Pusat-pusat PERDAGANGAN di Nusantara setelah jatuhnya Malaka antara lain

Lihat Foto

Biblioteca Casanatense

Ilustrasi bangsa Portugis dari abad ke-16 yang dimuat dalam Códice Casanatense. Tulisan di pojok kiri ilustrasi berbunyi, Orang dari Kerajaan Malaka yang disebut bangsa Malayos [Melayu].

KOMPAS.com - Sebelum dijajah Belanda, Indonesia dijajah oleh bangsa Portugis.

Wilayah Nusantara yang pertama dikuasai Portugis adalah Kesultanan Malaka.

Pada abad ke-15, wilayah Kesultanan Malaka ada di Semenanjung Malaysia, Selat Malaka, hingga pesisir timur Sumatera.

Malaka adalah pintu masuk kolonialisasi bangsa Eropa di Nusantara.

Berikut sejarah jatuhnya Kesultanan Malaka ke tangan Portugis seperti dikutip dari A History of Modern Indonesia since c. 1200 [2008] karya MC Ricklefs...

Baca juga: Tujuan Bangsa Eropa Datang ke Indonesia

Di akhir abad ke-15, Portugis mencari Kepulauan Rempah-rempah. Rempah-rempah adalah komoditas bernilai mahal di Eropa.

Rempah-rempah digunakan untuk mengawetkan daging. Saat itu, perdagangan rempah-rempah dikuasai para pedagang muslim.

Bermodalkan kemampuan geografi dan astronomi, Portugis mengirim para pelayar untuk mencari daerah yang dimaksud.

Pada 1487, pelayar Bartolomeu Dias pun mengitari Tanjung Harapan di Afrika dan memasuki Samudra Hindia.

Baca juga: Rempah-rempah Khas di Indonesia

Kemudian pada 1497, pelayar Vasco de Gama sampai di India. Namun di India, barang dagangan Portugis kalah saing dengan barang-barang dari Asia.

Oleh : SS-Hauptsturmfuhrer Ajisaka Lingga Bagaskara

Sejak awal abad ke-16 terjadi perubahan tata jaringan perdagangan dan pelayaran di kawasan Nusantara. Perubahan itu bermula dari peristiwa penaklukkan Malaka oleh Bangsa Portugis pada tahun 1511. Kondisi tersebut diikuti pula oleh kemunculan pusat-pusat kekuasaan baru di Kepulauan Nusantara menggantikan posisi Malaka.

A. PERUBAHAN JARINGAN PERDAGANGAN DAN PELAYARAN SERTA TERBENTUKNYA PUSAT-PUSAT KEKUASAAN BARU DI KEPULAUAN INDONESIA SERTA ASIA TENGGARA SETELAH JATUHNYA MALAKA

Aceh awal Abad ke-18.

Pada akhir abad ke-15 Malaka berhasil mendudukkan dirinya sebagai salah satu pusat perdagangan di Asia umumnya dan Nusantara khususnya. Banyak sekali pedagang asing yang berhubungan dengan Malaka. Tome Pires menyebutkan pedagang-pedagang itu berasal dari Kairo, Mekah, Aden, Abesinia, Armenia, Gujarat, Cina, Malabar, Sailan, Persia, Turki, Siam, Pegu, Pattani, Campa, Cina dan beberapa negeri di Nusantara. Tujuan utama kedatangan bangsa-bangsa dari arah barat dan timur Malaka itu tidak lain ingin memperoleh rempah-rempah.

Kesultanan Malaka didirikan sekitar abad ke-15 oleh seorang bangsawan Blambangan yang bernama Paramisora. Beliau dan pengikutnya melarikan diri ketika terjadi penyerangan pasukan Majapahit ke wilayahnya pada tahun 1377. Mereka kemudian menetap di dusun nelayan Malaka dan membangunnya menjadi sebuah pelabuhan. Malaka berhasil terwujud menjadi sebuah pelabuhan penting dan ramai yang kerap sekali dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai negara. Kemajuan Malaka itu disebabkan letaknya yang strategis di dekat Selat Malaka yang merupakan jalur utama perdagangan internasional.

Sejak tahun 1405 Malaka berubah menjadi sebuah kesultanan. Bersamaan dengan hal itu, Paramisora lantas memasuki agama Islam dan berganti nama menjadi Sultan Iskandar Syah. Penggantinya ialah Sultan Muhammad Iskandar Syah, kemudian Sultan Mudzafar Syah. Di bawah pimpinan Sultan Mudzafar Syah, kedudukan Malaka semakin penting dan menjadi pusat perdagangan antara dunia timur dan dunia barat. Malaka mengalami kemajuan pesat melebihi Samudera Pasai, bahkan mampu pula menguasai Pahang, Kampar, dan Indragiri.

Kesultanan Malaka mencapai puncak kejayaan di bawah pemerintahan Sultan Mansyur Syah [1458-1477]. Bersama Laksamana Hang Tuah, Sultan Mansyur Syah berhasil memperbesar dan mengembangkan kekuasaan Malaka menjadi sebuah kesultanan yang sangat kuat. Kebesaran Kesultanan Malaka turut diperkokoh oleh penggantinya, Sultan Alaudin Syah [1477-1488]. Namun, sepeninggal Sultan Alaudin Syah, kebesaran Malaka tidak dapat dipertahankan. Sultan Mahmud Syah [1488-1511] ternyata seorang sultan yang kurang cakap dan sangat lemah dalam hal mengendalikan pemerintahan. Lambat laun kejayaan Malaka memudar. Keadaan tersebut semakin memburuk sejak hadirnya bangsa Portugis di Malaka pada tahun 1509. Akhirnya, kekuasaan Malaka jatuh ke tangan Portugis pada Agustus 1511. Malaka tidak mampu menghadapi gempuran tentara Portugis yang lebih kuat, maju, dan lengkap persenjataannya.

Sejak kejatuhan Malaka pada tahun 1511, Kesultanan Aceh muncul menjadi pusat perdagangan baru di kawasan Nusantara. Hal ini diperkuat oleh kemampuan Aceh menyediakan komoditas lada dan sukses melakukan ekspansi terhadap kota-kota pelabuhan di pantai yang terletak di barat dan timur Sumatera. Para pedagang Nusantara kemudian berusaha menghindari Malaka yang telah dikuasai bangsa Portugis. Oleh karena itu, berubahlah tata jatingan pelayaran dan perdagangan yang sebelumnya melewati Selat Malaka kemudian menyusuri pantai barat Sumatera ketika akan mengunjungi Aceh.

Selain Aceh, Bandar Banten juga dijadikan alternatif kedua untuk dikunjungi oleh para pedagang Nusantara. Banten ternyata mampu pula memperkuat pemasaran lada yang didatangkan dari Lampung. Dalam abad ke-17 perdagangan lada memegang peranan utama dan sekaligus menjadi penentu pergeseran pusat perdagangan dan pelayaran di Nusantara. Kemajuan perdagangan Banten didukung pula oleh kehadiran dari para pelarian pedagang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka hijrah ke Banten karena Sultan Mataram melakukan penghancuran terhadap kota-kota pelabuhan di pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur karena tidak mau tunduk kepada Mataram. Akibatnya, posisi Banten menjadi kuat dan sebelah barat Jawa tidak pernah dapat ditaklukkan oleh Mataram. Apalagi Banten telah bersekutu dengan Makassar demi memperkuat kedudukannya tersebut.

Dengan merosotnya peran pelabuhan-pelabuhan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, muncullah pula Makassar sebagai pusat perdagangan baru di wilayah Nusantara timur. Sejak kejatuhan Malaka, bandar Sombaopu di Makassar banyak didatangi oleh pedagang-pedagang Melayu yang terkenal ulet dan pandai dalam berdagang. Di antara mereka banyak yang kemudian menetap di Makassar, bahkan ikut pula memajukan perdagangan di kesultanan tersebut. Aliran migrasi orang-orang Melayu ke Makassar semakin bertambah besar karena Aceh terus menerus melakukan penggempuran terhadap Johor dan pelabuhan-pelabuhan di Semenanjung Melayu yang menjadi saingannya.

Dengan demikian, sebelum jatuhnya Malaka ke tangan Portugis, rute pelayaran dan perdagangan Nusantara adalah Maluku-Jawa-Selat Malaka, sedangkan setelah Malaka jatuh, berubah tata jaringan menjadi Maluku-Makassar-Selat Sunda-pantai barat Sumatera. Sehubungan dengan perubahan tersebut, pelabuhan Sunda Kelapa mulai menunjukkan gejala kemajuan sebagai bandar dagang. Kedudukan strategis itu kemudian dimanfaatkan VOC dengan cara menundukkan dan menjadikan pusat kekuasaan dengan nama batu, Batavia.

B. PETA PUSAT-PUSAT PERDAGANGAN DAN KEKUASAAN SERTA JALUR PELAYARAN SEBELUM DAN SETELAH KEJATUHAN MALAKA

Pada akhir abad ke-15 kekuasaan Majapahit yang amat luas telah lenyap. Mulai saat itu lahir dan berkembang pusat-pusat kekuasaan baru yang memiliki pusat-pusat perdagangan. Pusat-pusat kekuasaan dan perdagangan itu di antaranya Malaka, Samudera-Pasai, Aceh, Demak, Banten, Ternate, Tidore, dan Gowa-Tallo. Di antara semua itu, Malaka paling maju sebab Malaka merupakan pintu gerbang kapal-kapal yang hendak menuju dan meninggalkan Nusantara. Pada akhir abad ke-15 tata jaringan pelayaran dan perdagangannya dapat dilihat pada peta berikut.


