbaikan dan penyempurnaan kurikulum. Pada tahun 1889 namanya diubah menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Geneeskundigen (atau Sekolah Pendidikan Ahli Ilmu Kedokteran Pribumi), lalu pada tahun 1898 diubah lagi menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (atau Sekolah Dokter Pribumi). Akhirnya pada tahun 1913, diubahlah kata Inlandsche (pribumi) menjadi Indische (Hindia) karena sekolah ini kemudian dibuka untuk siapa saja, termasuk penduduk keturunan "Timur Asing"[6] dan Eropa, sedangkan sebelumnya hanya untuk penduduk pribumi.

Cikal bakal dari pergerakan nasional di Hindia Belanda berawal dari sekolah ini ketika Dr. Wahidin Soedirohoesodo dan Dr. Soetomo yang keduanya merupakan alumni STOVIA mendirikan organisasi pergerakan nasional pertama bernama Budi Utomo pada 20 Mei 1908.

Nama STOVIA tetap digunakan hingga tanggal 9 Agustus 1927, yaitu saat pendidikan dokter resmi ditetapkan menjadi pendidikan tinggi, dengan nama Geneeskundige Hoogeschool (atau Sekolah Tinggi Kedokteran). Sempat terjadi beberapa kali lagi perubahan nama, yaitu 醫科大學 (Ika Daigaku, Sekolah Kedokteran) pada masa pendudukan Jepang dan Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Sejak 2 Februari 1950, Pemerintah Republik Indonesia mengubahnya menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, yang masih tetap berlaku hingga sekarang.

  • Raharja, Gede Mugi. Gedung Stovia, Menelusuri Tonggak Kebangkitan Nasional Diarsipkan 2008-02-09 di Wayback Machine., artikel pada Bali Post online, Minggu Wage, 22 Mei 2005. Diakses pada 28 Januari 2007.

 

Komplek kampus sekolah kedokteran STOVIA. Tampak dalam gambar adalah gedung-gedung yang saat ini menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (ujung atas) dan R.S. Cipto Mangunkusumo (tengah), dibatasi di sebelah bawahnya oleh Sungai Ciliwung. Jalan Diponegoro sekarang, terletak di sebelah kanan komplek ini.

  1. ^ "Sejarah Singkat FKUI" Diarsipkan 2006-08-27 di Wayback Machine., Situs Resmi FKUI, diakses Mei 2007
  2. ^ Parinduri, Alhidayath (23 Februari 2021). "Kapan Boedi Oetomo Didirikan, Latar Belakang Sejarah, & Tujuannya?". tirto.id. Diakses tanggal 24 November 2021. 
  3. ^ "STOVIA, Boedi Oetomo, dan Kebangkitan Pergerakan Nasional". Direktorat SMP. 20 Mei 2021. Diakses tanggal 24 November 2021. 
  4. ^ "Budi Utomo 20 Mei 1908, Awal Pergerakan Nasional Indonesia menuju Indonesia Merdeka". kebudayaan.kemdikbud.go.id. 20 Mei 2019. Diakses tanggal 25 November 2021. 
  5. ^ Matanasi, Petrik (20 Agustus 2020). "Tjipto hingga Leimena: Penerima Beasiswa yang Membangkang Belanda". tirto.id. Diakses tanggal 25 November 2021. 
  6. ^ Antara lain penduduk keturunan Tionghoa, Arab, dan India

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=School_tot_Opleiding_van_Inlandsche_Artsen&oldid=21065618"