Mengapa bencana longsor sering terjadi di Indonesia

Longsor atau sering disebut gerakan tanah adalah suatu peristiwa geologi yang terjadi karena pergerakan masa batuan atau tanah dengan berbagai tipe dan jenis seperti jatuhnya bebatuan atau gumpalan besar tanah. Secara umum kejadian longsor disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor pendorong dan faktor pemicu. Faktor pendorong adalah faktor-faktor yang memengaruhi kondisi material sendiri, sedangkan faktor pemicu adalah faktor yang menyebabkan bergeraknya material tersebut. Meskipun penyebab utama kejadian ini adalah gravitasi yang memengaruhi suatu lereng yang curam, namun ada pula faktor-faktor lainnya yang turut berpengaruh:

  • erosi yang disebabkan aliran air permukaan atau air hujan, sungai-sungai atau gelombang laut yang menggerus kaki lereng-lereng bertambah curam
  • lereng dari bebatuan dan tanah diperlemah melalui saturasi yang diakibatkan hujan lebat
  • gempa bumi menyebabkan getaran, tekanan pada partikel-partikel mineral dan bidang lemah pada massa batuan dan tanah yang mengakibatkan longsornya lereng-lereng tersebut
  • gunung berapi menciptakan simpanan debu yang lengang, hujan lebat dan aliran debu-debu
  • getaran dari mesin, lalu lintas, penggunaan bahan-bahan peledak, dan bahkan petir
  • berat yang terlalu berlebihan, misalnya dari berkumpulnya hujan atau salju

Simulasi komputer longsor di California, AS, Januari 1997

  • (Inggris) Teks draft pertama berasal dari USGS fact sheet, domain umum

 

Artikel bertopik geografi ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.

  • l
  • b
  • s

Diperoleh dari "//id.wikipedia.org/w/index.php?title=Tanah_longsor&oldid=17552124"

JawaPos.com – Peneliti Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Agus Setyo Munthoar menilai peristiwa longsor yang sering terjadi di Pulau Jawa, disebabkan lantaran labilnya kondisi tanah. Akibatnya, intensitas pergerakan tanah cukup tinggi. 

“Potensi tanah longsor itu bisa dikatakan 60 hingga 70 persen terjadi di lereng-lereng Pulau Jawa. Labilnya itu karena tanah di Jawa merupakan tanah residu dan banyak pelapukan,” kata dia di Yogyakarta, Kamis.

Menurut dia, jenis tanah residu itu adalah hasil letusan gunung berapi. Tanah residu yang berada di atas batuan kedap air pada perbukitan atau punggungan dengan kemiringan sedang hingga terjal, berpotensi mengakibatkan longsor pada musim hujan dengan curah hujan berkuantitas tinggi.

“Faktor-faktor yang menyebabkan kerentanan tanah tersebut meliputi beberapa hal, di antaranya kondisi geologi, kemiringan lereng, dan tata guna lahan,” kata Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini.

Pada umumnya, kata dia, gerakan tanah banyak terjadi di lereng tersusun oleh tanah residu yang merupakan pelapukan dari batuan dasar berupa breksi vulkanik dan pasir tufaan berumur kuarter.

“Untuk memprediksi tanah longsor dapat menggunakan pendekatan deterministik-probabilistik. Sistem pemantauan dan peringatan itu berperan untuk mengurangi dampak dari aktivitas longsor,” katanya lagi.

Ia mengatakan, sistem monitoring (pemantauan) dan warning (peringatan) tanah longsor itu berperan  mengumpulkan informasi. Sistem ini bisa digunakan untuk menghindari atau mengurangi dampak longsor.

Jadi, sistem yang dibuat bisa memprediksi ketika akan terjadi bencana tanah longsor, dengan cara memperhatikan kemiringan tanah, pengaruh rembesan hujan, dan kuantitas curah hujan.

“Selama ini di Indonesia belum ada sistem prediksi tanah longsor, dan yang ada alat atau warning system ketika sudah terjadi tanah longsor,” pungkas Agus.(gun/rmol/mam/JPG)

BMKG dengan kementerian/lembaga dan Pemprov DKI Jakarta juga sudah melakukan simulasi untuk menghadapi cuaca ekstrem.

Newswire - Solopos.com
Kamis, 21 Januari 2021 - 09:11 WIB

SOLOPOS.COM - Banjir akibat jebolnya tanggul Sungai Piji, Kudus, Sabtu (9/1/2021). (Istimewa)

Solopos.com, SOLO -- Awal tahun 2021 ini bencana hidrometeorologi mulai banjir hingga tanah longsor banyak terjadi di sejumlah wilayah Indonesia di tengah musim hujan.

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengungkap fenomena-fenomena alam yang turut memengaruhi curah hujan di Indonesia meningkat.

Dia menyebut fenomena La Nina ialah faktor pertama yang memengaruhi tingginya curah hujan di Indonesia.

Dwikorita mengatakan BMKG memonitor bahwa suhu muka air laut di Samudera Pasifik pada Agustus-September 2020 semakin dingin. Kondisi ini berbeda dengan suhu muka air laut di kepulauan Indonesia yang lebih hangat.

Langka, Petani Sukoharjo Pontang-Panting Cari Pupuk Bersubsidi

"Gap (jarak) ini yang mengakibatkan terjadinya perbedaan tekanan yang signifikan. Ternyata sampai akhir September, gap itu semakin melampaui batas normal. Sehingga kami segera mengumumkan, menyebarluaskan, dan melaporkan kepada Presiden bahwa terjadi fenomena La Nina," kata Dwikorita dalam acara d'rooftalk yang disiarkan langsung detik.com, Rabu (20/1/2021).

"Akibatnya, yang diprediksi terjadi penambahan massa udara basah dari Samudera Pasifik ke kepulauan Indonesia dan mengakibatkan curah hujan semakin meningkat hingga 40% dari normalnya," sambungnya.

Tidak Rutin Terjadi

Dia mengatakan musim hujan di Indonesia secara merata sudah terjadi sejak November 2020, namun puncaknya beragam. Dia mengatakan ada wilayah yang puncak musim hujannya pada Desember 2020. Tapi sebagian besar mengalami puncak di Januari dan berlanjut hingga Februari 2021.

Dia mengatakan fenomena La Nina tidak rutin terjadi. Fenomena yang rutin terjadi, yakni angin monsun Asia, turut menambah peningkatan curah hujan di Tanah air.

"Angin monsun Asia sebelum masuk Indonesia membelok masuk Pasifik. Angin monsun ini yang membawa fenomena musim hujan. Jadi ada penguatan, memang kita masuk musim hujan di Oktober, dan puncaknya diprediksi Januari. Namun dikuatkan fenomena La Nina sehingga ada penambahan 40% maksimal. Awalnya wilayah Sumatera Oktober-November, tetapi mulai Desember-April wilayah Indonesia tengah dan timur," jelas Dwikorita.

Pengirim Karangan Bunga Sadis di Sragen Tak Diakui sebagai Member Arisan Online

Dwikorita kemudian menjelaskan dua fenomena alam lain yang membuat curah hujan di Indonesia meningkat.

"Ada fenomena Madden-Julian oscillation, yaitu fenomena gelombang atmosfer yang berupa arak-arakan atau masuknya gerombolan atau kumpulan awan yang bergerak dari Samudra Hindia di sebelah barat Indonesia menuju Pasifik melintasi kepulauan Indonesia. Diprediksi 1 minggu hingga 10 hari fenomena ini terjadi. Itu sudah ada 3 fenomena," ujar dia.

"Selain itu, sesuai prediksi terjadi fenomena seruak udara dingin yang berasal dari dataran tinggi Tibet yang menyeruak masuk ke Indonesia melalui Sumatera dan menuju Jawa bagian barat, tetapi saat ini sedang berada di sekitar Sumatera juga berbatasan dengan Kalimantan," sambungnya.

Curah Hujan Meningkat

Terakhir, fenomena lokal berupa pusaran angin di bagian selatan yang memicu peningkatan curah hujan. Hadirnya lima fenomena ini dalam waktu bersamaan mengakibatkan meningkatnya curah hujan.

"Sehingga secara umum, wilayah Indonesia diprediksi, waktu itu 2020 kami memprediksi, selama Januari-Maret terjadi intensitas curah hujan mencapai 300-500 mm tiap bulannya. Dan ini setara dengan peningkatan curah hujan 40-80% dari normalnya," jelasnya.

Usir Corona, Penduduk Desa di Jepang Bikin Patung Gorila

Dwikorita mengatakan BMKG sudah memaparkan potensi cuaca ini kepada kementerian/lembaga hingga Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dia mengaku BMKG dengan kementerian/lembaga dan Pemprov DKI Jakarta juga sudah melakukan simulasi untuk menghadapi cuaca ekstrem.

"Jadi sebetulnya, antisipasi itu sudah disiapkan namun nampaknya kejadiannya melampaui kapasitas," kata dia.

Diketahui, bencana banjir terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia seperti di Kalimantan Selatan, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Aceh, Malang, Bogor, hingga Papua. Selain itu, bencana longsor terjadi di Sumedang, Sulawesi Utara, hingga Mamuju, Sulawesi Barat.

Kata Kunci : Tanah Longsor Banjir BMKG Fenomena Alam

Lihat Foto

Kompas.com/ Imam Rosidin

Bencana tanah longsor menimpa dua rumah di Desa Pakel, Kecamatan Licin, Banyuwangi, Kamis (17/6/2021) dini hari.

KOMPAS.com – Tanah longsor adalah gerakan batu, tanah, atau puing-puing yang menuruni lereng dan dapat berbahaya jika terjadi di dekat wilayah berpenduduk.

Secara umum, terdapat dua faktor penyebab tanah longsor, yakni faktor pendorong dan faktor pemicu.

Faktor pendorong adalah faktor-faktor yang memengaruhi kondisi material, sedangkan faktor pemicu adalah faktor yang menyebabkan material tersebut bergerak.

Faktor penyebab tanah longsor

Dilansir dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DI Yogyakarta, selain faktor pendorong dan pemicu, terdapat faktor penyebab tanah longsor lainnya, yakni:

1. Erosi

Erosi adalah salah satu faktor penyebab tanah longsor. Erosi disebabkan oleh aliran air permukaan atau air hujan, sungai-sungai atau gelombang laut, yang menggerus kaki lereng hingga bertambah curam.

Baca juga: Akibat Banjir dan Tanah Longsor, serta Cara Menanggulanginya

2. Lereng dari bebatuan yang lemah

Faktor penyebab tanah longsor yang berikutnya adalah lereng dari bebatuan dan tanah yang semakin lemah karena saturasi yang diakibatkan oleh hujan lebat

3. Gempa bumi

Gempa bumi menimbulkan getaran, tekanan pada partikel-partikel, dan bidang lemah pada massa batuan serta tanah. Oleh sebab itu, gempa bumi dapat menjadi faktor penyebab tanah longsor.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA