Pemimpin upacara pembakaran mayat disebut

Pemimpin upacara pembakaran mayat disebut

Upacara pembakaran jenazah di Bali disebut?

  1. Ngaben
  2. Ngobam
  3. Mara lekat
  4. Moro aman
  5. Semua jawaban benar

Jawaban: A. Ngaben

Dilansir dari Encyclopedia Britannica, upacara pembakaran jenazah di bali disebut ngaben.

Kemudian, saya sangat menyarankan anda untuk membaca pertanyaan selanjutnya yaitu Suku bangsa yang berada di sumatera selatan adalah? beserta jawaban penjelasan dan pembahasan lengkap.

Lokasi upacara Ngaben Massal Arak arakan menuju lokasi Ngaben Massal Pemimpin ritual upacara Ngaben Massal Foto jenazah yang akan diupacarakan Persembahan untuk jenazah

GAMELAN mulai ditabuh. Beramai-ramai menara pengusung jenazah diangkat. Arak-arakan berjalan riuh dan orang-orang berjejalan ingin menonton. Mereka hendak turut mengantarkan seorang yang baru meninggal ke tempat pembakaran jenazah. Dilebur dengan api menjadi abu, ngaben.

Upacara sakral sekaligus semarak ini sudah identik dengan Bali. Ritual wajib bagi orang Hindu Bali jika keluarga meninggal sekaligus menjadi daya tarik wisata pulau dewata. Orang Bali percaya, ngaben dapat menyucikan roh anggota keluarga yang sudah meninggal dunia menuju ke tempat peristirahatan terakhir.

Menurut I Nyoman Singgin Wikarman dalam Ngaben (Upacara dari Tingkat Sederhana sampai Utama), kata “ngaben” berasal dari kata “beya” yang artinya bekal. Ngaben disebut juga palebon yang berasal dari kata “lebu” yang berarti prathiwi atau tanah (debu). Untuk membuat tubuh manusia meninggal dunia menjadi tanah, salah satunya dengan dibakar.

Dalam ajaran Hindu, selain dipercaya sebagai dewa pencipta, Dewa Brahma memiliki wujud sebagai Dewa Api. Jadi upacara ngaben adalah proses penyucian roh dengan cara dibakar menggunakan api agar bisa kembali ke Sang Pencipta. Api yang membakar dipercaya sebagai penjelmaan Dewa Brahma. Api akan membakar semua kekotoran yang melekat pada jasad dan roh orang yang telah meninggal dunia.

Orang Hindu Upacara sakral percaya bahwa manusia terdiri dari tiga lapisan yakni raga sarira, suksma sarira, dan antahkarana sarira. Raga sarira adalah badan kasar atau tubuh fisik manusia. Suksma sarira adalah badan astral berupa pikiran, perasaaan, keinginan, dan nafsu. Sedangkan antahkarana sarira adalah yang menyebabkan hidup atau Sanghyang Atma.

Ketika manusia meninggal, badan tidak dapat difungsikan lagi. Sementara atma (jiwa/roh) yang sudah terlalu lama dalam tubuh dan dikungkung suksma sarira harus segera meninggalkan badan. Karena jika terlalu lama, atma akan menderita.

Manusia yang telah meninggal dunia perlu diupacarakan untuk mempercepat proses kembalinya badan kasar ke sumbernya di alam, yakni panca mahabhuta: pertiwi (tanah), apah (air), teja (api), bayu (udara), dan akasa (ruang).

“Proses inilah yang disebut Ngaben,” tulis I Nyoman Singgin Wikarman.

Jika ngaben ditunda terlalu lama, rohnya akan gentayangan dan menjadi bhuta cuwil. Demikian pula bila yang orang meninggal dunia dikubur di tanah tanpa upacara yang patut. Hal itu disebabkan karena roh-roh tersebut belum melepaskan keterikatannya dengan alam manusia. Maka, perlu diadakan upacara ngaben bhuta cuwil.

Menurut Leo Howe dalam The Changing World of Bali, Religion, Society and Tourism, ngaben termasuk upacara mahal. Mereka yang memiliki cukup dana harus segera melaksanakannya. Jika yang meninggal dunia seorang pendeta, maka harus segera dingaben dan tidak boleh menyentuh tanah.

Dalam upacara ngaben, seluruh penghuni banjar (setingkat rukun warga) harus membantu dalam persiapan. Banyak persembahan yang disiapkan dan berbagai keperluan arak-arakan yang dibuat.

Dua hal penting yang harus dibuat adalah badé dan patulangan. Badé ialah menara mirip pagoda dengan jumlah ganjil untuk mengusung jenazah. Patulangan merupakan sarkofagus dengan bentuk hewan atau makhluk mitologi tempat jenazah nantinya dikremasi. Badé dan patulangan memiliki ukuran dan bentuk beragam yang menunjukan status sosial almarhum. Bahkan sejak tahun 2000-an muncul fenomena badé beroda. Yakni badé yang dipasangi roda agar bisa didorong. Badé beroda memungkinkan prosesi ngaben menjadi lebih sederhana tanpa perlu banyak tenaga dan kelengkapan lain yang menelan banyak biaya.

Upacara ngaben akan dimulai dengan arak-arakan. Masing-masing keluarga membawa foto mendiang atau jasad yang akan diaben. Bunyi gamelan Bali ikut mengiringi rombongan sampai ke lokasi ngaben. Setelah jasad diaben atau dibakar, sisa abu dari pembakaran dimasukkan ke dalam buah kelapa gading untuk dilarung ke laut atau sungai yang dianggap suci.

“Kremasi diikuti oleh ritus lebih lanjut dengan interval yang kadang-kadang berlangsung bertahun-tahun ke depan. Semua dirancang untuk memastikan jenazah duduk di tempat peristirahatan terakhir dengan leluhur, di mana ia akan bereinkarnasi,” jelas Howe.

Bagi mereka yang belum memiliki biaya, jenazah biasanya dikuburkan terlebih dahulu. Ngaben bisa dilakukan bertahun-tahun kemudian setelah keluarga almarhum memiliki cukup dana.

“Jika almarhum telah dikuburkan untuk sementara waktu, jenazahnya dibongkar, meskipun dalam upacara yang paling sederhana hanya sebagian tanah dari kuburan yang dikumpulkan,” tulis Howe.

Upacara ngaben massal atau kolektif juga bisa diadakan. Pihak keluarga dapat melaksanakan ritual dengan membayar sejumlah uang atau bahkan gratis jika memang benar-benar tidak mampu. Meski demikian, ngaben massal tetap dilakukan tanpa menghilangkan esensi dari tradisi ngaben itu sendiri.

Ngaben di Bali ternyata bukan hanya dilakukan dengan membakar jenazah. Ada juga upacara mengubur jenazah yang dikenal dengan istilah ngaben beya tanem. Tradisi ini dilakukan turun-temurun oleh masyarakat Bali yang tinggal di daerah pegunungan. Upacara ini tak lepas dari unsur-unsur upacara pada zaman prasejarah hingga masa Bali Kuno sebelum masuknya pengaruh agama Hindu dari Majapahit.

Made Dharmawan dalam Studi Komparasi Ngaben Beya Tanem dengan Ngaben Bakar: Kajian Tradisi dan Sastra menyebut masyarakat percaya bahwa pura kahyangan jagat atau gunung adalah suci sehingga tak boleh ada asap hasil pembakaran jenazah melewati gunung atau pura tersebut. Ada pula yang mengatakan ngaben beya tanem sebagai bentuk penolakan terhadap pengaruh ajaran Majapahit.

Sama seperti “ngaben bakar”, prosesi ngaben beya tanem juga menggunakan api berupa dupa. Api ini berperan sebagai saksi bahwa telah dilaksanakan proses peleburan atau pengembalian unsur panca mahabhuta ke asalnya. Jadi, ngaben beya tanem juga punya tujuan yang sama dengan ngaben bakar.*

Ngaben – Pembakaran Jenazah di Bali, Ngaben adalah upacara pembakaran mayat, khususnya oleh mereka yang beragama Hindu. Agama Hindu merupakan agama mayoritas di Pulau Bali. Di dalam “Panca Yadnya”, upacara ini termasuk dalam “Pitra Yadnya”, yaitu upacara yang ditujukan untuk roh lelulur.

