Mengapa dalam Islam ibadah sosial juga penting dilakukan setiap Muslim selain ibadah ritual jelaskan

Posted on 10/12/2017 by barokah

Penceramah                 : Drs. Hasrat Efendi Samosir, MA Hari/Tanggal               : Senin, 27 Maret 2017

Judul ceramah             : Ibadah Sosial vs Ibadah Ritual

Dalam hidup ini dua macam ibadah. Ibadah ritual dan ibadah sosial. Atau dalam istilah lain, kesalehan individual dan kesalehan sosial. Salah satu surah yang menyuruh kita untuk melaksanakan ibadah sosial yaitu surah al-Ma’un, “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (Yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. Orang-orang yang berbuat riya. dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (QS. Al-Ma’un, 107: 1-7)

Dibanding ibadah ritual, ibadah sosial sangat dianjurkan oleh Islam. Ada beberapa hal yang mendasari pentingnya ibadah ritual dalam Islam:

  1. Ayat-ayat al-Qur’an lebih banyak bercerita tentang ibadah sosial ketimbang ibadah ritual. Ini bisa dilihat dari seringnya al-Qur’an menggandengkan antara kata iman dengan amal saleh. “Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-Ashr, 103: 3)
  2. Jika ibadah ritual ditinggalkan seperti orang yang tua yang tidak sanggup untuk puasa di bulan Ramadan, maka ia wajib membayar fidyah kepada fakir miskin. Ibadah ritual yang ditinggalkan, gantinya ibadah sosial. Ini juga sama dengan orang yang sudah suami istri melakukan hubungan suami istri harus membayar dengan puasa 60 hari berturut-turut atau memberikan makan fakir miskin 60 orang.
  3. Jika ada ibadah ritual dikerjakan berbarengan dengan ibadah sosial, maka ibadah ritual itu bisa diakhirkan atau dipercepat. Bukan ditinggalkan. Seperti ketika shalat berjamaah, maka si imam harus melihat bagaimana keadaan jamaahnya. Jika banyak anak kecil, maka dipercepatlah shalat agar tidak mengganggu shalat berjamaah. Hal ini pernah dilakukan Rasulullah ketika ia shalat berjamaah dengan sahabatnya, ia mempercepat shalat dari yang biasanya. Lalu sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, kenapa shalat dipercepat dari yang biasanya ya Rasulullah”? Tadi saya mendengar ada anak kecil menangis. Saya takut ibunya dan jamaah lain terganggu, maka saya percepat shalatnya. Selain itu, pernah juga suatu ketika Rasulullah terlambat melaksanakan shalat Ashar gara-gara mendamaikan dua suku yang bertengkar.

Jadi, dalam hidup ini kita perlu melaksanakan ibadah sosial. Kesalehan sosial harus kita internalisasikan dalam kehidupan kita sehari-hari. Inilah yang dimaksud bahwa Islam itu Rahmatan li al-alamin.

Nilai-nilai ibadah ritual sejatinya berkelindan dengan perbuatan sosial. Kedua hal itu saling berkaitan dan bisa diterapkan sepanjang waktu. Salah satu wujud terintegrasinya nilai-nilai ibadah ritual dengan dimesi perbuatan sosial adalah berupaya menerapkan kesalehan sosial dalam kehidupan rutin sehari-hari.

Masalahnya, seringkali terjadi kekeliruan pemahaman antara kesalehan sosial dan kebaikan. Padahal, meskipun memiliki konsep yang hampir sama, namun sebenarnya keduanya adalah hal yang berbeda. Seseorang yang telah melakukan kesalehan sosial sudah tentu melakukan suatu kebaikan. Namun tidak berlaku sebaliknya.

Sederhananya, kesalehan sosial adalah suatu perbuatan yang dilakukan dan memiliki dampak positif berkelanjutan, atau kesalehan sosial akan menimbulkan hal-hal positif yang sifatnya terus-menerus. Jika tidak, maka baru sebatas pada melakukan kebaikan saja. Dampak positif berkelanjutan ini penting sekali maknanya, karena perbuatan yang dilakukan dapat mengubah kehidupan orang lain menjadi lebih baik. Sementara berbuat kebaikan saja tidak mengubah keadaan.