Peta jaringan pelayaran dan perdagangan pada akhir abad ke-15. Keterangan: I.Malaka; II.Samudera Pasai; III.Banten; IV.Demak; V.Banjar; VI.Makassar; VII.Ternate & Tidore.

Sejak Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, pusat-pusat perdagangan dan tata jaringan perdagangan dan pelayaran Nusantara dapat digambarkan pada peta berikut.

Pusat-pusat perdagangan dan tata jaringan perdagangan dan pelayaran Nusantara sesudah jatuhnya Malaka. Keterangan: I.Samudera Pasai; II.Banten; III.Demak; IV:Banjar; V:Makassar; VI:Ternate & Tidore.

sumber :

Buku "Kronik" Sejarah, terbitan Yudhistira.

Page 2

Video yang berhubungan

Pola Perdagangan dan pelayaran Antar Pulau di Indonesia. Jaringan perdagangan dan pelayaran antar pulau di Indonesia telah dimulai sejak abad pertama Masehi. Bahkan pada abad ke-2, Indonesia telah menjalin hubungan dengan India sehingga agama Hindu masuk dan berkembang. Sejak abad ke-5, Indonesia telah menjadi kawasan tengah yang dilintasi jalur perdagangan laut antara India dan Cina. Jalur perdagangan tersebut yang dikenal dengan nama Jalur Sutra Laut [Jalan Sutera lama/kuno via darat].

Jalur perniagaan dan pelayaran tersebut melalui laut, yang dimulai dari Cina melalui Laut Cina Selatan kemudian Selat Malaka, Calicut: sekarang Kalkuta [India], lalu ke Teluk Persia melalui Syam [Syuria] sampai ke Laut Tengah atau melalui Laut Merah sampai ke Mesir lalu menuju Laut Tengah.

Indonesia, melaui selat Malaka, terlibat dalam perdagangan dengan modal utama rempah-rempah [komoditas utama], seperti lada dari Sumatera, cengkeh dan pala dari Indonesia Timur, dan jenis kayu-kayuan dari Nusa Tenggara. Posisi Indonesia yang strategis dan hasil sumber daya alam yang berlimpah menyebabkan Indonesia mampu menjadi salah satu pusat perdagangan yang penting di jalur dagang antara Asia Timur – Asia Barat [Timur Tengah dan semenanjung Arab], dengan Selat Malaka yang menjadi pusat-pusat dagang atau pelabuhan-pelabuhan dagangnya.

Sekitar abad ke-7 hingga abad ke-14, ada dua kerajaan besar yang telah mampu menguasai perairan atau perniagaan di Nusantara, yakni Kerajaan Sriwijaya [Sumatera] dan Kerajaan Majapahit [Jawa]. Keberhasilan ini karena kemampuan kedua kerajaan tersebut mendominasi bahkan memonopoli jaringan perdagangan di Selat Malaka. Perlu diketahui, bahwa Selat Malaka mempunyai posisi strategis baik secara geografis, iklim/cuaca, maupun secara politis dan ekonomi. Itu sebabnya Selat Malaka merupakan “kunci” penting. Dengan demikian, perdagangan dan pelayaran di Nusantara bahkan jaringan dagang internasional Asia di dominasi oleh dua Kerajaan bercorak Hindu-Budha tersebut dalam periode yang berbeda.

Sekitar abad ke-15 [setelah Majapahit runtuh], telah muncul kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam di Nusantara, dan yang juga akan melanjutkan tradisi perdagangan dan pelayaran di Nusantara. Walaupun Majapahit runtuh, namun pelabuhan-pelabuhan Tuban dan Gresik [di pesisir utara Jawa] tetap berperan sebagai bandar transito dan distribusi penting, yaitu sebagai gudang sekaligus penyalur rempah-rempah asal Indonesia Timur [Maluku]. Bahkan, Tuban berkembang menjadi bandar terbesar di Pulau Jawa. Perkembangan perdagangan dan pelayaran di perairan Jawa tersebut memacu munculnya pelabuhan-pelabuhan baru seperti pelabuhan Banten, Jepara dan Surabaya.

