Lafadz berikut yang artinya adalah orang yang paling bertakwa adalah

(Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan) yakni dari Adam dan Hawa (dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa) lafal Syu'uuban adalah bentuk jamak dari lafal Sya'bun, yang artinya tingkatan nasab keturunan yang paling tinggi (dan bersuku-suku) kedudukan suku berada di bawah bangsa, setelah suku atau kabilah disebut Imarah, lalu Bathn, sesudah Bathn adalah Fakhdz dan yang paling bawah adalah Fashilah. Contohnya ialah Khuzaimah adalah nama suatu bangsa, Kinanah adalah nama suatu kabilah atau suku, Quraisy adalah nama suatu Imarah, Qushay adalah nama suatu Bathn, Hasyim adalah nama suatu Fakhdz, dan Al-Abbas adalah nama suatu Fashilah (supaya kalian saling kenal-mengenal) lafal Ta'aarafuu asalnya adalah Tata'aarafuu, kemudian salah satu dari kedua huruf Ta dibuang sehingga jadilah Ta'aarafuu; maksudnya supaya sebagian dari kalian saling mengenal sebagian yang lain bukan untuk saling membanggakan ketinggian nasab atau keturunan, karena sesungguhnya kebanggaan itu hanya dinilai dari segi ketakwaan. (Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui) tentang kalian (lagi Maha Mengenal) apa yang tersimpan di dalam batin kalian.

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Allah Swt. menceritakan kepada manusia bahwa Dia telah menciptakan mereka dari diri yang satu dan darinya Allah menciptakan istrinya, yaitu Adam dan Hawa, kemudian Dia menjadikan mereka berbangsa-bangsa. Pengertian bangsa dalam bahasa Arab adalah sya 'bun yang artinya lebih besar daripada kabilah, sesudah kabilah terdapat tingkatan-tingkatan lainnya yang lebih kecil seperti fasa-il (puak), 'asya-ir (Bani), 'ama-ir, Afkhad, dan lain sebagainya. Menurut suatu pendapat, yang dimaksud dengan syu'ub ialah kabilah-kabilah yang non-Arab. Sedangkan yang dimaksud dengan kabilah-kabilah ialah khusus untuk bangsa Arab, seperti halnya kabilah Bani Israil disebut Asbat. Keterangan mengenai hal ini telah kami jabarkan dalam mukadimah terpisah yang sengaja kami himpun di dalam kitab Al-Asybah karya Abu Umar ibnu Abdul Bar, juga dalam mukadimah kitab yang berjudul Al-Qasdu wal Umam fi Ma'rifati Ansabil Arab wal 'Ajam. Pada garis besarnya semua manusia bila ditinjau dari unsur kejadiannya yaitu tanah liat sampai dengan Adam dan Hawa a.s. sama saja. Sesungguhnya perbedaan keutamaan di antara mereka karena perkara agama, yaitu ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena itulah sesudah melarang perbuatan menggunjing dan menghina orang lain, Allah Swt. berfirman mengingatkan mereka, bahwa mereka adalah manusia yang mempunyai martabat yang sama: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. (Al-Hujurat: 13) Agar mereka saling mengenal di antara sesamanya, masing-masing dinisbatkan kepada kabilah (suku atau bangsa)nya. Mujahid telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: supaya kamu saling kenal-mengenal. (Al-Hujurat: 13) Seperti disebutkan si Fulan bin Fulan dari kabilah anu atau bangsa anu. Sufyan As-Sauri mengatakan bahwa orang-orang Himyar menisbatkan dirinya kepada sukunya masing-masing, dan orang-orang Arab Hijaz menisbatkan dirinya kepada kabilahnya masing-masing. ". Abu Isa At-Turmuzi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Mubarak, dari Abdul Malik ibnu Isa As-Saqafi, dari Yazid Mula Al-Munba'is, dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Pelajarilah nasab-nasab kalian untuk mempererat silaturahmi (hubungan keluarga) kalian, karena sesungguhnya silaturahmi itu menanamkan rasa cinta kepada kekeluargaan, memperbanyak harta, dan memperpanjang usia. Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini garib, ia tidak mengenalnya melainkan hanya melalui jalur ini. Firman Allah Swt.: Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. (Al-Hujurat: 13) Yakni sesungguhnya kalian berbeda-beda dalam keutamaan di sisi Allah hanyalah dengan ketakwaan, bukan karena keturunan dan kedudukan. Sehubungan dengan hal ini banyak hadis Rasulullah Saw. yang menerangkannya. ". Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Salam, telah menceritakan kepada kami Abdah, dari Ubaidillah, dari Sa'id ibnu Abu Sa'id r.a., dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai orang yang paling mulia, siapakah dia sesungguhnya? Maka Rasulullah Saw. menjawab: Orang yang paling mulia di antara mereka di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Mereka mengatakan, "Bukan itu yang kami maksudkan." Rasulullah Saw. bersabda: Orang yang paling mulia ialah Yusuf Nabi Allah, putra Nabi Allah dan juga cucu Nabi Allah, yaitu kekasih Allah. Mereka mengatakan, "Bukan itu yang kami maksudkan." Rasulullah Saw. balik bertanya, "Kamu maksudkan adalah tentang kemuliaan yang ada di kalangan orang-orang Arab?" Mereka menjawab, "Ya." Maka Rasulullah Saw. bersabda: Orang-orang yang terhormat dari kalian di masa Jahiliah adalah juga orang-orang yang terhormat dari kalian di masa Islam jika mereka mendalami agamanya. Imam Bukhari meriwayatkan hadis ini bukan hanya pada satu tempat melainkan melalui berbagai jalur dari Abdah ibnu Sulaiman. Imam Nasai meriwayatkannya di datem kitab tafsir, dari Ubaidah ibnu Umar Al-Umari dengan sanad yang sama. Hadis lain. ". Imam Muslim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr An-Naqid, telah menceritakan kepada kami Kasir ibnu Hisyam, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Barqan, dari Yazid ibnul Asam, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kalian dan harta kalian, tetapi Dia memandang kepada hati dan amal perbuatan kalian. Ibnu Majah meriwayatkan hadis ini dari Ahmad ibnu Sinan, dari Kasir ibnu Hisyam dengan sanad yang sama. Hadis lain. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Abu Hilal, dari Bakar, dari Abu Zarr.a. yang mengatakan bahwa sesungguhnya Nabi Saw. pernah bersabda kepadanya: Perhatikanlah, sesungguhnya kebaikanmu bukan karena kamu dari kulit merah dan tidak pula dari kulit hitam, melainkan kamu beroleh keutamaan karena takwa kepada Allah. Imam Ahmad meriwayatkan hadis ini secara munfarid. Hadis lain. Al-Hafiz Abul Qasim At-Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Ubaidah Abdul Waris ibnu Ibrahim Al-Askari, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Amr Ibnu Jabalah, telah menceritakan kepada kami Ubaid ibnu Hunain At-Ta'i bahwa ia pernah mendengar Muhammad ibnu Habib ibnu Khirasy Al-Asri menceritakan hadis berikut dari ayahnya yang pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Orang-orang muslim itu bersaudara, tiada keutamaan bagi seseorang atas lainnya kecuali dengan takwa. Hadis lain. ". Al-Bazzar telah mengatakan di dalam kitab musnadnya, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Yahya Al-Kufi, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Qais (yakni Ibnur Rabi'), dari Syabib ibnu Urqudah, dari Al-Mustazil ibnu Husain, dari Huzaifah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Kamu sekalian adalah anak-anak Adam, dan Adam diciptakan dari tanah; untuk itu hendaklah suatu kaum tidak lagi membangga-banggakan orang-orang tuanya, atau benar-benar mereka lebih rendah dari serangga tanah menurut Allah Swt. Kemudian Al-Bazzar mengatakan bahwa kami tidak mengenalnya bersumberkan dari Huzaifah kecuali melalui jalur ini. Hadis lain. ". Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi' ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Asad ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Zakaria Al-Qattan, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ubaidah, dari Abdullah ibnu Dinar, dari Ibnu Umar r.a. yang mengatakan bahwa di hari penaklukkan kota Mekah Rasulullah Saw. melakukan tawaf di Baitullah dengan mengendarai untanya yang bernama Qaswa, beliau mengusap rukun dengan tongkat yang dipegangnya. Maka beliau tidak menemukan ruangan bagi unta Qaswa di dalam Masjidil Haram itu (karena penuh sesak dengan orang-orang). Akhirnya beliau turun dari untanya dan menyerahkan untanya kepada seseorang yang membawanya ke luar masjid, lalu mengistirahatkannya di lembah tempat sa'i. Kemudian Rasulullah Saw. berkhotbah kepada mereka di atas unta kendaraannya itu, yang dimulainya dengan membaca hamdalah dan memuji-Nya dengan pujian yang pantas untuk-Nya. Setelah itu beliau bersabda: Hai manusia, sesungguhnya Allah Swt. telah melenyapkan dari kalian keaiban masa Jahiliah dan tradisinya yang selalu membangga-banggakan orang-orang tua. Manusia itu hanya ada dua macam, yaitu orang yang berbakti, bertakwa, lagi mulia di sisi Allah Swt.; dan orang yang durhaka, celaka, lagi hina menurut Allah Swt. Kemudian Nabi Saw. membaca firman Allah Swt.: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al-Hujurat: 13) Setelah itu beliau Saw. mengucapkan istigfar seperti berikut: Aku akhiri ucapan ini seraya memohon ampun kepada Allah untuk diriku dan kalian. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abdu ibnu Humaid, dan Abu Asim Ad Dahhak, dari Makhlad, dari Musa ibnu Ubaidah dengan sanad yang sama. Hadis lain. ". Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kam, Ibnu Lahiah, dari Al-Haris ibnu Yazid, dari Ali ibnu Rabah, dari Uqbah ibnu Amr ra yang mengatakan bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw. pernah bersabda. Sesungguhnya nasab kalian ini bukanlah (sarana) untuk merendahkan siapa pun. Kamu sekalian adalah anak-anak Adam yang mempunyai martabat yang sama tiada bagi seseorang keutamaan atas yang lainnya kecuali dengan agama dan takwa. Cukuplah (keburukan) bagi seseorang bila dia menjadi orang yang tercela, kikir, lagi buruk kata-katanya. Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Yunus, dari Ibnu Wahb dari Ibnu Lahi'ah dengan sanad yang sama, yang bunyi teksnya seperti berikut: ". Manusia itu berasal dari Adam dan Hawa mempunyai martabat yang sama. Sesungguhnya Allah tidak menanyai kedudukan kalian dan tidak pula nasab kalian di hari kiamat nanti. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Tetapi teks hadis ini tidak terdapat di dalam keenam kitab Sittah melalui jalur ini. Hadis lain. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdul Malik, telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Sammak, dari Abdullah ibnu Umrah (suami Durrah binti Abu Lahab),' dari Durrah binti Abu Lahab yang menceritakan bahwa seorang lelaki berdiri, lalu berjalan menuju kepada Nabi Saw. Saat itu beliau berada di atas mimbar, lalu ia bertanya, "Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling baik itu?" Rasulullah Saw. menjawab: Sebaik-baik manusia ialah yang paling pandai membaca Al-Qur'an, paling bertakwa kepada Allah Swt., paling gencar memerintahkan kepada kebajikan dan paling tekun melarang perbuatan mungkar, serta paling gemar bersilaturahmi. Hadis lain. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasan. telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah, telah menceritakan kepada kami Abul Aswad, dari Al-Qasim ibnu Muhammad, dari Aisyah r.a. yang mengatakan: Tiada sesuatu pun dari duniawi ini yang dikagumi oleh Rasulullah Saw. dan tiada seorang pun yang dikagumi oleh beliau kecuali orang yang mempunyai ketakwaan. Imam Ahmad meriwayatkannya secara munfarid. Firman Allah Swt.: Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al-Hujurat: 13) Yakni Dia Maha Mengetahui kalian dan Maha Mengenal semua urusan kalian, maka Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya, merahmati siapa yang dikehendaki-Nya dan mengazab siapa yang dikehendaki-Nya, serta mengutamakan siapa yang dikehendaki-Nya atas siapa yang dikehendakinya. Dia Mahabijaksana, Maha Mengetahui, lagi Maha Mengenal dalam semuanya itu. Ada sebagian ulama yang dengan berdasarkan ayat yang mulia ini berpendapat bahwa kafa'ah (sepadan) dalam masalah nikah bukan merupakan syarat, dan tiada syarat dalam pernikahan kecuali hanya agama, karena firman Allah Swt.: Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. (Al-Hujurat: 13) Sedangkan sebagian ulama lainnya berpegangan kepada dalil-dalil lain yang keterangannya secara rinci disebutkan di dalam kitab-kitab fiqih, kami telah mengutarakan sebagian darinya di dalam Kitabul Ahkam. Imam Tabrani telah meriwayatkan dari Abdur Rahman, bahwa ia telah mendengar seorang lelaki dari kalangan Bani Hasyim mengatakan, "Aku adalah orang yang paling utama terhadap Rasulullah Saw." Maka orang lain mengatakan, "Aku lebih utama terhadapnya daripadamu, karena aku memiliki hubungan dengannya.""

