Saudara-saudaraku! Tidak ada gunanya seorang Kristian berkata, “Saya beriman,” jika perbuatannya tidak membuktikan imannya. Iman semacam itu tidak dapat menyelamatkan dia. Andaikan seorang saudara lelaki atau saudara perempuan memerlukan pakaian dan tidak mempunyai cukup makanan. Tidak ada gunanya kamu berkata kepadanya, “Allah memberkati kamu! Pakailah baju panas dan makanlah dengan secukupnya!” - jika kamu tidak memberikan keperluan sehari-hari kepadanya. Demikian jugalah dengan iman. Jika iman tidak dinyatakan dengan perbuatan, iman itu sia-sia! Mungkin ada yang berkata, “Ada orang yang mempunyai iman, dan ada pula yang mengamalkan perbuatan baik.” Aku akan menjawab, “Tunjukkanlah seorang yang mempunyai iman tetapi tidak mengamalkan perbuatan baik, lalu dengan perbuatanku yang baik, aku akan menunjukkan bahawa aku beriman.” Kamu percaya bahawa Allah hanya satu. Bagus! Roh-roh jahat pun percaya akan hal itu dan gementar kerana takut. Alangkah bodohnya kamu! Adakah perlu dibuktikan bahawa iman tanpa perbuatan baik itu sia-sia? Mengapakah Allah berkenan kepada nenek moyang kita Abraham? Allah berkenan kepada Abraham kerana perbuatan Abraham, iaitu mempersembahkan Ishak, anaknya di atas mazbah, sebagai persembahan kepada Allah. Kamu tidak nampakkah bahawa Abraham menunjukkan imannya dengan perbuatannya? Oleh itu, iman Abraham menjadi sempurna. Perkara itu sesuai dengan ayat Alkitab, “Abraham percaya kepada Allah, dan kerana imannya Allah menerima dia sebagai orang yang melakukan kehendak Allah.” Itulah sebabnya Abraham disebut sahabat Allah. Jelaslah sekarang bahawa Allah berkenan kepada seseorang kerana perbuatan orang itu, dan bukan hanya kerana imannya. Demikian juga halnya dengan Rahab, wanita pelacur itu. Allah berkenan kepada Rahab kerana perbuatannya. Rahab menyambut pengintip-pengintip Israel dan menolong mereka melarikan diri melalui jalan lain. Oleh itu, sebagaimana tubuh tanpa roh adalah tubuh yang mati, demikian juga iman tanpa perbuatan adalah iman yang sia-sia! Beritakan
Dalam banyak hal kita tetap dengan jujur harus mengatakan bahwa pemberlakuan yang setara bagi sesama manusia belum terwujud pun dalam gereja. Hal sederhana dan pemandangan yang biasa jika kita menemukan masih banyak majelis yang akan berdiri lalu sibuk mencari tempat duduk yang kosong untuk pejabat atau orang “penting” yang terlambat datang ke gereja meskipun ibadah sudah dimulai. Ini akan kontras jika ada seorang ibu yang sudah tua berpakaian seadanya dan berjalan perlahan, matanya melihat ke kiri dan ke kanan mencari-cari tempat yang kosong untuk ia duduk. Orang bukannya memberi tempat malah akan menggerutu dan menganggap sebagai pengganggu jalannya ibadah. Celakanya ini dianggap sebagai sesuatu yang biasa dalam gereja. Surat Yakobus merupakan salah satu surat yang sangat unik, sederhana karena hanya terdiri dari 5 pasal dan kontroversial dengan bahasa yang praktis, tetapi juga sulit dipahami. Salah satu tema dari surat ini, yaitu berisikan tentang peringatan untuk tidak membeda-bedakan orang. Rupanya ada ketidakharmonisan dalam jemaat, sehingga mengganggu relasi antara sesama warga jemaat. Sebagai pemimpin jemaat di Yerusalem, Yakobus merasa bertanggung jawab untuk memberikan nasihat dan arahan kepada jemaatnya yang berlatar belakang Yahudi. Penekanan utama nasihat dan pengajaran Yakobus adalah perbuatan baik karena orang-orang yang dipimpinnya ternyata tidak mengalami perkembangan atau pertumbuhan dalam imannya. Mereka menyatakan diri beriman tetapi tidak menyatakan atau mewujudkan iman itu, sehingga iman mereka tidak berbuah. Salah satu pintu masuk dalam mewujudkan iman yang ditawarkan Yakobus adalah memandang semua orang dengan kebenaran dan hati Allah. Pengakuan sebagai orang beriman adalah akta yang tak terbantahkan dalam diskursus keagamaan. Sebab jika tidak demikian maka bobot keagamaan seseorang akan dipertanyakan. Pertanyaan lanjut adalah apakah semua orang beragama itu beriman? Ataukah orang yang beriman itu beragama? Yakobus mengatakan: “Iman tanpa perbuatan pada hakekatnya adalah mati.” Karena iman menuntut pembuktian bukan sekedar dogma, kepercayaan, tetapi melampaui doktrin-doktrin keagamaan tersebut. Karena itu Yakobus mengguggat cara beriman jemaatnya yang masih terpusat pada ajaran agama, tetapi tidak menghidupi ajaran itu dalam tindakan nyata. Hal yang sangat sederhana, yaitu tidak membeda-bedakan