Makna upacara Ngaben pada intinya adalah, untuk mengembalikan roh leluhur (orang yang sudah meninggal) ke tempat asalnya. Seorang Pedanda mengatakan manusia memiliki Bayu, Sabda, dan Idep. Setelah meninggal Bayu, Sabda, dan Idep itu dikembalikan ke Brahma, Wisnu, dan Siwa.

Ngaben – Pembakaran Jenazah di Bali, Upacara Ngaben biasanya dilaksanakan oleh keluarga sanak saudara dari orang yang meninggal, sebagai wujud rasa hormat seorang anak terhadap orang tuanya. Upacara ini biasanya dilakukan dengan semarak, tidak ada isak tangis, karena di Bali ada suatu keyakinan bahwa, kita tidak boleh menangisi orang yang telah meninggal karena itu dapat menghambat perjalanan sang arwah menuju tempatnya.

Hari pelaksanaan Ngaben ditentukan dengan mencari hari baik yang biasanya ditentukan oleh Pedanda. Beberapa hari sebelum upacara Ngaben dilaksanakan keluarga dibantu oleh masyarakat akan membuat “Bade dan Lembu” yang sangat megah terbuat dari kayu, kertas warna warni dan bahan lainnya. “Bade dan Lembu” ini adalah, tempat meletakkan mayat.

Kemudian “Bade” diusung beramai-ramai ke tempat upacara Ngaben, diiringi dengan “gamelan”, dan diikuti seluruh keluarga dan masyarakat. Di depan “Bade” terdapat kain putih panjang yang bermakna sebagai pembuka jalan sang arwah menuju tempat asalnya. Di setiap pertigaan atau perempatan, dan “Bade” akan diputar sebanyak 3 kali. Upacara Ngaben diawali dengan upacara-upacara dan doa mantra dari Ida Pedanda, kemudian “Lembu” dibakar sampai menjadi abu yang kemudian dibuang ke laut atau sungai yang dianggap suci.

Suku Dayak

Pemimpin upacara pembakaran mayat disebut
Suku Dayak

Sejak abad ke 17, Suku Dayak di Kalimantan mengenal tradisi penandaan tubuh melalui tindik di daun telinga. Tak sembarangan orang bisa menindik diri hanya pemimpin suku atau panglima perang yang mengenakan tindik di kuping, sedangkan kaum wanita Dayak menggunakan anting-anting pemberat untuk memperbesar kuping/daun telinga, menurut kepercayaan mereka, semakin besar pelebaran lubang daun telinga semakin cantik, dan semakin tinggi status sosialnya di masyarakat.

Kegiatan-kegiatan adat budaya ini selalu dikaitkan dengan kejadian penting dalam kehidupan seseorang atau masyarakat. Berbagai kegiatan adat budaya ini juga mengambil bentuk kegiatan-kegiatan seni yang berkaitan dengan proses inisiasi perorangan seperti kelahiran, perkawinan dan kematian ataupun acara-acara ritus serupa selalu ada unsur musik, tari, sastra, dan seni rupa. Kegiatan-kegiatan adat budaya ini disebut Pesta Budaya. Manifestasi dari aktivitas kehidupan budaya masyarakat merupakan miniatur yang mencerminkan kehidupan sosial yang luhur, gambaran wajah apresiasi keseniannya, gambaran identitas budaya setempat.

Baca juga Peraturan Daerah Kabupaten atau Kota

Kegiatan adat budaya ini dilakukan secara turun temurun dari zaman nenek moyang dan masih terus berlangsung sampai saat ini, sehingga seni menjadi perekam dan penyambung sejarah.

Jadi, dapat disimpulkan yang disebut dengan kebudayaan adalah pikiran, karya, teknologi dan rangkaian tindakan suatu kelompok masyarakat.