Ayat yang lalu menjelasakan tata krama pergaulan orang-orang yang beriman, ayat ini beralih menjelaskan tata krama dalam hubung-an antara manusia pada umumnya. Karena itu panggilan ditujukan kepada manusia pada umumnya. Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, yakni berasal dari keturunan yang sama yaitu Adam dan Hawa. Semua manusia sama saja derajat kemanusiaannya, tidak ada perbedaan antara satu suku dengan suku lainnya. Kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal dan dengan demikian saling membantu satu sama lain, bukan saling mengolok-olok dan sa-ling memusuhi antara satu kelompok dengan lainnya. Allah tidak menyukai orang yang memperlihatkan kesombongan dengan keturunan, kekayaan atau kepangkatan karena sungguh yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Karena itu berusahalah untuk meningkatkan ketakwaan agar menjadi orang yang mulia di sisi Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu baik yang lahir maupun yang tersembunyi, Mahateliti sehingga tidak satu pun gerak-gerik dan perbuatan manusia yang luput dari ilmu-Nya.14. Setelah pada ayat yang lalu dijelaskan bahwa orang yang paling mulia di sisi Allah adalah adalah orang yang paling bertakwa, ayat ini menjelaskan hakikat iman yang melekat pada orang yang bertakwa. Ayat ini dikemukakan dalam konteks penjelasan terhadap serombong-an orang-orang Badui yang datang kepada Nabi yang menyatakan bahwa mereka telah beriman dengan benar. Orang-orang Arab Badui berkata kepadamu, ?Kami telah beriman.? Allah menegaskan melalui firman-Nya, Katakanlah kepada mereka, wahai Nabi Muhammad, ?Kamu belum beriman sebab hati kamu belum sepenuhnya percaya, dan perbuatan kamu belum mencerminkan iman sesuai apa yang kamu katakan tetapi katakanlah ?Kami telah tunduk kepadamu.' Ucapan se-perti itu lebih pantas kamu katakan, karena iman belum masuk ke dalam hatimu. Dan jika kamu benar-benar taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun pahala amal perbuatanmu. Sungguh, Allah Maha Pengampun kepada orang yang bertobat, Maha Penyayang kepada orang yang taat.?

