Halaman ke 1 dari 4 1.
Jakarta - Sejarah Indonesia mencatat pemakzulan seorang kepala negara pasca reformasi pernah terjadi di Era Abdurahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur. Dalam beberapa hari terakhir isu soal impeachment kembali mengemuka seiring dengan dikuasainya parlemen oleh kubu oposisi. Namun langkah untuk memakzulkan presiden pada masa sekarang ini, jauh lebih sulit untuk dilakukan.Gus Dur dimakzulkan pada Juli 2001, dua tahun setelah dia memerintah. Itu merupakan puncak dari rentetan ketegangan antara eksekutif dan legislatif. Gus Dur sempat mengumumkan pemberlakuan dekrit yang berisi pembubaran MPR/DPR, mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan membekukan Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Dekrit tersebut ditolak dan malah ujung-ujungnya Gus Dur dimakzulkan.
Halaman Selanjutnya
Abdurrahman Wahid, yang dikenal sebagai Gus Dur, dimakzulkan dan diberhentikan dari jabatan presiden pada 23 Juli 2001, setelah ia mengeluarkan maklumat untuk membubarkan legislatif Indonesia dan membekukan Partai Golongan Karya (Partai Golkar).
Menanggapi tindakan Wahid, Megawati Soekarnoputri dan Majelis Permusyawaratan Rakyat sepakat untuk mencopot Wahid dari jabatannya dan memilih Megawati sebagai Presiden yang baru. Sidang Istimewa 2001 digelar dengan agenda pemberhentian Abdurrahman Wahid setelah berbagai konflik dengan parlemen.[1][2] Tindakan ini didahului dengan dikeluarkannya memorandum pertama pada 1 Februari 2001. Kemudian disusul memorandum kedua pada 30 April 2001, disertai permintaan DPR kepada MPR agar diadakan sidang istimewa.[3] Upaya ini ditanggapi oleh Abdurrahman Wahid dengan mengeluarkan ketetapan yang menyatakan pembubaran MPR/DPR, penyelenggaraan pemilu dalam setahun, dan penangguhan Partai Golkar. Namun pada akhirnya ia tidak mendapatkan dukungan apapun dan MPR menyetujui pemberhentian Abdurrahman Wahid sebagai Presiden dan kemudian digantikan oleh Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri melalui Sidang Istimewa pada 23 Juli 2001. [a][4] Pada tanggal 23 Juli 2001 pukul 15.00 Waktu Indonesia Barat, MPR menggelar rapat paripurna untuk pemungutan suara pemakzulan Wahid, ada fraksi dari F-KB dan F-PDKB yang hadir dalam rapat tersebut. Hasil pemungutan suara adalah 591 suara mendukung pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid serta mengangkat Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden pengganti.[5] Pada tanggal 23 Juli 2001, sebagai tanggapan atas Ketetapan Gus Dur, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengadakan sidang khusus untuk memakzulkan Wahid dan kemudian mengangkat Megawati sebagai presiden baru.[6] Megawati adalah wanita pertama yang terpilih sebagai Presiden Indonesia. Sidang Istimewa MPR juga menjadwalkan pemilihan Wakil Presiden yang lowong akibat kenaikan Megawati menjadi Presiden. Ada lima calon, yaitu Agum Gumelar yang diusulkan oleh F-PDU, Susilo Bambang Yudhoyono yang diusulkan oleh F-KKI dan 80 anggota MPR, Akbar Tandjung oleh F-PG, Hamzah Haz yang diusulkan oleh F-PPP dan Fraksi Reformasi, dan Siswono Yudo Husodo, diusulkan oleh 79 Anggota MPR. Pemilihan tersebut berlangsung pada sidang paripurna ke-5 MPR pada Rabu, 25 Juli 2003.[7] Hamzah Haz terpilih sebagai wakil presiden setelah meraih 340 suara dari total 610 suara. Sedangkan Akbar Tandjung memperoleh 237 suara, hanya menyisakan 29 suara abstain.[8][9]
Pada hari Minggu, 22 Agustus 2021, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia, Mahfud MD, membuat pernyataan tentang pemakzulan Abdurrahman Wahid. Dalam pernyataan Mahfud, yang dia sampaikan di saluran YouTube NU, menyatakan bahwa pemakzulan Wahid adalah inkonstitusional dan tindakan yang melanggar hukum.[10] Mahfud MD mengatakan bahwa pemakzulan Gus Dur pada tahun 2001 tidak sesuai dengan Ketetapan MPR No. III Tahun 1978 tentang Kedudukan dan Hubungan-Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Lembaga-Lembaga Tinggi Negara.[11][12] Mahfud juga mengungkapkan bahwa pemakzulan Gus Dur oleh Sidang Istimewa MPR memiliki kasus yang berbeda antara memorandum I, II, dan III.[13]
|