Mengapa MPR sepakat tidak akan mengamandemen Pembukaan UUD 1945?

Mengapa MPR sepakat tidak akan mengamandemen Pembukaan UUD 1945?

Mengapa MPR sepakat tidak akan mengamandemen Pembukaan UUD 1945?
Lihat Foto

KOMPAS.com/Devina Halim

Ketua MPR Zulkifli Hasan saat memberikan sambutan di acara Peringatan Hari Konstitusi di Gedung MPR, Jakarta, Minggu (18/8/2019).

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Zulkifli Hasan menilai bahwa konstitusi harus dapat menyesuaikan dengan tuntutan zaman.

Untuk itu, ia mengungkapkan bahwa Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 perlu diubah dengan mempertimbangkan perkembangan dinamika masyarakat yang ada.

"Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang disebut sebagai ‘revolusi ketatanegaraan’ turut dihadapkan pada perkembangan nilai-nilai masyarakat yang tumbuh dan berkembang, sehingga perlu menjadi pertimbangan untuk melakukan penyesuaian," ujar Zulkifli dalam acara Peringatan Hari Konstitusi di Gedung MPR, Jakarta, Minggu (18/8/2019).

Baca juga: Prabowo Setuju Amandemen Terbatas UUD 1945 untuk GBHN

Menurutnya, terdapat kekurangan pada implementasi UUD 1945 setelah diamandemen oleh MPR periode 1999-2002.

Salah satu contohnya adalah penyelenggaraan Pemilu 2019 yang sesuai amanat Pasal 22E UUD 1945. Meski terselenggara dengan sukses, Pemilu 2019 menyisakan polarisasi di masyarakat.

Kemudian, di bidang hukum, permasalahan yang tersisa misalnya terlalu banyaknya jumlah regulasi, dan ada aturan yang bertabrakan dengan UUD 1945.

"Bahkan, tidak sedikit undang-undang yang dihasilkan oleh DPR dan Pemerintah bertentangan dengan UUD 1945, sehingga dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi," katanya.

Sementara, di bidang ekonomi, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) ini menyoroti masalah kesenjangan dan koperasi yang dinilai masih belum berkembang secara maksimal.

MPR pun telah sepakat untuk melakukan amandemen UUD 1945 terkait penerapan sistem perencanaan pembangunan nasional dengan menerapkan Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

GBHN, kata Zulkifli, merupakan haluan negara yang berfungsi sebagai rujukan bagi DPR dan pemerintah dalam merumuskan regulasi.

Zulkifli mengatakan, rekomendasi mengenai penerapan GBHN merupakan salah satu rekomendasi anggota MPR periode 2009-2014.

Baca juga: MPR Sepakat Amandemen Terbatas UUD 1945 pada GBHN

Kendati demikian, karena usul amandemen tidak dapat diajukan dalam waktu 6 bulan menjelang berakhirnya masa jabatan, anggota MPR pada periode 2014-2019 merekomendasikan anggota periode berikutnya agar melakukan amandemen.

"Untuk itu, MPR masa jabatan 2014-2019 akan merekomendasikan kepada MPR masa jabatan 2019-2024 untuk mewujudkan gagasan perubahan kelima Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945," ungkap Zulkifli.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berikutnya

WAKIL Presiden Jusuf Kalla mengungkapkan dalam sejarah bangsa Indonesia, republik ini sudah empat kali mengalami pergantian konstitusi. Meski begitu, dari sekian kali pergantian tersebut, pembukaan atau mukadimah UUD 1945 tetap sama.

"Kenapa mukadimahnya tidak ada yang berubah? Karena mukadimahnya itu dasar dan tujuan. Itu adalah dasar negara dan tujuan kita bernegara. Dasarnya Pancasila, tujuannya negara adil dan makmur melalui proses mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut serta dalam perdamaian dunia. Itu tidak berubah di bangsa kita ini, tidak ada yang berani dan tidak perlu diubah," tutur Kalla saat membuka perayaan hari konstitusi di MPR Jakarta, Minggu (18/8).

Baca juga: KPK Geledah 15 Lokasi Terkait Kasus Impor Bawang Putih

Kalla menerangkan, satu satunya yang berubah adalah bagian tubuh dari konstitusi itu sendiri, yakni pasal dan ayat-ayatnya. Ia menerangkan pada UUD 45 seluruh pasalnya hanya 37 pasal, namun sekarang di UUD amendemen bila dipasalkan semua bisa mencapai 180 pasal, meski angkanya tetap di 37 pasal.

Pasal-pasal tersebut berubah karena berisikan tentang struktur negara, struktur bangsa, sistem bangsa. Menurut Kalla, dalam konstitusi pasal-pasal tersebut memang dapat berubah karena menyesuaikan dengan kondisi yang ada.

Ia mencontohkan, ketika masa RIS, mekanisme negara menjadi sistem federal dan ketika reformasi UUD 45 di amendemen dan menambah berbagai aturan mulai dari sistem keuangan, sistem presiden hingga otonomi daerah.

"Jadi pasal itu adalah sistem prosedur pemerintahan kita. Itu dinamis, sesuai dengan kondisi yang ada. Oleh sebab itu, living constitution (konstitusi yang hidup), ke depan pun bisa berubah, selama dasar dan tujuannya tidak berubah," tutur Kalla.

Kalla pun menerangkan, mengubah konstitusi bukan suatu hal yang tabu bagi sebuah bangsa, sebab mereka harus menyesuaikan dengan dinamika dan kondisi situasi yang ada. Sejumlah negara pun seperti India, Thailand, bahkan Amerika Serikat pun telah beberapa kali mengubah konstitusinya untuk menyesuaikan dengan situasi yang ada

"Pondasi dasar pancasila, NKRI, dan juga tujuan bangsa itu tidak mungkin kita ubah. Karena di sana lah dasar kita bersatu, tetapi prosedur bisa berubah," pungkasnya. (OL-6)

Mengapa MPR sepakat tidak akan mengamandemen Pembukaan UUD 1945?

Hukumonline

Wacana  melakukan amandemen UUD 1945 sebagai konstitusi negara terus berlangsung. Namun pembukaan UUD 1945 dan Pancasila tak boleh diubah, karena sebagai ruh bangsa Indonesia. Demikian dikatakan anggota MPR Bachtiar Ali. “Karena sebagai ruh bangsa, jadi jangan bermpimpi untuk mengubah Pancasila dan pembukaan UUD 45,” ujarnya, Senin (2/5). Meski Konstitusi telah diubah kesekian kali, namun Pancasila tak dapat diubah. Pasalnya sebagai dasar negara, Pancasila menjadi landasan dalam bernegara hukum di Indonesia. Beragam produk legislasi pun tak boleh bertentangan dengan Pancasla dan UUD 1945. Bachtiar bahkan menilai  Pancasila UUD 1945  yang dimiliki seperti halnya kitab yang dijadikan pedoman dalam bernegara dan bermasyarakat di Indonesia. “Sebab dalam soal hak asasi manusia, kita lebih dulu dengan bangsa lain,” ujar Ketua Fraksi Nasdem di MPR itu. Wakil Ketua MPR Oesman Sapta Odang menambahkan  konstitusi negara memiliki banyak kelebihan. Ia meminta agar masyarakat pada umumnya memiliki rasa kebangsaan dengan empat pilar yang dimilik negara. Mulai Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhineka Tunggal Ika. “Kita harus terus membangkitkan jiwa kebangsaan sesuai dengan konstitusi kita,” ujarnya. Pria biasa disapa Oso itu mengatakan akan terus mensosialisasikan empat pilar. Tujuannya agar, jiwa nasionalisme masyarakat terus tumbuh. Oso mengatakan lokasi yang baru dikunjungi  dalam mensosialisasikan empat pilar adalah tempat mendiang ibunya, di Sulit Air Padang, Sumatera Barat akhir pekan lalu.

“Kita wajib menjaga nasionalisme sebab kita diajarkan bagaimana mencintai dan memahami Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika,” pungkasnya.


Mengapa MPR sepakat tidak akan mengamandemen Pembukaan UUD 1945?

Wakil Ketua MPR RI, M. Hidayat Nur Wahid.

INFO NASIONAL- Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid (HNW) menegaskan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tidak termasuk bagian pembukaan. Karena di dalam bagian pembukaan terdapat dasar dan ideologi negara. Dalam pembukaan UUD NRI juga terdapat cita-cita berdirinya NKRI. Karena itu usul perubahan UUD NRI , sesuai pasal 37 UUD tidak termasuk bagian pembukaan.

Selain bagian pembukaan, perubahan juga tidak berlaku bagi bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sesuai perjalanan dan pengalaman sejarah, negara kesatuan merupakan satu-satunya bentuk negara yang paling sesuai dengan keberagaman Indonesia. Bukan serikat, federal, monarki apalagi sistem kerajaan. Karena itu, NKRI harus dipertahankan sesuai pasal 37 ayat 5, UUD NRI tahun 1945, bahwa bentuk negara NKRI tak bisa diubah-ubah.

"Perubahan terhadap UUD NRI Tahun 1945 tetap terbuka. Tetapi, ada ketentuan dan batas-batasnya. Dan untuk mengubah UUD diperlukan persyaratan yang rumit dan tidak mudah dipenuhi," kata Hidayat.

Pernyataan itu disampaikan HNW saat memberikan sosialisasi empat pilar kepada pengurus dan anggota Muhammadiyah Wilayah Jawa Tengah. Acara tersebut berlangsung di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Minggu 31 Oktober 2021). Ikut hadir pada acara tersebut anggota MPR Fraksi PKS Hamid Noor Yasin, Ketua Muhammadiyah Wilayah Jateng KH. Tafsir, M.Ag, Ketua Aisyiyah Ummul Baroroh, dan Rektor UMS Prof. Dr. H. Sofyan Anif, M.Si.

Bagi warga Muhammadiyah, kata Hidayat, empat pilar bukan barang baru. Karena di kalangan anggota organisasi yang didirikan KH. Ahmad Dahlan, Empat pilar sudah menjadi perilaku dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam menjalankan roda organisasi.

"Ulama dan tokoh-tokoh Muhammadiyah berpartisipasi aktif dalam proses pembentukan Pancasila, dimulai dari BPUPKI, Panitia Sembilan hingga PPKI. Mereka juga mau mengalah, menghilangkan tujuh kata dalam piagam Jakarta, semata mata demi kepentingan yang lebih besar. Yaitu berdiri tegaknya NKRI," ujar HNW.

Bagi warga Muhammadiyah, Sosialisasi Empat Pilar berfungsi sebagai pengingat, agar tidak melupakan dasar dan ideologi negara. Bukan membawa maksud untuk menggurui.

Sementara itu Hamid Noor Yasin, mengingatkan, kerelaan umat Islam memenuhi permintaan masyarakat Indonesia Timur untuk menghilangkan tujuh kata dalam piagam Jakarta adalah sikap mau mengalah yang terpuji. Apalagi, dengan cara itu, masyarakat Indonesia Timur tetap bersatu di bawah NKRI.

"Seperti Piagam Madinah, Piagam Jakarta memiliki makna pengorbanan umat Islam untuk kepentingan yang lebih besar. Yaitu tetap tegaknya NKRI. Karena di Indonesia Kebhinekaan adalah satu keniscayaan, yang tidak dapat dihilangkan," katanya.(*)