Contohnya, jika seseorang memberikan makanan kepada orang miskin, itu baru dapat dikatakan sebagai kebaikan saja. Mengapa? Karena setelah orang tersebut selesai makan, pada suatu saat ia akan lapar lagi. Tidak ada perubahan nasib di dalam kehidupannya. Meskipun pihak yang memberi makanan akan mendapatkan pahala di dalam buku amalnya dan telah berbuat baik menurut pandangan manusia. Namun pada prinsipnya ia belum melakukan suatu perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai kesalehan sosial.

Alasannya, karena secara garis besar si orang miskin tersebut nasibnya tidak akan berubah lantaran amal kebaikan seseorang itu. Setelah diberikan makanan, si orang miskin akan tetap saja miskin. Standar kehidupannya tidak berubah. Kesehatannya tetap tidak terjamin. Apalagi jika dikaitkan dengan nasib keluarganya secara keseluruhan.

Kecuali jika orang miskin tersebut diberi pendidikan atau diberi modal untuk berusaha. Demikian pula perbuatan-perbuatan baik lainnya yang bisa menimbulkan dampak positif secara terus-menerus. Dengan melakukan hal ini, walaupun belum tentu juga akan mengubah nasib si orang miskin, namun setidaknya dia memiliki peluang untuk mengubah nasib. Melalui pemberian modal dan bimbingan usaha, si orang miskin akan mendapatkan sesuatu yang lebih berarti, sehingga dalam jangka panjang bisa saja nasibnya akan mengalami perubahan ke arah yang lebih baik.

Pada satu masa tertentu, pihak yang melakukan kesalehan sudah merasa cukup memberikan bimbingan dalam melakukan usaha. Si orang miskin yang sudah berubah nasibnya tetap dapat melanjutkan usahanya. Kehidupannya menjadi lebih baik. Pendidikan anaknya akan lebih terjamin.

Bisa jadi, pihak yang sudah diberi bantuan tersebut akan melakukan kesalehan sosial yang serupa kepada orang miskin lainnya. Jadi, suatu saat dia pun dapat berperan dalam mengubah nasib seseorang, atau keberhasilannya dalam berusaha diteruskan oleh keturunannya.

Inilah yang disebut dengan kesalehan sosial. Sebuah perbuatan baik yang memiliki dampak positif berkelanjutan. Sebuah peribahasa menyebutkan, “Beri seseorang ikan, maka dia akan makan untuk hari itu saja. Namun beri dia kail, maka ia bisa makan seumur hidupnya.”

Kesalehan sosial menjadi penting untuk dipahami, karena konsep ini sering tercampuradukkan dengan kebaikan, sehingga kita tidak dapat membedakan antara kebaikan dan kesalehan sosial. Padahal, pemahaman konsep ini akan memberikan sudut pandang yang lebih jelas dalam memaknai sebuah perbuatan. Selain itu, akan memberikan kita sebuah sudut pandang yang lebih baik ketika akan membantu sesama.

Sering terjadi, banyak kalangan baik dari pemerintah ataupun swasta berbuat kebaikan, namun tidak memiliki dampak positif sesudahnya. Terlihat dari luar sepertinya telah menolong masyarakat banyak, namun yang ditolong tetap saja tidak mampu berubah ke arah yang lebih baik. Alhasil, kehidupan masyarakat banyak yang begitu-begitu saja dari dulu hingga sekarang.

Kesalehan Sosial dan Amal Jariah

KESALEHAN sosial merujuk pada perilaku orang-orang yang sangat peduli dengan nilai-nilai islami yang bersifat sosial. Maka, kesalehan sosial adalah suatu bentuk kesalehan yang tidak hanya ditandai oleh rukuk dan sujud, puasa dan haji, melainkan juga ditandai oleh seberapa besar seseorang memiliki kepekaan sosial dan berbuat kebaikan untuk orang-orang di sekitarnya.

Pada Islam, saleh secara individual/ritual harus diikuti dengan saleh secara sosial. Pasalnya, ibadah ritual selain bertujuan pengabdian diri pada Allah juga bertujuan membentuk kepribadian yang memiliki dampak positif terhadap kehidupan sosial atau hubungan dengan sesama manusia.

