Sebagian besar kata yang digunakan dalam teks menggunakan kosa kata baku ada atau tidak ada

Jakarta -

Kosakata baku biasanya digunakan dalam forum-forum resmi, seperti pidato kenegaraan hingga dunia pendidikan. Kata tersebut dapat disampaikan baik secara lisan maupun tertulis.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kosakata adalah perbendaharaan kata. Sedangkan, baku adalah tolok ukur yang berlaku untuk kuantitas atau kualitas yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan. Baku juga dapat diartikan sebagai standar.

Kosakata baku adalah kosakata bahasa Indonesia yang sesuai dengan KBBI dan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) atau yang saat ini menjadi Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI).

EYD sendiri sudah berlaku sejak 1972. Lalu, pada tanggal 26 November 2016, EYD resmi digantikan dengan PUEBI. PUEBI yang menjadi pedoman hingga saat ini adalah edisi keempat berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2015 tanggal 26 November 2016.

Fungsi Kata Baku

Dikutip dari buku Pedoman Kata Baku dan Tidak Baku Dilengkapi Ejaan Yang Disempurnakan oleh Ernawati Waridah, berikut fungsi penggunaan kata atau bahasa baku:

1. Pemersatu

Kata baku berfungsi untuk mempersatukan sekelompok orang menjadi satu kesatuan masyarakat bahasa. Contoh: Penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa.

2. Pemberi kekhasan

Kata baku juga dapat menjadi pembeda dengan masyarakat lain atau menjadi ciri khas suatu masyarakat.

3. Pembawa kewibawaan

Kata baku berfungsi untuk memperlihatkan kewibawaan bagi pemakainya.

4. Kerangka acuan

Selain itu, kosakata baku juga dapat digunakan sebagai kerangka acuan atau tolok ukur bagi benar tidaknya pemakaian bahasa seseorang atau sekelompok orang.

Ciri-ciri Kata Baku

1. Tidak dipengaruhi bahasa daerah.

Contoh:

- saya (baku) ; gue (tidak baku)
- merasa (baku) ; ngerasa (tidak baku)

2. Tidak dipengaruhi bahasa asing.

Contoh:

- itu benar (baku) ; itu adalah benar (tidak baku)
- banyak guru (baku) ; banyak guru-guru (tidak baku)

3. Bukan merupakan ragam bahasa percakapan.

Contoh:

- bagaimana (baku) ; gimana (tidak baku)
- tidak (baku) ; nggak (tidak baku)

4. Pemakaian imbuhan dilakukan secara eksplisit.

Contoh:

- menangis (baku) ; nangis (tidak baku)
- bermain (baku) ; main (tidak baku)

5. Pemakaian yang sesuai dengan konteks kalimat.

Contoh:

- sehubungan dengan (baku) ; sehubungan (tidak baku)
- terdiri atas/ dari (baku) ; terdiri (tidak baku)

6. Tidak mengandung makna ganda dan tidak rancu.

Contoh:

- mengatasi (baku) ; mengejar (tidak baku)
- menghemat (baku) ; mempersingkat (tidak baku)

7. Tidak mengandung arti pleonasme (menambahkan kata yang sebenarnya tidak diperlukan).

Contoh:

- mundur (baku) ; mundur ke belakang (tidak baku)
- hadirin (baku) ; para hadirin (tidak baku)

8. Tidak mengandung hiperkorek.

Contoh:

- khusus (baku) ; husus (tidak baku)
- masyarakat (baku) ; masarakat (tidak baku)

Untuk memastikan apakah kata yang digunakan merupakan kosakata baku, detikers dapat mengeceknya lewat KBBI ya!

Simak Video "Apple Bakal Bikin Siri Berbahasa Indonesia "



(kri/lus)

Sebagian besar kata yang digunakan dalam teks menggunakan kosa kata baku ada atau tidak ada

Kunci Jawaban Tema 7 Kelas 6 Halaman 86 87: Pendapat Isi Pidato Sudin /

PORTAL PEKALONGAN-  Berikut kunci jawaban tema 7 kelas 6 SD, Pendapat Isi Pidato Sudin adalah materi yang akan kita pelajari di artikel ini, pada pembelajaran 4 sub tema 2 tema Kepemimpinan.

Adik-adik kelas 6 akan belajar mengenai tema 7 kelas 6 halaman 86 87 ini kunci jawaban tema 7 kelas 6 SD, mengenai Pendapat Isi Pidato Sudin.

Artikel ini akan mengulas kunci jawaban tema 7 kelas 6 SD pembelajaran 4 sub tema 2 yang bersumber dari buku tematik Kemendikbud revisi 2018, tentang Pendapat Isi Pidato Sudin.

Baca Juga: Kunci Jawaban Tematik Kelas 6 Tema 6, Sesuatu yang Harus Dilakukan dengan Penuh Tanggung Jawab Adalah

Contoh kunci jawaban tema 7 kelas 6 SD ini, membantu orang tua mendampingi kalian belajar dari rumah.

Jadi, sebelum melihat kunci jawaban tema 7 kelas 6 SD ini, alangkah baiknya mencoba mengerjakan sendiri.

Dapat juga bertanya kepada orang tua.

Berikut pembahasan materi tema 7 kelas 6 SD halaman 86 87.

Kunci Jawaban Tema 7 Kelas 6 SD Halaman 86

oleh: Suhartina (Dosen IAIN Parepare)

OPINI—Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang digunakan dalam berkomunikasi. Seseorang bisa menyampaikan ide dan gagasannya, baik secara lisan maupun lisan dengan bahasa. Bahasa memiliki ragam/variasi. Begitu pun dengan bahasa Indonesia. Ragam bahasa Indonesia terdiri dari ragam berdasarkan media, ragam berdasarkan penutur, dan ragam berdasarkan situasi. Setiap kali berkomunikasi kita harus menggunakan ragam bahasa yang sesuai.

Berdasarkan situasi, ragam bahasa Indonesia terdiri dari ragam resmi dan ragam tidak resmi/santai. Ragam resmi digunakan pada forum/situasi formal, sementara ragam tidak resmi digunakan pada situasi santai. Ragam berdasarkan situasi ini digunakan baik dalam berkomunikasi secara lisan maupun tulisan. Berkomunikasi secara lisan berbeda dengan berkomunikasi melalui tulisan. Berkomunikasi secara lisan kemungkinan kesalahpahaman rendah karena mitra tutur bisa langsung bertanya jika tidak paham, sementara berkomunikasi melalui tulisan, rawan menimbulkan kesalahpahaman. Oleh karena itu, saat melakukan komunikasi melalui media tulis seseorang harus jeli memilih kata dan menggunakan ejaan yang tepat.

Karya tulis terdiri dari karya tulis ilmiah dan tidak ilmiah. Perbedaan karya tulis ilmiah dan tidak ilmiah terletak pada penggunaan bahasa (diksi). Karya Ilmiah menggunakan bahasa yang lugas, menghidari multitafsir, dan menganut asas kaidah ilmiah. Sodiq, dkk. (2014) mendefiniskan karya ilmiah sebagai suatu karangan yang mengandung ilmu pengetahuan dan kebenaran ilmiah yang menyajikan fakta dan disusun secara sistematis menurut metode penulisan dengan menggunakan bahasa  ilmiah.

Bahasa  ilmiah adalah salah satu jenis ragam bahasa Indonesia yang strukturnya menggunakan ragam baku. Humaeroh (2017) mendefinisikan ragam baku sebagai ragam yang dilembagakan dan diakui oleh sebagian besar warga masyarakat pemakainya sebagai bahasa resmi. Oleh karena itu, penulisan karya ilmiah, baik berupa buku-buku ilmiah, proposal, skripsi, maupun karya tulis ilmiah lainnya wajib menggunakan ragam baku tulis sebagai standar penulisan.

Skripsi adalah tugas akhir mahasiswa untuk menyelesaikan studi di perguruan tinggi. Sebagai salah satu jenis karya ilmiah, maka skripsi harus ditulis dengan menggunakan kaidah bahasa Indonesia ragam ilmiah. Sayangnya, banyak mahasiswa yang tidak menggunakan bahasa sesuai kaidah ilmiah. Kondisi ini diperparah dengan pandangan sebelah mata sebagian orang bahwa penggunaan kaidah bahasa Indonesia itu bukanlah hal penting. Beberapa oknum bahkan berdalih bahwa tidak masalah jika hal tersebut tidak mengubah makna dan dipahami oleh pembaca, misal penggunaan kata sekedar, shalawat, dan nasehat. Ketiga kata tersebut merupakan kata berbahasa Arab yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan perubahan fonem disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia.. Penulisan kata yang benar adalah sekadar, selawat, dan nasihat.

