Seseorang yang melakukan pendekatan kepada Ida sanghyang Widhi dengan cara karma marga disebut

Academia.edu no longer supports Internet Explorer.

To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.

MUTIARAHINDU -- Sikap yang paling sederhana dalam kehidupan beragama adalah mewujudkan cinta kasih dan pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa. Umat yang memujanya dan memohon anugrah-Nya berupa kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan bathin sesuai jalan dan petunjuk-Nya.

Seseorang yang melakukan pendekatan kepada Ida sanghyang Widhi dengan cara karma marga disebut
Image: photograph_ag

Catur Marga berasal dari dua kata yaitu Catur dan Marga. Catur berarti empat dan Marga berarti jalan/cara ataupun usaha. Jadi catur marga adalah empat jalan atau cara umat Hindu untuk menghormati dan menuju ke jalan Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Catur Marga juga sering disebut dengan Catur Yoga Marga,  (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:44).

Baca: Contoh-contoh Penerapan Catur Marga dalam Kehidupan

Sumber ajaran Catur Marga diajarkan dalam pustaka suci Bhagavad Gita, terutama pada trayodhyaya tentang karma yoga/marga yakni sebagai satu sistem yang berisi ajaran yang membedakan antara ajaran subha karma (perbuatan baik) dengan ajaran asubha karma (perbuatan yang tidak baik) yang dibedakan menjadi perbuatan tidak berbuat (akarma) dan wikarma (perbuatan yang keliru).

Karma memiliki dua makna yakni karma terkait ritual atau yajna dan karma dalam arti tingkah perbuatan. Kedua, tentang bhakti yoga marga yakni menyembah Tuhan dalam wujud yang abstrak dan menyembah Tuhan dalam wujud yang nyata, misalnya mempergunakan nyasa atau pratima berupa arca atau mantra. Ketiga, tentang jnana yoga marga yakni jalan pengetahuan suci menuju Tuhan Yang Maha Esa.

Ada dua pengetahuan yaitu jnana (ilmu pengetahuan) dan wijnana (serba tahu dalam penetahuan itu). Keempat, Raja Yoga Marga yakni mengajarkan tentang cara atau jalan yoga atau meditasi (konsentrasi pikiran) untuk menuju Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Catur Marga atau Catur Yoga disebutkan adalah empat jalan atau cara umat Hindu untuk menghormati dan mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sumber ajaran catur marga ada diajarkan dalam pustaka suci Bhagavad Gita, terutama pada trayodhyaya tentang karma yoga marga yakni sebagai satu sistem yang berisi ajaran yang membedakan antara ajaran subha karma (perbuatan baik) dengan ajaran asubha karma (perbuatan yang tidak baik). Empat jalan spiritual yang utama untuk mewujudkan Tuhan adalah Karma Yoga, Bhakti Yoga, Raja Yoga dan Jnana Yoga. Karma Yoga cocok bagi orang yang bertemperamen aktif, bhakti Yoga bagi orang yang bertemperamen bhakti, Raja Yoga bagi orang yang bertemperamen mistis, dan Jnana Yoga bagi orang yang bertemperamen rasional dan filosofis. Dalam Bhagavad Gita, 7:21 disebutkan.

"Yo-yo yàý- yàý tanuý bhaktaá úraddhayàrcitum icchati,

tasya tasyà calàý úraddàý tàm eva vidadhàmy aham”

"Kepercayaan apa pun yang ingin dipeluk seseorang, Aku perlakukan mereka sama dan Ku-berikan berkah yang setimpal supaya ia lebih mantap”,  (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:45).

Penjelasan Bagian-bagian Catur Marga Yoga

“Iyam hi yonih prathamā yonih prāpya jagatipate, ātmānam ṣakyate trātum karmabhih ṡubhalakṣaṇaih”.

“Apan iking dadi wwang, utama juga ya, nimitaning mangkana, wénang ya tumulung awaknya sangkeng sangsāra, makasādhanang ṡubhakarma, hinganing kotamaning dadi wwang”.

“Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama; sebabnya demikian, karena ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengsara (lahir dan mati berulang-ulang) dengan jalan berbuat baik; demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia”. (Sarasamuçcaya I.4).

Catur Marga terdiri dari empat bagian yaitu bhakti Marga/Yoga, Jnana Marga/ Yoga, Karma Marga/Yoga dan Raja Marga/Yoga.

