Perbedaan dan Persamaan waris menurut BW hukum Islam dan hukum adat

Sun, 2020-07-19 - 00:21:22 WIB

Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram (UWM) menyelenggarakan webinar bertema Serba-serbi Hukum Waris pada Jumat (17/7/2020) dengan menghadirkan 4 (empat) narasumber yakni Sekhar Chandra Pawana, S.H., M.H. Dosen dari Fakultas Hukum Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Ahmad Arif Zulfikar, S.H., M.H., CPCLE., CPM., CPrM, Direktur Eksekutif AIC Institute, Arvita Hastarini, S.H., M.Kn. Dosen dari Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram (UWM) dan Anindita, S.H., M.Kn. Notaris/PPAT Kabupaten Bantul.

“Pewarisan adat dilakukan berdasarkan asas kesamaan, kebersamaan, hak, kerukunan/kekeluargaan, musyawarah mufakat dan keadilan,” jelas Sekhar yang menguraikan dari perspektif Hukum Adat. Hukum adat merupakan hukum asli masyarakat adat yang diatur dalam Pasal 18b ayat (2) UUD 1945. Dirinya juga menambahkan bahwa keadilan dalam hukum adat tidak berbicara keadilan yang sama rata, melainkan keadilan yang proporsional.

“Dalam sistem kekerabatan patrilineal, anak laki-laki akan mendapatkan bagian lebih banyak dari perempuan karena nantinya anak laki-laki akan memiliki tanggung jawab lebih yaitu membentuk keluarga baru, sedangkan anak perempuan akan mengikuti keluarga suami dan menjadi tanggung jawab suaminya”, paparnya.

Dari perspektif Hukum Islam diuraikan oleh Ahmad terkait dengan asas-asas hukum kewarisan Islam yang terdiri dari asas ijbari, asas bilateral, asas individu, keadilan berimbang, kewarisan akibat kematian, dan asas tandhidh. “Asas tandhidh dalam hukum islam adalah hal yang utama, karena mengutamakan musyawarah mufakat demi keutuhan keluarga,” tambahnya.

“Harta warisan bersumber dari persatuan harta perkawinan. Persatuan harta perkawinan terbatas pada harta pencarian yang diperoleh selama perkawinan, baik isteri bekerja maupun tidak,” jelas Ahmad.

Sementara itu, Arvita menguraikan terkait bagian waris bagi anak luar kawin menurut perspektif Hukum Perdata. “Kitab Undang Undang Hukum Perdata memberikan kedudukan bagi anak luar kawin dengan memberikan pengertian anak luar kawin ada 3 (tiga) macam. Pertama, anak yang dilahirkan akibat dari hubungan antara laki-laki dengan perempuan yang kedua-duanya diluar ikatan perkawinan yang disebut dengan anak alami, anak ini dapat diakui. Kedua, anak yang lahir akibat hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang salah satu atau kedua-duanya terikat dalam perkawinan dengan orang lain. Anak ini disebut anak zina, anak ini tidak dapat diakui. Dan yang ketiga, anak yang lahir akibat hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dimana satu sama lainnya menurut ketentuan undang-undang dilarang kawin. Anak ini disebut anak sumbang, anak ini tidak dapat diakui,” papar Arvita.

Terkait dengan anak luar kawin, Arvita menerangkan, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 pada tanggal 17 Februari 2012. “Dengan adanya Putusan MK tersebut, hubungan antara anak luar kawin dengan bapaknya adalah hubungan darah dalam arti biologis yang dikukuhkan berdasarkan proses hukum. Putusan MK membuka kemungkinan hukum bagi ditemukannya subyek hukum yang harus bertanggungjawab terhadap anak luar kawin untuk bertindak sebagai bapaknya melalui mekanisme hukum dengan menggunakan pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir dan/atau hukum,” tambahnya.

Sementara dari perspektif praktek yang berkembang dalam masyarakat, Anindita menuturkan, pembagian warisan yang berlaku pada masyarakat saat ini tidak lagi mengacu pada teori-teori tertentu, bahkan banyak sekali masyarakat kita yang belum memahami mengenai definisi waris, belum bisa membedakan antara proses turun waris, hibah, maupun wasiat.

“Banyak saya mendapati klien yang ingin konsultasi terkait waris namun pewaris masih hidup, padahal syarat utama adanya pembagian harta itu adalah meninggalnya pewaris”, ungkap Anindita.