Tidak jarang ketika seseorang diingatkan ada selentingan seperti ini, “Ah, kaku atau lebai, deh.” Hal tersebut tentu disayangkan sebab sebuah karya ilmiah wajib ditulis dengan menggunakan kata baku. Selain itu, hal tersebut berkaitan dengan sikap bahasa seseorang.  Sikap bahasa berhubungan dengan perilaku seseorang( senang atau tidaknya)  seorang penutur bahasa terhadap suatu bahasa. Pengabaian terhadap penggunaan bahasa baku dengan alasan lumrah ini merupakan ciri dari sikap negatif terhadap penggunaan bahasa Indonesia yang disinyalir sebagai wujud ketidakcintaan kepada bahasa negara sendiri.

Lalu apakah tidak boleh menggunakan bahasa asing dalam penulisan skripsi berbahasa Indonesia? Boleh, sepanjang kata tersebut tidak memiliki padanan kata dalam bahasa Indonesia. Penulisannya pun harus disesuaikan dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia, yakni kata berbahasa asing ditulis dengan huruf miring.

Selain kata ‘nasihat, sekadar, dan selawat’ kata yang paling  sering keliru dituliskan oleh mahasiswa pada penulisan karya ilmiah adalah kata teoretis. Mahasiswa menulis kata tersebut ‘teoritis’. Kata teoritis bahkan tertulis di buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah dan beberapa templat jurnal. Padahal, kata teoritis merupakan kata yang tidak baku. Kesalahan tersebut  disebabkan oleh mereka menganggap kata teoritis berasal dari kata dasar ‘teori’ lalu mendapat imbuhan asing –is, sehingga menjadi teoritis. Faktanya bukan seperti itu. Kata ‘teoretis’ berasal dari bahasa Belanda theoretisch. Kata theoretisch tersebut diserap secara utuh dengan penyesuaian ejaan, sehingga menjadi teoretis.

            Hal ini sama dengan kasus penggunaan kata aktivitas. Orang sering menganggap bahwa kata aktivitas berasal dari kata dasar aktif, lalu mendapat akhiran –itas, sehingga menjadi aktifitas. Kata aktivitas dalam kelas kata bahasa Indonesia, bukanlah kata turunan/kata berimbuhan. Kata aktivitas diserap dari kata bahasa Inggris ‘aktivity”. Dalam aturan penyerapan kata asing dijelaskan bahwa kata berimbuhan seperti akhiran –ity diserap secara utuh dengan kata dasarnya, sama dengan kata reality diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi realitas. Begitu pun dengan efektivity diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi efektivitas.

Setiap orang pernah melakukan kekeliruan, termasuk kekeliruan berbahasa.  Kesalahan kita bukan karena kekeliruan tersebut tetapi ketika kita terus melakukan kesalahan yang sama dengan mengatasnamakan kelaziman dan tak ingin belajar dari hal tersebut. Ingat, gunakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing!

Cat: Sebagian besar tulisan ini dikutip dari buku 2021 Kesalahan Berbahasa Mahasiswa yang diterbitkan oleh Penerbit Nusantra Press IAIN Parepare

DAFTAR PUSTAKA

Sodiq, I., Suryadi, A., & Ahmad, T. A. (2014). Program Guru Menulis: Upaya Peningkatan Kompetensi Profesional Guru Sejarah dalam Penulisan Karya Ilmiah di Kabupaten Semarang. Rekayasa: Jurnal Penerapan Teknologi Dan Pembelajaran, 12(1), 42–47.

Humaeroh, H. (2017). Humaeroh Efektivitas Berbahasa Indonesia. Al-Ahkam, 13(1), 111–124.

Suhartina, S. (2021). 2021 Kesalahan Berbahasa. Parepare: Nusantara Press