Sivananda (1997:129-130) menyatakan bahwa bhakti merupakan kasih sayang yang mendalam kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang merupakan jalan kepatuhan atau bhakti. Bhaktiyoga disenangi oleh sebagian besar umat manusia. Tuhan merupakan pengejawantahan dari kasih sayang, dan dapat diwujudkan melalui cinta kasih seperti cinta suami kepada istrinya yang menggelora. Cinta kepada Tuhan harus selalu. Mereka yang mencintai Tuhan diutamakan tak memiliki keinginan ataupun kesedihan. Ia tak pernah mem-benci makhluk hidup atau benda apa pun, dan tak pernah tertarik dengan objek-objek duniawi. Ia merangkul semuanya da-lam dekapan tingkat kasih sayangnya,  (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:46).

Kama (keinginan duniawi) dan trisna (kerinduan) merupakan musuh dari rasa bhakti. Selama ada jejak-jejak keinginan dalam pikiran terhadap objek-objek duniawi, seseorang tidak dapat memiliki kerinduan yang dalam terhadap Tuhan. Atma-Nivedana merupakan penyerahan diri secara total setulus hati kepada Tuhan, yang merupakan anak tangga tertinggi dari Navavidha Bhakti, atau sembilan cara bhakti. Atma-Nivedana adalah Prapatti atau Saranagati. Penyembah menjadi satu dengan Tuhan melalui Prapatti dan memperoleh karunia Tuhan yang disebut Prasada. Bhakti merupakan suatu ilmu spiritual terpenting, karena mereka yang memiliki rasa cinta kepada Tuhan, sesungguhnya kaya. Tak ada kesedihan selain tidak memiliki rasa bhakti kepada Tuhan.

Dari caranya mewujudkan, bhakti dibagi dua yaitu Para Bhakti dan Apara Bhakti. Para artinya utama; jadi para bhakti artinya cara berbhakti kepada Hyang Widhi yang utama, sedangkan apara bhakti artinya tidak utama; jadi apara bhakti artinya cara berbhakti kepada Hyang Widhi yang tidak utama. Apara bhakti dilaksanakan oleh bhakta yang tingkat inteligensi dan kesadaran rohaninya kurang atau sedang-sedang saja. Para bhakti dilaksanakan oleh bhakta yang tingkat inteligensi dan kesadaran rohaninya tinggi.

Ciri-ciri bhakti yang melaksanakan apara bhakti antara lain banyak terlibat dalam ritual (upacara Panca Yadnya) serta menggunakan berbagai simbol (niyasa). Sedangkan ciri-ciri bhakti yang melaksanakan para bhakti antara lain sedikit terlibat dalam ritual tetapi banyak mempelajari Tattwa agama dan kuat/ berdisiplin dalam melaksanakan ajaran-ajaran agama sehingga dapat mewujudkan Trikaya Parisudha dengan baik di mana Kayika (perbuatan), Wacika (ucapan) dan Manacika (pikiran) selalu terkendali dan berada pada jalur dharma. Bhakti yang seperti ini banyak melakukan Drwya Yadnya (ber-dana punia), Jnana Yadnya (belajar-mengajar), dan Tapa Yadnya (pengendalian diri).

Sivanada (1993:133-134) menyatakan bahwa jñanayoga merupakan jalan pengetahuan. Moksa (tujuan hidup tertinggi manusia berupa penyatuan dengan Tuhan Yang Maha Esa) dicapai melalui pengetahuan tentang Brahman (Tuhan Yang Maha Esa). Pelepasan dicapai melalui realisasi identitas dari roh pribadi dengan roh tertinggi atau Brahman. Penyebab ikatan dan penderitaan adalah avidya atau ketidaktahuan. Jiwa kecil, karena ketidaktahuan secara bodoh menggambarkan dirinya terpisah dari Brahman,  (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:47).

Avidya bertindak sebagai tirai atau layer dan menyelubungi jiwa dari kebenaran yang sesungguhnya, yaitu bersifat Tuhan. Pengetahuan tentang Brahman atau Brahmajñana membuka selubung ini dan membuat jiwa bersandar pada Sat-Cit-Ananda Svarupa (sifat utamanya sebagai keberadaan kesadaran-kebahagian mutlak) dirinya. Jnana bukan hanya pengetahuan kecerdasan, mendengarkan atau membenarkan.

Baca: Hubungan Catur Marga dengan Tujuan Ajaran Agama Hindu (Moksa)

Ia bukan hanya persetujuan kecer-dasan, tetapi realisasi langsung dari kesatuan atau penyatuan dengan yang tertinggi yang merupakan paravidya. Keyakinan intelekual saja tak akan membawa seseorang kepada Brahmajnana (pengetahuan dari yang mutlak). Pelajar Jñanayoga pertama-tama melengkapi dirinya dengan tiga cara yaitu (1) pembedaan (viveka), (2) ketidakterikatan (vairagya), (3) kebajikan, ada enam macam (sat-sampat), yaitu: (a) ketenangan (sama), (b) pengekangan (dama), (c) penolakan (uparati), ketabahan (titiksa), (d) keyakinan (sraddha), (e) konsentrasi (samadhana), dan (f) kerinduan yang sangat akan pembebasan (mumuksutva).

Selanjutnya ia mendengarkan kitab suci dengan duduk khusuk di depan tempat duduk (kaki padma) seorang guru yang tidak saja menguasai kitab suci Veda (Srotriya), tetapi juga bagus dalam Brahman (Brahmanistha). Selanjutnya para siswa melaksanakan perenungan, untuk mengusir segala keragu-raguan. Kemudian melaksanakan meditasi yang mendalam kepada Brahman dan mencapai Brahma-Satsakara. Ia seorang Jivanmukta (mencapai moksa, bersatu dengan-Nya dalam kehidupan ini).

Ada tujuh tahapan dari Jñana atau pengetahuan, yaitu:

(1) aspirasi pada kebenaran (subhecha), 

(2) pencarian filosofis (vicarana), 

(3) penghalusan pikiran (tanumanasi), 

(4) pencapaian sinar (sattwatti), 

(5) pemisahan batin (asamsakti), 

(6) penglihatan spiritual (padarthabhawana), dan 

(7) kebebasan tertinggi (turiya),  (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:48).

Karma yoga adalah jalan pelayanan tanpa pamrih, yang membawa pencapaian menuju Tuhan melalui kerja tanpa pamrih. Yoga ini merupakan penolakan terhadap buah perbuatan. Karma yoga mengajarkan bagaimana bekerja demi untuk kerja itu, yaitu tiadanya keterikatan. Demikian juga bagaimana menggunakan tenaga untuk keuntungan yang terbaik. Bagi seorang Karmayogin, kerja adalah pemujaan, sehingga setiap pekerjaan dialihkan menjadi suatu pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Seorang Karmayogin tidak terikat oleh karma (hukum sebab akibat), karena ia mempersembahkan buah perbuatannya kepada Tuhan yang Maha Esa.

Penjelasan tentang setiap pe-kerjaan dilaksanakan sebagai wujud bhakti kepada Tuhan yang Maha Esa dijelaskan dalam Bhagavad Gita IX.27-28 sebagai berikut.

“Wahai Arjuna, apa pun yang engkau kerjakan, apa pun yang engkau makan, apa pun yang engkau persembahkan, dan engkau amalkan, juga disiplin diri apa pun yang engkau laksanakan. Lakukanlah semuanya itu hanya sebagai bentuk bhakti kepada Aku. Dengan demikian engkau akan terbebas dari ikatan kerja atau perbuatan yang menghasilkan pahala baik atau buruk. Dengan pikiran terkendali, engkau akan terbebas dan mencapai Aku”

Dalam kitab Bhagavad Gita (III.19, 30) juga mengamanatkan sebagai berikut.

“Tasmād asaktaá satataṁ kāryaṁ karma samācara, asakto by ācaram karma param āpnoti pūruṣaá”

“Oleh karena itu, laksanakanlah segala kerja sebagai kewajiban tanpa terikat (pada akibatnya), sebab dengan melakukan kegiatan kerja yang bebas dari keterikatan, orang itu sesungguhnya akan mencapai yang utama” (Bhagavad Gita.III. 19), (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:49).

“Mayi sarvani karmani sannyasyadhyatma-cetasa, nirasir nirmamo bhutva yudhyasva vigatajvarah”.

“Pasrahkan semua kegiatan kerjamu itu kepada-Ku, dengan pikiran terpusat pada sang atma, bebas dari nafsu keinginan dan keakuan, berperanglah, enyahkan rasa gentarmu itu”. (Bhagavad Gita. III. 30)

Setiap kerja menambahkan satu mata rantai terhadap ikatan samsara dan membawa pada pengulangan kelahiran. Ini merupakan hukum karma yang pasti. Tetapi, melalui pelaksanaan Karmayoga, akibat karma dapat dihapus, dan karma menjadi mandul. Pekerjaan yang sama, apabila dilakukan dengan sikap mental yang benar, semangat yang benar, kehendak yang benar melalui yoga, tanpa keterikatan dan pengharapan terhadap buahnya, dengan pikiran yang seimbang dalam keberhasilan maupun kegagalan. Tidak ada menambahkan mata rantai terhadap belenggu samsara tersebut. Sebaliknya, memurnikan hati dan membantu untuk mencapai pembebasan melalui turunnya penerangan Tuhan Yang Maha Esa atau merekahnya fajar kebijaksanaan.

Raja Yoga adalah jalan yang membawa penyatuan dengan Tuhan Yang Maha Esa, melalui pengekangan diri dan pengendalian diri dan pengendalian pikiran. Raja yoga mengajarkan bagaimana mengendalikan indra-indra dan vritti mental atau gejolak pikiran yang muncul dari pikiran melalui tapa, brata, yoga dan samadhi. Dalam Hatha Yoga terdapat disiplin fisik, sedangkan dalam Raja Yoga terdapat disiplin pikiran. Melakukan Raja Marga Yoga hendaknya dilakukan secara bertahap melalui Astāngga yoga yaitu delapan tahapan yoga, yang meliputi yama, niyama, asana, pranayama, pratyahara, dharana, dhyana, dan samadhi.

Seseorang yang melaksanakan ajaran Raja Marga Yoga disebut dengan sebutan yogi. Yogi berkonsentrasi pada cakra-cakra, pikiran, matahari, bintang, unsur-unsur alam semesta dan sebagainya dan mencapai pengetahuan supra manusia dan memperoleh penguasaan atas unsur-unsur tersebut. Daya konsentrasi hanya kunci untuk membuka rumah tempat penyimpanan kekayaan pengetahuan. Konsentrasi tak dapat muncul dalam waktu seminggu atau sebulan, karena ia memerlukan waktu. Pengaturan dalam melaksanakan konsentrasi merupakan kepentingan yang utama. Brahmacarya, tempat yang dingin dan sesuai, pergaulan dengan orang-orang suci (satsanga) dan sattvika merupakan alat bantu dalam konsentrasi, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:50).

Konsentrasi dan meditasi menuntun menuju samadhi atau pengalaman supra sadar, yang memiliki beberapa tingkatan pendakian, disertai atau tidak disertai dengan pertimbangan (vitarka), analisa (vicara), kebahagiaan (ananda), dan kesadaran diri (asmita). Demikian, kailvaya atau kemerdekaan tertinggi dicapai. Dari keempat jalan tersebut semuanya adalah sama, tidak ada yang lebih tinggi maupun lebih rendah, semuanya baik dan utama tergantung pada kepribadian, watak dan kesanggupan manusia untuk melaksanakannya, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:51).

“Bhadram no api vataya mano daksam uta kratum, adha te sakhye andhaso vi vo made ranam gavo na yavase vivaksase”.

“Berikanlah kami pikiran yang baik dan bahagia, berikanlah kami keterampilan dan pengetahuan. Maka semoga manusia dalam persahabatan-mu merasa bahagia, ya Tuhan! seperti sapi di padang rumput. Engkau yang Maha Agung”. (Rg Veda X25. 1)

“abhyùróoti yatragnaý bhiûakti viúvam yat tùram,

premandhaá ravyatriá úroóo bhùt”.

“Ia memberikan pakaian kepada yang telanjang, ia mengobati yang sakit, Melalui dia orang buta dapat melihat, yang lumpuh dapat berjalan”. (Åg Veda VIII. 79.2)

Mudana dan Ngurah Dwaja. 2014. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti. Jakarta: Kementerian             Pendidikan dan Kebudayaan.

Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti : Buku Siswa / Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan. -- Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014.vi, 190 hlm.; 25 cm

Kontributor Naskah  : I Nengah Mudana dan I Gusti Ngurah Dwaja.

Penelaah : I Wayan Paramartha. – I Made Sutrisna.

Penyelia Penerbitan  : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud