Mengapa westerling disebut ratu adil

Kapitein de Turk lahir pada Minggu, 31 Agustus 1919 di Istanbul.

Pria dengan nama lengkap Raymond Pierre Paul Westerling berayah Paul Westerling dan ibu Sophia Moutzou. Karena lahir di Turki maka gelar “Si Kapten Turki” melekat pada dirinya. Semenjak usia 5 tahun ia telah ditinggalkan orang tuanya. Hal ini kemudian berpengaruh pada kepribadiannya yang bebas dan berjiwa mandiri. Jawa Barat menjadi salah satu medan tempur bagi Westerling.

Dalam pengakuan di otobiografinya seperti dikutip oleh Agus N. Cahyo dalam buku Tragedi Westerling Sang Pembantai Rakyat Indonesia Westerling mengungkapkan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) adalah milisi dan tentara swasta pro-Belanda yang didirikan pada masa revolusi Indonesia. Nama ‘Ratu Adil’ sendiri Westerling adopsi dari kitab Ramalan Jayabaya. Milisi ini didirikan setelah ia demobilisasi dari kesatuan DST (Depot Speciale Troepen). DST merupakan pusat pelatihan untuk KNIL.

foto : nationalgeographic.co.id

Merdeka.com - Sebagai permulaan baru dalam perjuangan Indonesia mempertahankan kemerdekaannya, periode revolusi merupakan kelanjutan dari periode sebelumnya. Bedanya adalah bahwa revolusi Indonesia (1945-1950) merupakan gerakan massa yang terbesar dan berlangsung serentak di hampir seluruh negeri, yang belum pernah terjadi sebelumnya dan juga tidak sesudahnya. Hulu ledaknya berasal dari satu pemicu saja, yakni pernyataan proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.

Pada tanggal 23 Januari 1950, Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin oleh Raymond Westerling melakukan kudeta militer di kota Bandung, Jawa Barat. Westerling adalah Kapten KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) yang dengan dukungan dari Belanda dan berbagai elemen minoritas berupaya untuk menggulingkan Negara Republik Indonesia yang baru saja didirikan oleh Soekarno.

Westerling dan pasukannya masuk ke kota Bandung pada 23 Januari 1950 dan membunuh semua orang berseragam TNI yang mereka temui di kota ini. Peristiwa sejarah penuh darah nan sadis ini lantas dikenang sebagai peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil atau APRA. Berikut cerita selengkapnya.

2 dari 4 halaman

Raymond Westerling adalah seorang anggota pasukan khusus baret hijau Kerajaan Belanda. Karier Westerling di dunia militer dimulai saat Perang Dunia II, melalui pelatihan militer tingkat komando oleh Inggris, Westerling diterjunkan di medan perang Eropa untuk berperang bersama Sekutu.

Dikutip dari P. Matanasi dalam buku berjudul Westerling: Kudeta yang Gagal, setelah Perang Dunia II usai Westerling bekerja untuk Kerajaan Belanda dan dikirim ke Medan dengan tugas untuk membebaskan tawanan Jepang di Siringgo-ringgo, setelah misi tersebut Westerling berangkat ke Jakarta untuk melatih pasukan khusus DST yang akan ditugaskan untuk kepentingan militer Belanda.

Salah satu tugas pasukan DST adalah memadamkan pemberontakan di Sulawesi Selatan. Pemadaman pemberontakan yang dilakukan oleh Westerling dan pasukan DST menggunakan cara yang sangat kejam yaitu dengan melakukan pembantaian terhadap masyarakat Sulawesi Selatan pada tanggal 11 Desember 1946 sampai 17 Februari 1947.

Setelah melakukan aksinya di Sulawesi Selatan Westerling keluar dari dinas militer Belanda, selanjutnya Westerling mendirikan pasukan lain di Jawa Barat yang dikenal dengan APRA. Tujuan dari dibentuknya pasukan APRA adalah untuk melakukan pemberontakan terhadap Republik Indonesia dan mendukung terbentuknya Negara Pasundan yang merupakan salah satu negara federal Belanda.

3 dari 4 halaman

Westerling mendirikan organisasi rahasia dengan pengikut sekitar 500.000 orang. Hal ini lantas diketahui oleh dinas rahasia militer Belanda pada bulan November 1949. Laporan yang diterima Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada 8 Desember 1949 menyebutkan bahwa organisasi bentukan Westerling bernama Ratu Adil Persatuan Indonesia (RAPI) dan memiliki satuan bersenjata yang dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA).

Pada 5 Desember malam, sekitar pukul 20.00 Westerling menelepon Letnan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda pada saat itu. Westerling menanyakan pendapat van Vreeden tentang rencananya untuk melakukan kudeta terhadap Sukarno. Jenderal van Vreeden adalah penanggung jawab kelancaran acara "penyerahan kedaulatan" Indonesia oleh Belanda pada 27 Desember 1949.  

Van Vreeden telah memberikan peringatan agar tidak melakukan kudeta pada Indonesia, namun hanya sebatas itu saja. Van Vreeden tidak memerintahkan penangkapan atas Westerling meskipun tahu rencana kudeta Westerling.

Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada pemerintah RIS yang berisi ultimatum. Ia menuntut agar Pemerintah RIS menghargai negara-negara bagian, terutama Negara Pasundan serta Pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai tentara Pasundan. Pemerintah RIS harus memberikan jawaban positif dalam waktu 7 hari dan apabila ditolak, maka akan timbul perang besar.

Ancaman tersebut menimbulkan ketidaknyamanan antara RIS dan Belanda, yang telah menyepakati kedaulatan Indonesia. Menteri Dalam Negeri Belanda pada saat itu, Stikker,  lantas menginstruksikan pada  Hirschfeld  yang adalah Nederlandse Hoge Commissaris (Komisaris Tinggi Belanda) untuk menindak semua pejabat sipil dan militer Belanda yang bekerja sama dengan Westerling.

Pada 10 Januari 1950, Hatta menyampaikan pada Hirschfeld bahwa pihak Indonesia telah mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Westerling. 

4 dari 4 halaman

Ketika berkunjung ke Belanda, Menteri Perekonomian RIS Juanda pada 20 Januari 1950 menyampaikan kepada Menteri Götzen, agar pasukan elite RST (Regiment Speciale Troepen) yang dipandang sebagai faktor risiko, secepatnya dievakuasi dari Indonesia. Pada 21 Januari Hirschfeld menyampaikan kepada Götzen bahwa Jenderal Buurman van Vreeden dan Menteri Pertahanan Belanda Schokking telah menggodok rencana untuk evakuasi pasukan RST.

Namun pada 22 Januari, dilaporkan bahwa sejumlah anggota pasukan RST dengan persenjataan berat telah melakukan desersi atau pengingkaran tugas dan meninggalkan tangsi militer di Batujajar, Bandung Barat.

Jadi, upaya RIS dan Belanda untuk mengevakuasi RST terlambat untuk dilakukan. Menurut info dari bekas anak buahnya, Westerling mendengar mengenai rencana evakuasi tersebut dan sebelum deportasi pasukan RST ke Belanda dimulai, pada 23 Januari 1950 Westerling melancarkan kudetanya.

Westerling dan para anak buahnya menembak mati setiap anggota TNI yang mereka temukan di jalan. 94 anggota TNI dinyatakan tewas dalam pembantaian APRA tersebut sedangkan di pihak APRA sendiri tidak ada korban satu orang pun. Pemerintah Indonesia langsung berupaya memadamkan pemberontakan tersebut dengan mengerahkan kekuatan TNI dari wilayah Jawa Barat dan sekitarnya.

Setelah gagal melakukan pemberontakan di Jawa Barat, Westerling berupaya untuk kembali ke Belanda untuk menghindari penangkapan oleh TNI. Lolosnya Westerling keluar dari Indonesia mendapat bantuan dari militer Belanda. Hal tersebut dilakukan Belanda agar Westerling tidak ditangkap dan diadili oleh pemerintah Indonesia dan mengganggu hubungan diplomasi antara Belanda-Indonesia. (mdk/edl)

Baca juga:
Peristiwa 22 Januari: Penangkapan Pencipta Bom Hidrogen Andrei Sakharov oleh KGB
Mengenang Peristiwa 21 Januari 1985, Pengeboman Candi Borobudur yang Misterius
Peristiwa 20 Januari, Pesawat Vickers Vanguard Lakukan Penerbangan Perdana
Peristiwa 18 Januari: Deretan Kecelakaan Transportasi yang Terjadi di Dunia
Peristiwa 19 Januari: Pertempuran Mill Springs dalam Perang Saudara di Amerika
Sejarah 17 Januari 1948: Perjanjian Renville Ditandatangani di Atas Kapal Perang

Mengapa westerling disebut ratu adil

Mengapa westerling disebut ratu adil
Lihat Foto

Wikimedia Commons

Emblem Angkatan Perang Ratu Adil

KOMPAS.com - Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) adalah kelompok milisi pro-Belanda yang muncul di era Revolusi Nasional.

APRA dibentuk dan dipimpin oleh mantan kapten KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger) atau Tentara Hindia Belanda Raymond Westerling

Westerling mempertahankan bentuk negara federal karena menolak Republik Indonesia Serikat (RIS) yang terlalu Jawa-sentris di bawah Soekarno dan Hatta.

Baca juga: Kabinet Kerja I, II, III, dan IV: Susunan dan Program Kerja

Latar Belakang 

Terjadinya perang APRA ini didasari dengan adanya hasil keputusan dari Konferensi Meja Bundar (KMB) pada Agustus 1949. 

Hasil dari KMB, yaitu:

  • Kerajaan Belanda akan menarik pasukan KL dari Indonesia
  • Tentara KNIL akan dibubarkan dan akan dimasukkan ke dalam kesatuan-kesatuan TNI

Keputusan ini lantas membuat para tentara KNIL merasa khawatir akan mendapatkan hukuman serta dikucilkan dalam kesatuan. 

Dari kejadian tersebut kemudian komandan dari kesatuan khusus Depot Speciale Troopen (DST), Kapten Westerling, ditugaskan untuk mengumpulkan para desertir dan anggota KNIL yang sudah dibubarkan. 

Sebanyak 8.000 pasukan berhasil terkumpul. Selanjutnya, target utama dari operasinya adalah Jakarta dan Bandung. 

Jakarta sendiri pada awal 1950 tengah sering melakukan sidang Kabinet RIS untuk membahas kembali terbentuknya negara kesatuan. 

Sedangkan Bandung merupakan kota yang belum sepenuhnya dikuasai oleh pasukan Siliwangi ditambah dengan Bandung sudah lama menjadi basis kekuatan militer Belanda.