Pengaruh kolonialisme yang dapat kita lihat dalam bidang pendidikan dan hingga saat ini

Pengaruh kolonialisme yang dapat kita lihat dalam bidang pendidikan dan hingga saat ini

Munculnya beberapa surat kabar di Indonesia merupakan salah satu dampak kolonialisme di bidang pendidikan. (unsplash)

adjar.id – Perkembangan kolonialisme di Indonesia berdampak terhadap beberapa bidang, termasuk dampak kolonialisme di bidang pendidikan.

Pada awal abad ke-20, sistem politik kolonial memasuki babak baru dengan dimulainya era politik etis.

Era politik etis ini dipimpim oleh Menteri Jajahan Alexander W.F, Idenburg yang menjadi Gubenur Jenderal Hindia Belanda pada 1909 sampai 1916.

Nah, kali ini kita akan membahas bagaimana dampak dari kolonialisme terhadap bidang pendidikan di Indonesia yang merupakan materi Sejarah kelas 11 SMA.

Baca Juga: Masa Pemerintahan Daendels di Indonesia, Materi Sejarah Kelas 11 SMA

Kolonialisme hadir bukan tanpa tujuan, Adjarian. Kolonialisme memiliki tujuan yaitu untuk menguasai wilayah dan juga membangun masyarakat yang dianggap masih terbelakang.

Politik etis sendiri membawa pengaruh besar terhadap sebuah perubahan kebijakan politik negara Belanda terhadap negara jajahannya.

Ada tiga program politik etis, yaitu berupa edukasi, transmigrasi, dan irigasi yang diterapkan di negara jajahannya.

Yuk, kita simak lebih jauh mengenai bagaiman kolonialisme memberikan dampak terhadap bidang pendidikan di Indonesia berikut ini!

“Politik etis muncul sebagai babak baru dari sistem politik kolonial, yang memiliki tiga program, yaitu irigasi, transmigrasi, dan edukasi.”


Page 2

Pengaruh kolonialisme yang dapat kita lihat dalam bidang pendidikan dan hingga saat ini

Munculnya beberapa surat kabar di Indonesia merupakan salah satu dampak kolonialisme di bidang pendidikan. (unsplash)

Dampak Bidang Pendidikan

Pada era politik etis yang dilakukan pemerintah kolonial membuat munculnya simbol baru yang disebut sebagai kemajuan.

Pada bidang pendidikan, tidak hanya diberikan bagi orang-orang Belanda saja, akan tetapi juga diberikan kepada masyarakat Indonesia meski dengan syarat-syarat tertentu.

Kemajuan yang ada melalui program pendidikan didukung dengan adanya beberapa surat dari R.A Kartini kepada Ny. R.M. Abendanon sebagai sahabatnya di Belanda.

Surat-surat tersebut menjadi aspirasi bagi kaum etis pada saat itu, di mana semangat etis merupakan kemajuan menuju modernitas.

Baca Juga: Perubahan Masyarakat Indonesia pada Masa Penjajahan Bangsa Barat

Perluasan pendidikan gaya Barat menjadi tanda dari resmi terbetuknya politik etis, di mana pendidikan tidak hanya menghasilkan tenaga kerja yang diperlukan negara, tetapi juga swasta.

Nah, berikut ini beberapa dampak yang diterima Indonesia dari adanya politik etis yang diterapkan oleh kolonial, yaitu:

1. Tumbuhnya Sekolah-Sekolah

Hadirnya politik etis yang dilakukan pemerintah kolonial memberikan dampak tumbuhnya sekolah-sekolah di Indonesia.

Sejak tahun 1900, sudah ada 169 Eurepese Lagree Schoool (ELS) di seluruh Hindia Belanda.

“Politik etis menimbulkan kemajuan terutama di bidang pendidikan yang tidak hanya bagi bangsa Belanda, tetapi juga masyarakat Indonesia.”