Anindita menerangkan bahwa di dalam hukum adat, hukum islam, maupun hukum perdata itu sudah sangat jelas ditentukan berapa besar bagian masing-masing ahli waris, namun dalam kenyataan yang diutamakan tetaplah kesepakatan para ahli waris. Para ahli warispun wajib menerima harta warisan sepaket, yaitu aktiva (harta) dan passiva (hutang).

©HumasWidyaMataram


Warisan merupakan segala sesuatu peninggalan (bisa asset dan bisa utang) yang ditinggalkan oleh pewaris (orang yang meninggal) dan diwasiatkann kepada Ahli waris. Wujud warisan tersebut dapat berupa harta (harta yang bergerak dan harta tidak bergerak) dan termasuk juga diwarisi utang (kewajiban). Harta yang bergerak seperti kendaraan, logam mulia, sertifikat deposito dan lain sebagainya. Harta tidak bergerak seperti rumah dan tanah.

Warisan dapat menyelesaikan masalah atau justru dapat menambah masalah dalam keluarga besar. Hal tersebut dapat terjadi karena perbedaan pendapat mengenai pembagian tanggung jawab hingga pembagian harta waris. Pembagian waris menurut hukum waris selalu berusaha membagi secara adil. Dan di Indonesia sendiri memiliki tiga jenis hokum yang berlaku, yaitu hukum waris perdata, hukum waris adat, dan hukum waris Ajaran Agama Islam.

Hukum adat merupakan peraturan yang berlaku kepada segenap masyarakat pribumi sejak dahulu. Tidak hanya masyarakat pribumi, tetapi masyarakat Tionghoa pun memiliki kebiasaan adat sendiri yang dibawanya. Tampaknya sampai kapan pun unifikasi hukum waris di Indonesia merupakan suatu upaya yang dapat dipastikan sulit untuk diwujudkan. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya, satu diantaranya adalah bidang hukum waris dianggap sebagai salah satu bidang hukum yang berada diluar bidang-bidang yang bersifat “netral” seperti hukum perseroan, hukum kontrak, dan hukum lalu lintas (darat, air, dan udara).

Misalnya, hasil penelitian Cristian van den Berg pernah mengeluarkan teorinya dengan reception in complex yang menyatakan bahwa hukum agama adalah hukum adat, yaitu tempat hukum adat telah meresepsi hukum Islam.  Sayuti Thalib dengan teori Receptie a Cantrario bahwa

  1. Bagi orang Islam berlaku hukum Islam.
  2. Hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita moral.
  3. Hukum adat berlaku bagi orang Islam jika tidak bertentangan dengan hukum Islam dan agama Islam.

Teori berkenaan dengan hukum dikembangkan oleh Jaenal Arifin, yakni cultural existence theory, yaitu hukum yang hidup (dalam penelitiannya yang dimaksud adalah pengadilan agama) berkembang karena adanya kebutuhan sosial dan budaya.

  1. Perwarisan dalam Sistem Hukum Perdata
  2. Prisip Pewarisan Perdata

Dalam KUHPerdata berkaitan dengan waris telah dijelaskan sedemikian rupa. Menurut ketentuan undang-undang tersebut, yang berhak menerima warisan adalah para keluarga sedarah, baik sah maupun di luar kawin dan suami/istri yang hidup terlama. Keluarga sedarah yang jadi ahli waris ini dibagi dalam empat golongan yang masing-masing merupakan ahli waris golongan pertama, kedua, ketiga, dan keempat. Selain itu, yang berhak mendapatkan harta warisan apabila ditunjuk dalam surat wasiat. Secara testamintair, yaitu ahli waris yang ditunjuk dalam surat wasiat, terdapat dalam Pasal 899 UUHPerdata. Dalam hal ini pemilik kekayaan membuat wasiat untuk para ahli warisnya yang ditunjuk dalam surat wasiat/testamen.

  1. Hukum Waris yang berdasarkan Hukum Islam
  2. Sumber Hukum Waris

Yang dimaksud dengan sumber adalah asal. Jadi sumber hukum di sini tidak lain asal-asal hukum. Dengan demikian, sumber hukum Islam tentang waris ialah asal hukum Islam tentang waris.

Dalam hal ini sumber hukum waris itu Islam itu ialah:

  1. Al-Qur’an
  2. As-Sunnah
  3. Ijma’
  4. Ijtihad
  5. Rukun-Rukun Waris

Rukun-Rukun Waris itu ada tiga, yaitu:

  1. Mawaris, yaitu orang yang mewariskan dan meninggal dunia. Baik meninggal dunia secara hakiki, atau karena keputusan hakim dinyatakan mati berdasarkan beberapa sebab.
  2. Al-Warits, yaitu orang yang mewarisi orang yang bertalian dengan mayit dengan salah satu dari beberapa sebab yang menjadikan ia bisa mewarisi.
  3. Al-Mauruts yakni harta warisan yang ditinggalkan mayit setelah kematiannya.

Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui perbedaan bagian antara ahli waris laki-laki dengan ahli waris perempuan menurut hukum waris Islam dan hukum waris KUHPerdata, mengetahui persamaan serta perbedaan antara asasasas yang digunakan dalam pembagian waris menurut hukum islam dan hukum waris perdata serta memberikan gambaran keadilan dalam pembagian waris yang terjadi menurut Islam dan Waris menurut KUHPerdata Penelitian ini bersifat yuridis normatif. Yuridis karena dalam menelaah permasalahan yang ada dikaji dengan berdasarkan atas materi hukum atau peraturan yang ada kaitannya dengan materi penelitian melalui penelitian kepustakaan untuk memperoleh data sekunder. Normatif karena penelitian ini didasarkan pada penelitian kepustakaan untuk mendapatkan data yang relevan dengan permasalahan penelitian. Hasil penelitian: (1) Pembagian antara hukum waris Islam dan KUHPerdata sangat berbeda, hukum waris Islam tidak memperhatikan segi persamaan porsi tetapi lebih memperhatikan perbedaan hak dan kewajiban antara laki- laki dengan perempuan. Perbedaan porsi warisan yang diterima laki-laki lebih besar dari perempuan (2:1) karena adanya perbedaan kewajiban yang dipikul laki- laki lebih besar daripada perempuan. Hal ini berbeda dengan kewarisan menurut KUHPerdata yang memandang sama hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan, sehingga tidak ada perbedaan porsi warisan yang diterima laki-laki dengan perempuan dalam sistem pewarisan (1:1). (2) Persamaan asas-asas yang pada hukum waris Islam dengan hukum waris KUHPerdata sama-sama berasas individual, berasas bilateral, berasas kematian, berasas perderajatan, serta berasas kemanfaatan. Sedangkan perbedaannya, hukum waris Islam berasas ketauhidan, berasas ijbari, berasas keadilan berimbang, berasas personalitas keislaman, dan berasas tasaluh, sementara dalam hukum waris KUHPerdata berasas persamaan secara absolut, dan berasas peralihan secara otomatis. (3) Hukum waris Islam mempunyai nilai keadilan lebih menyeluruh dengan mempertimbangkan faktorfaktor sosio-kultural yang memang memperlihatkan adanya perbedaan status dan kewajiban antara laki-laki dengan kaum perempuan. Sedangkan hukum waris menurut KUHPerdata memiliki nilai keadilan yang lebih menekankan persamaan secara absolut antara sesama manusia, baik laki-laki maupun perempuan

The purpose of this research is to know the difference between male heirs with female heirs according to Islamic inheritance law and Civil Inheritance Law, knowing similarities and differences between the principles used in the division of inheritance according to Islamic law and Civil Inheritance Law provides picture of justice in the distribution of inheritancethat occur according to Islam and Inheritance by Civil Code. This research is normative. Juridical because in reviewing the existing problems based on material studied by law or regulation in connection with research materials through library research to obtain secondary data. Normative because this research is based on library research to obtain data relevant to the problem of research. Results of research: (1) The divison between the Islamic inheritance law and the Civil Code is very different, the Islamic inheritance law is not concerned about the portion of the equation, but more attention to the difference between rights and obligations of men to women. Differences portion of inheritance received by a larger male than female (2:1) because of differences in assumed liabilities males larger than female. This differs from the inheritance according to the Civil Code which look the same rights and obligations between men and women, so there is no difference in the portion of inheritance received by men with women in inheritance systems (1:1). (2) Equation on the principles of Islamic inheritance law inheritance law the Civil Code with equally principle bearing individua l, bilateral principle, the principle of death, degree principle, and the principle of expediency. While the difference, the Islamic inheritance law has monotheism principle, the principle ijbari, balanced fairness, the principles of Islamic personality and the principle tasaluh, while the Civil Code on inheritance law has the principle of absolute equality, and the principle of switching automatically. (3) Islamic inheritance law have justice more holistic value by considering the factors of socio-cultural which indeed shows the difference in status and obligations between men with women. While inheritance law under the Civil Code has a value of justice which emphasizes the absolute equality between human beings, both men and women.

Kata Kunci : Perbandingan, Hukum Waris Islam, Hukum Waris Perdata, Keadilan