Refileli Refileli Show
Abstrak: Peradaban Islam Periode Al-Khulafa’ Al-Rasyidin. Nabi Muhammad SAW wafat pada tanggal 12 Rabiulawal tahun 11 H atau tanggal 8 Juni 632 M. Sesaat setelah beliau wafat, situasi di kalangan umat Islam sempat kacau. Hal ini disebabkan Nabi Muhammad SAW tidak menunjuk calon penggantinya secara pasti. Dua kelompok yang merasa paling berhak untuk dicalonkan sebagai pengganti Nabi Muhammad SAW adalah kaum Muhajirin dan Anshar. Terdapat perbedaan pendapat antara kaum Muhajirin dan Anshar karena kaum Muhajirin mengusulkan Abu Bakar as Shiddiq, sedangkan kaum Anshar mengusulkan Sa’ad bin Ubadah sebagai pengganti nabi Muhammad SAW. Perbedaan pendapat antara dua kelompok tersebut akhirnya dapat diselesaikan secara damai setelah Umar bin Khatab mengemukakan pendapatnya. Selanjutnya, Umar menegaskan bahwa yang paling berhak memegang pimpinan sepeninggal Rasulullah adalah orang-orang Quraisy. Alasan tersebut dapat diterima oleh kedua belah pihak.
BincangSyariah.Com – Pada masa Rasulullah Saw, tugas Rasul tidak saja sebagai pembawa risalah Islam, akan tetapi juga sebagai pemimpin masyarakat. Setelah Rasulullah Saw. wafat, para sahabat Rasulullah Saw. merasakan adanya kekosongan kepemimpinan di tengah masyarakat, dan para sahabat Nabi pun berkumpul untuk menentukan pilihannya. Para sejarahwan seperti Ibnu Ishaq, al-Thabari menceritakan bahwa sesaat setelah Rasulullah wafat, para sahabat Nabi pun dibuat tidak percaya akan hal tersebut. Sepeninggalnya Nabi, kondisi masyarakat masih dalam keadaan tidak menentu. Maka kaum muslim di Madinah berusaha untuk mencari penggantinya.
Ibnu Ishaq menceritakan bagaimana masyarakat Ansor dan Muhajirin berbeda pendapat terkait siapa yang menjadi suksesi Nabi pascawafatnya. Suksesi di sini bukanlah dalam persoalan kenabian, tetapi menjadi pengganti Rasulullah Saw. Karena bagi para sahabat sangat mafhum bahwa tidak ada lagi Nabi setelahku. Pertentangan terkait proses pengangkatan Abu Bakar ra, sebagai khalifah berlangsung dramatis. Ketika kaum Muhajirin dan Ansor berkumpul di Saqifah bani Sa’idah terjadi perdebatan tentang calon khalifah. Masing-masing mengajukan argumentasinya tentang siapa yang berhak sebagai khalifah. Kaum Ansor mencalonkan Said bin Ubaidillah, seorang pemuka dari suku al-Khajraj sebagai pengganti Nabi. Dalam kondisi tersebut Abu Bakar, Umar, dan Abu Ubaidah bergegas menyampaikan pendirian kaum Muhajirin, yaitu agar menetapkan pemimpin dari kalangan Quraisy. Akan tetapi, hal tersebut mendapat perlawanan keras dari al-Hubab bin Munzir (kaum Ansor). Di tengah perdebatan tersebut Abu Bakar mengajukan dua calon khalifah yaitu Abu Ubaidah bin Zahrah dan Umar bin Khattab, namun kedua tokoh ini menolak usulan tersebut. Akan tetapi Umar bin Khattab tidak membiarkan proses tersebut semakin rumit, maka dengan suara yang lantang beliau membaiat Abu Bakar sebagai khalifah yang diikuti oleh Abu Ubaidah. Kemudian proses pembaiatan pun terus berlanjut seperti yang dilakukan oleh Basyir bin Saad beserta pengikutnya yang hadir dalam pertemuan tersebut. Para ulama menyebutkan bahwa Abu Bakar al-Shiddiq merupakan satu-satunya sahabat Nabi yang pernah menggantikan Nabi Muhammad Saw sebagai imam salat. Pesan secara tersirat bahwa Abu Bakar memang layak menggantikan Rasulullah. Di sisi lain, untuk menghindari perseteruan berkepanjangan antara kaum Muhajirin dan Ansor, di mana kaum Ansor sudah berkumpul di Bani Tsaqifah untuk mengangkat Saad bin Ubadah sebagai pemimpin, Abu Bakar al-Shiddiq menghampiri mereka dan melakukan distribusi kekuasaan. Abu Bakar al-Shiddiq mengatakan, kami adalah pemimpinnya, dan kalian adalah para menterinya (Nahnu