Page 3

Pengaruh kolonialisme yang dapat kita lihat dalam bidang pendidikan dan hingga saat ini

Munculnya beberapa surat kabar di Indonesia merupakan salah satu dampak kolonialisme di bidang pendidikan. (unsplash)

Nah, dari sekolah ini murid-murid bisa melanjutkan pelajaran ke STOVIA atau School tot Opleiding van Indische Artsen ke Batavia atau Hoogere Burgelijk School (HBS).

Selain itu, juga ada sekolah OSVIA yaitu sekolah yang diperuntukan bagi para calon pegawai, yang di mana saat itu jumlah sekolah ini ada enam sekolah, Adjarian.

Untuk memperluas pendidikan, kemudian dikembangkan sekolah guru yang sebenarnya sudah dibuka di Solo pada 1852 dengan nama Kweekkschool.

Pendidikan di Indonesia semakin berkembang dengan adanya jenjang sekolah dasar seperti adanya Hollands Inlandse School (HIS), kemudian Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO).

Baca Juga: Kehidupan Masyarakat Indonesia Setelah Masa Kemerdekaan Indonesia

Lalu, untuk keberlanjutan jenjang dasar dibentuklah sekolah menengah yang disebut sebagai Algemene Middelbare School (AMS) dan HBS.

Nah, ada juga sekolah untuk masyarakat Indonesia sendiri yang bernama sekolah kelas satu, di mana murid-muridnya berasal dari anak-anak golongan atas.

Tujuan adanya sekolah kelas satu ini agar nanti lulusan sekolah ini bisa menjadi pegawai, sementara itu bagi rakyat umum dibuatlah sekolah kelas dua yang dikenal dengan Sekolah Ongko Loro.

“Jenjang sekolah dibangun pada masa politik etis, mulai dari sekolah dasar, menengah dan sekolah khusus bagi rakyat Indonesia.”


Page 4

Pengaruh kolonialisme yang dapat kita lihat dalam bidang pendidikan dan hingga saat ini

Munculnya beberapa surat kabar di Indonesia merupakan salah satu dampak kolonialisme di bidang pendidikan. (unsplash)

2. Mempercepat Modernisasi

Para pemuda aktivis lebih banyak sekolah di School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) yang pusatnya di Jakarta dan sering disebut sebagai Sekolah Dokter Jawa.

Nah, dari STOVIA ini muncul beberapa tokoh pergerakan bangsa Indonesia, Adjarian.

Meski belum semua masyarakat Indonesia bisa menikmati bangku sekolah, tetapi keberadaan sekolah sudah bisa menumbuhkan kesadaran pendidikan.

Adanya kesadaran mengenai pentingnya pendidikan membuat proses modernisasi bisa lebih cepat dan juga memunculkan beberapa kaum terpelajar yang membawa kesadaran nasionalisme.

Baca Juga: Sejarah Hari Sumpah Pemuda dan Tokoh-Tokoh Bersejarah di Baliknya

3. Munculnya Berbagai Surat Kabar

Adanya kaum-kaum terpelajar membuat di Indonesia bermunculan beberapa surat kabar.

Pewarta Priyayi yang dikelola oleh R.M Tjokroadikoesoemo, De Preanger Bode di Bandung, Deli Courant di Sumatra, Makassarsche di Sulawesi, dan Bromartani di Surakarta merupaka surat kabar yang beredar di Indonesia.

Adanya surat kabar ini membuat munculnya kesadaran mengenai pentingnya persamaan dan kemerdekaan yang menyebar terus di kalangan terpelajar di Indonesia.

Nah, karena adanya informasi yang berkembang, membuat kaum terpelajar bisa berdialog mengenai kemerdekaan hingga memunculkan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.

Adjarian, itu tadi dampak kolonialisme di bidang pendidikan yang berhasil menciptakan sejarah munculnya Sumpah Pemuda.

Yuk, sekarang jawab pertanyaan berikut!

Pertanyaan

Apa saja sekolah-sekolah yang muncul sebagai dampak kolonialisme di bidang pendidikan?

Petunjuk: Cek halaman 2 dan 3.

tirto.id - Pada abad ke-15, negara-negara Eropa mulai mencari wilayah baru untuk melakukan ekspansi perdagangan setelah wilayah perdagangan internasional di kawasan Konstantinopel dikuasai oleh imperium Turki Utsmani.

Turki Utsmani menerapkan peraturan yang ketat pada wilayah kekuasaan mereka, sehingga pedagang dari daratan Eropa pada akhirnya melakukan penjelajahan samudera ke wilayah Timur dunia.

Awalnya Portugis dengan semboyan 3G (Gold, Glory dan Gospel) memprakarsai pencarian wilayah baru tersebut. Lalu disusul oleh negara Eropa seperti Spanyol, Belanda dan Inggris yang turut merambah daerah Timur.

Nusantara (Indonesia) menjadi salah satu wilayah yang merasakan kehadiran para pendatang baru tersebut. Tahun 1510, tanah Maluku menjadi lokasi pendaratan Portugis dipimpin oleh Alfonso d’Albuquerque.

Kemudian Spanyol masuk ke wilayah Maluku juga pada tahun 1521 dan mulai mencari kekayaan alam yang ada di sana.

Tanah Jawa mulai kedatangan bangsa Belanda di daerah Banten tahun 1596, kemudian disusul oleh Inggris yang masuk pada tahun 1811.

Kehadiran berbagai bangsa asing tersebut sudah tentu memberi banyak pengaruh atau dampak bagi kehidupan rakyat nusantara, termasuk untuk bidang budaya dan pendidikan. Ada sisi baik, namun banyak pula sisi buruk yang dirasakan oleh warga pribumi.

Berikut ini dampak kolonialisme dalam bidang budaya dan pendidikan yang dirasakan oleh masyarakat nusantara kala itu, merujuk modul ajar kemdikbud.go.id Sejarah Indonesia kelas XI:

Bidang Budaya

Kolonialisme memberi banyak pengaruh budaya pada rakyat di nusantara. Bangsa Barat yang datang ke wilayah jajahan ini, menganggap kaum pribumi sebagai masyarakat kelas III yang derajatnya lebih rendah dibanding kaum Timur Asing yang disebut masyarakat kelas II, sedangkan Bangsa Barat sebagai masyarakat kelas I.

Akibatnya, pribumi merasa lebih rendah dan cenderung mengagungkan Barat dan budayanya serta orang asing yang datang ke tanah mereka.

Selain itu, pemerintah kolonial juga memberantas budaya feodal dengan tidak memberi keistimewaan kepada para bangsawan dan raja-raja di nusantara.

Penguasa pribumi perlahan ditempatkan sebagai pegawai pemerintah kolonial, menghilangkan status kebangsawanan mereka, serta hak-hak istimewa yang dimiliki oleh mereka diabaikan. Padahal sebelumnya masyarakat sangat meenghormati kaum bangsawannya.

Sebaliknya, masyarakat dituntut untuk mengakui dominasi penjajah, menghormati, taat dan bahkan memberikan semua kekayaan tanahnya untuk penjajah.

Budaya Barat seperti dansa-dansi, pergaulan bebas pria wanita, pesta dan mabuk-mabukan juga kerap dilakukan sehingga menggeser nilai budaya nusantara dan budaya keraton atau kerajaan yang ada saat itu.

Perubahan budaya lain yang terjadi di nusantara adalah masuknya agama Kristen di tanah air yang sebelumnya banyak pemeluk agama Islam, Hindu, Budha, dll.

Era masa pemerintahan Raffles menandai munculnya perkembangan ilmu pengetahuan di nusantara, khususnya Jawa. Ia menulis buku History of Java yang berisi berbagai aspek sosial dan budaya yang terjadi saat itu.

Ada pula menteri pemerintahan Batavia bernama Crawfurd yang menulis buku History of the East Indian Archipelago dalam 3 jilid. Buku tersebut banyak membahas masalah kemanusiaan yang terjadi di tanah jajahan ini.

Lalu pada akhir abad XIX, Van Kol yang menjadi juru bicara sosialis Belanda melihat buruknya kondisi di Hindia Belanda (nusantara) sehingga melontarkan kritikannya pada pemerintah kolonial. Menurut Van Kol, selama 1 abad lebih Belanda telah merebut hasil bumi dan keuntungan lain dari tanah jajahannya ini, namun tidak mengembalikan satu persen pun untuk mensejahterakan masyarakat.

Van Deventer pada tahun 1899 menulis buku berjudul “Hutang Kehormatan" yang berisi anjuran untuk menerapkan politik balas budi (politik etis) kepada Hindia Belanda. Menurutnya, sudah waktunya Belanda membalas budi pada rakyat di bidang pendidikan, irigasi, serta imigrasi/transmigrasi.

Bidang Pendidikan

Seiring berlakunya politik etis pada awal abad 20, masa pemerintahan kolonial di nusantara memasuki babak baru. Irigasi, pendidikan dan transmigrasi mulai berlangsung di bawah pimpinan Menteri Jajahan Alexander W.F. Idenburg yang kemudian menjabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1909-1916).

Pada masa tersebut, perlahan terjadi perubahan di nusantara. Pembangunan jalan mulai dilakukan, demikian pula jalur kereta api Jawa dan Madura. Namun rakyat kecil masih harus menerima banyak ketidakadilan dengan menjadi pekerja namun tanpa bayaran atau hanya sedikit sekali upahnya.

Batavia (Jakarta) paling banyak menikmati kemajuan tersebut, diantaranya dengan kehadiran trem listrik. Irigasi yang mulai dibangun juga membuat kondisi pertanian meningkat.

Pendidikan pun mulai diperkenalkan melalui berdirinya sekolah-sekolah, dengan persyaratan tertentu bagi pribumi yang ingin belajar. Hanya bangsawan dan pejabat pribumi saja yang menikmati pendidikan.

Ini juga yang memulai RA Kartini membuat sekolah khusus wanita, karena rasa prihatin pada diskriminasi pendidikan. Surat suratnya pada Ny. R.M. Abendanon di Belanda menjelaskan hal tersebut.

Tahun 1900 tercatat ada 169 Eurepese Lagree School (ELS) di seluruh Hindia Belanda. Selanjutnya dapat meneruskan jenjang lebih tinggi ke STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) ke Batavia atau Hoogeree Burgelijk School (HBS).

Terdapat pula sekolah OSVIA (sekolah calon pegawai) yang berjumlah enam buah. Ditambah sekolah guru atau Kweekkschool yang sudah dibuka pada tahun 1852 di Solo.

Jenjang pendidikan pun mulai dibentuk dengan didirikannya pendidikan dasar seperti Hollands Inlandse School (HIS) kemudian Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO).

Dilanjut dengan sekolah menengah disebut Algemene Middelbare School (AMS), lalu sekolah Hogere Burger School (HBS).

Khusus untuk kaum pribumi disediakan “Sekolah Kelas Satu" yang murid-muridnya berasal dari anak-anak golongan atas yang nanti akan menjadi pegawai, dan kemudian rakyat pada umumnya disediakan “Sekolah Kelas Dua" yang di Jawa dikenal dengan “Sekolah Ongko Loro".

Baca juga:

  • Perjalanan Ferdinand Brockhall, Belanda Kelahiran Jawa Era Kolonial
  • Melawan Pengaruh Kolonialisme Terhadap Standar Kecantikan

Baca juga artikel terkait KOLONIAL atau tulisan menarik lainnya Cicik Novita
(tirto.id - cck/dip)


Penulis: Cicik Novita
Editor: Dipna Videlia Putsanra
Kontributor: Cicik Novita

Subscribe for updates Unsubscribe from updates