Semua manusia awalnya berada pada fitra Islami. Namun lama kelamaan fitra Islami itu rusak karena intervensi nilai jahiliyah serta tingkah laku manusia itu sendiri. Show Akibatnya, kerusakan moral dan perilaku jahiliyah mewarnai hidup dan kehidupan dimana-mana. Di gedung, di kantor, terminal dan di pasar, bahkan di tempat suci yang semestinya orang tunduk kepada Allah SWT, sehingga sifat sebagian manusia sama dengan sifat syaitan. Bahkan lebih. Pada hal sifat khusus syaitan adalah ingkar kepada Allah SWT dan selalu berbuat kejahatan. Jika syaitan ada yang patuh dan berbuat baik, maka ia tidak lagi dinamakan syaitan. Sedangkan manusia, diciptakan Allah SWT dengan sifat ganda, yaitu patuh dan ingkar. Kepatuhan manusia kepada Allah bisa menyamai malaikat. Bahkan bisa melebihi, kata H. A. Rahman, di Muaro Sijunjung, Rabu (21/6). Kalau malaikat patuh tidaklah aneh, karena ia tidak mempunyai sifat ingkar. Tapi jika manusia yang patuh kepada Allah SWT, boleh dikatakan luar biasa, karena manusia memiliki sifat ingkar yang kadangkala manusia itu sendiri tidak mampu mengekang dan mengendalikannya. Sebaliknya, keingkaran manusia juga bisa melebihi syaitan. Sebagaimana dijelaskan Allah SWT dalam Al Quran, syaitan tidak pernah memaksakan kehendaknya kepada manusia, tapi hanya membujuk agar manusia mau berbuat kejahatan. Syaitan tidak pernah membunuh manusia. Tapi karena kebiadaban, manusia ada yang tega menggorok, memotong dan mencincang manusia. Bahkan ada ibu kandung yang sampai hati mencekik, menginjak dan membuang bayinya sendiri, sebut A. Rahman. Dengan dasar itulah Allah SWT dalam Al Quran mengatakan bahwa manusia bisa menjadi syaitan. Maksudnya bukan bentuk manusia yang berubah menjadi syaitan. Tapi perangai manusia itu sendiri yang sama dengan perangai syaitan. Bahkan lebih buruk dan biadab. Dalam sebuah hadits Rasulullah menggambarkan, bila seekor harimau dimasukkan ke dalam kandang kambing, yang akan dimakan harimau hanya seekor atau dua ekor kambing. Setelah itu harimau pergi. Tapi, jika manusia yang dimasukkan, jangankan satu kandang, berpuluh-puluh dan beratus-ratus kandang, bahkan dengan kandang-kandangnya akan habis oleh manusia. Artinya, dalam mengarungi hidup dan kehidupan di atas dunia ini, manusia yang tidak kanaa tidak akan pernah puas dan tidak akan pernah merasa cukup terhadap kebutuhan, sehingga sudah dapat satu ingin dua, dapat dua ingin tiga. Bahkan dalam satu adist Nabi Muhammad SAW menjelaskan, manusia diberi dua lurah yang penuh emas dia tidak bersyukur, tapi minta satu lurah lagi. Begitulah keserakahan manusia yang dikendalikan hawa nafsu. Dan manusia seperti inilah yang akan membawa kerusakan di bumi Allah yang juga akan membawa kesengsaraan pada mansyarakat. Karena dia akan memakan apa saja yang ada disekelilingnya. Batu, aspal, kayu, tanah, semen, besi akan dilibas dan dimakannya. Tidak peduli haram atau halal, masa bodoh apakah orang akan teraniaya, merana dan sengsara. Yang penting nafsu angkara murkanya terpenuhi, meski pun menari di atas bangkai teman sendiri dan bergembira di atas penderitaan orang lain. Untuk mengatasi semua inilah Allah SWT membimbing dan menuntun manusia dengan mewajibkan beribadah kepada-Nya, agar manusia itu selalu memiliki rohani yang bening dan bersih, sehingga mampu mengendalikan nafsu angkara murka yang serakah, biadab, sadis dan biringas. Namun kadang kala sebagian manusia tidak menghiraukan perintah dan larangan Allah, apa lagi bimbingan dan tuntunan-Nya, sehingga manusia itu lupa diri dan lupa daratan. Pada hal orang lupa diri lupa kepada Tuhan dan orang yang melupakan tuhan, temannya adalah syaitan, jelas A. Rahman. –[email protected] Ini mungkin adalah salah satu pertanyaan yang paling membingungkan bagi orang Kristen. Kenyataan bahwa dunia ini penuh dengan kejahatan dan penderitaan telah membuat sebagian orang meninggalkan iman mereka, sebagian lagi ragu-ragu untuk datang kepada Tuhan, dan sebagian lagi kehilangan semangat untuk bertumbuh dalam perjalanan mereka mengikut Tuhan. Ketika aku mulai menjajaki iman Kristen, aku punya banyak pertanyaan. Salah satunya adalah tentang bagaimana iman Kristen menanggapi rupa-rupa kejahatan dan penderitaan yang ada di dunia. Aku membaca beberapa buku apologetika Kristen yang mencoba menjawab pertanyaan ini dan menggumulkannya cukup lama—dan aku masih tetap punya sejumlah pertanyaan. Sebagian dari kita mungkin memilih untuk tidak membicarakannya, tetapi aku pikir tidaklah bijaksana bila kita mengabaikan masalah ini sama sekali. Kejahatan dan penderitaan adalah masalah yang nyata-nyata kita hadapi setiap hari. Jika Allah itu Mahabaik dan Mahakuasa, bukankah seharusnya Dia tidak akan membiarkan kejahatan tetap merajalela? Jika Dia membiarkannya, bisa jadi Dia tidak Mahabaik atau Dia tidak Mahakuasa. Para filsuf seperti Alvin Plantinga, Peter Van Inwagen, dan William Lane Craig memberikan sejumlah argumen yang menunjukkan bahwa kejahatan bisa saja tetap ada sekalipun Allah Mahabaik dan Mahakuasa. Plantinga dalam salah satu argumennya tentang kehendak bebas, berpendapat bahwa selama Allah memberikan kehendak bebas kepada manusia, maka akan selalu ada kemungkinan bagi manusia untuk melakukan kejahatan—yang tidak akan diintervensi oleh Allah. Jika diintervensi artinya manusia tidak punya kehendak bebas. Lalu mengapa Allah kemudian mengizinkan adanya kehendak bebas? Plantinga membahas isu ini panjang lebar dalam bukunya, God, Freedom, and Evil. Menurutnya, dunia yang manusianya diberi kehendak bebas bisa lebih baik daripada yang manusianya tidak diberi kehendak bebas. Misalnya saja dalam hal cinta. Tidak ada cinta dalam dunia tanpa kehendak bebas, karena cinta harus merupakan pilihan sukarela yang dibuat seseorang, tidak bisa dipaksakan. Ia menjelaskannya lebih jauh demikian:
Penjelasan ini menolong kita memahami mengapa ada begitu banyak kejahatan di dunia sekalipun Allah Mahabaik. Namun, penjelasan ini tidak memadai bagi sebagian orang. Kenyataannya, meski hampir semua temanku yang pernah mendengarkan argumen Plantinga setuju dengannya, mereka masih punya masalah. Mereka merasa tidak nyaman dengan fakta bahwa ada begitu banyak kematian di seluruh dunia, yang sepertinya tidak perlu terjadi. Sulit untuk memahami mengapa ada ketidakadilan di mana-mana, sebaik apa pun penjelasan yang diberikan. Aku pun mulai berpikir bahwa pertanyaan ini mungkin tidak sepenuhnya membutuhkan jawaban yang bersifat intelektual. Masalah ini sepertinya lebih banyak berkaitan dengan faktor emosional. Tidak ada jawaban yang mudah karena ini bukan masalah logika belaka. Ini adalah masalah hati—kita ingin memahami mengapa umat manusia harus melewati berbagai kesulitan hidup. Sesungguhnya, mendengarkan jeritan mereka yang menderita dan merasa terbeban untuk menolong mereka keluar dari penderitaan itu mengungkapkan sisi kemanusiaan kita. Dan, itu adalah hal yang baik. Aku sendiri tidak yakin ada jawaban yang benar-benar bisa memuaskan. Pernyataan umum seperti, “Dosa adalah penyebabnya”, tidak akan banyak menolong orang yang sedang menderita. Mungkin kita perlu melihat masalah ini dari sudut yang berbeda. Saat bertanya mengapa Allah itu baik namun membiarkan penderitaan ada, bagaimana kalau kita juga bertanya: mengapa ada Yesus dalam sejarah, mengapa ada peristiwa penyaliban yang diikuti dengan kubur yang kosong? Ketika kita melihat penyaliban Yesus dan kebangkitan-Nya, yang kita lihat bukanlah Pribadi Allah yang tidak peduli. Yang kita lihat adalah Pribadi yang peduli dan yang berkomitmen untuk memperbarui segenap ciptaan-Nya. Sebab itulah Dia mengutus Putra-Nya, Yesus, ke dalam dunia, mati menggantikan kita di kayu salib, supaya kita dapat diampuni dari dosa-dosa kita. Dia juga membangkitkan Yesus dari maut, supaya kita memiliki pengharapan akan hidup yang kekal. Terkadang aku bertanya-tanya, berapa banyak orang yang akan berbalik kepada Allah karena jawaban iman Kristen terhadap isu kejahatan dan penderitaan. Aku sendiri menjadi seorang Kristen karena aku yakin dengan bukti-bukti sejarah tentang kebangkitan Yesus, dan pada saat yang sama aku juga sadar sepenuhnya bahwa aku telah berdosa, tidak mengakui keberadaan Allah yang menciptakan semesta ini. Meski aku masih punya banyak pertanyaan tentang kejahatan dan penderitaan, aku kini menyadari bahwa aku tidak bisa memahami segala hal dengan mengandalkan pengertian dan sudut pandangku yang terbatas. Aku tetap memegang imanku karena kebenaran tentang siapa Yesus. Menurutku, jika dalam penderitaan kita berfokus mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti, “Mengapa aku?” “Mengapa sekarang?” “Mengapa ini harus terjadi?” kita tidak akan pernah mengerti, apalagi dilegakan oleh jawaban yang diberikan. Aku yakin menjadi orang Kristen berarti mengalihkan fokus kita dari pertanyaan “Mengapa aku?” menjadi “Mengapa Yesus?” Dialah pengharapan kita. Kita tidak akan pernah memahami isu ini sepenuhnya, namun kita tahu satu hal—dan bisa berlega hati karenanya—Allah peduli dan seluruh pribadi Yesus membuktikan kebenaran ini. Pertanyaan tentang kejahatan dan penderitaan akan selalu mengusik hati kita, dan kita akan selalu bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan tentang penderitaan. Namun kita tahu bahwa kejahatan dan penderitaan terjadi bukan karena Allah tidak peduli. Dia peduli dan Dia telah mengambil tindakan untuk memulihkan dunia ini. N.T.Wright memberikan kesimpulan yang serupa:
Bagikan Konten Ini Tags: Alvin Plantinga, Kebaikan Allah, Kedaulatan Allah, Kejahatan, N.T.Wright, Penderitaan Bagikan konten ini
25 replies
|