Sebutkan pokok pokok ajaran Ahlussunnah wal Jamaah beserta imamnya

Oleh: Abi Usamah*

Sangat logis bahwa yang paling pantas menafsiri al-Quran adalah orang yang membawa al-Quran itu sendiri, Nabi Muhammad. Beliaulah yang paling memahami apa yang dimaksud dalam al-Quran. Jelas. Dan sangat rasional bahwa yang paling mengerti pada apa yang dikehendaki Nabi adalah para sahabatnya. Mereka paham betul pada kondisi saat itu, karakter lawan bicara dalam teks hadis, dan hal-hal lain yang tak tertulis dalam teks. Selain itu, mereka juga memiliki karakter bahasa Arab yang masih murni, sehingga lebih kuat dalam memahami nash al-Quran dan Hadis. Saksi sejarah jelas lebih paham dari sekadar peneliti sejarah. Dalam sebuah Hadis sahih Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah zamanku, lalu orang-orang setelahnya, lalu orang-orang setelahnya. Kemudian datanglah golongan-golongan yang persaksiannya mendahului sumpahnya, dan sumpahnya mendahului persaksiannya” . Tiga generasi awal itulah yang disebut dengan salaf, yaitu masa Rasulullah  beserta sahabat, masa tabiin, dan masa tabi tabiin. Merekalah golongan yang dipastikan baik oleh Rasulullah. Sehingga golongan manapun yang berusaha untuk sama dengan mereka, juga akan berada dalam kebaikan seperti mereka. Aswaja adalah paham untuk meniru ajaran Rasulullah dan para sahabatnya. Di mana ajaran itu mencakup semua aspek kehidupan beliau dan para sahabat yang dipahami oleh generasi tabiin serta para ulama selanjutnya. Secara umum, ideologi dan perilaku Aswaja dapat terangkum dalam tiga ajaran pokok, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. Iman terwujud dengan meyakini semua hal yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Islam dapat terwujud dengan melaksanakan hukum dan aturan fikih yang telah ditetapkan oleh al-Quran dan Hadis dengan berbagai perangkat pemahamannya. Sedangkan Ihsan dapat terwujud dengan menghayati hidup dan bertasawuf mengharap ridha Allah seperti yang dilakukan oleh Rasulullah  dan para sahabat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Untuk itu berikut jabaran dari ketiga ajaran tersebut: 1. Iman Iman adalah keyakinan hati seorang mukmin terhadap kebenaran ajaran-ajaran Islam, baik itu meliputi hal-hal tentang ketuhanan, tentang kenabian, dan tentang hal-hal gaib yang telah dijelaskan dalam al-Quran dan Hadis. a. Keyakinan tentang ketuhanan Secara umum, rangkuman keyakinan tentang Tuhan ini adalah untuk memproteksi seorang mukmin agar tidak meyakini salah tentang Tuhan dengan mengetahui ciri-ciri Tuhan itu sendiri. Dalam karyanya Umm al-Barahin, ad-Dasuqi mendefinisikan Tuhan dengan sangat gamblang, beliau menyatakan: Tuhan adalah dzat yang tidak butuh pada apapun dan segala sesuatu selain dia butuh pada-Nya. Untuk itu, harus diyakini bahwa Tuhan maha sempurna. Segala kekurangan dan ketidak-layakan tidak boleh disandarkan pada-Nya. Misalnya, Tuhan itu berubah menjadi manusia (keyakinan trinitas umat Kristen). Itu akan menyebabkan bahwa Tuhan – yang asalnya kuat (tanpa kelemahan) – tiba-tiba menjadi lemah, butuh pada makanan dan minuman, butuh pada udara, dan lain sebagainya. Untuk itu, kita perlu mengetahui ciri-ciri (sifat) Tuhan Yang Maha Kuasa. Di mana sifat-sifat kesempurnaan-Nya terangkum dalam: – Meyakini bahwa Allah memiliki sifat-sifat mulia yang terangkum dalam 20 sifat wajib bagi Allah – Meyakini bahwa Allah tidak memiliki satupun sifat kekurangan yang terangkum dalam 20 sifat mustahil bagi Allah – Meyakini bahwa Allah dalam mentakdirkan dan menentukan sesuatu tanpa keterpaksaan b. Keyakinan tentang kenabian – Meyakini bahwa para nabi dan utusan Allah berperangai dengan sifat-sifat mulia yang terangkum dalam 4 sifat wajib, dan tidak mungkin memiliki perangai buruk yang terangkum dalam 4 sifat mustahil, sekaligus mereka berhak untuk melakukan perilaku manusiawi. – Meyakini kebenaran kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada para nabi dan utusan – Meyakini kebenaran mukjizat-mukjizat para nabi dan utusan c. Keyakinan tentang hal-hal gaib – Meyakini bahwa Allah menciptakan makhluk gaib seperti dalam al-Quran dan Hadis, yaitu malaikat, setan, dan jin dengan segala sifat dan perilakunya – Meyakini bahwa hari kiamat dan hal-hal gaib setelahnya seperti kebangkitan dari kubur, hisab, syafaat nabi, surga dan neraka adalah benar

– Meyakini cerita al-Quran dan Hadis tentang peristiwa-peristiwa sebelum kiamat seperti Dajjal, Yakjuj Makjuj, dan turunnya Nabi Isa adalah benar

2. Fikih Fikih adalah aturan yang ditetapkan Allah tentang segala perilaku mukmin. Aturan itu dipahami dari al-Quran dan Hadis oleh para ulama yang memiliki kemampuan tentang itu yang terjabarkan dalam bentuk aliran fikih yang disebut madzhab. Untuk saat ini, dari sekian banyak madzhab yang berkembang di masa awal Islam, hanya ada 4 madzhab yang sanggup bertahan untuk disampaikan dari generasi ke generasi, yaitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali. Sedangkan yang lain sudah tidak ada generasi yang meneruskan, maka madzhabnya tidak terjaga keasliannya. Secara global cakupan fikih meliputi: a. Fikih ibadah, yaitu aturan fikih yang berkenaan dengan tata-cara beribadah kepada Allah dan hal-hal terkait b. Fikih muamalah, yaitu aturan fikih yang berkenaan dengan bersosial, melakukan transaksi, hukum perdata, dan hal-hal terkait c. Fikih faraid, yaitu aturan fikih yang berkenaan dengan hukum warisan d. Fikih munakahah, yaitu aturan fikih dalam pernikahan dan hal-hal terkait

e. Fikih jinayah, yaitu aturan fikih yang berkenaan dengan politik, hukum pidana, perbudakan, dan hal-hal terkait

3. Tasawuf Tasawuf adalah usaha untuk menjaga hati agar dalam berperilaku dan bertingkah laku selalu menuju satu harapan, yakni mengharap ridha Allah SWT sebagai wujud dari Ihsan. Hal itu terwujud dengan mengetahui seluk-beluk penyakit hati dan mengobatinya dengan senantiasa bermujahadah dengan amal baik serta selalu bermunajat kepada Allah SWT. Secara umum konsep tasawuf terbagi menjadi dua bagian: a. Menghiasi diri dengan perangai baik yang secara global terangkum dalam beberapa sifat berikut: – Takwa, artinya senantiasa takut kepada Allah yang terwujud dalam bentuk mentaati aturan-Nya dan menghindari larangan-Nya – Tawakkal, artinya senantiasa pasrah dan berperasangka baik kepada Allah atas semua yang Dia takdirkan – Ikhlas, artinya senantiasa murni mengharap ridha Allah dengan tidak mengharap hal-hal duniawi – Zuhud, menghindari hal-hal duniawi – Introspeksi diri dan Rendah hati, artinya senantiasa melihat kekuarang diri sendiri dan tidak menganggap diri lebih baik dari orang lain – Mujahadah, artinya melatih hati dengan terus-menerus melakukan hal-hal baik b. Menghindari perangai buruk yang secara global terangkum dalam beberapa sifat berikut: – Tamak, artinya mengharap kenikmatan orang lain agar berpindah padanya – Dengki, artinya tidak suka bila melihat orang lain mendapatkan nikmat – Sombong, artinya menganggap diri sendiri lebih baik dari orang lain – Riya’, artinya dalam berperilaku selalu pamrih dan mengharap hal-hal duniawi

Selain penjelasan sifat-sifat di atas, tasawuf sejatinya terletak pada perilaku bukanlah pada teori. Penghayatan terhadap sejarah Nabi, sahabat , para ulama, dan para sufi adalah bagian terbesar dalam menumbuhkan dasar-dasar tasawuf di dalam hati. Di mana selanjutnya mujahadah melawan nafsu dan mensucikan hati adalah suatu kewajiban guna mencari ridha Allah, karena jiwa setiap mukmin, bahkan setiap manusia pastilah merindukan Tuhannya. Wallahu A’lam.

*Penulis Adalah Alumni Santri Sidogiri Asal Pasuruan

Silakan tulis komentar Anda

Oleh : Ansori

(Katib Syuriyah PCNU Kab. Banyumas)

A. Pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah (ASWAJA)

Kata atau istilah Ahlussunnah wal Jama’ah diambil dari hadis Imam Thabrani sebagai berikut:

افترقت اليهود على إحدى أو اثنتين وسبعين فرقة ، وافترقت النصارى على إحدى أو اثنتين وسبعين فرقة ، وستفترق أمتي على ثلاث وسبعين فرقة، الناجية منها واحدة والباقون هلكى. قيل: ومن الناجية ؟ قال: أهل السنة والجماعة. قيل: وما السنة والجماعة؟ قال: ما انا عليه اليوم و أصحابه

“orang-orang Yahudi bergolong-golong terpecah menjadi 71  atau 72 golongan, orang Nasrani bergolong-golong menjadi 71 atau 72 golongan, dan umatku (kaum muslimin) akan bergolong-golong menjadi 73 golongan.  Yang selamat dari padanya satu golongan dan yang lain celaka. Ditanyakan ’Siapakah yang selamat itu?’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Ahlusunnah wal Jama’ah’. Dan kemudian ditanyakan lagi, ‘apakah assunah wal jama’ah itu?’ Beliau menjawab, ‘Apa yang aku berada di atasnya, hari ini, dan beserta para sahabatku (diajarkan oleh Rasulullah SAW dan diamalkan beserta para sahabat).

Menurut Hadratusy Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dalam ktabnya  Ziyadah at-Ta’liqat, Ahlussunnah wal Jama’ah adalah :

أما أهل السنة فهم أهل التفسير و الحديث و الفقه فإنهم المهتدون المتمسكون بسنة النبي صلى الله عليه وسلم والخلفاء بعده الراشدين وهم الطاءفة الناجية قالوا وقد اجتمعت اليوم في مذاهب أربعة الحنفيون والشافعيون و المالكيون والحنبليون

“Adapun Ahlussunnah wal Jama’ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadis, dan ahli fikih. Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi dan sunnah khulafaurrasyidin setelahnya. Mereka adalah kelompok yang selamat. Ulama mengatakan : Sungguh kelompok tersaebut sekarang ini terhimpun dalam madzhab yang empat yaitu madzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hanbali.”

Dalam kajian akidah/ilmu kalam istilah Ahlussunnah wal Jama’ah dinisbatkan pada paham yag diusung oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi, yang menentang paham Khawarij dan Jabariyah (yang cenderung tekstual) dan paham Qadariyah dan Mu’tazilah (yang cenderung liberal).

Dalam kajian fikih, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah disisbatkan pada paham Sunni yaitu merujuk pada fikih 4 (empat) madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) yang berbeda dengan paham fikih Syi’iy, Dzahiriy, Ja’fariy.

Dari situlah kemudian NU menjadikan Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai asas oraganisasi, yaitu dalam bidang aqidah mengikuti Abu Hasan Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Sedangkan dalam bidang fikih mengikuti salah satu dari fikih 4 (empat) madzhab yaitu madzhab Syafi’i (Syafi’iyyah).

Kemudian, pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah dalam bidang tashawwuf, NU mengikuti Imam al-Junaidi al-Bagdadi (w. 297 H/ 910 M) dan Imam al-Ghazali at-Thusi (w,505 H/ 1111M)

B. Mengapa NU mengikuti paham Ahlussunnah wal Jama’ah ?

Sebagaimana di jelaskan di atas, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah pada mulanya adalah terkait dengan perbincangan masalah akidah yang menengahi dua paham yang saling bertentangan. Ahlussunnah wal Jama’ah dianggap sebagai paham yang moderat yaitu meyakini ke-Maha Kuasa-an Alloh dan menghargai ikhtiyar (akal) manusia.

Demikian juga dalam bidang fikih, pendapat-pendapat Imam Syafi’i dan para pengikut/muridnya dianggap paling moderat yaitu mengabungkan antara dalil naqly (al-Qur’an dan as-Sunnah) dan aqly (ijtihad : ijma’ dan qiyas).

Dalam bidang tashawwuf, ajaran-ajaran al-Junaidi dan al-Ghazali  dianggap moderat, yaitu menggabungkan antara syariah/fikih dan haqiqat/substansi.

Selain dianggap sebagai model berpikir moderat (wasathiyyah) dan ihtiyath (kehati-hatian/antisapatif) dalam bidang ibadah, alasan NU mengikuti Ahlussunnah wal Jama’ah juga dikarenakan para sahabat Nabi perlu diikuti, karena merekalah yang mengetahui dan memahami terhapa semua yang dilakukan oleh Nabi.Oleh karena itu Nabi mengatakan : ما انا عليه اليوم و أصحابه. Bahkan dalam hadis disebutkan bahwa mereka (para sahabat) dijamin masuk surga.

