Muatan materi yang terdapat dalam undang-undang adalah

Jakarta -

Peraturan Perundang Undangan dijelaskan dalam UU No 12 Tahun 2011 dan pembaruan UU No 15 Tahun 2019. Dalam UU tersebut, peraturan perundang undangan diartikan sebagai peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.

Fungsi Peraturan Perundang Undangan

Dalam buku Pengantar Ilmu Perundang-undangan oleh Ismail Hasani dan A. Gani Abdullah, Robert Baldwin dan Martin Cave mengemukakan fungsi Peraturan Perundang Undangan antara lain:

  1. Mencegah monopoli atau ketimpangan kepemilikan sumber daya
  2. Mengurangi dampak negatif dari suatu aktivitas dan komunitas atau lingkungannya
  3. Membuka informasi bagi publik dan mendorong kesetaraan antar kelompok (mendorong perubahan institusi, atau affirmative action kepada kelompok marginal)
  4. Mencegah kelangkaan sumber daya publik dari eksploitasi jangka pendek
  5. Menjamin pemerataan kesempatan dan sumber daya serta keadilan sosial
  6. Perluasan akses dan redistribusi sumber daya
  7. Memperlancar koordinasi dan perencanaan dalam sektor ekonomi

Asas dan Materi Muatan Pembentukan Peraturan Perundang Undangan

Pada pasal 5 UU No 12 tahun 2011 dijelaskan terkait asas pembentukan Peraturan Perundang Undangan. Asas-asas tersebut meliputi:

  • kejelasan tujuan
  • kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat
  • kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan
  • dapat dilaksanakan
  • kedayagunaan dan kehasilgunaan
  • kejelasan rumusan
  • keterbukaan

Adapun materi muatan Peraturan Perundang Undangan harus mencerminkan asas pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum dan atau keseimbangan, keserasian dan keselarasan.

Jenis, Hierarki dan Materi Muatan Peraturan Perundang Undangan

Dalam Pasal 7 UU No 12 Tahun 2011, berikut jenis dan hierarki Peraturan Perundang Undangan yang terdiri dari:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
  3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  4. Peraturan Pemerintah;
  5. Peraturan Presiden;
  6. Peraturan Daerah:a. Peraturan Daerah Provinsi

    b. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Selain di atas, jenis Peraturan Perundang Undangan juga mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

Tahapan Pembentukan Peraturan Perundang Undangan

  1. Tahap perencanaan
  2. Tahap penyusunan
  3. Tahap pembahasan
  4. Tahap pengesahan dan penetapan
  5. Tahap pengundangan

Pengundangan Peraturan Perundang Undangan

Peraturan Perundang Undangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam:

  1. Lembaran Negara Republik Indonesia;
  2. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia;
  3. Berita Negara Republik Indonesia;
  4. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia;
  5. Lembaran Daerah;
  6. Tambahan Lembaran Daerah; atau
  7. Berita Daerah

Kini Peraturan Perundang Undangan sudah dijelaskan. Dikenal juga istilah hukum yang tidak bisa dilepaskan dari undang-undang. Simak informasinya di halaman berikut ini.

(izt/imk)

Apakah Materi Muatan Perppu Sama dengan UU?

Menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (“Perppu”) adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.

Secara konstitusional, Perppu diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menyatakan:

Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang

Terkait dengan materi muatan Perppu diatur pada Pasal 11 UU 12/2011 yang menyebutkan bahwa materi muatan Perppu sama dengan materi muatan undang-undang (“UU”). Lalu perihal pengaturan materi muatan tersebut (UU dan Perppu) diatur lebih rinci dalam Pasal 10 UU 12/2011 yaitu :

Materi muatan yang harus diatur dengan Undang- Undang berisi:

  1. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  2. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;

  3. pengesahan perjanjian internasional tertentu;

  4. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau

  5. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Kemudian, Maria Farida dalam bukunya Ilmu Perundang-Undangan:Proses dan Teknik Pembentukanya (hal.80) mengatakan bahwa secara hierarki Undang-Undang memiliki tingkatan yang sama dengan Perppu sehingga fungsi maupun materi muatan Perppu juga sama dengan undang-undang.[1]

Jadi berdasarkan uraian di atas, materi muatan Perppu dan undang-undang adalah sama.

Apakah Perppu Dapat Mencantumkan Materi Ketentuan Pidana Seperti yang Dimuat oleh UU?

Sebelumnya telah diuraikan bahwa secara hierarki, fungsi dan materi muatan antara undang-undang dengan Perppu adalah sama. Terkait dengan apakah Perppu dapat memuat ketentuan pidana sebagaimana undang-undang? Maka akan kami jabarkan sebagai berikut:

Pasal 15 UU 12/2011 mengatur sebagai berikut :

Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam:

  1. Undang-Undang;

  2. Peraturan Daerah Provinsi; atau

  3. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Kemudian berdasarkan Lampiran II Bab I huruf C.3 angka 112 UU 12/2011, ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau norma perintah.

Jika kita amati, meskipun Pasal 15 UU 12/2011 tidak menyebutkan Perppu sebagai peraturan perundang-undangan yang dapat memuat materi ketentuan pidana, namun perlu kita pahami bahwa kedudukan, fungsi dan materi muatan antara undang-undang dengan Perppu adalah sama. Mengenai kedudukan yang sama ini dapat kita lihat dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 yakni :

Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

  3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

  4. Peraturan Pemerintah;

  5. Peraturan Presiden;

  6. Peraturan Daerah Provinsi; dan

  7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Maria Farida dalam buku yang sama (hal.80) menyatakan bahwa Perppu memiliki hierarki, fungsi dan materi muatan yang sama dengan UU. Perbedaan antara keduanya adalah dari segi pembentukannya, dimana undang-undang disetujui bersama oleh Presiden dan DPR sedangkan Perppu ditetapkan oleh Presiden.

Berdasarkan hal tersebut maka Perppu dapat memuat ketentuan pidana sebagaimana halnya undang-undang.

Pengaturan Hak Asasi Manusia (HAM) pada Perppu

Kemudian berkaitan dengan pertanyaan terakhir Anda, apakah Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 tentang pembatasan HAM dapat pula diatur pada instrumen Perppu? Serta apakah non-derogable rights sebagaimana diatur dengan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 dapat dikecualikan dengan instrumen Perppu?

Terkait dengan pertanyaan tersebut, perlu kita perhatikan terlebih dahulu tafsir konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusannya. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 (hal.412), Mahkamah berpendapat sebagai berikut :

dari perspektif original intent pembentuk UUD 1945, seluruh hak asasi manusia yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945 keberlakuannya dapat dibatasi. Original intent pembentuk UUD 1945 yang menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi juga diperkuat oleh penempatan Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945 tersebut. Jadi, secara penafsiran sistematis (sistematische interpretatie), hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945. Sistematika pengaturan mengenai hak asasi manusia dalam UUD 1945 sejalan dengan sistematika pengaturan dalam Universal Declaration of Human Rights yang juga menempatkan pasal tentang pembatasan hak asasi manusia sebagai pasal penutup, yaitu Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, “In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society.”

Kemudian terkait dengan hak yang tak dapat dikurangi (non derogable rights) sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 apakah bersifat mutlak atau tidak, maka Mahkamah juga berpendapat bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 065/PUU-II/2004 yang pada intinya menyatakan bahwa Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 haruslah dibaca bersama-sama dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu kelompok hak yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 tersebut tidaklah bersifat mutlak atau dengan kata lain dapat dilakukan pembatasan sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 tersebut. Labih lanjut Mahkamah berpendapat bahwa pembatasan HAM dapat dilakukan dengan Undang-Undang sebagaimana rumusan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 akan tetapi pembatasan tersebut hanya untuk tujuan yang secara tegas disebutkan yakni semata-mata untuk pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban dalam suatu masyarakat demokratis.

Terkait dengan apakah pembatasan hak asasi manusia yang termasuk rumpun non-derobale rights dapat dilakukan dengan Perppu? Sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas, bahwa kedudukan, fungsi, dan materi muatan Perppu adalah sama dengan undang-undang. Maka pembatasan HAM yang dilakukan dengan undang-undang sebagaimana rumusan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 tersebut dapat dilakukan pada Perppu, karena secara materil, kedudukan, fungsi, dan materi muatan Perppu adalah sama dengan undang-undang.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

Putusan:

Referensi:

Maria Farida Indrati S. 2017. Ilmu Perundang-Undangan: Proses dan Teknik Pembentukannya. Yogyakarta : PT. Kanisius.

[1] Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan: Proses dan Teknik Pembentukannya, PT. Kanisius, 2017, hal. 80