Pada abad ke-15 sampai awal abad ke-16, jalur perdagangan di asia Tenggara diwarnai oleh dua jalur besar, yaitu jalur Cina-Malaka dan jalur Maluku-Malaka. Jalur perdagangan antara Maluku-Malaka mendorong terjadinya perdagangan dan pelayaran antar pulau di Indonesia. Jalur Maluku-Malaka ramai karena banyaknya para pedagang yang hilir-mudik. Orang-orang Jawa misalnya, ke Maluku membawa beras dan bahan makanan yang lain untuk ditukarkan dengan rempah-rempah. Mereka ke Malaka, dengan ditambah beras, membawa rempah-rempah dari Maluku, dan sebaliknya dari arah Malaka membawa barang-barang dagangan yang berasal dari luar [pedagang-pedagang Asia]. Berkat komoditas “beras” dan letak strategis antara Maluku dan Malaka, Jawa menjadi kekuatan yang diperhitungkan di dalam perdagangan dan pelayaran di Nusantara. Terutama setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, Jawa yang kemudian akan memainkan peranan penting dalam perdagangan dan pelayaran di Nusantara. Terutama keberadaan pelabuhan atau bandar dagang Banten, yang akan mengambil peran penting di dalam perdagangan di Jawa dan Nusantara.

Pusat-Pusat Perdagangan serta Jalur Pelayaran Sebelum Jatuhnya Malaka. Sebelum bangsa Barat masuk ke Indonesia, bangsa Indonesia telah menguasai perdagangan dan pelayaran Nusantara. Perdagangan dan pelayaran saat itu bersifat antar pulau, yakni antara Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan dan pulau-pulau di bagian timur, terutama Maluku. Perdagangan dan pelayaran yang berkembang sebelum masuknya bangsa Barat ke Asia Tenggara maupun ke Indonesia itu telah membentuk pusat-pusat kekuasaan. Disamping Malaka sebagai pusat perdagangan dan juga pusat kekuasaan, maka terbentuk pula pusat-pusat kekuasaan lain seperti Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Banten, Ternate, dan Tidore, yang juga merupakan pusat-pusat kekuasaan yang bercorak Islam di Nusantara. Di Indonesia Timur, pelabuhan penting adalah Ternate dan Tidore. Barang dagangan yang dihasilkan adalah cengkih, sedangkan kayu cendana diperoleh dari pulau-pulau sekitarnya.

Di bagian Barat Indonesia, bandar-bandar yang penting seperti Pasai/Aceh, Pedir, Jambi, Palembang, Barus, Banten, dan Sunda Kelapa. Pelabuhan-pelabuhan tersebut kebanyakan mengekspor lada. Pelabuhan-pelabuhan di pantai Barat Sumatera juga menghasilkan barang dagangan lain seperti kapur barus, kemenyan, sutera, madu, dan damar.

Pusat-Pusat Perdagangan serta Jalur Pelayaran Setelah Jatuhnya Malaka. Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis [1511], pedagang-pedagang Islam memindahkan kegiatannya ke pelabuhan-pelabuhan lain. Dengan jalan demikian, mereka tetap dapat melanjutkan usaha perdagangannya secara aman. Sehingga, penyaluran komoditas ekspor [rempah-rempah] dari daerah Indonesia ke daerah Laut Merah tatap dapat dikuasai.

Pusat-pusat perdagangan dan kekuasaan yang sebelum Malaka jatuh sudah ada kemudian menjadi berkembang pesat. Pusat-pusat perdagangan dan kekuasaan yang berkembang pesat setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511 antara lain, Aceh, Banten, Demak, Tuban, Gresik, Makasar, Ternate dan Tidore.

Pedagang-pedagang Islam yang konflik dengan pedagang-pedagang Portugis menyingkir ke Aceh, Banten, dan Makasar. Mereka tetap melakukan perdagangan dan pelayaran dengan pedagang-pedagang luar. Karena jalur melalui Selat Malaka sudah dikuasai Portugis, maka mereka membuka jalur perdagangan baru melalui sepanjang Pantai Barat Sumatera. Pedagang-pedagang Islam berangkat dari bandar Banten lalu masuk selat Sunda terus berlayar ke luar melalui pantai barat Sumatera. Sebaliknya, Banten juga didatangi pedagang-pedagang dari luar seperti Gujarat, Persia, Cina, Turki, Myanmar Selatan, dan Keling.

Kapal-kapal yang berasal dari Banten ataupun ke Banten banyak juga yang singgah ke Aceh. Sementara itu, pedagang-pedagang Islam dari Malaka juga banyak yang mengalihkan kegiatannya ke Aceh sebagai akibat jatuhnya Malaka ke tangan Portugis. Sehingga Aceh juga berkembang menjadi pusat perdagangan dan pusat kekuasaan Islam. Sedangkan di bagian Timur, ada dua pusat perdagangan dan kekuasaan Islam yang penting, yakni Ternate dan Tidore.

Oleh: Ambrosius Oky Sumantri

Sejarawan Pendidik [Guru Sejarah]

Mengajar di sebuah sekolah Swasta

Kawasan BSD, Tangerang Selatan

Posted in: Gardoe Peristiwa

Video yang berhubungan