Mengapa orang Islam tidak boleh mengucapkan selamat hari Natal?

MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Hukum ucapan selamat natal bagi umat Islam yang diucapkan kepada umat Kristen kerap menimbulkan polemik di masyarakat. Polemik ini hampir terjadi di setiap tahun. Berhubung kasus ini erat kaitannya dengan istinbath al-hukmi, maka Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah membahasnya di Pengajian Tarjih pada Rabu (22/12) dengan Wawan Gunawan Abdul Wahid selaku pembicaranya.

Menurut Wawan, para ulama berbeda pendapat terkait persoalan ini disebabkan oleh Ijtihad mereka dalam memahami generalitas (keumuman) ayat atau Hadis. Ada ulama yang membolehkan pengucapan selamat hari natal karena dasar hukum mengikuti prosesi natal bagi mereka memang boleh. Ada pula ulama yang lebih memilih berhati-hati karena mengucapkan selamat natal berarti dia telah memberikan kesaksian palsu.

“Mengapa muncul perbedaan pandangan hukum? Ada beberapa sebab. Bisa dilihat dari penempatan persoalan ini adalah apakah mengucapkan selamat hari natal itu bagian dari persoalan keseharian belaka atau muamalah, atau apakah berkaitan dengan akidah?” tanya Wawan.

Wawan menjelaskan bahwa para ulama yang mengharamkan pengucapan selamat hari natal karena berdasarkan penafsiran QS. Maryam ayat 23-26. Dalam ayat tersebut, Jibril memerintahkan Maryam yang sedang melahirkan Isa al Masih untuk meraih pangkal pohon kurma itu kearahnya lalu mengambil buahnya yang telah matang untuk dimakan. Kehadiran buah kurma memberikan isyarat bahwa kelahiran Isa al Masih bukan di musim dingin dan dengan demikian tanggal 25 Desember bukan kelahiran Putra Maryam tersebut.

Sementara para ulama yang membolehkan pengucapan selamat hari natal berlandaskan pada QS. Al Mumtahanah ayat 8. Dalam ayat tersebut, Allah tidak melarang untuk berbuat baik kepada orang-orang yang tidak memerangi umat Islam. Karenanya, mengucapkan selamat natal merupakan salah satu bentuk perbuatan baik kepada orang non-muslim, sehingga perbuatan tersebut diperbolehkan.

“Adanya perbedaan ini menunjukkan adanya keragaman pemahaman akan nash. Teksnya sama, ayatnya sama, bagi kelompok yang membolehkan (ucapan selamat natal) QS. Al Mumtahanah ayat 8 itu digunakan, tapi bagi yang mengharamkan tidak mendasarkan pada Al Mumtahanah ayat 8,” terang alumni angkatan pertama Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut ini.

Perbedaan semacam ini hendaknya tidak boleh menjadikan internal umat Islam terpecah belah. Umat Islam harus memahami bahwa di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah tidak disebutkan secara spesifik terkait dengan kebolehan atau keharaman mengucapkan selamat natal. Karena termasuk aspek ijtihadiyah, maka hal ini merupakan kreasi nalar manusia dan refleksi terhadap realitas.

“Tidak ada dalil yang tegas mengucapkan selamat hari natal itu tidak boleh atau mengucapkan natal itu boleh. Yang ada itu dalil-dalil yang dipahami. Teks itu ada yang manthuq, ada yang mafhum. Dalil manthuq (tersurat) terkait hal ini tidak ada, adanya yang mafhum (tersirat),” tutur Wawan.

Pendapat Muhammadiyah

Dalam Tanya Jawab Agama jilid II, Majelis Tarjih mengeluarkan fatwa dengan menyarankan agar tidak dilakukan pengucapan selamat hari natal kepada umat Kristen. Sementara dalam Fatwa Tarjih yang terdapat di Suara Muhammadiyah no 5 tahun 2020 disebutkan kebolehan membantu atasan di kantor dalam perayaan natal seperti penyediaan kursi, ornament, dan lain-lain. Karenanya, Wawan menyimpulkan bahwa hukum pengucapan hari natal termasuk aspek muamalah yang harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang menyertai kita.

“Dalam satu situasi minoritas, ia berada di lingkungan minoritas, bila tidak mengucapkan selamat hari natal akan terjadi sesuatu, maka mengucapkannya bagian dari yang disampaikan (boleh). Tapi dalam satu lingkungan tertentu, misalnya, sering berbagi makanan dengan non muslim dalam rapat RT setempat, dan tidak ada satu keharusan mengucapkan selamat hari natal, karena telah terjalin hubungan yang baik dengan non muslim,” kata Wawan.

Perbedaan Fatwa Tarjih yang terdapat di Tanya Jawab Agama jilid II dan Suara Muhammadiyah no 5 tahun 2020 sebenarnya dapat dilihat dengan al-jam`u wat taufiq atau kompromi. Dalam kondisi minoritas di mana toleransi begitu diperlukan agar terjalin keharmonisan, maka boleh mengucapkan selamat hari natal. Sementara dalam situasi yang tidak menuntut adanya toleransi di lingkungan kita (karena memang telah harmonis), sebaiknya menghindari ucapan selamat hari natal kepada umat Kristiani.

“Kalau ada yang bertanya, kok bisa berbeda? Ya karena situasi yang menuntut untuk adanya perbedaan,” tegas Wawan.

Mengapa orang Islam tidak boleh mengucapkan selamat hari Natal?

Hukum MengucapPerdebatan tentang hukum mengucapkan selamat Natal bagi muslim selalu menjadi isu tahunan menjelang perayaan Hari Raya Natal setiap tanggal 25 Desember. Fenomena perdebatan ‘Selamat Natal’ hanya terjadi di sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara, terutama Indonesia yang sebagian besar penduduknya Islam. Lantas, apa hukum mengucapkan Selamat Natal?kan Selamat Hari Natal Dalam Islam

Pemuka agama Quraish Shihab dalam siaran Youtube di channel GuzZ TV yang berjudul ‘Hukum Mengucapkan Selamat Natal menurut Prof Quraish Shihab’ memperbolehkan memberi ucapan Selamat Natal kepada mereka yang merayakan, asalkan ucapan itu tidak mengubah akidah Islam yang mengucapkan. Jika hanya ucapan hukumnya boleh, asalkan umat muslim meyakini bahwa Isa AS adalah Rasulullah, bukan anak Allah.

Bahkan menurut Quraish Shihab, ucapan Selamat Natal terdapat di dalam Al-Qur;an dan yang pertama kali mengucapkannya Nabi Isa AS. Dijelaskan dalam Q.S. Maryam 19:23, di hari kelahirannya Nabi Isa AS mengucapkan ‘Salam sejahtera bagiku pada kelahiranku’. Memberikan ucapan ‘Selamat Natal’ bukan bagian dari suatu ritual agama tertentu, sehingga boleh saja.

“Kita hidup damai. Saya tidak sependapat dengan yang melarang. Terlalu sempit pikirannya. Boleh berkelompok tapi jangan berkelahi dan berselisih. Allah mau kita berbeda, tapi Dia tidak mau kita bertengkar. Kalau Allah mau kita sama, Qur’an tidak bisa mengandung penafsiran yang berbeda-beda. Semua bisa benar, semua bisa salah,” ujar Quraish Shihab di Youtube.

Pendapat dari Quraish Shihab didasarkan atas argumentasi bahwa ucapan tersebut bukanlah bagian keyakinan agama, namun sebatas memberikan penghormatan kepada umat Kristen atas dasar relasi antar manusia dalam kehidupan bertetangga dan kekerabatan. Oleh karena itu, seharusnya kita sebagai masyarakat harus bisa bersikap arif dan bijaksana menyikapi hal-hal seperti ini agar tidak mengganggu harmoni antar umat beragama.

Awal Mula Perdebatan

Polemi ‘Selamat Natal’ menjadi isu tahunan akun-akun hijrah di sejumlah media sosial. Mereka mencatut nama Buya Hamka perihal fatwa Natal di tahun 1981 yang disalah artikan. Beberapa waktu lalu sempat trending di Twitter, seorang cucu dari Buya Hamka bernama Naila Fauzia yang buka suara dan melakukan klarifikasi terkait fatwa tentang hari Natal tersebut.

Naila Fauzia tidak diterima, nama sang kakeh dicatut namanya untuk hal-hal yang tidak benar seperti ini. Dalam cuitannya, Naila menjelaskan awal mula kesalahpahaman ini. Buya Hamka menjabat sebagai ketua MUI pada tahun 1981. Fatwa tersebut dikeluarkan tentang perayaan Natal bersama, bukan ucapan ‘Selamat Natal’. Haram hukumnya umat Islam menghadiri upacara Natal dan merayakannya bersama dengan umat Kristen.

Fatwa ini keluar karena pada saat itu, Menteri Agama menghadiri upacara Natal padahal ia seorang muslim. Menteri Agama pun memaksa agar Buya Hamka mencabut fatwanya jika tidak maka Buya akan diturunkan. Buaya tegas menolak dan lebih memilih untuk mundur dari jabatannya sebagai ketua MUI tepat pada tanggal 19 Mei 1981 daripada harus mencabut fatwa.

Buya Hamka tidak pernah mengharamkan ucapan ‘Selamat Natal’ bagi seorang muslim kepada umat Kristiani. Pro dan kontra terkait perdebatan ini tidak perlu dipertajam. Jika memang tidak mau mengucapkan ‘Selamat Natal’ tidak perlu digembar-gemborkan hingga memicu perdebatan. Umat Kristiani pun tidak pernah berharap untuk mendapatkan ucapan tersebut.

Hal yang menjadi langganan pembicaraan publik adalah terkait hukum mengucapkan selamat Natal. Meskipun hal ini selalu disampaikan, namun masyarakat muslim di Tanah Air masih terus berpolemik. Apakah mengucapkan selamat Natal  haram, boleh atau bagaimana?
 

Masyarakat Indonesia kerap kali berdebat mengenai boleh dan tidaknya mengucapkan selamat atas hari besar agama lain, seperti hari Natal, Nyepi, dan seterusnya. Ada kelompok masyarakat yang membolehkan, namun tidak sedikit yang melarang. Perdebatan ini kerap membesar, baik di dalam kehidupan sehari-hari dan di jagad media digital.   
 

Sebelum lebih jauh, ada baiknya kita melihat ragam pandangan ulama dalam melihat hal ini. Para ulama sendiri juga terbagi menjadi dua kelompok dalam melihat fenomena ini; ada kelompok ulama yang membolehkan dan ada pula yang mengharamkan. Masing-masing memiliki argumentasi dan dalil untuk mengukuhkan pendapatnya.   

 

Artikel diambil dari: Hukum Mengucapkan “Selamat Natal”

 

Perbedaan ini dikarenakan tidak adanya ayat Al-Qur’an atau hadits yang secara jelas menerangkan hukumnya. Oleh para ulama, hal seperti ini dimasukkan dalam kategori persoalan ijtihadi.   
 

 

Boleh 
Sebagian kelompok ulama yang membolehkan ucapan selamat atas hari besar umat beragama lain berpedoman pada Al-Qur’an surat al-Mumtahanah ayat 8: 'Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil’.   
 

Dalam ayat tersebut, Allah tidak melarang seorang muslim untuk berbuat baik kepada siapa saja yang tidak memeranginya dan mengusirnya. Nah, mengucapkan selamat hari raya non-muslim dinilai sebagai salah satu bentuk perbuatan baik kepada non-muslim. Dengan demikian, adalah boleh hukumnya melakukan hal demikian.   
 

Ulama yang memperbolehkan juga menjadikan hadits Nabi Muhammad yang diriwayatkan Anas bin Malik sebagai dalil atas pendapat mereka. Bunyi hadits tersebut adalah: Dahulu ada seorang anak Yahudi yang senantiasa melayani (membantu) Nabi Muhammad, kemudian ia sakit. Maka, Nabi mendatanginya untuk menjenguknya, lalu beliau duduk di dekat kepalanya, kemudian berkata: ‘Masuk Islam-lah!’ Maka anak Yahudi itu melihat ke arah ayahnya yang ada di dekatnya, maka ayahnya berkata: ‘Taatilah Abul Qasim (Nabi Muhammad).’ Maka anak itu pun masuk Islam. Lalu Nabi keluar seraya bersabda: ‘Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka’.   
 

Dalam hadits tersebut, Nabi Muhammad memberikan teladan kepada umatnya agar berbuat baik kepada non-muslim yang tidak memerangi mereka. Begitu pun dengan mengucapkan selamat hari raya atas agama lain kepada mereka yang memperingatinya. Ulama yang membolehkankan menilai hal itu sebagai bentuk berbuat baik kepada non-muslim. Maka memberi selamat hari raya kepada mereka hukumnya boleh.   
 

Kelompok ulama ini juga berpendapat bahwa mengucapkan selamat hari raya kepada non-muslim bukan berarti mengakui apa yang dipercayai mereka, namun lebih pada penghormatan dalam bermasyarakat dan menjaga kerukunan bersama. 
 

Di antara ulama yang membolehkan adalah Syekh Ali Jum’ah, Syekh Muhammad Rasyid Ridla, Syekh Yusuf Qaradhawi, Syekh al-Syurbashi, Syekh Abdullah bin Bayyah, Syekh Nasr Farid Washil, Syekh Musthafa Zarqa, Syekh Ishom Talimah, Syekh Musthafa al-Zarqa', Prof Dr Abdussattar Fathullah Sa'id, Prof Dr Muhammad al-Sayyid Dusuqi, Majelis Fatwa Eropa, Majelis Fatwa Mesir, dan lainnya.
 

Tidak Boleh   
Sementara itu, di sini yang lain, terdapat ulama yang mengharamkan. Para ulama berpedoman pada beberapa sejumlah dalil, salah satunya adalah Al-Qur’an surat al-Furqon ayat 72: ‘Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya’.   
 

Kelompok ulama ini menafsirkan ayat di atas bahwa ciri orang yang akan mendapatkan martabat tinggi di surga adalah orang yang tidak memberikan kesaksian palsu. Sementara seorang muslim yang memberikan ucapan selamat atas hari raya agama lainnya dianggap sama dengan memberikan persaksian palsu dan membenarkan keyakinan umat non-muslim tentang hari rayanya. Sebagai konsekuensinya, dia tidak akan mendapatkan martabat yang tinggi di surga. Atas dasar itulah, mereka mengharamkan ucapan selamat atas hari raya non-muslim.   
 

Dalil lain yang mereka gunakan untuk menguatkan argumentasinya adalah hadits riwayat Ibnu Umar, yaitu: ‘Barang siapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian kaum tersebut’. Hadits ini sangat terkenal dan sering dipakai oleh sekelompok umat Islam untuk mengafirkan umat Islam lainnya, hanya karena mereka dianggap ‘menyerupai’ non-muslim.
 

Hadits di atas juga dipakai dalam menghukumi ucapan selamat atas hari besar agama lain. Bagi ulama yang mengharamkan, seorang muslim yang memberi ucapan selamat atas hari raya agama lain berarti dia menyerupai tradisi umat tersebut. Karena menyerupai, maka dia termasuk dari kaum tersebut. Oleh karena itu, memberi selamat haram non-muslim menjadi haram hukumnya.   
 

Di samping itu, mereka juga berpendapat bahwa seseorang muslim yang mengucapkan selamat hari raya non-muslim dianggap ikut serta dalam mensyiarkan ajaran orang-orang kafir. Padahal, Allah tidak meridhai para hamba yang kafir.   
 

Di antara ulama yang mengharamkan seorang Muslim mengucapkan selamat atas hari raya agama lain adalah Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Syekh Abdul Aziz bin Baz, Syekh Utsaimin, Syekh Ibrahim bin Muhammad al-Haqil, Syekh Ibrahim bin Ja’far, Syekh Ja’far At-Thalhawi, dan lainnya.
 

Saling Menghormati    Karena sifatnya yang ijtihadi, maka hukum memberi selamat hari raya non-Muslim tidak lantas mutlak haram dan juga tidak multak boleh. Perbedaan situasi dan keadaan membuat setiap muslim tidak bisa diseragamkan hukumnya dalam hal mengucapkan selamat atas hari raya agama lain bagi setiap muslim tidak bisa diseragamkan.   

Misalnya, seorang muslim mengucapkan selamat Natal kepada seseorang yang memiliki kedekatan dengannya—seperti hubungan saudara atau partner bisnis- sebagai bentuk penghormatan karena mereka juga menghormati Islam. Juga diniatkan untuk menunjukkan keutamaan ajaran Islam dari sisi akhlak. Maka hal itu boleh saja, sepanjang tidak diiringi keyakinan yang bertentangan dengan aqidah islamiyah seperti mengikuti rangkaian kegiatan pada hari Natal atau hari raya agama lainnya. Namun dalam situasi dan keadaan sebaliknya, hukum mengucapkan selamat hari raya non-muslim bisa haram.   
 

Yang perlu digarisbawahi adalah jangan sampai perbedaan pendapat tersebut menjadi penyulut konflik di dalam tubuh umat Islam. Sekali lagi, karena hal ini bersifat ijtihadi, maka jangan sampai ada satu pihak yang mengklaim bahwa pendapatnya lah yang paling benar dan yang lainnya salah. Alangkah baiknya kalau kita saling menghormati dengan pilihan masing-masing, tanpa harus memaksakan pendapat kita kepada orang lain. Apalagi mengafirkan mereka yang tidak sependapat dengan kita. Wallahu ‘alam.  

Editor: Syaifullah