Dalam ayat ini, dijelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dari seorang laki-laki (Adam) dan seorang perempuan (Hawa) dan menjadikannya berbangsa-bangsa, bersuku-suku, dan berbeda-beda warna kulit bukan untuk saling mencemoohkan, tetapi supaya saling mengenal dan menolong. Allah tidak menyukai orang-orang yang memperlihatkan kesombongan dengan keturunan, kepangkatan, atau kekayaannya karena yang paling mulia di antara manusia pada sisi Allah hanyalah orang yang paling bertakwa kepada-Nya. Kebiasaan manusia memandang kemuliaan itu selalu ada sangkut-pautnya dengan kebangsaan dan kekayaan. Padahal menurut pandangan Allah, orang yang paling mulia itu adalah orang yang paling takwa kepada-Nya. Diriwayatkan oleh Ibnu hibban dan at-Tirmidhi dari Ibnu 'Umar bahwa ia berkata: Rasulullah saw melakukan tawaf di atas untanya yang telinganya tidak sempurna (terputus sebagian) pada hari Fath Makkah (Pembebasan Mekah). Lalu beliau menyentuh tiang Ka'bah dengan tongkat yang bengkok ujungnya. Beliau tidak mendapatkan tempat untuk menderumkan untanya di masjid sehingga unta itu dibawa keluar menuju lembah lalu menderumkannya di sana. Kemudian Rasulullah memuji Allah dan mengagungkan-Nya, kemudian berkata, "Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah menghilangkan pada kalian keburukan perilaku Jahiliah. Wahai manusia, sesungguhnya manusia itu ada dua macam: orang yang berbuat kebajikan, bertakwa, dan mulia di sisi Tuhannya. Dan orang yang durhaka, celaka, dan hina di sisi Tuhannya. Kemudian Rasulullah membaca ayat: ya ayyuhan-nas inna khalaqnakum min dhakarin wa untsa? Beliau membaca sampai akhir ayat, lalu berkata, "Inilah yang aku katakan, dan aku memohon ampun kepada Allah untukku dan untuk kalian. (Riwayat Ibnu hibban dan at-Tirmidhi dari Ibnu 'Umar). Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Mengetahui tentang apa yang tersembunyi dalam jiwa dan pikiran manusia. Pada akhir ayat, Allah menyatakan bahwa Dia Maha Mengetahui tentang segala yang tersembunyi di dalam hati manusia dan mengetahui segala perbuatan mereka.

DOSA MEMPEROLOK-OLOKKAN


Ayat 11

“Wahai orang-orang yang beriman."

