Mengapa sistem pemerintahan yang bersifat monarki merupakan salah satu faktor runtuhnya Bani Umayyah?

Dalam menanggapi pertanyaan ayng bapak utarakan, terlebih dahulu kami kutipkan pokok bahasan yang berkaitan dengan toipik diskusi yang bapak tanyakan. Pada materi modul 4, KB 1 tepatnya halaman 9 telah dijelaskna sebagai beirukut:

Mengapa sistem pemerintahan yang bersifat monarki merupakan salah satu faktor runtuhnya Bani Umayyah?

"Adapun sistem pemerintahan yang diterapkan Bani Umayyah adalah sistem monarkhi (Monarchiheridetis), yang mana suksesi kepemimpinan dilakukan secara turun temurun. Semenjak Muawiyah berkuasa, raja-raja Umayyah yang berkuasa kelak menunjuk penggantinya dan para pemuka agama diwajibkan menyatakan sumpah setia di hadapan raja. Sistem pengangkatan penguasa seperti ini, bertentangan dengan prinsip dasar dan ajaran permusyawaratan. Sistem ini merupakan bentuk kedua dari sistem pemerintahan yang pernah dipraktekkan umat Islam sebelumnya, yakni musyawah, dimana sepeninggal Nabi Muhammad saw, khulafur rasyidin dipilih sebagai pemimpin berdasarkan musyawarah".

Bahasan di atas dikuatkan dengan pendapat Taqiyuddin Ibnu Taimiyah dalam karyanya yang berjudul “As-Syiyasah As-Syar'iyah fi Islah Ar-Ra'iyah”, sistem pemerintahan Islam yang pada masa Khulafaur Rasyidin yang bersifat demokrasi berubah menjadi monarki heredetis (kerajaan turun-menurun) (https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/08/12/m8jlui-dinasti-umayyah-pemerintahan-monarki-pertama-dalam-islam-4).

Berdasarkan pada bahasan di atas, dapat dianalisa bahwa kebijakan Muawiyyah dengan menggunakan sistem monarki heredites dalam pergantian pemimpin/khalifah dimulai dengan pengangkatan putra mahkota, yakni Yazid bin Muawiyyah dengan mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan sumpah setia kepada Yazid. Bentuk perintah Muawiyyah ini merupakan pengukuhan sistem pemerintahan turun temurun dan inilah yang mengawali suksesi sistem pemerintahan monarki heredites.

Kebijakan yang dilakukan oleh Muwiyyah yang menggunakan sistem pemerintahan monarki heredites ini, menandakan bahwa tidak ada lagi suksesi kepemimpinan berdasarkan musyawaroh. Padahal Pada masa Nabi Muhammad saw dan Khulfauar rasyidin selalu berdasarkan musyawaroh dalam susksesi kepemimpinan. Ini menunjukkan bahwa Muawiyyah bin Abi sufyan dengan kebijakannnya tersebut, telah mengubah sistem pemerintahan demokrasi beradasarkan pada musyawaroh menjadi sistem pemerintahan monarki heredites. Muawiyyah bin Abi Sufyan telah mengganti sistem kekuasaan menjadi sistem kerajaan, dengan pengangkatan putra mahkota. Dalam hal ini Muawiyyah bin Abi Sufyan dapat dikatan telah meninggalkan ajaran yang telah dibangun pada masa nabi Muhammad saw dan Khulafaur Rasyidin, khususnya dalam masalah suksesi kepemimpinan.

Kebijakan Muawiyyah bin Abi Sufyan dengan menggunakan sistem pemerintahan monarki herdites inilah, yang kemudian menjadi faktor penyebab runtuhnya Dinasti Umayyah sendiri. Karena, dengan pemberlakukan sistem pemerintahan monarki heredites ini, tidak memberikan ruang dan kesempatan bagi orang-orang yang berada di luar garis keturunan untuk menjadi pemimpin, walaupun mereka memiliki keahlian/kompeten. Selain itu, pemberlakukan sistem pemerintahan monarki heredites ini menjadikan ruang gerak/kebebasan berpendapat menjadi sangat terbatas, karena rakyat harus tunduk pada kebijakan raja yang berkuasa.

"Dalam bukunya yang berjudul “Dinasti Bani Umayyah: Perkembangan Politik, Gerakan Oposisi, Perkembangan Ilmu Pengetahuan, dan Kejatuhan Dinasti”, Mohammad Suhaidi memaparkan, dengan berlakunya sistem (monarki) tersebut, orang-orang yang berada di luar garis keturunan Muawiyah tidak memiliki ruang dan kesempatan yang sama untuk naik sebagai pemimpin pemerintahan umat Islam. Karena, sistem dinasti hanya memberlakukan kekhalifahan dipimpin oleh keturunannya".

Disamping itu, sistem pemerintahan dalam bentuk kerajaan ini, berpengaruh pada pola hidup para khalifah. Pola hidup para khalifah dinasti Umayyah telah meninggalkan pola dan cara hidup Nabi Muhammad saw dan khulfaur Rasyidin. Pada masa nabi saw dan khulfaur rasyidin, khalifah hidup dengan sangat sederhan, menjadi imam masjid, dan memenuhi kebutuhan hidupnya sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakn muslim yang lainnya. Namun, pada masa dinasti Umayyah yang menggunakan sistem kerajaan ini, para khalifah/raja menjaga jarak dengan masyarakat karena merek tinggal di istana dan selalu dikawal oleh para pengawal istana, yang dikenal dengan sebutan Hujjab. Mereka juga hidup dengan kemewahan dan memiliki kekuasaan mutlak.

Dengan demikian, kebijakan Muawiyyah bin Abi Sufyan yang mengubah sistem demokrasi  berasakan musyawaroh menjadi sistem pemerintahan monarki herdites, telah menjadi warna tersendiri dalam sejarah perpolitikan umat Islam. Perubahan yang dilakukan oleh Muawiyyah ini juga menunjukkan bahwa sistem kerajaan juga pernah mewarnai sistem perpolitikan dalam dunia Islam, selain sistem demokarsi/musyawaroh yang sebelumnya telah diajarkan dan dilakukan oleh nabi Muhammad saw dan khulafaur Rasyidin. Namun, dengan kebijakan pergantian sistem pemerintahan ini pula lah yang menjadikan Dinasti Umayyah hanya memiliki eksistensi selama kurang lebih 90 tahun lamanya. Kebijakan Muawiyyah ini pula menunjukkan bahwa Muawiyyah merupakan figur pemimpin yang memilki keberanian dan kecerdasan yang luar biasa. Figur pemimpin yang berani melakukan sebuah perubahan, yang kemudian menjadi warna tersendiri sepanjang sejarah perjalanan hidup umat Islam. Tks

Ma’had Aly – Dinasti Umayyah, suatu dinasiti yang paling terkenal pada masanya dan berkuasa selama 90 tahun. Ia didirikan oleh salah satu penulis wahyu sekaligus sahabat dari  Rasulullah saw. Ia adalah Muawiyah bin Abu Sufyan, pendiri dinasti Umayyah. Ia adalah keturunan Bani Umayyah, seorang yang tegas dan bijaksana. Sebelum menjadi khalifah, beliau pernah menjadi gubernur Damaskus dan Suriah selama kurang lebih 20 tahun. 

Monarki memiliki artian pemerintahan yang dipimpin oleh seorang penguasa yang mengambil garis keturunan untuk menjadi penerusnya dari jalur keluarga atau turun menurun. Dalam perjalanan setelah masa Khulafa ar-Rasyidin, khilafah Umayyah adalah negara monarki-patrimonial pertama dalam dunia Islam dan keputusan ini merupakan keputusan pertama yang dianggap mengubah hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah saw. Muawiyah bin Abu Sufyan sangat berani dalam mengganti sistem khilafah menjadi monarki patrimonial yang basisnya lebih pada keduniawian. Dalam hadis nabi disebutkan bahwa periode khilafah Islam hanya berjalan 30 tahun saja. Sejak dari Abu Bakar As-Shidiq hingga Hasan bin Ali, setelahnya tiada sistem khilafah. Periode 30 tahun itu di antaranya: Abu Bakar menjabat 3 tahun, Umar bin Khattab menjabat 10 tahun, Usman bin Affan menjabat 12 tahun, dan Ali bin Abi Thalib 4 tahun, lalu sisanya kepemimpinan Hasan bin Ali. Dan beberapa pendapat lain menyatakan perbedaan tentang tahun kepemimpinan masa khilafah, sejak kepemimpinan Hasan berakhir dan Muawiyah mengambil alih sudah masuk sistem pemerintahan  kerajaan.

Muawiyah menjadi khalifah dinasti Umayyah selama 20 tahun, selama itu tiada pemberontakan dan tiada yang mampu menandinginya dalam kekuasaan. Namun sebelum menjadi khalifah, beliau melakukan pemberontakan kepada Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah menyatakan dirinya sebagai khalifah, lalu ia memberontak pemerintahan Hasan bin Ali, sehingga Hasan pun mengundurkan diri dari jabatan khalifah.

Sejak Muawiyah mendirikan  dinasti Umayyah, terjadi pergeseran pola politik dunia Islam, yang pada masa Khulafa ar-Rasyidin jelas belum mendirikan khilafah yang berbasis monarkisme-patrimonial. Namun sejak Muawiyah mendirikan dan memimpin Bani Umayyah, kekhalifahan Islam memiliki wajah baru sebagai kekuasaan monarki patrimonial.

Awal mula terjadinya kepemerintahan monarki ialah ketika Muawiyah ingin membaiat anaknya, Yazid bin Muawiyah untuk menjadikannya khalifah setelah dirinya wafat. Menurut Muawiyah, pemilihan khalifah mengikuti metode Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab. Namun berbeda halnya pada situasi dan kondisi di masa Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab. Pada masa Abu Bakar dan Umar, kriteria memilih khalifah ialah dengan memilih orang yang terbaik di antara mereka untuk dijadikan khalifah. Namun pada masa Muawiyah, sebagian manusia telah condong terhadap dunia, terlebih dengan adanya orang-orang yang lebih baik darinya dan menjadi khalifah. Mereka kurang setuju jika Yazid menjadi khalifah, salah satunya karena kebiasaan Yazid yang kurang disukai yaitu terlalu sibuk berburu dan bersenda gurau. Banyak di antara sahabat yang menolak pembaiatan Yazid di antaranya: Husain bin Ali, Abdullah bin Zubair, Amru bin Hazm dan Al-Ahnaf bin Qais.

Untuk mendukung Muawiyah memperkenalkan putranya sebagai penerusnya menjadi khalifah, Miskin Darami menulis, “Wahai keturunan para khalifah Allah, perlahan-lahan, Allah akan meletakkan pemerintahan di mana pun Dia tetapkan. Ketika wilayah sisi barat Damaskus dikosongkan (ketika Muawiyah meninggal), Yazid akan menjadi Amirul Mukminin. Pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan menghapuskan tradisi khilafah dan mengumumkan monarkisme secara resmi.”

Bukti dari sejarah menunjukkan permulaan monarkisme yang berkembang dalam wilayah khilafah Islam, munculnya tirani yang dianggap sebagai salah satu ciri dari fundamental berhubungan dengan istilah kerajaan pada masa khilafah. Ada sebuah riwayat yang menyatakan “Setelah 30 tahun masa pemerintahan khilafah, setelahnya kerajaan akan muncul.” 

Muawiyah memerintahkan untuk membantai siapapun yang menolak bersumpah setia kepadanya. Gaya hidup kebangsawanan Muawiyah dan sistem pemerintahan yang diterapkan di dalam khilafah juga menjadikan Sa’ad bin Abi Waqash memanggilnya “raja” ketika beliau bertemu dengan Muawiyah. Muawiyah berniat mencari karya otobiografi yang ditulis tentang para penguasa di Damaskus. Kemudian Jahiz mencatat bahwa Muawiyah merubah sistem pemerintahan seperti pemerintahan Khusru dan Caesar, bahkan para ahli sejarahpun memperkenalkan bahwa Muawiyah adalah raja pertama dalam Islam. Dan dari Sa’id bin Musayyib menyatakan bahwa Muawiyah adalah orang pertama yang merubah khilafah menjadi kerajaan. Ada yang meriwayatkan bahwa orang pertama yang menggantikan “Raja di Hari Pembalasan” dengan “Pemilik Hari Pembalasan” adalah Muawiyah bin Abu Sufyan.

Di antaranya beberapa tindakan-tindakan yang menjadi tanda monarkisme menurut Ya’qubi adalah Muawiyah didudukan pada tempat yang paling tinggi sedangkan yang lain duduk di posisi paling rendah, kemudian mengambil kekayaan terbaik yang dimiliki oleh penduduk dan semua harta itu diperuntukkan untuk diri Muawiyah sendiri.

Kedudukan Muawiyah sangat jelas dia menyiapkan untuk mendirikan “khalifah bangsawan Islam”. Muawiyah sendiri menganggap dirinya sebagai seorang raja, tetapi digambarkan sebagai seorang khalifah sesuai tradisi lama yang telah berjalan. Muawiyah berusaha memindahkan mimbar Nabi Muhammad dari Madinah ke Damaskus untuk meneguhkan kekuatan Islam namun tak pernah berhasil.

Perbedaan karakteristik monarki Muawiyah dengan khilafah masa sebelumnya menurut Maududi adalah: pertama, cara menunjuk penerus khalifah berbeda dengan masa para pendahulunya yang tak pernah berperang untuk mendapat kursi khilafah, Muawiyah melakukan cara apapun untuk melancarkan dirinya mencapai kedudukan khalifah. Ketika Muawiyah sudah mendapatkan kedudukannya, tiada satupun yang berani menampakkan rasa keberatannya, semua penduduknya harus bersumpah setia kepada Muawiyah. Muawiyah sendiri mengatakan ’’Aku sebenarnya sadar dengan ketidaksukaan penduduk dengan kekhilafahanku, namun demikian aku mengamankannya dengan pedang.”

Sejak masa kekhalifahan Muawiyah, sistem pemerintahan berubah menjadi khilafah turun-temurun. Kejadian ini bermula ketika dia mengangkat Yazid sebagai penerus kekhalifahan bani Umayyah, meski banyak rakyatnya yang tidak menerimanya, Muawiyah tetap menjadikan Yazid sebagai penerusnya, Muawiyah meminta pendapat kepada Al-Ahnaf lalu ia menjawab, “Kami takut kepada kalian jika kami jujur, dan kami takut kepada Allah jika kami berbohong. Dan engkau wahai Amirul Mukminin lebih mengetahui Yazid pada malam dan siang harinya, pada rahasia dan keterusterangannya, tempat masuk dan keluarnya. Jika kamu mengajarinya karena Allah swt. dan karena umat ini, maka janganlah kamu meminta pendapat tentangnya. Dan jika kamu mengajarinya karena selain itu, maka janganlah kamu membekalinya dengan dunia, sementara kamu sedang menuju kepada akhirat. Dan  tugas kami adalah mengatakan ‘kami mendengar dan kami menaati’.’’ 

Masa itu adalah berakhirnya kemerdekaan lembaga hukum. Ciri pemerintahan monarkis adalah pemerintahan yang berorientasi pada dewan. Ciri monarki yang lainnya ialah munculnya bias rasial dan kesukuan serta terhapusnya supremasi hukum.

Pada masa pemerintahannya, Muawiyah menggunakan pendekatan yang digunakan oleh monarkisme di Iran dan Romawi. Di masa ini, seseorang tidak berhak berbicara untuk menganjurkan kebaikan dan melarang keburukan. Hal  ini berkaitan dengan Baitul Mal, yang pada kurun waktu ini harta masyarakat menjadi milik raja dan kekayaan pribadi keturunannya. Tiada seorangpun yang berhak mengkritik pemerintah dalam urusan apapun. Kekacauan ini dimulai pada masa pemerintahan Muawiyah setelah pembunuhan Hujr bin ‘Adi. 

Referensi

Bakhri, Syamsul. 2011. Peta Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta: Fajar Media Press.

Ash-Shalibi, Ali Muhammad. 2016. Sejarah Daulah Umawiyah dan Abbasiyah. Jakarta: Ummul Qura.

Rasyidi, Badri. 1987. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Armico.

Rasul, Ja’’fariyan. 2010. Sejarah Para Pemimpin Islam dari Imam Ali sampai Monarki Muawiyah. Diterjemahkan oleh: Ana Farida. Jakarta: Al-Huda.

As-Suyuthi, Imam. 2000. Tarikh Khulafa. Diterjemahkan oleh: Samson Rahman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Oleh :