al-Umara’ wa Antum al-Wuzara’). (lihat Tarikh al-Khulafa’ karya al-Suyuthi) Proses pengangkatan Abu Bakar ra, sebagai khalifah ternyata tidak sepenuhnya mulus karena ada beberapa orang yang belum memberikan ikrar, seperti Ali bin Abi Thalib, Abbas bin Abdul Muthalib, Fadl bin al-Abbas, Zubair bin al-Awwam bin al-Ash, Khalid bin Sa’id, Miqdad bin Amir, Salman al-Farisi, Abu Zar al-Gifari, Amma bin Yasir, Bara bin Azib dan Ubai bin Ka’ab. Telah terjadi pertemuan sebagian kaum Muhajirin dan Ansor dengan Ali bin Abi Thalib di rumah Fatimah, mereka bermaksud membaiat Ali bin Abi Thalib dengan anggapan bahwa beliau lebih patut menjadi khalifah karena berasal dari bani Hasyim yang berarti ahlul bait. Proses pengangkatan Abu Bakar ra, sebagai khalifah pertama, menunjukkan betapa seriusnya masalah suksesi kepemimpinan dalam masyarakat Islam pada saat itu, dikarenakan suku-suku Arab kepemimpinan mereka didasarkan pada sistem senioritas dan prestasi, tidak diwariskan secara turun temurun. Pasca pengangkatan Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq, ia diberi gelar dengan khalifat rasulillah (pengganti Rasulullah). Hal ini menunjukkan bahwa Abu Bakar tidak mengklaim dirinya sebagai ‘pemimpin’ umat Islam atau amirul mukminin. Adapun gelar amirul mukminin baru ada ketika kekhalifahan al-Rasyidin berada di bawah sahabat Umar bin al-Khattab. Wallahu A’lam.
Peristiwa Saqifah Bani Sa'idah (bahasa Arab: واقعة سقيفة بني ساعدة) merupakan peristiwa pertama yang terjadi setelah wafatnya Nabi Muhammad saw pada tahun ke-11 H/632, di mana Abu Bakar bin Abi Quhafah dipilih sebagai khalifah kaum Muslimin. Ketika Nabi Muhammad saw wafat, Imam Ali as dan beberapa sahabat lainnya sedang mempersiapkan acara pemakaman beliau, pada saat yang sama, beberapa orang dari kaum Anshar dengan pimpinan Sa'ad bin Ubadah, berkumpul di sebuah tempat bernama Saqifah Bani Saidah untuk mengambil sebuah keputusan dalam memilih seorang pemimpin setelah Nabi saw. Menurut pandangan sebagian ahli sejarah, perkumpulan yang dilakukan komunitas Anshar, hanya untuk menentukan hakim dan penguasa bagi kota Madinah. Tetapi dengan kedatangan beberapa orang Muhajirin ke dalam pertemuan tersebut, perbincangan beralih pada pembahasan mengenai penentuan penerus Nabi untuk kepemimpinan semua umat Islam dan akhirnya, Abu Bakar dibaiat sebagai khalifah kaum Muslimin. Menurut sumber-sumber sejarah, selain Abu Bakar yang menjadi juru bicara kaum Muhajirin, Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah juga hadir di Saqifah. Menurut tulisan para sejarawan, pemilihan Abu Bakar tidak diterima secara umum. Setelah peristiwa ini, Imam Ali as, Sayidah Fatimah Zahra sa dan lain-lain seperti Fadhl dan Abdullah putra-putra Abbas, paman Nabi dan juga para sahabat Nabi yang terkenal seperti Salman al-Farisi, Abu Dzar Ghiffari, Miqdad bin Amr dan Zubair bin Awam, termasuk dari orang-orang yang memprotes pengadaan dewan syura Saqifah. Kaum Syiah meyakini bahwa peristiwa Saqifah dan hasil-hasilnya bertentangan dengan ketentuan penjelasan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw tentang penentuan penerus Nabi yaitu menunjuk Imam Ali as sebagai pengganti dan penerusnya, terutama di Ghadir Khum. Kelompok Ahlusunah bersandar pada prinsip Ijma' untuk melegitimasi kedaulatan dan khilafah Abu Bakar. Islamolog Barat dan sebagian dari para orientalis seperti Henry Lamens, Caetani dan Wilfred Madelung dalam beberapa tulisan telah melakukan penukilan, kajian dan ulasan mengenai tragedi tersebut. Buku The succession to Muhammad:a study of the early caliphate (Suksesi Kepemimpinan Nabi Muhammad saw) karya Madelung dan teori segitiga kekuasaan dari Henry Lamens merupakan karya-karya yang paling terkenal dari mereka. Lokasi KejadianSaqifah adalah suatu tempat berbentuk sebuah platform atau kanopi yang digunakan oleh suku-suku Arab untuk berkonsultasi dan berkumpul di sana untuk bermusyawarah mengambil sebuah keputusan. [1] Sebuah tempat yang digunakan untuk berkumpulnya sebagian kaum Muhajirin dan Anshar setelah wafatnya Nabi saw adalah sebuah teras (Saqifah) milik kaum bani Saidah dari suku Khazraj salah saru dari suku-suku utama yang tinggal di Madinah, yang sebelum kedatangan Islam, segala pertemuan diadakan di tempat tersebut. Tempat ini setelah Islam dan kedatangan Nabi di kota Madinah, kurang lebih selama sepuluh tahun (sampai saat Nabi wafat), secara praktis kegunaannya hilang dan kembali kumulatif saat berkumpulnya Muhajirin dan Anshar untuk menentukan penerus dan pengganti Nabi Muhammad saw.[2] Deskripsi PeristiwaTampaknya, riwayat asli tentang perkumpulan di Saqifah Bani Saidah mengacu kepada Abdullah bin Abbas dari Umar bin Khattab. Seluruh riwayat lain mengambil informasi darinya atau menceritakan narasi ini dari riwayat ini dengan sedikit perubahan pada sejumlah silsilah perawi yang berbeda dan dinukil oleh Ibnu Hisyam, Thabari, Abdul Razzaq bin Hammam, Bukhari dan Ibn Hanbal. [3] Menyusul kesadaran secara umum masyarakat muslim di Madinah, sejak wafatnya Nabi Muhammad saw, sekelompok dari kaum Anshar berkumpul di Saqifah Bani Saidah untuk memutuskan tentang situasi mereka dan juga solusi untuk masalah suksesi Rasulallah. Menurut sumber-sumber sejarah, pada awal pertemuan, Sa'ad bin Ubadah, tokoh besar suku Khazraj karena beratnya sakit yang ia derita, ia berbicara dengan masyarakat dengan prantara anaknya. Dia dengan memberikan beberapa alasan suksesi Nabi Islam menyatakan bahwa kaum Anshar lebih berhak untuk suksesi tersebut dan mengundang mereka untuk mengelola urusan dan jabatan tersebut. Para hadirin mengukuhkan ucapannya dan mengumumkan bahwa mereka memilih Sa'ad sebagai hakim penguasa mereka dan menekankan bahwa mereka tidak akan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan pendapatnya. [4] Namun, beberapa peserta yang hadir memberikan kemungkinan penolakan kaum Muhajirin atas keputusan ini dan memberikan kemungkinan penentangan mereka akan keputusan pertemuan masyarakat ini. Kemungkinan ini menyebabkan acuan untuk memilih seorang amir dari Anshar dan seorang amir dari para Muhajirin. [5] Laporan pertemuan ini dan alasan pendiriannya sampai pada Abu Bakar dan Umar, dan keduanya, bersamaan dengan Abu Ubaidah bin al-Jarrah bergerak menuju Saqifah. Dengan masuknya mereka pada pertemuan ini, Abu Bakar, dengan mencegah pidato Umar, telah mengambil aksi inisiatif dan dalam sebuah pidato memberikan pembuktian akan ketinggian, keagungan dan superioritas Muhajirin dan prioritas kaum Quraisy untuk suksesi Nabi saw. [6] Kata-kata ini mendapatkan oposisi dan persetujuan para masa yang hadir dan sebagian orang juga memberikan isyarat akan kelayakan Ali as dan tidak ada baiat setia kecuali selain kepadanya; [7]namun di penghujung, Abu Bakar, menyebut Umar dan Abu Ubaidah sebagai individu-individu yang sesuai untuk posisi ini. Kedua orang tersebut menentang usulan Abu Bakar. [8] Menurut sumber-sumber sejarah, Umar bin Khattab pada saat-saat ini mengatakan: "Saat itu, terdengar suara gemuruh dan keramaian para hadirin muncul dari semua sisi, dan kata-kata yang tak dipahami terdengar dari setiap sudut, sampai-sampai aku takut timbul konflik yang akan memecah kesenjangan pekerjaan kami. Pada saat itulah aku katakan kepada Abu Bakar: "Ulurkan tanganmu supaya aku bersumpah setia dan berbaiat kepadamu, namun sebelum tangan Umar sampai ke tangan Abu Bakar, Basyir bin Sa'ad Khazraji saingan Sa'ad bin Ubadah, lebih dahulu memegang tangan Abu Bakar dan membaiatnya. [9] [10] Setelah kejadian ini, banyak orang menyerbu Saqifah untuk berbaiat dan mulai menyatakan sumpah setia mereka kepada Abu Bakar dan ada kemungkinan karena begitu tergesa-gesanya masyarakat ketika melakukan baiat sehingga Sa'ad bin Ubadah yang saat itu dalam keadaan sakit terinjak-injak di bawah tangan dan kaki mereka. Tindakan ini menyebabkan konflik yang tajam antara Umar, Sa'ad dan Qais, putra Sa'ad, yang mana konflik tersebut berakhir dengan campur tangan Abu Bakar. [11] [catatan 1] Perdebatan SaqifahDi lokasi Saqifah telah banyak terjadi percakapan antara Anshar yang hadir di sana dan Muhajirin yang datang terlambat dan kemudian bergabung dengan mereka, masing-masing kelompok secara terpisah memiliki pengaruh tersendiri, namun diyakini bahwa perkataan Abu Bakar dan rekan-rekannya ketika itu adalah yang paling memiliki pengaruh. Percakapan yang paling penting dan yang perlu diperhatikan yang tercatat dalam sejarah ketika itu dapat dilihat dari orang-orang berikut ini: Sa'ad bin Ubadah: Biasanya dia berbicara pada awal pertemuan dan sebelum Abu Bakar dan rekan-rekannya datang dan tentu saja karena ketidakmampuannya dalam berbicara dikarenakan sakit, ucapannya disampaikan oleh anaknya kepada penduduk. Ucapan terpentingnya meliputi: Penyebutan latar belakang dan sejarah Anshar, keunggulan mereka atas kelompok-kelompok Muslim lainnya, pelayanan-pelayanan kelompok jamaah ini kepada Islam dan Nabi Muhammad saw dan ketika Nabi wafat, beliau merasa puas dengan kelompok Anshar. Dia dengan alasan-alasan ini mengumumkan bahwa Anshar lebih utama untuk menggantikan kedudukan dan mengundang mereka untuk mengambil tindakan memegang tampuk segala urusan. Dalam pandangannya ketika menghadapi usulan dengan memilih satu orang pemimpin dari Anshar dan satu dari Muhajirin, meyakininya sebagai sebuah kekalahan dan tindakan mundur. [11] Abu Bakar: Pidatonya harus diyakini sebagai penentu arah perkumpulan komunitas ini. Dia berbicara dalam beberapa sesi yang intinya adalah sebagai berikut: Penjelasan tentang keistimewaan dan keutamaan Muhajirin atas Anshar, termasuk keterdahuluan mereka dalam membenarkan misi Nabi saw, lebih dulu dalam beriman dan penyembahan Allah, hubungan kekerabatan atau persahabatan Muhajirin dengan Nabi; prioritas Muhajirin untuk suksesi Nabi saw dengan alasan-alasan ini, sejarah dan latar belakang Anshar dan kelayakan dan prioritas mereka adalah untuk jabatan kementerian dan bukan kepemerintahan dan kekuasaan, larangan untuk menentang suksesi Muhajirin. [12] Hubbab bin Munzir: Dia berbicara dua atau tiga kali di Saqifah, setiap kali berucap mengandung hasutan atau ancaman terhadap Muhajirin khususnya Abu Bakar dan Umar. [13] Dia dalam satu sesi tetap menyampaikan usulan seorang amir (pemimpin) dari setiap suku. [14] Umar bin Khattab: Umar kebanyakan lebih mengkonfirmasi ucapan-ucapan Abu Bakar yang kemudian memberikan argumen-argumen atasnya. Sebagian argumen-argumen ini adalah: Kepastian tidak adanya penentangan dari orang-orang Arab dengan suksesi dari keluarga Nabi, suatu hal yang mustahil untuk memilih dua pemimpin dari masing-masing kelompok, karena dua pedang, tidak cukup dalam satu sarungnya. [15] Abu Ubaidah bin al-Jarrah: Dia dalam sebuah ucapannya yang ditujukan kepada Anshar, dia melarang mereka untuk mengganti dan mengubah agama serta dasar persatuan umat Islam. [16] Bashir bin Sa'ad: Dia dari suku Khazraj dan dari golongan Anshar. Didalam berbagai sesi mengkonfirmasi argumen-argumen yang disampaikan Abu Bakar dan rombongannya dan melarang golongan Anshar untuk tidak bersebrangan dengan golongan Muhajirin seperti takut kepada Allah dan tidak menentang suatu hak yang sudah pasti.[17] Abdurrahman bin Auf: Dia mengingatkan kepada jamaah komunitas akan posisi dan keutamaan individu-individu seperti Imam Ali as, Abu Bakar dan Umar dan menjelaskan bahwa kelompok jamaah Anshar tidak memiliki orang-orang besar dan hebat semacam itu. [18] Mundzir bin Abi Arqam: Dia dari golongan Anshar, dia di Saqifah dalam menghadapi argumen Abu Bakar dan Abdurrahman bin Auf memperkenalkan sosok Ali as yang memiliki semua kualitas dan kriteria ini dan jika ada yang mendahului untuk membaiatnya maka tidak akan ada orang yang menentangnya. [19] (perkataan Mundzir, mendapat respon dan konfirmasi positif dan sebagian kelompok Anshar setuju dengan pendapat tersebut dan ada yang berteriak dan mengatakan bahwa mereka hanya akan bersumpah setia kepada Ali as). [20] Kelompok-kelompok yang HadirSebagian besar keterangan-keterangan yang ada dan dimuat dalam sumber-sumber Ahlusunah seputar peristiwa Saqifah Bani Saidah adalah berkaitan dengan kehadiran dan partisipasi politis secara umum kelompok Muhajirin dan kelompok Ansari, [21] sementara banyak sumber juga yang menyebutkan bahwa baiat dengan Abu Bakar ada dua tahapan, yaitu baiat di hari Saqifah dan baiat sebagian para hadirin yang berada di kota Madinah, yang terjadi pada keesokan harinya setelah hari Saqifah dan hari itu disebut sebagai hari baiat umum [22] [23]; keterangan dan penjelasan ini telah menghadapi tantangan asumsi partisipasi politik umum golongan Muhajirin dan Anshar di komunitas ini. Para peneliti sejarah sampai pada kesimpulan ini bahwa para sahabat Muhajirin yang hadir di pertemuan di Saqifah hanya Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidha, di mana di sini tidak jauh dari kemungkinan mereka juga ditemani oleh para bodyguard, anggota keluarga dan para budak ketiga orang ini. Demikian pula, sebagian dari para peneliti menyebutkan kehadiran hamba sahaya yang dibebaskan, Abu Hudzaifah yang merupakan salah seorang yang pertama berbaiat kepada Abu Bakar di Saqifah; meskipun tidak ada satu ucapan pun dari buku-buku sumber pertama yang menyebutkan akan kehadirannya. Sumber-sumber yang membahas tentang kehadiran Muhajirin lain bahkan tidak menyebutkan kehadiran para sahabat yang berkedudukan menengah atau di bawah, selain mereka ini. [24] Sebagian peneliti dengan beberapa sandaran mengutip bahwa jumlah Muhajirin yang hadir di Saqifah sangat sedikit. [25] Para pembesar ternama dari golongan Anshar yang hadir di Saqifah menurut keterangan sumber-sumber adalah sebagai berikut: Sa'ad bin Ubadah, anaknya, Qais, Basyir bin Sa'ad, anak Paman, sepupu dan saingan Sa'ad, Asid bin Hadhir, Tsabit bin Qais, Mundzir bin Arqam, Bara' bin 'Azib, Hubbab bin Mundzir. [26] Ibnu Qutaibah dengan ungkapan: "Jika Sa'ad menemukan para pendukung untuk berperang dengan mereka, tidak diragukan lagi pasti dia berjuang melawan mereka." [27] Ada sebuah kiasan tentang ketiadaannya ijma' di antara orang-orang Anshar karena sedikitnya jumlah bilangan orang yang berkumpul di Saqifah. [28] Motif Golongan Anshar dari Perkumpulan di SaqifahBeberapa orang dari para analis meyakini bahwa pertemuan Anshar di Saqifah adalah muncul dari ketakutan mereka akan masa depan dan nasib mereka setelah wafatnya Nabi saw, khususnya pasca penaklukan kota Mekah sejak saat terbentuknya Front Persatuan Quraisy yang sedemikian rupa sehingga keseimbangan itu mengkhawatirkan akan dapat merugikan mereka di masa depan. Para pendukung teori ini mempertimbangkan akan sebuah kemungkinan bahwa Anshar telah mengetahui rencana yang telah dirancang oleh sekelompok dari Muhajirin untuk suksesi penggantian Nabi saw dan hal ini juga sangat berpengaruh [29] Sebagian dari para penulis lain meyakini bahwa perkumpulan Saqifah ini adalah hasil dari beberapa hal yang antara lain adalah sebagai berikut:
Dalam pandangan sebagian lainnya, Abu Bakar di masjid secara resmi memproklamasikan wafatnya Nabi saw dan sebuah kumpulan komunitas umum penduduk Madinah mengitari di sekelilingnya dan berbaiat dengannya. Keadaan ini menyebabkan keraguan di benak kelompok Anshar yang berada di Madinah berdasarkan bahwa bolehnya penentuan seorang khalifah hanya dapat ditentukan dari kelompok Anshar dan Saqifah terjadi dalam proses pemikiran ini.[31] Sikap Para Sahabat Nabi dan Para Pembesar QuraiysAli as, Ahlulbait Nabi, bersama dengan sebagian dari Muhajirin dan Anshar, menentang dan menolak baiat dengan Abu Bakar, yang mana menurut penukilan riwayat sejarah para sosok ternama dari mereka adalah: Abbas bin Abdul Muththalib, Fadhil bin Abbas, Zubair bin Awwam, Khalid bin Said, Miqdad bin Amr, Salman al-Farisi, Abu Dzar al-Ghifari, Ammar bin Yasir, Burra' bin 'Azib, Ubay bin Ka'ab.[32] Sebagian dari para sahabat atau para pembesar Quraisy, di berbagai kesempatan juga menampakkan isyarat mereka pada ketidaklayakan Abu Bakar untuk suksesi pengganti Nabi. Sebagian dari penampakan-penampakan tersebut adalah:
Reaksi AliPasca peristiwa Saqifah Ali as tidak berbaiat dengan Abu Bakar. Menurut keyakinan sebagian, Amirul Mukminin as tidak pernah berbaiat dengan Abu Bakar [46] dan sekelompok lain mengklaim bahwa Imam Ali as berbaiat dengan Abu Bakar setelah kesyahidan Sayidah Zahra sa. [47] Ali as di hari-hari pertama ketika para pembesar Saqifah mencoba memaksanya untuk berbaiat dengan Abu Bakar, beliau dalam ucapan-ucapannya berkata kepada mereka, "Aku pantas menjadi khilafah lebih daripada kalian, dan aku tidak akan pernah memberikan baiatku kepada kalian dan kalian lebih berhak untuk berbaiat denganku, kalian telah mengambil baiat dari golongan Anshar, dan kalian berdalil kepada mereka dengan kekerabatan dan kedekatan kalian dengan Rasulullah, dan kalian katakan kepada mereka: Karena kami dekat dengan Nabi dan kami dari kerabat beliau, kami lebih layak mendapatkan kekhalifahan daripada kalian, dan mereka juga berdasarkan hal ini, memberikan kepemimpinan dan Imamah kepada kalian. Aku juga berdalil dengan hak keistimewaan dan atribut yang sama yang telah kalian gunakan terhadap Anshar (yaitu kekerabatan dan kedekatan dengan Rasulullah) jadi jika kalian takut kepada Tuhan, sadarlah dan keluarlah kalian dengan berperasaan dan sebagaimana halnya Anshar telah menerima kalian maka kalian juga menerima kami, dan jika kalian tidak melakukannya, kalian telah bertindak kejam, menindas dan melakukan ketidakadilan. "[45] Menurut keterangan beberapa sumber, Ali as pernah berdiskusi ramah dan sopan namun terperinci dan eksplisit dengan Abu Bakar, di mana Abu Bakar di situ dihukumi atas pelanggarannya dalam peristiwa Saqifah karena tidak mengindahkan dan tidak prihatin atas hak keluarga Nabi, Abu Bakar dengan menerima argumen-argumen yang disampaikan Amirul Mukminin dan hatinya terunggah dan sampai batas akan berbaiat dengan Ali as sebagai penerus Nabi yang pada dia akhirnya ia menolak untuk melakukannya setelah berkonsultasi dan musyawarah dengan beberapa rekannya. [46] Ali as telah berkali-kali mengajukan protes dan keberatan-keberatannya atas apa yang terjadi pada kasus Saqifah dalam berbagai kesempatan dan senantiasa mengingatkan haknya akan suksesi Nabi Muhammad saw. Khutbah Syiqsyiqiyyah adalah salah satu khotbahnya yang paling terkenal yang mana beliau di dalamnya mengisyaratkan