Hadits menyebutkan, seorang sahabat pernah memuji kesalehan orang lain di depan Nabi. Nabi bertanya, “Mengapa ia kau sebut sangat saleh?” Sahabat itu menjawab, “Karena tiap saya masuk masjid ini dia sudah shalat dengan khusyuk. Dan tiap saya sudah pulang, dia masih saja khusyuk berdoa.”

“Lalu siapa yang memberinya makan dan minum?” tanya Nabi lagi. “Kakaknya,” sahut sahabat tersebut. Lalu Nabi berkata, “Kakaknya itulah yang layak disebut saleh”. Sahabat itu pun diam.

Hadits ini memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah ritual saja belum cukup. Ibadah ritual mesti dibarengi dengan kesalehan sosial. Puasa, misalnya, memiliki dimensi garis horizontal yang kental dengan nuansa kehidupan sosial seperti berderma, menyantuni orang dhuafa, serta sabar dalam menerima cobaan. Barometer kebajikan bagi Allah bukan hanya diukur dari banyaknya interaksi pribadi hamba kepadaNya. Tetapi kebajikan yang bersifat holistik, yang dapat menjiwainya dalam kehidupan sosial.

Nilai-nilai sosial pada puasa tidak berhenti pada praktIk puasa itu saja. Puasa merupakan salah satu sistem yang jitu untuk dapat menghilangkan sifat angkuh, sombong, bakhil, egois, dan sifat tidak terpuji lainnya. Melalui puasa, seorang mukmin akan mengetahui dan menyadari betapa lemah dirinya.

Kesalehan sosial sebagai perwujudan dari pengaruh puasa ini dapat dicapai jika kita mampu menanamkan secara teguh kesadaran akan kehadiran orang lain dalam diri kita. Ibadah puasa akan mampu membuka tabir ruang-ruang pribadi yang masih dibingkai dengan sikap egois dan tidak mampu menyentuh dunia luar. Artinya, ibadah puasa menekankan sikap kesetiakawanan sosial dan solidaritas yang tinggi terhadap orang lain sebagai perwujudan tingkat taqwa yang diliputi oleh ketulusan dan keikhlasan.

Ibadah puasa sarat dengan pesan etika kesalehan sosial yang sangat tinggi, seperti pengendalian diri, kedisiplinan, kejujuran, kesabaran, dan solidaritas. Hal Ini merupakan sebuah potret yang mengarah kepada eratnya kesalehan pribadi dengan kesalehan sosial. Oleh karena itu, diharapkan output dari ibadah puasa adalah lahirnya manusia-manusia beriman yang tidak hanya memiliki kesalehan individual, tetapi juga manusia beriman yang memiliki kesalehan sosial.

Konsep kesalehan sosial yang paling dekat dalam ajaran Islam adalah amal jariah. Salah satu hadits Rasulullah SAW yang tentunya sangat akrab di telinga para mukmin adalah, “Apabila meninggal anak cucu Adam (maksudnya manusia), maka terputuslah amalnya, kecuali tiga hal saja, yaitu sedekah jariah, ilmu yang diambil manfaatnya oleh manusia, dan anak yang saleh yang selalu berdoa untuknya.” (HR. Ahmad)

Pada kesempatan lain Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda : “Sesungguhnya amal saleh yang akan menyusul seorang mukmin setelah dia meninggal dunia kelak ialah ilmu yang dia ajarkan dan sebarkan, anak saleh yang dia tinggalkan, mushaf Al Quran yang dia wariskan, masjid yang dia bangun, rumah tempat singgah para musafir yang dia dirikan, air sungai (atau irigasi) yang dia alirkan, dan sedekah yang dia keluarkan di kala sehat dan masih hidup. Semua ini akan menyusul dirinya ketika dia meninggal kelak.” (HR. Ibnu Majah dan Baihaqqi)

Dari kedua hadits itu dapat dilihat sebenarnya konsep kesalehan sosial sudah lama diajarkan oleh Rasulullah. Bahkan, kesalehan sosial tersebut mendapatkan penghargaan yang teramat besar di dalam Islam. Kesalehan sosial yang didefinisikan sebagai amal jariah dalam Islam akan selalu mendapatkan pahala yang tidak akan putus, kendati orang yang melakukan kesalehan sosial tersebut telah meninggal dunia. Pahalanya tetap akan terus mengalir tanpa henti kepada dirinya. (DK – dari berbagai sumber)

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA