Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) melakukan aksi Kamisan ke-714 di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (20/1/2022). Aksi yang sudah digelar selama 15 tahun tersebut mengangkat tema #15tahunAksiKamisan: Keadilan Korban Digadaikan. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/rwa. JAKARTA, KOMPAS.com - Proses penyelesaian kasus kasus-kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu sampai saat ini masih menjadi perdebatan. Dari pihak korban dan keluarga sangat berharap perkara itu diselesaikan melalui mekanisme pengadilan HAM ad hoc. Namun, pemerintah kembali mengajukan upaya penyelesaian melalui jalur lain yakni di luar pengadilan (non-yudisial). Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko mengatakan, pemerintah akan mengutamakan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat sebelum tahun 2000 dilakukan melalui mekanisme non-yudisial. "Untuk kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu (terjadi sebelum November 2000) akan diprioritaskan dengan penyelesaian melalui pendekatan non-yudisial. Seperti melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)," ujar Moeldoko saat menerima mahasiswa Trisakti sebagaimana dilansir dari siaran pers KSP, Rabu (18/5/2022). Baca juga: Komnas HAM Desak Presiden Selesaikan 12 Kasus Pelanggaran HAM Berat Indonesia Moeldoko mengatakan, pemerintah melalui Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) sedang memfinalisasi draf kebijakan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat melalui mekanisme non-yudisial, atau melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Selain itu, dia juga memastikan Pengadilan HAM peristiwa Paniai berjalan. "Dengan pendekatan ini, kami berharap kasus Trisakti, Semanggi I dan II, Kasus Mei 98 dan lain-lain bisa turut terselesaikan," ujar Moeldoko. Moeldoko mengatakan kasus Trisakti 1998 termasuk kategori pelanggaran HAM berat masa lalu yang idealnya diselesaikan melalui mekanisme non-yudisial. Kasus tersebut dapat diselesaikan melalui KKR. Baca juga: Kontras Desak Kejagung Libatkan Penyidik Sipil Usut Pelanggaran HAM Berat Paniai Kepada perwakilan mahasiswa Trisakti, Moeldoko juga menyatakan, meskipun pengadilan belum bisa digelar, pemerintah tetap mengupayakan agar para korban peristiwa Trisakti tetap mendapatkan bantuan dan pemulihan dari negara. "Oleh karenanya pada 12 Mei lalu BUMN memberikan bantuan perumahan kepada 4 keluarga korban Trisakti. Ini bentuk kepedulian dan kehadiran negara di hadapan korban," ucap Moeldoko. Cuci tanganKepala Divisi Pengawasan Impunitas Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Tioria Pretty Stephanie memperkirakan sikap pemerintah yang mendorong penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di luar pengadilan hanya sebagai upaya "cuci tangan", tetapi tidak benar-benar memberi keadilan. Oleh Binsar M Gultom Di banyak negara, termasuk Indonesia, sering terjadi kecenderungan adanya penolakan untuk menyelidiki atau mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Sikap melindungi secara terang-terangan biasanya dilakukan oleh para penguasa yang warga negaranya terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Perlindungan seperti itu tecermin dari kesengajaan untuk tak menerapkan ketentuan perundang-undangan yang sudah ada, atau memberikan interpretasi (penafsiran) yang berbeda dengan apa yang dimaksud oleh peraturan perundang-undangan mengenai kejahatan itu. Segala cara selalu dilakukan semata untuk menciptakan impunitas bagi para pelaku kejahatan itu. Kebiasaan seperti ini harus segera ”dihentikan” agar tak merusak masa depan anak bangsa. Banyak contoh kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia yang terkesan ditutup- tutupi. Mulai dari kasus dugaan pelanggaran HAM berat Trisakti, Semanggi I, II, penculikan aktivis tahun 1997/1998, kasus Talangsari (di Lampung), hingga kasus Waisor, Wamena, di Papua yang telah selesai diselidiki oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tanpa kunjung tiba penyelesaiannya. Kini kasus HAM berat 1965/1966 kembali diungkap Komnas HAM dan merekomendasikan untuk ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung. Menurut Jaksa Agung Basrief Arief, jika hasil penelitian diputuskan ditingkatkan ke tahap penyidikan, kejaksaan membutuhkan pengadilan HAM ad hoc. Hal ini mengingat kasus itu terjadi ”sebelum” Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ada. Polemik tentang pembentukan pengadilan HAM ad hoc ini sangat krusial menghambat penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi selama ini. Menurut penulis, seharusnya Komnas HAM terlebih dahulu melakukan penyelidikan (sudah berjalan), kemudian Jaksa Agung menyidik atau mengembangkan hasil temuan Komnas HAM itu. Dari hasil temuan itu baru DPR memberikan rekomendasi/usul pembentukan pengadilan HAM ad hoc kepada presiden untuk mendapat keputusan presiden (keppres). Jadi, bukan justru mengembalikan berkas kasus yang sudah diselidiki Komnas HAM seperti yang pernah terjadi 1 April 2008, apalagi tanpa petunjuk jelas dari Kejaksaan Agung. ”Satu paket” Menurut penjelasan Pasal 43 (2) UU Pengadilan HAM, secara eksplisit ditegaskan, ”dalam hal DPR mengusulkan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc, DPR mendasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM yang berat yang dibatasi pada locus dan tempus delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya UU ini.” Ini berarti, setiap pelanggaran HAM berat yang terjadi ”sebelum” UU No 26/2000 terbentuk, DPR wajib merekomendasikan/mengusulkan pembentukan pengadilan HAM ad hoc atas peristiwa dugaan pelanggaran HAM berat berdasarkan hasil temuan Komnas HAM dan Jaksa Agung. Di tahapan ini, DPR tak boleh menolak memberikan rekomendasi pembentukan pengadilan HAM ad hoc dengan alasan tidak ditemukan pelanggaran HAM berat. Di sini DPR tak perlu menilai substansi perkara ada tidaknya pelanggaran HAM berat. Yang berwenang menilai hanya pengadilan HAM ad hoc, bukan DPR. Dalam praktik, pengalaman penulis sebagai hakim HAM mengadili kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur 1999 dan Tanjung Priok 1984 di Pengadilan HAM ”Ad Hoc” Jakarta (2002–2005), pembentukan pengadilan HAM ad hoc atas kedua peristiwa itu ”satu paket”, didasarkan pada Keppres No 53/2001 yang diperbarui dengan Keppres No 96/2001. Sebelumnya didahului penyelidikan Komnas HAM dan penyidikan Kejaksaan Agung tentang adanya dugaan pelanggaran HAM berat tersebut. Hasil temuan itu mendapat rekomendasi/usul pembentukan pengadilan HAM ad hoc dari DPR kepada presiden. 14 Aug 2015, 15:06 WIB - Oleh: Ketua Dewan Perwailan Daerah (DPD) RI Irman Gusman (dari kiri), Presiden Joko Widodo, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat RI Setya Novanto dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Kabar24.com, JAKARTA- Presiden Joko Widodo mengatakan saat ini Pemerintah tengah berupaya mencari jalan keluar paling bijaksana dan mulia untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia. Jalan keluar yang dimaksud Presiden adalah upaya rekonsiliasi Pemerintah terhadap para pelaku dan korban kasus-kasus pelanggaran HAM. "Pemerintah menginginkan ada rekonsiliasi nasional sehingga generasi mendatang tidak terus memikul beban sejarah masa lalu," katanya saat menyampaikan pidato kenegaraan di hadapan para anggota dewan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (14/8/2015). Menurut Jokowi anak-anak bangsa ke depannya harus bebas menatap masa depan yang terbentang luas. Semua itu, sambung Jokowi, merupakan langkah awal pemerintah menegakkan kemanusiaan di bumi Nusatara. Pidato kenegaraan Presiden Republik Indonesia ini disampaikan dalam rangka memperingati hari ulang tahun proklamasi kemerdekaan ke-70 Republik Indonesia. Sebanyak 1.108 perwakilan dari seluruh Indonesia yang berasal dari 12 kementerian dan lembaga hadir adalam acara tersebut. Simak Video Pilihan di Bawah Ini :
Editor: Andhina Wulandari
JAKARTA - Dunia memperingati hari Hak Asasi Manusia (HAM) pada 10 Desember, tidak terkecuali Indonesia. Namun, di balik perayaannya, pemerintah Indonesia masih memiliki segudang pekerjaan rumah yang menumpuk untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat di masa lalu. Upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu itu tidak mudah, ada hambatan, baik secara teknis maupun politis. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berpendapat saatnya negara mengambil keputusan dengan mempertimbangan beberapa mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat pada masa lalu. Pernyataan pemerintah melalui Menkopolhukam Mahfud MD yang akan melakukan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu dengan cara non-yudisial tanpa mengabaikan mekanisme yudisial atau sebaliknya perlu mendapat dukungan. Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengatakan langkah pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu mungkin bisa dimulai dengan bertanya kepada korbannya, model penyelesaian seperti apa yang mereka kehendaki. Setelah mendengar, pemerintah harus segera mengambil keputusan model yang diterapkannya. Apa pun model penyelesaian yang dipilih berpotensi menimbulkan pro dan kontra. Namun, bila sulit sampai pada pilihan mekanisme yang ideal, jalan tengahnya adalah mekanisme yang paling mungkin untuk diterapkan. "Di sini pemerintah dituntut untuk memiliki keberanian dalam mengambil keputusan," katanya dalam keterangan yang diterima Gresnews.com, Selasa (10/12). Agar lebih progresif, lanjut Edwin, ada baiknya imajinasi dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu tidak dibatasi mekanisme formil yudisial maupun non-yudisial. Karena akan berkonsekuensi pada proses yang panjang, penuh tantangan serta berpotensi menuai banyak polemik. Namun demikian, pemerintah tetap harus menyediakan ruang pada mekanisme penyelesaian yang menggunakan pendekatan hukum baik melalui pengadilan HAM dan atau KKR sebagai jalan pengungkapan peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi. Upaya sinergi yang bisa dilakukan oleh negara di luar proses formil itu adalah memenuhi hak para korbannya dan mengenang peristiwa kemanusiaan yang pernah terjadi untuk tidak terulang. Sejatinya, negara tidak sepenuhnya alpa kepada para korban. Setidaknya sejak tahun 2010 hingga saat ini negara melalui LPSK telah memberikan bantuan medis dan psikologis kepada korban pelanggaran HAM berat. Tidak kurang 3.700 korban dari 7 peristiwa pelanggaran HAM berat telah mendapatkan bantuan tersebut. LPSK, kata Edwin, mengusulkan setidaknya ada tiga langkah yang bisa ditempuh pemerintah dalam rangka menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Pertama, setiap pelanggaran HAM berat menimbulkan hak atas reparasi (pemulihan) bagi korbannya. Salah satu bentuk reparasi yaitu permintaan maaf. Pemerintah dapat menyampaikan permohonan maaf secara terbuka atas peristiwa pelanggaran berat HAM yang pernah terjadi. Permintaan maaf ini setidaknya merupakan bentuk keinsyafan negara pernah memperlakukan warganya secara tidak manusiawi, yang bertentangan dengan kewajiban negara untuk menghormati dan menjamin HAM. Kedua, pemerintah dapat membuat memorialisasi. Pembuatan memorialisasi ini sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk memberikan hak satisfasi kepada korban. Langkah ini dapat dijadikan momentum bersama sebagai bangsa untuk mempertahankan ingatan dan peringatan agar peristiwa yang sama tidak terulang. Ketiga, pemerintah dapat memberikan bantuan kepada para korban dengan pendekatan rehabilitasi psikososial. Apa itu rehabilitasi psikososial? Rehabilitasi psikososial merupakan salah satu hak bagi korban pelanggaran HAM yang berat selain bantuan medis dan psikologis yang diberikan negara kepada korban melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan terhadap UU No. 13/2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Rehabilitasi sosial ditujukan untuk membantu meringankan, melindungi, dan memulihkan kondisi fisik, psikologis, sosial, dan spiritual korban sehingga mampu menjalankan fungsi sosialnya kembali secara wajar seperti pemenuhan sandang, pangan, papan, bantuan memperoleh pekerjaan, atau bantuan kelangsungan pendidikan. Pemenuhan rehabilitasi psikososial hanya mungkin bila terjadi kerjasama antara LPSK dan Kementerian/Lembaga terkait. Wakil Ketua LPSK Maneger Nasution menambahkan, ada baiknya pemerintah juga memfasilitasi affirmative action kepada para korban pelanggaran HAM berat ini untuk mendapatkan kebutuhan mendasar berupa jaminan kesehatan (BPJS) kelas satu. Mengingat usia sebagian besar korban yang makin senja. Pemerintah daerah juga bisa membuat kebijakan pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagai salah satu keistimewaan hak yang diperoleh para korban pelanggaran HAM berat. LPSK berpendapat ini saatnya pemerintah melakukan aksi nyata dengan menyediakan mekanisme pengungkapan peristiwa pelanggaran HAM berat dan mengakhiri impunitas (peniadaan hukuman), mengenang peristiwa tersebut untuk menjadi memori bersama dan sekaligus memenuhi hak para korban sebagai langkah yang simultan dan tak saling menyandera. Sudah saatnya kita memuliakan kedudukan para korban sebagaimana mandat konstitusi untuk menjamin HAM setiap warganya. (G-2) |