Hal ini dikuatkan oleh hadis :

عَنْ أَبِي نَجِيْحٍ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَاريةَ رَضي الله عنه قَالَ : وَعَظَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ الله عليه وسلم مَوْعِظَةً وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ، وَذَرِفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ، فَقُلْنَا : يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ، فَأَوْصِنَا، قَالَ : أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ   عَبْدٌ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كًثِيْراً. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ   وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ [رَوَاه داود والترمذي وقال : حديث حسن صحيح  

Dari Abu Najih Al Irbadh bin Sariyah radhiallahuanhu dia berkata : Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam memberikan kami nasehat yang membuat hati kami bergetar dan air mata kami bercucuran. Maka kami berkata : Ya Rasulullah, seakan-akan ini merupakan nasehat perpisahan, maka berilah kami wasiat. Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Saya wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah ta’ala, tunduk dan patuh kepada pemimpin kalian meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Karena diantara kalian yang hidup (setelah ini) akan menyaksikan banyaknya perselisihan. Hendaklah kalian berpegang teguh terhadap ajaranku dan ajaran khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah (genggamlah dengan kuat) dengan geraham. Hendaklah kalian menghindari perkara yang diada-adakan, karena semua perkara bid’ah adalah sesat.

(Riwayat Abu Daud dan Turmuzi, dia berkata : hasan shahih)

Dengan demikian dapat dikatakan  bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah menurut  NU (ASWAJA  AN-NAHDHIYYAH) adalah mengikuti pola pikir Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi dalam bidang akidah, mengikuti pola pikir Imam Syafi’i dalam fikih (beribadah dan bermuamalah), dan mengikuti al-Junaidi dan al-Ghazali dalam bertashawwuf, yang kesemuanya pola pikirnya adalah moderat, tawasut, tawazun, atau ta’adul, dan menjaga amaliyah para sahabat Nabi.

C. Implementasi (pengamalan) Ahlussunnah wal Jama’ah

Prinsip moderat yang ada dalam ASWAJA AN-NAHDHIYYAH itu dalam tataran yang lebih riil dapat dicontohkan serbagai beikut :

a. Bidang akidah

Dalam menjalani kehidupan atau menghadapi persoalan-persoalan, orang NU tidak boleh hanya bergantung pada kekuasaan Alloh (pasrah) atau sebaliknya hanya mengandalkan kemampuan akal (teori atau ilmu pengetahuan). Kaduanya harus dilakukan secara bersamaan.

 b. Bidang Fikih (Ibadah)

Dalam memegangi hukum fikih, NU tidak boleh “HANYA” berpegang/berlandaskan pada pendapat-pendapat yang ada (qauly) tetapi juga harus memperhatikan dan mengetahui perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan (manhajiy). Motode berpikir  ini diputuskan dalam MUNAS NU di Lampung dan prinsip ini ada dalam ungkapan :

 المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح

    “Tetap menjaga/ berpegang pada pendapat/tradisi lama (ulama’ terdahulu,   salafussholih) yang baik (relevan), namun tetap mengambil pendapat-pendapat baru yang baik (yang lebih relevan/susuai dengan kondisi zaman dan ilmu pengetahuan)”.

Dalam beribadah warga NU juga harus berimbang antara ibadah mahdhoh (ritual, individual, vertikal) dan ibadah ghairu mahdhah (basyariyyah, insaniyyah, ijtimaiyyah, sosial, kemanusiaan, kemasyarakatan, horisontal)

c. Bidang Tashawwuf

Dalam menjalankan ibadah, warga NU harus menggabungkan antara hakikat dan syariat. Aturan-aturan fikih (syarat dan rukun) tetap harus dipenuhi, namun di sisi lain penghayatan terhadap isi, makna, hakikat, tetap harus diperhatikan.  

Demikian juga dalam bertsahwwuf (menjalankan amaliyah dzikir/wirid, mengikuti thoriqat) tidak boleh melupakan urusan umat dan keluarga.

Adapun menjaga tradisi (amaliyah) para sabahat, oleh NU – dalam bidang ibadah- antara lain adalah dengan tetap mempertahankan Tarawih minimal 23 rakaat, adzan Jumat dua kali, dan lain-lain serta pola pikir/metode ijtihad yang dilakukan oleh para sahabat Nabi terutama khulafaurrasyidun.

Mengikuti apa yang dilakukan oleh para sahabat, meskipun tidak dilakukan oleh Nabi, BUKAN BID’AH. Karena hadis di atas jelas bahwa Rosul memerintahkan agar berpegang kepada sunnahnya dan “sunnah” (amaliyah, tradisi, apa yang dilakukan) oleh para sahabat. Maka pengertian “bid’ah” dalam hadis وَإِيَّاكُمْ   وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ yang disampaikan oleh Rasul setelah   فعليكم بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ  berarti di luar yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabat.

Puncaknya yang ingin dicapai NU dari asas ASWAJA AN-NAHDHIYYAH adalah  prinsip tawasuth/moderat dan merawat sunnah Rasul dan “sunnah” para sahabat.

Wallohu a’lam bishshowab.