orang, memandang semua orang dengan kebenaran dan hati Allah. Memandang yang dimaksudkan di sini bukan sekedar melihat atau mengarahkan pandangan kita kepada orang tersebut, sehingga itu dirasa cukup tetapi memandang dengan kebenaran berimplikasi pada sikap dan bahasa tubuh yang menunjukkan penerimaan sepenuhnya akan kehadiran orang lain. Sebuah persekutuan akan menjadi sehat dan bertumbuh jika semua orang menunjukkan sikap penerimaan yang terbuka dan memotivasi sebagaimana Allah menerima semua orang dengan tanpa memandang muka. Memang disadari konstruksi diri seseorang tidak lepas dari pengaruh-pengaruh yang ada di sekitarnya dan itu akan sangat mempengaruhi pikirannya, pemahamannya dan perilakunya. Karena itu konstruksi diri ini harus diletakkan pada koridor kesadaran bahwa diri (self) adalah bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan proses transformasi kehidupan yang sedang berjalan, sehingga pertanyaan “Siapa saya?“ menjadi sesuatu yang amat sangat penting. Identifikasi diri ini akan sangat membantu dalam menuntun perilaku dan perspektif terhadap sesama baik itu manusia, hewan dan alam sekitar. Ini akan mengubah pusat dari diri kepada orang lain, kepada manusia lain, kepada entitas lain, misalnya alam dan makhluk lainnya.
Ilustrasi Membaca Alkitab
TRIBUNMANADO.CO.ID - Bacaan Alkitab hari ini terdapat dalam Yakobus 2: 14-26 Iman tanpa perbuatan pada hakekatnya adalah mati 14 Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia? 15 Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari, 16 dan seorang dari antara kamu berkata: "Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!", tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu? 17 Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati. 18 Tetapi mungkin ada orang berkata: "Padamu ada iman dan padaku ada perbuatan", aku akan menjawab dia: "Tunjukkanlah kepadaku imanmu itu tanpa perbuatan, dan aku akan menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku." 19 Engkau percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setanpun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar. 20 Hai manusia yang bebal, maukah engkau mengakui sekarang, bahwa iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong? 21 Bukankah Abraham, bapa kita, dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya, ketika ia mempersembahkan Ishak, anaknya, di atas mezbah? Halaman selanjutnya arrow_forward Sumber: Tribunnews
Surat Yakobus diperkirakan ditulis antara 47-48 Masehi dan para penafsir yakin Surat Yakobus ditulis oleh Yakobus saudara biologis Tuhan Yesus, seorang pemimpin gereja di Yerusalem yang mati syahid pada tahun 62 Masehi. Surat Yakobus awalnya ditujukan kepada kedua belas suku Yahudi di perantauan agar mereka menjadi Kristen yang sejati dengan memberikan pokok-pokok pengajaran dalam kehidupan sehari-hari terutama untuk memperbaiki pemahaman yang salah mengenai iman. Surat Yakobus ditulis dengan sangat sederhana dengan memberikan contoh-contok kontekstual dalam kehidupan sehari-hari sehingga sangat mudah dipahami. Dalam perikop "Iman tanpa perbuatan pada hakekatnya mati" (Yakobu 2:14-26), Yakobus ingin memberikan pehamahan yang benar tentang iman. Iman yang benar bukan hanya di mulut dengan meneriakkan kasih tetapi tidak pernah mempraktekkan atau berbuat kasih terhadap sesama. Iman yang benar itu bukan hanya mengaku-ngaku percaya Tuhan tetapi perilaku hidupnya tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Iman yang benar bukan hanya rajin beribadah ke gereja, rajin berdoa dan menyanyikan lagu pujian kepada Tuhan, serta rajin membaca kitab suci dan menghafalnya luar kepala. Hal seperti itu tidak salah tetapi jika kehidupannya penuh dengan rupa-rupa kejahatan, kenazisan dan kecemaran seperti suka memfitnah, menipu, berzinah, malas, dll, maka semua ibadahnya akan sia-sia dan pada hakekatnya mati. Itulah mengapa pada ayat 14, Yakobus memberikan pertanyaan agar pembaca mengintrospeksi diri dan memahami posisi dirinya masing-masing, apakah sudah pada iman yang tepat atau tidak: Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia? Kemudian agar lebih mudah dipahami pembaca Yakobus melalui ayat 15-16 memberikan contoh yang sangat kontekstual yang mungkin juga pernah dilakukan pembaca, yaitu hanya berkata-kata manis tetapi tanpa perbuatan: Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari, |