Penulis: Iswara N Raditya View non-AMP version at tirto.id tirto.id - Butir sila 1 sampai 5 Pancasila memiliki butir-butir pengamalan yang mengandung isi dan makna untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila menjadi pilar ideologis bangsa Indonesia selain tentu saja sebagai dasar negara. Setiap sila dalam Pancasila memiliki butir-butir pengamalan yang mengandung isi dan makna untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Istilah Pancasila terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Sanskerta. Panca yang berarti "lima" dan sila yang bermakna "prinsip" atau "asas". Maka, Pancasila bisa dimaknai sebagai rumusan dan pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Kandungan isi Pancasila harus dikemukakan secara kontekstual sehingga nilai-nilainya bisa ditemukan dalam kebudayaan bangsa Indonesia. Nilai-nilai luhur Pancasila digali sebagai jalan keluar untuk menghadapi segala tantangan, demikian dikutip dari buku Pancasila dalam Pusaran Globalisasi (2017) suntingan Al Khanif. Adapun isi 5 sila dalam Pancasila yaitu (1) Ketuhanan yang Maha Esa; (2) Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; (3) Persatuan Indonesia; (4) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan; dan (5) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Menurut P.J. Soewarno dalam Pancasila Budaya Bangsa Indonesia (1993), meskipun ke-5 sila merupakan satuan yang tidak terpisahkan, tetapi dalam pelaksanaannya dapat ditelusuri perbedaan intensitas masing-masing sila. Walaupun satu tetap lima, masing-masing sila tidak sama asasinya. Maka, dijabarkanlah butir-butir pengamalan Pancasila yang terkandung di setiap sila tersebut. Butir-Butir Pengamalan Pancasila pertama kali diatur melalui Ketetapan MPR No.II/MPR/1978. Setelah era reformasi, Butir-Butir Pengamalan Pancasila disesuaikan berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2003.
Infografik Pancasila. tirto.id/Fuadi Butir-Butir Pengamalan Pancasila Sila ke-1“Ketuhanan Yang Maha Esa"
Butir-Butir Pengamalan Pancasila Sila ke-2“Kemanusiaan yang Adil dan Beradab"
Baca juga: Butir-Butir Pengamalan Pancasila Sila ke-3“Persatuan Indonesia"
Butir-Butir Pengamalan Pancasila Sila ke-4“Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan"
Baca juga: Butir-Butir Pengamalan Pancasila Sila ke-5 (adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});“Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia"
Baca juga artikel terkait PANCASILA atau tulisan menarik lainnya Iswara N Raditya Penulis: Iswara N Raditya Penyelia: Addi M Idhom Photo by Yan from Pexels via https://www.pexels.com Sebelum memaksa seseorang untuk menuruti kehendak kita, baiknya kita tahu persis posisi dan situasi yang sedang dihadapinya. Tidak semua orang di dunia ini baik-baik saja, mereka pun mempunyai masalah sendiri-sendiri. Seperti, masalah finansial, krisis percaya diri, mudah terjatuh dan sulit bangkit kembali. Kita harus tahu benar persoalan seperti itu. Tidak selamanya mereka bersedia, maka sebaiknya kita bertanya terlebih dulu kesediaan mereka sebelum mengambil keputusan. Sehingga keputusan yang diambil bukan merupakan kesepakatan sepihak, bukan berlatar paksaan dengan alibi tanggung jawab ini itu. Dan, berhentilah keras kepala, belajarlah memahami situasi orang lain. Jangan anggap dia tertawa karena bahagia dan berdiam diri sebab bersedih. 3. Upaya kita memaksakan kehendak bisa menjadi beban tersendiri bagi diaPhoto by olia danilevich from Pexels via https://www.pexels.comTiap-tiap manusia yang hidup di permukaan bumi memiliki deadline sendiri-sendiri dan mereka paham betul akan hal itu. Terlebih lagi jika itu deadline tugas, deadline pekerjaan atau deadline target yang harus tercapai sebelum waktu yang ditetapkan. (adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); Jika kita seorang pemimpin di sebuah perusahaan atau organisasi, memaksakan sesuatu terhadap anggota mungkin wajar-wajar saja. Namun, berubah jadi tidak wajar ketika dilakukan berulang kali, meneror tiap malam, hingga terbawa ke mana-mana.Begitu pula bagi kita yang ingin menikah, bertanya pada si dia kapan akan datang menemui orangtua, kapan akan melamar, kapan seserahan, kapan fitting baju? Hal itu akan menjadi beban tersendiri bagi mereka.Beban itu bukan saja memberatkan pundak mereka, namun, terbawa hingga renungan apakah sanggup jika…?Ada sebagian orang yang merasa terbebani sampai-sampai merasa gagal, putus asa dan berhenti. Sekali lagi, tiap-tiap kesanggupan seseorang berbeda-beda.Kita tidak dapat memberi penilaian hanya dari oh dia masih sanggup tersenyum, artinya masih mampu. Ada sebagian dari mereka yang tersenyum untuk menyembunyikan beban yang sedang dipikul.4. Kembali pada alasan awal mengapa kita memaksanya, apakah karena alasan pribadi atau saling menguntungkan?Photo by Ekaterina Bolovtsova from Pexels via https://www.pexels.comMemikirkan kembali alasan awal mengapa kita memaksa seseorang merupakan cara yang bijak. Pikirkan kembali, apakah alasannya karena hal pribadi atau memang untuk menguntungkan kedua belah pihak.Jika alasannya karena ambisi pribadi, sebaiknya urungkan saja. Tidak baik melibatkan orang lain hanya untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, bukan? Begitu sebaliknya, jika menguntungkan dua atau tiga pihak, tetap dipikirkan kembali—apakah pantas dengan cara memaksa alih-alih memilih cara yang lebih dewasa dan pantas.Sebab pada situasi ini, kitalah yang membutuhkan orang-orang dan etikanya adalah bicarakan secara baik-baik bukan memaksa apalagi menggunakan cara bar-bar.5. Tanyakan pada hati, kira-kira jika hal yang sama terjadi pada diri kita sendiri, apakah sanggup?Photo by Tima Miroshnichenko from Pexels via https://www.pexels.comCoba tanyakan pada hati dan diri sendiri, sanggupkah kita jika berada di posisi orang tersebut. Dipaksa bukan hanya sekali dua kali atau ditanyai bukan cuma sekali dua kali.Bayangkan jika kita hidup dikelilingi paksaan dari orang-orang yang mungkin levelnya lebih tinggi daripada kita saat ini. Apakah sanggup?Tanyakan berulang-ulang ketika kita berniat memaksakan sesuatu pada orang lain. Apa dia sanggup? Apa si dia mampu melakukannya? |