khusus pada kejadian ini. Beliau pada awal khutbahnya berkata: "Aku bersumpah demi Allah, putra Abu Quhafah (Abu Bakar) telah menempatkan khalifah seperti sebuah kemeja. Meskipun dia tahu bahwa aku untuk kekhalifahan bagaikan sumbu pabrik, yang mana pengetahun dan keutamaan dariku bagaikan air bah yang mengalir dan burung-burung di udara pun tidak akan sampai pada posisi puncakku. "[47] Berdasarkan sebagian sumber-sumber lainnya, pasca peristiwa Saqifah, Ali as di masa hidupnya Sayidah Zahra sa, malam-malam beliau menaikkan putri Nabi untuk duduk di atas sebuah tunggangan dan membawanya ke kompleks perumahan dan acara-acara Anshar dan beliau meminta bantuan dan mendengar jawaban: "Wahai putri Nabi, kami telah berbaiat dengan Abu Bakar, jika Ali datang terlebih dahulu, kami tidak akan meninggalkannya, Ali juga akan menjawabnya: Apakah Nabi tidak perlu dikuburkan sehingga aku harus berselisih konflik tentang kekhalifahan? [48] [49] Reaksi FatimahFatimah Zahra sa, pasca peristiwa Saqifah, beliau banyak melakukan penentangan yang ditampakkan terhadap apa yang dihasilkan dewan syura ini dan menyatakannya sebagai pelanggaran terhadap perintah Nabi Muhammad saw. Hal yang paling menonjol dari keberatan-keberatan ini adalah ucapan-ucapan yang disampaikan oleh Sayidah Fatimah sa saat kejadian-kejadian yang berkaitan dengan pengambilan baiat dari Ali as dan pengepungan rumahnya. [50] Juga, sebuah khotbah yang dikenal dengan khutbah Fadakiyah, yang disampaikan oleh putri Nabi di masjid Madinah, ini salah satu protes publik lainnya yang tampak jelas. [51] Menurut laporan dan keterangan historis, Sayidah Zahra sa, sekali lagi mengungkap peristiwa Saqifah di hari-hari terakhir sakitnya dalam sebuah percakapan ketika para perempuan Muhajirin dan Anshar datang mengunjunginya dan menganggap hal itu sebagai hal yang keluar dari perintah Nabi Allah dan memberikan peringatan atas peristiwa itu pada kerugian-kerugian yang akan akan menimpa masa depan Islam. [52] [53] Saqifah dari Sudut Pandang Orientalis
Dia dalam suatu klaiman meyakini bahwa Aisyah dan Hafshah, anak perempuan Abu Bakar dan Umar, dan Istri-istri Nabi, telah memberi tahu ayah mereka tentang semua gerakan dan pemikiran rahasia suami mereka, dan kedua orang ini telah berhasil melakukan banyak pengaruh dalam pekerjaan dan tugas Nabi Islam saw dan dengan cara inilah mereka berusaha meraih kekuasaan. [54]
Dia menyampaikan asumsi serius ini bahwa hanya Abu Bakar dan Umar yang meyakini bahwa suksesi Nabi Muhammad saw sajalah yang mampu menguasai seluruh kaum Arab dan kekhalifahan semacam ini hanya layak dan pantas dipegang oleh orang Quraisy. [59] Madelung berkeyakinan bahwa Abu Bakar sebelum Nabi saw wafat, bermaksud untuk mengambil gelar Khilafah dan untuk mencapai keinginan tersebut, dia bermaksud untuk menggulingkan lawan-lawan kuatnya. [60] Di puncak penghalang ini terdapat Ahlulbait Nabi yang di dalam Alquran telah diberikan kepada mereka jenjang yang lebih tinggi dari kaum muslimin lainnya. [61] Prakarsa Anshar dalam mengadakan sebuah pertemuan di Saqifah, telah memberikan kesempatan yang baik bagi Abu Bakar untuk mencapai tujuannya, pertama-tama dia menyampaikan bahwa Umar dan Abu Ubaidah adalah calon-calon kandidat suksesi Nabi saw yang sejatinya mereka dalam hal ini tidak memiliki peluang untuk menang namun hal itu mereka sekenariokan dalam bentuk drama dan merupakan hal yang jelas bahwa proposal ini tidak serius dan diciptakan hanya untuk membuat sebuah kontroversi di tengah-tengah komunitas sehingga pada akhirnya cerita akan berakhir demi kemanfaatnya. [62] Menurut keyakinan Madelung, argumen Ahlusunah dan cendikiawan Barat yang mengatakan bahwa Ali as masih muda dan tidak berpengalaman dibandingkan dengan sahabat lainnya seperti Abu Bakar dan Umar sama sekali tidak serius dan betul-betul diluar kenyataan dan alasan-alasan lainnya yang datang dari sisi Abu Bakar akan menyebabkan nama Ali as sama sekali tidak disebut. [63] Peristiwa Saqifah dari Perspektif SyiahMenurut keyakinan kaum Syiah, pertemuan di Saqifah dan hasil-hasilnya adalah karena melanggar perintah eksplisit Nabi sehubungan dengan suksesi Imam Ali as setelah beliau. Syiah untuk menolak legitimasi Saqifah dan untuk membuktikan keabsahan dan kebenaran Ali as dalam suksesi dan pergantian Nabi, mereka bersandar pada beberapa tafsiran ayat Alquran, kejadian dan peristiwa-peristiwa sejarah dan beberapa riwayat yang juga ada dan dapat ditemukan dalam sumber-sumber Ahlusunah dan paling pentingnya adalah peristiwa Ghadir dan riwayat-riwayat yang berkaitan dengan hal Itu. Menurut keyakinan kaum Syiah, pada peristiwa Ghadir Khum, Nabi telah mengumumkan kepada umat Islam atas suksesinya bahwa Ali as dinyatakan sebagai penerusnya dan pelengkap misi risalahnya. [64] Muhammad Ridha Muzhaffar menukil 17 riwayat yang berkaitan dengan berbagai peristiwa sejarah di mana Nabi saw di sela-sela riwayat tersebut menyebut Ali as sebagai pengganti setelahnya, dengan penekanan ataupun kiasan. Kejadian Yaum al-Indzar (peringatan keluarga suku), hadis Ghadir, peristiwa perjanjian persaudaraan, kejadian perang Khandaq dan Khaibar, Khasif al-Na'lain, penutupan pintu rumah-rumah sahabat yang mengarah ke Masjid al-Nabi selain rumah Ali as dan terdapat pula hadis-hadis seperti: " إن علیا منی و أنا من علی،و هو ولی کل مؤمن بعدی Sesungguhnya Ali dariku dan aku dari Ali, dan dia adalah wali setiap mukmin setelahku" " لکل نبی وصی و وارث و إن وصیی و وارثی علی بن ابی طالب Setiap nabi memiliki penerus dan pewaris dan sesungguhnya penerus dan pewarisku adalah Ali bin Abi Thalib dan أنا مدینة العلم و علی بابها Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya ". [65]Surah al-Maidah ayat 55 [catatan 3] yang dikenal sebagai ayat Wilayat, ayat 33 dari Surah al-Ahzab [catatan 4] ayat dikenal dengan ayat Tathir dari Surah Ali Imran ayat 61 [catatan 5] yang dikenal dengan ayat Mubahalah dan masih banyak ayat-ayat lainnya dari Alquran yang mana para teolog Syiah bersandar dengannya untuk membuktikan suksesi Ali as setelah Nabi saw. [66] Hasil dari Peristiwa SaqifahSebagian besar dari para peneliti menganggap bahwa peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi pasca meninggalnya Rasulullah kebanyakannya hasil dari peristiwa Saqifah. Kejadian yang paling penting darinya adalah:
Saqifah dan Prinsip IjmakIjma' adalah salah satu sumber untuk menyimpulkan hukum-hukum, di kalangan Ahlusunah, ijmak juga dijadikan sandaran sebagai salah satu alasan legitimasi pemilihan Abu Bakar dalam peristiwa Saqifah.[70] Menurut keyakinan sebagian para peneliti Syiah, Ahlusunah menggunakan dan bersandar pada konsep ijmak umat Islam untuk melegitimasi kekuasaan dan kekhalifahan Abu Bakar. [71] Mereka juga dalam kepemimpinan umum maupun kepemimpinan khusus, pembahasan Ijmak yang membuktikan integritas kesepakatan rakyat, diciptakan dengan tujuan berkonfrontasi dengan keyakinan Syiah dan negasi kebutuhan akan keberadaan Imam yang maksum. [72] Menurut pandangan para peneliti ini, gagasan pemikiran tentang ijmak mencerminkan sebuah interasksi dalam peristiwa Saqifah dan kekhalifahan Abu Bakar serta pembenaran untuknya dan perluasannya ke semua disiplin lain seperti Imamah umum dan permasalahan fikih (cabang-cabang agama) yang kesemuanya ini adalah upaya untuk mempromosikan keyakinan ini. [73] Catatan Kaki
Daftar Pustaka
|