Ayat ini pun akan jadi peringatan dan nasihat sopan santun dalam pergaulan hidup kepada kaum yang beriman, itu pula sebabnya maka di pangkal ayat orang-orang yang beriman juga yang diseru,"Janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain." Mengolok-olok, mengejek, menghina, merendahkan dan seumpamanya, janganlah semuanya itu terjadi dalam kalangan orang yang beriman."Boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan itu) lebih baik dari mereka (yang mengoiok-olokkan)" Inilah peringatan yang halus dan tepat sekali dari Allah. Mengolok-olok, mengejek, dan menghina tidaklah layak dilakukan kalau orang merasa dirinya orang yang beriman. Sebab orang yang beriman akan selalu menilik kekurangan yang ada pada dirinya. Maka dia akan tahu kekurangan yang ada pada dirinya itu. Hanya orang yang tidak beriman jualah yang lebih banyak melihat kekurangan orang lain dan tidak ingat akan kekurangan yang ada pada dirinya sendiri."Dan jangan pula wanita-wanita mengoiok-olokkan kepada wanita yang lain; karena boleh jadi (yang diperolok-olokkan itu) lebih baikdari mereka (yang mengolok-olokkan)." Daripada larangan ini tampaklah dengan jelas bahwasanya orang-orang yang kerjanya hanya mencari kesalahan dan kekhilafan orang lain, niscaya lupa akan kesalahan dan kealpaan yang ada pada dirinya sendiri. Nabi Muhammad saw. sendiri bersabda,

“Kesombongan itu ialah menolak kebenaran dan memandang rendah manusia." (HR Bukhari)

Memperolok-olokkan, mengejek dan memandang rendah orang lain, tidak lain adalah karena merasa bahwa diri sendiri serba lengkap, serba tinggi, dan serba cukup padahal awaklah yang serba kekurangan. Segala manusia pun haruslah mengerti bahwa dalam dirinya sendiri terdapat segala macam kekurangan, kealpaan, dan kesalahan.

Maka dalam ayat ini bukan saja laki-laki yang dilarang memakai perangai yang buruk itu, bahkan perempuan pun demikian pula. Sebaliknya hendaklah kita memakai perangai tawadhu, merendahkan diri, menginsafi kekurangannya"Dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri." Sebenarnya pada asalnya kita dilarang keras mencela orang lain dan di-tekankanlah dalam ayat ini dilarang mencela diri sendiri. Sebabnya ialah karena mencela orang lain itu sama juga dengan mencela diri sendiri. Kalau kita sudah berani mencela orang lain, membuka rahasia aib orang lain, janganlah lupa bahwa orang lain pun sanggup membuka rahasia kita sendiri. Sebab itu maka mencela orang lain itu sama juga dengan mencela diri sendiri. Di dalam surah yang lain terdapat lagi perkataan ini, yaitu


“Dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk." Asal-usul larangan ini ialah kebiasaan orang di zaman jahiiiyyah memberikan gelar dua tiga kepada seseorang menurut perangainya. Misalnya ada seorang bernama si Zaid! Beliau ini suka sekali memelihara kuda kendaraan yang indah, yang dalam bahasa Arab disebut al-Khail. Maka si Zaid itu pun disebutlah Zaid al-Khail! Atau si Zaid Kuda! Oleh Nabi saw. nama ini diperindah lalu dia disebut Zaid al-Khair, yang berarti Si Zaid yang Baik! Pertukaran itu hanya dari huruf laam kepada huruf raa saja, tetapi artinya sudah berubah daripada kuda kepada baik!

Maka dalam ayat ini datang anjuran lagi kepada kaum yang beriman, supaya janganlah menghimbau teman dengan gelar-gelaran yang buruk. Kalau dapat tukarlah bahasa itu kepada yang baik, terutama yang akan lebih menyenangkan hatinya. Sebab itu maka Abu Hurairah yang berarti Bapak Si Kucing, tidaklah ditukar. Sebab Abu Hurairah sendiri lebih senang jika dipanggil demikian, sebab memang beliau senang kepada kucing.


"Seburuk-buruk panggilan ialah panggilan nama yang fasik sesudah iman." Maka kalau orang telah beriman, suasana telah bertukar dari jahiliyyah kepada Islam sebaiknyalah ditukar panggilan nama kepada yang baik dan yang sesuai dengan dasar iman seseorang. Karena penukaran nama itu ada juga pengaruhnya bagi jiwa. Dan saya sendiri yang telah beribu orang menolong memimpin orang beragama lain memeluk agama Islam selalu menganjurkan yang baru memeluk Islam itu menukar namanya, agar ada pengaruh kepada jiwanya. Maka bertukarlah nama Komalasari jadi Siti Fatimah, Joyoprayitno menjadi Abdul-hadi, sehingga terjadilah nama yang iman sesudah fasik, bukan sebaliknya, yaitu nama yang fasik sesudah iman.


“Dan barangsiapa yang tiada tobat maka itulah orang-owutg yang aniaya."

Pergantian nama dari yang buruk ketika fasik kepada yang bagus setelah beriman adalah pertanda yang baik dari kepatuhan sejak semula. Demikian jugalah halnya dengan berkhitan bersunat-rasul bagi seorang laki-laki yang memeluk agama Islam. Meskipun khitan itu bukanlah syarat buat memasuki Islam dan kalau tidak berkhitan, Islamnya tidak sah, meskipun bukan demikian namun berkhitan itu pun adalah ujian pertama bagi seseorang dalam syahadatnya mengakui bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, Utusan Allah itu adalah bersunat-rasul dan nabi-nabi yang dahulu daripadanya sejak Nabi Ibrahim, Nabi Isma'il, Nabi Musa, dan Nabi Isa, semuanya bersunat, mengapa orang itu akan keberatan menerimanya? Mengapa pada ujian pertama dari syahadatnya dia sudah tidak mau?


Ayat 12

“Wahai orang-orang yang beriiman, jauhilah kebanyakan daripada prasangka."

Prasangka ialah tuduhan yang bukan-bukan persangkaan yang tidak beralasan, hanya semata-mata rahmat yang tidak pada tempatnya saja."‘Karena sesungguhnya sebagian daripada prasangka itu adalah dosa." Prasangka adalah dosa karena dia adalah tuduhan yang tidak beralasan dan bisa saja memutuskan silaturahim di antara dua orang yang berbaik. Bagaimanalah perasaan yang tidak mencuri lalu disangka orang bahwa dia mencuri, sehingga sikap kelakuan orang telah berlainan saja kepada dirinya.


“Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain." Mengorek-ngorek kalau-kalau ada si anu dan si fulan bersalah, untuk menjatuhkan maruah si fulan di muka umum. Sebagaimana kebiasaan yang terpakai dalam kalangan kaum komunis sendiri apabila mereka dapat merebut kekusaan pada satu negara. Segala orang yang terkemuka dalam negara itu dikumpuikan"sejarah hidupnya", baiknya dan buruknya, kesalahannya yang telah lama berlalu dan yang baru, jasanya dalam negeri dan perlawatannya ke mana saja. Sampai juga kepada segala kesukaannya, baik kesukaan yang terpuji ataupun yang tercela. Maka orang yang dianggap perlu untuk dipakai bagi kepentingan negara, segeralah dia dipakai dengan berdasar kepada"sejarah hidup" itu. Tetapi kalau datang masanya dia hendak didepak dan dihancurkan, akan tampillah ke muka orang-orang yang diperintahkan buat itu, lalu mencaci maki orang itu dengan membuka segala cacat dan kebobrokan yang bertemu dalam sejarah yang telah dikumpulkan itu."Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain." Menggunjing ialah membicarakan aib dan keburukan seseorang sedang dia tidak hadir, sedang dia berada di tempat lain. Hal ini kerap kali sebagai mata rantai dan kemunafikan. Orang asyik sekali membongkar rahasia kebusukan seseorang ketika seseorang itu tidak ada. Tiba-tiba saja, dia pun datang maka pembicaraan pun terhenti dengan sendirinya, lalu bertukar sama sekali dengan memuji-muji menyanjung menjunjung tinggi. Ini adalah perbuatan hina dan pengecut! Dalam lanjutan ayat dikatakan,"Apakah suka seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?" Artinya, bahwasanya membicarakan keburukan seseorang ketika dia tidak hadir, samalah artinya dengan memakan daging manusia yang telah mati, tegasnya makan bangkai yang busuk. Begitulah hinanya! Kalau engkau seorang manusia yang bertanggung jawab, mengapa engkau tidak mau mengatakan di hadapan orang itu terus terang apa kesalahannya, supaya diubahnya kepada yang baik?"Maka jijiklah kamu kepadanya." Memakan bangkai temanmu yang telah mati sudah pasti engkau jijik. Maka membicarakan aib celanya sedang saudara itu tidak ada samalah artinya dengan memakan bangkainya. Kalau ada sececah iman dalam hatimu, tentu engkau percaya apa yang difirmankan Allah. Sebab itu tentu engkau pun akan merasa jijik pula berbuat perangai yang hina yang pengecut itu.


“Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah adalah penerima tobat, lagi Maha Penyayang."

Artinya, jika selama ini perangai yang buruk ini ada pada dirimu, mulai sekarang segeralah hentikan dan bertobatlah daripada kesalahan yang hina itu disertai dengan penyesalan dan bertobat. Allah senantiasa membuka pintu kasih sayang-Nya, membuka pintu selebar-lebarnya menerima kedatangan para hamba-Nya yang ingin menukar perbuatan yang salah dengan perbuatan yang baik, kelakuan yang durjana hina dengan kelakuan yang terpuji sebagai manusia yang budiman.


Ayat 13

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah mendptakan kamu dari semang laki-laki dan seorang perempuan."

Kita boleh menafsirkan hal ini dengan dua

tafsir yang keduanya nyata dan tegas. Pertama ialah bahwa seluruh manusia itu dijadikan pada mulanya dari seorang laki-laki, yaitu Nabi Adam dan seorang perempuan yaitu Siti Hawa. Beliau berdualah manusia yang mula diciptakan dalam dunia ini. Dan boleh kita tafsirkan secara sederhana saja. Yaitu bahwasanya segala manusia ini sejak dahulu sampai sekarang ialah terjadi daripada seorang laki-laki dan seorang perempuan, yaitu ibu. Maka tidaklah ada manusia di dalam alam ini yang tercipta kecuali dari percampuran seorang laki-laki dengan seorang perempuan, persetubuhan yang menimbulkan berkumpulnya dua kumpul mani (khama) jadi satu empat puluh hari lamanya, yang dinamai nuthfah. Kemudian

empat puluh hari pula lamanya jadi darah dan empat puluh hari pula lamanya menjadi daging falaqah). Setelah tiga kali empat puluh hari; nuthfah, ‘alaqah, dan mudhghah, jadilah dia manusia yang ditiupkan nyawa kepadanya dan lahirlah dia ke dunia. Kadang-kadang karena percampuran kulit hitam dan kulit putih atau bangsa Afrika dan bangsa Eropa. Jika diberi permulaan bersatunya mani itu, belumlah kelihatan perbedaan warna, sifatnya masih sama saja."Dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kenal-mengenallah kamu." Yaitu bahwasanya anak, yang mulanya setumpuk mani yang berkumpul berpadu satu dalam satu keadaan belum tampak jelas warnanya tadi, menjadilah kemudian dia berwarna menurut keadaan iklim buminya, hawa udaranya, letak tanahnya, peredaran musimnya, sehingga berbagailah timbul warna wajah dan diri manusia dan berbagai pula bahasa yang mereka pakai, terpisah di atas bumi dalam keluasannya, hidup mencari kesukaannya, sehingga dia pun berpisah berpecah, dibawa untung masing-masing, berkelompok karena dibawa oleh dorongan dan panggilan hidup, mencari tanah yang cocok dan sesuai, sehingga lama-kelamaan hasillah apa yang dinamai bangsa-bangsa dan kelompok yang lebih besar dan rata dan bangsa-bangsa tadi terpecah pula menjadi berbagai suku dalam ukuran lebih kecil terperinci. Dan suku tadi terbagi pula kepada berbagai keluarga dalam ukuran lebih kecil dan keluarga pun terperinci pula kepada berbagai rumah tangga, ibu, bapak dan sebagainya. Di dalam ayat ditegaskan bahwasanya terjadi berbagai bangsa, berbagai suku sampai kepada perinciannya yang lebih kecil, bukanlah agar mereka bertambah lama bertambah jauh, melainkan supaya mereka kenal-mengenal. Kenal-mengenal dari mana asal-usul, dari mana pangkal nenek moyang, dari mana asal keturunan dahulu kala. Seumpama kami orang tepi Danau Maninjau, umum rata menyebut bahwa asal kami datang dari Luhak Agam; dan Luhak Agam adalah berasal dari Pagaruyung. Menjadi kebiasaan pula menurut pepatah"Jika jauh mencari suku, jika dekat menjadi hindu", Walaupun orang suku Tanjung datang dari negeri Tanjung Sani, lalu dia merantau ke Tapan Indrapura di Pesisir Selatan, atau ke Kampar daerah Riau, mulanya secara iseng-iseng orang dari Tanjung Sani tadi menanyakan kepada orang tepatannya di Indrapura atau Kampar tadi, apakah suku, jika dijawab bahwa yang ditanyai itu adalah bersuku Tanjung, mereka pun mengaku bersaudara seketurunan. Kalau yang ditanyai menjawab bahwa sukunya ialah jambak, misalnya, maka orang Tanjung dari Tanjung Sani tadi menjawab dengan gembira bahwa orang suku jambak adalah bako saya, artinya saudara dari pihak ayahnya. Dan kalau orang itu menjawab sukunya Guci maka dengan gembira dia menjawab bahwa saya ini adalah menantu tuan-tuan, sebab istri dan anak-anak saya adalah suku Guci. Demikianlah seterusnya, bahwasanya ke mana pun manusia pergi, dia suka sekali mengaji asal-usul, mencari tarikh asal kedatangan karena ingin mencari pertalian dengan orang lain, agar yang jauh menjadi dekat, yang renggang menjadi karib. Kesimpulannya ialah bahwasanya manusia pada hakikatnya adalah dari asal keturunan yang satu. Meskipun telah jauh berpisah, namun di asal-usul adalah satu. Tidaklah ada perbedaan di antara yang satu dengan yang lain dan tidaklah ada perlunya membangkit-bangkit perbedaan, melainkan menginsafi adanya persamaan keturunan."Sesungguhnya yang semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah yang setakwa-takwa kamu." Ujung ayat ini adalah memberi penjelasan bagi manusia bahwasanya kemuliaan sejati yang dianggap bernilai oleh Allah lain tidak adalah kemuliaan hati, kemuliaan budi, kemuliaan perangai, ketaatan kepada Ilahi.

Hal ini dikemukakan oleh Allah dalam ayatnya, untuk menghapus perasaan setengah manusia yang hendak menyatakan bahwa dirinya lebih dari yang lain, karena keturunan,

bahwa dia bangsa raja, orang lain bangsa budak. Bahwa dia bangsa keturunan Ali bin Abi Thalib dalam perkawinannya dengan Siti Fatimah al-Batul, anak perempuan Rasulullah, dan keturunan yang lain adalah lebih rendah dari itu.

Firman Allah ini pun sesuai pula dengan sabda Rasulullah saw.,

“Apabila datang kepada kamu orang yang kamu sukai agamanya dan budi pekertinya maka ni-kahkanlah dia. Kalau tidak, niscaya akan tim-builah fitnah dan kerusakan yang besar." (HR Tirmidzi)

Dengan hadits ini jelaslah bahwasanya yang pokok pada ajaran Allah dan pembawaan Rasul Allah pada mendirikan kafa'ah atau mencari jodoh, bukanlah keturunan, melainkan agama dan budi dan inilah yang cocok dengan hikmah agama. Karena agama dan budi timbul dari sebab takwa kepada Allah maka takwa itulah yang meninggikan gengsi dan martabat manusia. Tetapi setengah manusia tidak memedulikan agama itu. Dia hanya memperturutkan hawa nafsu karena mempertahankan keturunan; seorang anak perempuan bangsa Syarifah, tidak boleh kawin dengan laki-laki yang bukan sayyid, walaupun laki-laki itu beragama yang baik dan berbudi yang terpuji. Dalam hal ini sabda Rasulullah mesti disingkirkan ke tepi. Tetapi kalau bertemu seorang yang disebut keturunan sayyid, keturunan syarif, daripada Hasan dan Husain, meskipun seorang yang fasik, seorang pemabuk, seorang yang tidak mengerjakan agama sama sekali, dialah yang mesti diterima menjadi jodoh daripada syarifah itu. Sedang zaman sekarang ini adalah zaman kekacauan budi, kehancuran nilai agama. Lalu terjadilah hubungan-hubungan di luar nikah dalam pergaulan yang bebas secara orang Barat di antara yang bukan syarif dengan putri syarifah. Padahal ghiirah keagamaan tidak ada lagi, sehingga diamlah dalam seribu bahasa kalau terjadi hubungan di luar nikah dan ributlah satu negeri kaiau ada seorang pemuda yang bukan sayyid padahal dia berbudi dan beragama, kalau dia mengawani seorang syarifah.

Penutup ayak adalah,"Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."

Ujung ayat ini, kalau kita perhatikan dengan saksama adalah jadi peringatan lebih dalam lagi bagi manusia yang silau matanya karena terpesona oleh urusan kebangsaan dan kesukuan sehingga mereka lupa bahwa keduanya itu gunanya bukan untuk membanggakan suatu bangsa kepada bangsa yang lain, suatu suku kepada suku yang lain. Kita di dunia bukan buat bermusuhan, melainkan buat berkenalan. Dan hidup berbangsa-bangsa, bersuku-suku bisa saja menimbulkan permusuhan dan peperangan karena orang telah lupa kepada nilai ketakwaan. Di ujung ayat ini Allah menyatakan bahwa Allah Maha Mengetahui, bahwasanya bukan sedikit kebangsaan menimbulkan ashabiyah jahiliyyah, pongah dan bangga karena mementingkan bangsa sendiri sebagai perkataan orang Jerman di kala Hitler naik,"Duitschland ubber alles!" (Jerman di atas dari segala-galanya.) Allah mengetahui bahwa semuanya itu palsu belaka, Allah mengenal bahwa setiap bangsa ada kelebihan sebanyak kekurangan, ada pujian sebanyak cacatnya. Islam telah menentukan langkah yang akan ditempuh dalam hidup;"Yang semulia-mulia kamu ialah barangsiapa yang paling takwa kepada Allah!"