Mengapa mengajar disebut sebagai seni dan ilmu pengetahuan

Mengajar adalah seni. Mengajar bukan sebatas ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan adalah bahan mentah yang harus dimiliki oleh seorang guru. Seorang guru tidak menunjukan seni menampilkan kepintaran di hadapan para murid. 

Kepintaran seorang guru hanya akan sebatas rasa kagum dari para murid. Sedangkan yang dibutuhkan oleh para murid adalah kekaguman atas kepintarannya sendiri. Ini akan jauh lebih bertahan dalam diri anak didik. Kepintaran guru adalah motivasi bagi kepintaran anak didik.

"Belajar bukan untuk sekolah melainkan untuk hidup" mestinya menjadi credo yang dijalankan di setiap pembelajaran. Bagaimana anak dapat belajar sepanjang hayat? Anak dapat belajar sepanjang hayat hanya dengan cara mengajari mereka cara-cara belajar. 

"Mengajar adalah seni. Mengajar bukan sebatas ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan adalah bahan mentah yang harus dimiliki oleh seorang guru."

Mereka belajar bukan untuk menghafal. Mereka belajar bagaimana berpikir. Ingatan anak didik akan lebih bertahan dengan apa yang mereka konstruksikan sendiri melalui proses berpikir. Apa yang dikatakan guru dalam kelas, bisa saja akan berakhir bersamaan dengan bel pulang sekolah.

Focus dan perhatian pembelajaran di kelas tertuju pada bagaimana cara belajar bukan untuk apa belajar. Hal yang penting dalam pembelajaran adalah murid harus berpikir sendiri. 

Anak didik adalah masa depan, mengajar adalah menyentuh masa depan. Memberi tahu mereka sebuah informasi adalah cara mengajar konvensional. Menyentuh masa depan berarti mengajari mereka menyerap informasi dan berpikir secara kritis terhadap informasi yang diterima. 

Informasi baru adalah konstruksi pengetahuan baru. Informasi baru akan menjadi sebuah pengatahuan apabila disaring, diolah dan ditarik manfaat untuk kehidupan mendatang.

Tidaklah susah mengajari anak didik untuk tahu cara-cara belajar. Mengutip pendapat John Dwey pakar psikologi pendidikan "anak adalah pembelajar yang aktif". 

Sebagai orang tua dan guru, kita menemukan fakta empiris atas pemikiran Dwey. Mereka akan bosan mendengarkan penjelasan yang bertele-tele dari orang dewasa. 

Mereka akan lebih banyak mencari tahu dengan bertanya dan mencoba sendiri hal-hal baru yang mereka temukan. Berilah mereka "hal baru" itu dan biarkan mereka bertanya dan mencobanya sendiri. Itulah proses mengajar yang efektif, menjadikan anak berpikir.

Proses berpikir atas hal baru yang diterima oleh anak didik berarti berkonsentrasi pada upaya penyesuaian diri dengan lingkungan. Tanpa proses penyesuaian dengan lingkunagan, proses belajar akan menemui jalan buntu. 

Penyesuaian dengan lingkungan bukan berarti meaksakan anak didik mengikuti apa yang diterima. Penyesuaian dengan lingkungan merupakan hasil reflektif atas proses berpikir terhadap hal baru yang diterima. Proses belajar demikian adalah proses belajar pemecahan masalah secara reflektif.

Sebagai sebuah profesi, guru perlu memiliki kompetensi pedagogig untuk menujang ketercapaian mengajar yang efektif. Tetapi, yang harus disadari bahwa tidak ada teori tentang mengajar yang dapat dijadikan patokan ilmiah dalam mengajar. 

Mengajar adalah seni yang terkadang mengabaikan saran-saran ilmiah. Mengajar adalah proses spontanitas, mengalir tanpa kaku pada hierarki pembelajaran, dan merupakan improvisasi guru dalam upaya mencapai kompetensi pembelajaran. 

Ingat, kompetensi selalu berupa garis besar capaian pengetahuan yang perlu dipelajari oleh para peserta didik.

Kekakuan pada tata urutan pembelajaran hanya akan menjadikan kelas monoton. Improvisasi dan spontanitas dari guru justru akan memberi warna berbeda dalam setiap pembelajaran. Dengan demikian rasa bosan yang menghambat proses berpikir anak didik akan sirna.

Penguasaan teknologi dan penguasaan pengetahuan yang ter-update tentu akan menjadi modal penting bagi guru untuk berimprovisasi di kelas. Kita tidak mungkin menuangkan sesatu dari teko kosong ke dalam gelas kosong. 

Untuk dapat mengajar, kita perlu belajar. "orang pintar belajar, orang bodoh mengajar" dapat kita jadikan pemantik semangat belajar sepanjang hayat. Hanya pribadi yang tak pernah berhenti belajar yang dapat menjadi pengajar sejati.

Keahlian professional guru pun perlu menjadi isi "teko" seorang pengajar. Profesionalitas dalam mengajar adalah keniscayaan. Untuk mengajar seorang guru perlu menyiapkan diri dengan mengusai materi pembelajaran. 

Menguasai materi tidak cukup untuk menjadikan anak belajar di kelas. Tanpa ada penetapan tujuan yang terukur, dan menyusun rencana untuk mencapai tujuan pembelajaran, materi yang dikuasai akan mati. 

Tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran harus ditunjang dengan sebuah rencana yang matang untuk mencapai tujuan pembelajaran. Tanpa perangkat pembelajaran, materi yang disampaikan guru tidak bernilai lebih dari sebuah buku teks pelajaran yang tidak dibaca peserta didik.

Agar tidak keluar dari upaya membentuk cara-cara belajar, maka rencana yang disusun sedemikian rupa harus menantang sekaligus menarik. Kelas jangan dipandang sebagai ruang tempat berkumpul anak didik. Kelas bukan sekedar gedung yang terisi dengan meja dan bangku. Kelas mesti dimodifikasi sebagai lingkungan belajar yang menarik dan menantang. 

Jika perlu, kelas merupakan lapangan luas tempat anak didik bermain mengkonstruksikan pengetahuannya. Keprofesionalitasan seorang guru dapat terlihat dari kemampuan manajemen kelas yang mendukung kegiatan belajar. 

Yang perlu ditinjau adalah penantaan ruang kelas, pengorganisasian kelompok, penataan sumber-sumber belajar, penataan tempat publikasi karya, dan display kelas yang mendukung.

Sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik, guru bukanlah satu-satunya penempah pribadi anak didik. Ada orang tua yang justru merupakan pengajar dan pendidik utama dari setiap anak didik. Oleh karena itu, hubungan antar guru dengan orang tua peserta didik merupakan hubungan mutualisme yang saling menopang. 

Guru tidak dapat berjalan sendiri untuk mendidik anak, sebagaimana orang tua tidak dapat mengajarkan banyak hal kepada anak didik. Kemampuan berkomunikasi yang baik adalah kunci membangun hubungan yang baik dengan orang tua murid. 

Mendengar, mengatasi masalah peserta didik, mengatsi hambatan komunikasi verbal, mendorong dan memotivasi anak didik adalah bentuk komunikasi guru bersama orang tua yang dikembangkan.

Komitmen dan motivasi adalah hal terakhir yang perlu ada dalam diri seorang guru dalam upaya membelajarkan anak didik. Terkadang, melakukan aktivitas yang sama akan menjadikan kita jenuh. 

Berilah perhatian kepada anak didik. Anak didik yang beragam memiliki keunikannya masing-masing. Jadikan keunikan anak didik sebagai motivasi yang membakar semangat mengabdi. 

Berupaya untuk tetap menyadari pribadi sebagai guru dengan memperhatikan sikap yang baik dan perilaku yang terpuji, berpenampilan yang sopan merupakan hal-hal yang perlu diperhatikan untuk tetap menjaga konsistensi komitmen untuk mendidik. 

Sebagai catatan, kita akan semakin berkomitmen dan termotivasi manakala setiap hal baik yang kita perlihatkan kepada peserta didik juga menjadi sikap, perilaku dan penampilan dari peserta didik. Keberhasilan anak didik dikemudian hari adalah motivasi berharga yang tak bisa didapatkan tanpa menunjukan komitmen dan motivasi dalam diri. (Vj)

 Sumber

Academia.edu no longer supports Internet Explorer.

To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.

Wawasan Pendidikan,- teman - teman sobat pendidikan, mungkin tidak asing lagi di telingah kita istilah tentang Mengajar. namun, masih banyak sobat pendidikan yang belum mengerti tentang mengajar itu sendiri. kali ini sobat pendidikan akan berbagi artikel tentang Mengajar Sebagai ilmu Pengetahuan. untuk lebih jelas, silahkan baca artikel dibawah ini.

Mengapa mengajar disebut sebagai seni dan ilmu pengetahuan
Mengajar Sebagai ilmu Pengetahuan 

Mengajar Sebagai ilmu Pengetahuan 

Mengajar merupakan suatu perbuatan yang memerlukan tanggung jawab moral yang cukup berat. Berhasilnya  pendidikan pada siswa sangat bergantung pada pertanggungjawaban guru dalam melaksanakan tugasnya. Zamroni (2000:74) mengatakan “guru adalah kreator proses belajar mengajar”. Ia adalah orang yang akan mengembangkan suasana bebas bagi siswa untuk mengkaji  apa yang menarik minatnya, mengekspresikan ide-ide dan kreativitasnya  dalam batas-batas norma-norma yang ditegakkan secara konsisten. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa orientasi  pengajaran  dalam  konteks  belajar  mengajar  diarahkan untuk  pengembangan  aktivitas  siswa  dalam  belajar.

Gambaran  aktivitas  itu  tercermin  dari  adanya  usaha  yang  dilakukan  guru dalam kegiatan proses belajar mengajar yang memungkinkan siswa aktif belajar. Oleh karena itu mengajar tidak hanya sekedar menyampaikan informasi yang sudah jadi dengan menuntut jawaban verbal melainkan suatu upaya integratif ke arah pencapaian tujuan pendidikan. Dalam konteks ini guru tidak hanya sebagai penyampai informasi tetapi juga bertindak sebagai director and facilitator of learning.

Nasution (1982:8) mengemukakan kegiatan mengajar diartikan sebagai segenap aktivitas kompleks yang dilakukan guru dalam mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan anak sehingga terjadi proses belajar. Dengan demikian proses dan keberhasilan belajar siswa    turut ditentukan oleh peran yang dibawakan guru selama interaksi proses belajar mengajar berlangsung. Usman (1994:3) mengemukakan mengajar pada prinsipnya adalah membimbing siswa dalam kegiatan belajar mengajar atau mengandung pengertian bahwa mengajar merupakan suatu usaha mengorganisasi lingkungan dalam hubungannya dengan anak didik dan bahan pengajaran yang menimbulkan terjadinya proses belajar. Pengertian ini mengandung makna bahwa guru dituntut untuk dapat berperan sebagai organisator kegiatan belajar siswa dan juga hendaknya mampu memanfaatkan lingkungan, baik ada di kelas maupun yang ada di luar kelas, yang menunjang terhadap kegiatan belajar mengajar.

Burton (dalam Usman, 1994:3) menegaskan “teaching is the guidance of learning activities”.  Hamalik (2001:44-53) mengemukakan, mengajar dapat diartikan sebagai (1) menyampaikan pengetahuan kepada siswa, (2) mewariskan kebudayaan kepada generasi muda, (3) usaha mengorganisasi lingkungan sehingga menciptakan kondisi belajar bagi siswa, (4) memberikan bimbingan belajar kepada murid, (5) kegiatan mempersiapkan siswa untuk menjadi warga negara yang baik, (6) suatu proses membantu siswa menghadapi kehidupan masyarakat sehari-hari. Tardif (dalam Adrian, 2004) mendefinisikan, mengajar adalah any action performed by an individual (the teacher) with the intention of facilitating learning in another individual (the learner), yang berarti mengajar adalah perbuatan yang dilakukan seseorang (dalam hal ini pendidik) dengan tujuan membantu atau memudahkan orang lain (dalam hal ini peserta didik) melakukan kegiatan belajar.

Biggs (dalam Adrian, 2004) seorang pakar psikologi membagi konsep mengajar menjadi tiga macam pengertian yaitu (1) Pengertian Kuantitatif.  Mengajar diartikan sebagai the transmission of knowledge, yakni penularan pengetahuan. Dalam hal ini guru hanya perlu menguasai pengetahuan bidang studinya dan menyampaikan kepada siswa dengan sebaik-baiknya. Masalah berhasil atau tidaknya siswa bukan tanggung jawab pengajar.  (2) Pengertian institusional.  Mengajar berarti  the efficient orchestration of teaching skills, yakni penataan segala kemampuan mengajar secara efisien. Dalam hal ini guru dituntut untuk selalu siap mengadaptasikan berbagai teknik mengajar terhadap siswa yang memiliki berbagai macam tipe belajar serta berbeda bakat, kemampuan dan kebutuhannya. (3) Pengertian kualitatif.  Mengajar diartikan sebagai the facilitation of learning, yaitu upaya membantu memudahkan kegiatan belajar siswa mencari makna dan pemahamannya sendiri. Burton (dalam Sagala, 2003:61) mengemukakan mengajar adalah upaya memberikan stimulus, bimbingan pengarahan, dan dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar.

Apakah pendidikan atau pengajaran dalam arti sempit adalah suatu ilmu pengetahuan ?. untuk dapat menjawab pertanyaan ini diperlukan pengetahuan tentang syarat suatu ilmu pengetahuan. Namun peril lebih dulu diketahui apakah ilmu pengetahuan itu sendiri. Dalam bahasa Inggris, Ilmu pengetahuan dsebut science yang berate mengetahui atau belajar.

Objek ilmu pendidikan adalah perbuatan mendidik. Dalam mengajar tentunya perbuatan mengajar adalah suatu kegiatan yang berlangsung  dalam pergaulan antara pendidik (guru ) dengan peserta didik (siswa). Sifat kritis mengemikakan pertanyaan-pertanyaan atau mempermasalahkan  suatu objek.

Apakah mengajar itu suatu ilmu pengetahuan (science) atau seni (art) adalah masalah yang ramai di persoalkan dan menimbulkan bermacam-macam pendapat dikalangan ahli-ahl yang berkompeten. Willian James (1958) misalnya dalam bukunya Talks to Teachers antara lain mengemukakan Psychologi s a science and teaching is an art yang artinya psikologi adalah ilmu  pengetahuan dan mengajar adalah seni. James juga setuju kalau dalam mengajar, metode mengajar menggunakan hokum-hukum psikologi.

Gilbert Highet (1955) dalam bukunya The art of Teaching secara tegas mengatakan Belive that teaching is an art , not: I science bahwa mengajar itu adalah seni dan bukan ilmu pengetahuan . Highet menganggap sangat berbahaya kalau menggunakan tujuan- tujuan dan metode- metode ilmiah untuk manusian sebagai individu, sekalipun prinsip-prinsip statistic dapat dgunakan untuk menjelaskan perilaku manusia dalam kelompok besar dan diagnosis ilmiah mengenai struktur fisik manusia selalu dapat bernilai. Menurut Highet, mengajar itu bukan ilmu pengetahuan , karena mengajar mencakup paksaan yang tak dapat disampaikan atau dikerjakan secara sistematis. Pengajaran Ilmiah ( Scentific teaching) sekalipun dari bahan pengajaran ilmiah, tak akan memadai selama guru dan murid itu dalam kedudukan sebagai manusia. Mengajar lebih banyak persamaannya dengan melukis suatu gambar atau menggubah suatu bahan dan  prosedur kurikulum yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan perilaku sesuai dengan tujuan yang diinginkan, seharusnya dipegang sebagai hipotesis yang harus dites terus menerus, dengan meneliti sejauh mana perilaku yang diperkirakan itu itu betul-betul tampak terjadi. Pandangan inilah yang ditunjukkan oleh Coladarsi sebagai teaching beharvior defined as testing of testing of hypotesis beharviour.

semoga artikel tentang Mengajar Sebagai ilmu Pengetahuan dapat bermanfaat, ditunggu kunjungan teman-teman di artikel selanjutnya.