Pakaian adat pria yang berasal dari kalimantan barat disebut dengan

Setiap daerah di Indonesia akan didiami oleh suku asli yang membuat setiap daerah selalu memiliki keunikan dan kekayaan tersendiri. Kalimantan Barat sendiri ditinggali dua suku besar yakni Suku Melayu dan Suku Dayak.

Dari kedua suku yang hidup berdampingan di Kalimantan Barat ini, tentunya bisa melihat jika kebudayaannya tercermin di rumah adat hingga pakaian adatnya. Berikut 5 pakaian adat dari Kalimantan Barat yang wajib diketahui.

1. King Baba

Image Credit: Kalinnacheff.com

King Baba merupakan nama pakaian adat yang dikenakan oleh laki laki dari suku Dayak. Pakaian ini jika dari segi bentuknya akan mirip dengan milik perempuan, hanya saja lebih sederhana dari segi bentuknya. Yang membuatnya semakin unik, bahan yang digunakan untuk membuat pakaian ini dari kulit kayu yang telah dipipihkan dengan nama King Baba. Tanaman yang digunakan untuk diambil kulitnya adalah jenis kayu kapuo atau tanaman ampuro.

Tanaman ini merupakan tumbuhan endemik khas Kalimantan yang memiliki kandungan serat yang tinggi. Untuk nama King Baba sendiri diambil dari bahasa Dayak, dimana king berarti pakaian dan Baba merupakan laki laki. Dalam proses pembuatannya kulit kayu akan dipukul pukul dengan menggunakan palu di dalam air hingga hanya tersisa seratanya. Apabila kulit kayu tersebut sudah lentur maka tinggal dijemur dan juga di lukis dengan etnik khas Dayak.

Pewarna yang digunakan juga merupakan pewarna alami dari alam. Tidak hanya untuk membuat bajunya saja, aksesoris seperti ikat kepala juga menggunakan bahan yang sama. Yang membedakannya pada ikat kepala dihias dengan menggunakan bulu burung Enggan Gading yang memberi kesan gagah pada pemakainya. Pada bagian dihiasi manik manik dan dibuat tanpa lengan. Jangan lupakan mandau sebagai senjata tradisional yang turut disematkan.

2. King Bibinge

Image Credit: Romadecade.org

Jika King Baba adalah pakaian untuk laki laki, maka king Bibinge untuk perempuan. Cara pembuatan hingga bahan yang digunakan pada pakaian ini juga sama dengan yang digunakan pada busana laki laki. Yang membedakan, pakaian ini dibuat lebih sopan dan tertutup. Ada perlengkapan yang digunakan untuk menutup bagian dada dengan kain bawahan dan juga stagen. Hiasannya juga menggunajan bulu burung enggang dan juga manik manik.

Sama dengan pakaian pria yang juga tidak memiliki lengan, King Bibinge juga tidak ada lengan namun tertutup. Terdapat juga lukisan khas Dayak yang dipadukan dengan manik manik dari bikian kering dan juga kayu. Membuatnya makin indah dan unik karena menggunakan bahan bahan alami yang ada di sekitar mereka. Pada pakaian adat perempuan Dayak ini, akan mengenakan juga aksesoris berupa kalung dan juga gelang.

Gelang yang dikenakan dibuat dari akar pohon yang dipintal dan dibentuk dengan unik. Untuk kalungnya berasal dari tulang hewan dan juga akar pohon. Kalung ini tidak hanya berfungsi sebagai hiasan namun juga sebagai jimat atau tolak balak. Pada bagian kepalanya menggunakan ikat kepala yang khas suku Dayak yakni berbentuk segitiga. Baju ini meskipun terbuat dari bahan alami tetap terlihat estetik dan juga cantik disaat yang bersamaan.

3. Buang Kuureng

Image Credit: Artisanalbistro.com

Pakaian adat Kalimantan Barat satu ini merupakan pakaian adat yang berasal dari suku Melayu. Buang Kuureng merupakan nama lain dari baju kurung yang juga di pakai oleh suku Melayu di Malaysia, provinsi lain di Indonesia dan juga Brunei. Namun untuk Buang Kuureng ini tetap memiliki ciri khas yang membedakan dengan yang lain dari segi corak, desain dan bahannya. Buang Kuureng sendiri terdapat dua macam yang semuanya dikenakan oleh perempuan.

Buang Kuureng ada yang berlengan panjang dan ada yang berlengan pendek. Dimana yang berlengan pendek dikenal dengan Kuurung Sapek tangan dan yang panjang Kuurng Langke Tangan. Perpaduan antara budaya Melayu dan juga ada sentuhan Dayaknya membuat corak dari baju ini begitu unik. Membuat baju ini terlihat lebih cantik dan juga unik yang keberadaannya perlu dijaga kelestariannya. Mengingat terkadang baju adat hanya digunakan saat acara tertentu saja.

BACA JUGA:  44 Tempat Wisata di Pulau Kalimantan Borneo yang Paling Terkenal

4. Teluk Belanga

Image Credit: Artisanalbistro.com

Selain baju Kurung, suku Melayu juga memiliki pakaian adat yang dibedakan antara laki laki dan juga perempuan. Telok Belanga merupakan pakaian Melayu yang khusus dikenakan oleh laki laki. Biasanya pakaian ini dikenakan untuk acara acara resmi seperti pesta pernikahan maupun upacara adat. Pakaian satu ini terdiri dari pakaian dalam terbuat dari bahan satin yang umumnya memiliki warna kuning emas. Dimana warna tersebut identik dengan kerajayaan Melayu.

Memang bagi suku Melayu, warna yang dikenakan memiliki makna sendiri. Dan kuning emas menjadi warna yang paling banyak digunakan oleh suku Melayu. Baju dalaman ini akan dipadukan dengan celana panjang dan juga kain maupun sarung dengan corang ingsang. Kain ini nantinya akan dililitkan pada bagian pinggang sampai dengan lutut. Sebagai pelengkap maka dikenakan songkok yang warnanya hitam.

Dari baju adat ini tentunya bisa dilihat dengan jelas perbedaannya. Jika suku Melayu tepatnya Melayu Sambas menggunakan kain sebagai bahan pakaiannya. Berbeda dengan suku Dayak yang masih memanfaatkan bahan alami seperti kulit pohon dan juga dedaunan. Pakaian dari suku Melayu juga terbolang lebih tertutup dengan desain yang khas. Membuat Kalimantan Barat begitu kaya dengan hadirnya kedua suku yang berdampingan ini.

5. King Kabo

Image Credit: Artisanalbistro.com

Pakaian adat satu ini datang dari suku Dayak yang bisa dikatakan sudah mengalami modifikasi atau pengembangan. Membuat King Kabo begitu unik namun tidak meninggalkan ciri khas yang asli. Pengembangan ini tentunya terjadi karena kreasi dari zaman sekarang dan juga mengikuti perkembangan zaman yang ada. Sehingga jika dikenakan saat ini tidak terkesan ketinggalan zaman tanpa harus menghilangkan unsur unsur khasnya.

King Kabo sendiri merupakan modifikasi dari pakaian King Baba yang digunakan oleh pria Dayak. Jika pada King Baba menggunakan kulit pohon, maka pada King Kabo dipadukan dengan jenis kain yang bernama Kain Sungkit. Kain Sungkit sendiri merupakan kain khas milik negara tetangga yakni Brunei Darussallam. Membuat pakaian satu ini menjadi begitu memukau dan cantik dengan ide modifikasi ini.

BACA JUGA:  5 Pakaian Adat Khas Kalimantan Timur

Yang membuatnya semakin menarik, King Kabo masih memperlihatkan suku Dayak terutama dari bentuk pakaiannya. Jangan lupakan penambahan aksen Dayak yang begitu khas yaitu ukiran pada baju tradisional ini. Masih menggunakan hiasan yang sama terutama pada bagian kepalanya. King Kabo juga dilengkapi dengan Mandau yang menjadi senjata tradisional khas Kalimantan.

Perpaduan antara dua suku yang berbeda membuat provinsi Kalimantan Barat begitu kaya. Baik dari kebudayaan hingga pakaian adatnya yang begitu unik dan juga cantik. Masing masingnya memiliki ciri khas yang selalu disematkan pada pakaiannya. Penggunaan bahan, desain hingga nama dan hiasannya memiliki keunikan tersendiri. Kekayaan yang dimiliki ini tentunya harus tetap dijaga agar tetap lestari dan bisa dijadikan sebagai warisan budaya nantinya.

Koropak.co.id, 29 August 2022 15:13:33

Eris Kuswara

Koropak.co.id, Sumsel - Sungai Musi dan Pempek sudah sangat melekat dengan Palembang. Keduanya tak bisa dipisahkan dengan ibu kotanya Sumatera Selatan itu. Namun, masih ada hal lain yang tak kalah penting untuk diketahui, yaitu bidar atau biduk lancar.

Bidar merupakan sarana transportasi air yang digunakan untuk patroli di perairan Sungai Musi serta Daerah Aliran Sungai di Palembang. Dulu, biasanya perahu itu wara-wiri pada masa Kesultanan Palembang Darussalam. Kini, bidar kerap ditampilkan dalam perayaan Hari Jadi Kota Palembang yang diperingati setiap 17 Juni. Pemerintah setempat mengadakan lomba perahu bidar di pelataran Benteng Kuto Besak.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bidar memiliki arti perahu perang. Jika dilihat dari bentuknya, bidar merupakan perahu pencalang yang panjang dan tidak memiliki tutup. Dalam Bahasa Melayu, pencalang memiliki arti melaju cepat atau cepat pergi. 

Sejumlah sejarawan memperkirakan, perahu pencalang digunakan oleh para prajurit di masa Kedatuan Sriwijaya atau Kerajaan Palembang untuk kepentingan perang, setelah turun dari kapal utamanya.

Perahu bidar dibuat dengan menggunakan kayu yang umumnya berasal dari pohon rengas. Setidaknya ada 3 jenis perahu bidar yang dikenal oleh masyarakat, di antaranya Bidar Kecik atau mini dengan jumlah pendayungnya 5 sampai 11 orang.

Ada juga Bidak Pecalangan dengan jumlah pendayung sekitar 35 orang, serta Bidar Besak atau besar yang bisa mengangkut hingga 58 pendayung. Perahu Bidar Besak biasanya memiliki panjang sekitar 26 meter, dengan lebar 1,37 sentimeter, dan tinggi 70 sentimeter.

Pada zaman dulu, perahu yang memiliki laju cepat diperlukan untuk menjaga keamanan wilayah. Tak heran, Kesultanan Palembang membentuk patroli sungai dengan menggunakan perahu. Saat itu, perahu berpatroli disebut dengan perahu pancalang yang berasal dari kata pancal dan lang atau ilang. 

Kata pancal sendiri berarti lepas atau landas dan kata lang atau ilang berarti menghilang. Singkatnya, pancalang ini berarti sebuah perahu yang cepat menghilang. Perahu itu biasanya dikayuh oleh 8 sampai 30 orang dan bermuatan sampai 50 orang. 


Baca: Sigajang Laleng Lipa; Tarung dalam Sarung, Pantang Badik Diselip Pinggang

Panjangnya sekitar 10 hingga 20 meter dengan lebar 1,5 s.d. 3 meter. Dikarenakan dapat memuat banyak orang, pancalang juga digunakan sebagai angkutan transportasi sungai. Bahkan, raja-raja dan pangeran juga kerap sekali menggunakan pancalang untuk pelesiran. Selain sebagai perahu penumpang, pancalang juga dijadikan sarana untuk berdagang di sungai. 

Berdasarkan cerita rakyat, lomba Perahu Bidar awalnya dilakukan oleh dua orang pangeran Palembang dengan seorang pemuda dari Uluan. Diketahui, pertandingan bidar kala itu dipicu adanya perebutan seorang gadis bernama Dayang Merindu.

Nahas, di akhir pertandingan, kedua pemuda itu jutsru tewas akibat mengalami kelelahan. Sedangkan sang puteri Dayang Merindu yang diperebutkan kedua pemuda itu dikisahkan bunuh diri, karena tak sanggup menahan kesedihan.

Merujuk pada dokumen sejarah, lomba perahu bidar awalnya diselenggarakan sekitar 1898-an atau pada saat perayaan ulang tahun Ratu Belanda, Wilhelmina. Konon, dahulu para peserta lomba bidar menganggap bahwa Prasasti Kedukan Bukit sebagai batu bertulis yang keramat. 

Oleh karena itu, sebelum perlombaan dimulai, para peserta selalu mengunjungi prasasti Kedukan Bukit tersebut. Mereka meyakini akan bisa mendapatkan kekuatan gaib setelah mengunjungi prasasti yang ditemukan di tepian sungai Kedukan Bukit, sehingga nantinya mereka juga dapat memenangkan perlombaan. 

Pada Pemerintahan Indonesia, lomba perahu bidar dulunya dikenal dengan sebutan kenceran, dan menjadi tradisi untuk memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia. Sayangnya, lomba perahu bidar ini semakin lama semakin sepi. Itu lantaran para peserta lombanya bukan lagi dari masyarakat, akan tetapi atas nama perusahaan besar yang ada di Kota Palembang.

Selain itu, kurangnya perhatian dan pembinaan dari pemerintah setempat juga menjadi penyebab lain semakin melemahnya kualitas dari perlombaan Bidar. Terlebih lagi perawatan bidar membutuhkan dana besar, bisa sampai ratusan juta rupiah. 

Silakan tonton berbagai video menarik di sini: