Kritikan terhadap pemerintah Belanda yang ditulis oleh Cipto Mangunkusumo diterbitkan di harian

Kustin Ayuwuragil | CNN Indonesia

Jumat, 17 Agu 2018 17:12 WIB

Jakarta, CNN Indonesia -- Cipto Mangunkusumo adalah salah satu pahlawan nasional yang namanya cukup familiar di telinga masyarakat di Indonesia. Tak hanya karena kisah hidupnya telah digubah menjadi film tetapi karena sebuah rumah sakit di Jakarta Pusat juga menggunakan namanya.Sebagai seorang dokter, Cipto lebih terkenal karena pemikirannya dan gerakan yang dia cetuskan.Pria yang lahir pada Jepara, 4 Maret 1886 ini memulai perjuangannya dari bangku sekolah. Lahir dari keluarga priyayi rendahan, Cipto muda kemudian bersekolah di School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Di sekolah kedokteran untuk pribumi itu, Cipto sudah terlihat berbeda dari murid lain karena dia lebih suka membaca buku atau ke ceramah ketimbang bersenang-senang. Cipto identik dengan surjan, permainan catur, dan rokok kemenyan.Dalam pidatonya, Cipto selalu menyampaikan kritikan-kritikan pedas mengenai perbedaan perlakuan berdasarkan suku, agama, ras dan golongan pada lingkungan sekitarnya.Dia pernah mengkritik peraturan di sekolah yang mengharuskan mahasiswa yang bukan Kristen untuk memakai pakaian tradisional ke sekolah kecuali mereka berasal dari keluarga yang bekerja di pemerintahan.Kritikan-kritikan lainnya dia tuliskan dalam tulisannya di De Locomotief. Cipto sering mengkritik hubungan feodal maupun kolonial yang dianggapnya sebagai sumber penderitaan rakyat. Rakyat umumnya terbatas ruang gerak dan aktivitasnya, sebab banyak kesempatan yang tertutup bagi mereka.Suatu kali, Cipto pernah tak terima diusir saat masuk ke Sociteit yang dipenuhi oleh orang Belanda. Dengan batik lurik dan surjannya, dia masuk ke dalam acara tersebut dan menyebabkan sedikit kegaduhan.Saat diusir, dia memaki-maki opsir dengan Bahasa Belanda yang fasih sehingga membuat orang-orang Eropa terperangah.STOVIA tak hanya tempat Cipto belajar dan menemukan siapa dirinya. Dia juga bertemu dengan Suwardi Suryaningrat atau Ki Hadjar Dewantara,"Pertemuan Cipto Mangunkusumo dengan Ki Hajar Dewantoro yang cukup intens terjadi sewaktu mereka sama-sama menjadi siswa STOVIA. Bersama-sama dengan siswa lainnya seperti Gunawan, dan Sutomo, mereka sering berkumpul di Asrama Indonesia Club membicarakan tentang nasib kaum Pribumi," kata Sejarawan Universitas Indonesia, Iskandar pada CNNIndonesia.com, Rabu (15/8).

Kritikan terhadap pemerintah Belanda yang ditulis oleh Cipto Mangunkusumo diterbitkan di harian
Bekas Gedung Stovia kini dijadikan Museum Kebangkitan Nasional. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Di gedung tersebut mereka juga bertemu dengan dr Wahidin Sudiro Husodo. Pertemuan mereka kemudian melahirkan Budi Utomo pada 20 Mei 1908, sebuah organisasi modern pertama saat itu.Budi Utomo bersifat sosial, ekonomi, dan kebudayaan tetapi tidak bersifat politik. Organisasi ini berdiri dengan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia walaupun pada awalnya hanya ditujukan bagi golongan berpendidikan Jawa.Namun Cipto dan Suwardi merasa tidak puas melihat perkembangan Budi Utomo, akhirnya keduanya keluar dan bertemu dengan Ernest Douwes Dekker yang saat itu bekerja di Bataviaasch Nieuwsblad. Douwes Dekker sering berhubungan dengan murid-murid STOVIA.Ketiganya sepakat untuk mendirikan Indische Partij pada 25 Desember 1912. Dia sekaligus menjadi partai politik pertama Hindia Belanda."Perkenalan mereka terjadi pada acara diskusi. Diskusi itulah yang menyatukan mereka sebagai orang atau bangsa "Indisch"," ujar Iskandar.Pindah praktik Solo ke Bandung, Cipto mendekati Ernest. Dia juga kemudian menjadi anggota redaksi penerbitan harian de Express dan majalah het Tijdschrijft.Pada suatu ketika, Cipto dan Suwardi mendengar bahwa Perancis dan Belanda akan merayakan kemerdekaan mereka yang ke-100 di Indonesia. Suwardi kemudian menulis artikel berjudul "Ais Ik Nederlands Was" (andaikan saya seorang Belanda) pada 19 Juli 1913 bersama Komite Bumi Putra."Jika dia (Suwardi) seorang Belanda, ia akan merasa malu merayakan kemerdekaan bangsanya di tengah-tengan bangsa yang dijajahnya, apalagi minta sumbangan masyarat yang notabene dijajahnya itu," imbuhnya.

Kritikan terhadap pemerintah Belanda yang ditulis oleh Cipto Mangunkusumo diterbitkan di harian
Pengunjung melihat foto Cipto Mangunkusumo di Museum Kebangkitan Nasional yang dulung Gedung Stovia. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Tulisan itu kemudian dilanjutkan oleh Cipto keesokan harinya. Akibatnya, Cipto dan Suwardi dimasukkan ke sel tahanan pada 30 Juli 1913.Ernest pun menunjukkan kesetiakawananya sebagai teman. Dia mendukung kedua sahabatanya melalui tulisan yang intinya menyatakan keduanya adalah pahlawan.Tulisan tersebut justru membuat keadaan memburuk, hingga tiga sekawan yang belakangan dikenal sebagai Tiga Serangkai itu dibuang ke Belanda, tepatnya pada 18 Agustus 1913."Disebut tiga serangkai karena ideologinya yang luar biasa tentang bangsa Indisch yang belum terpikir oleh para pelajar lainnya yang masih terikat oleh kesukuan atau daerah asal," kata Iskandar.Di Belanda, Cipto aktif di Indische Vereeniging, namun diijinkan kembali pulang ke Indonesia tahun 1914 karena menderita asma. Sepulangnya ke Jawa, ia tetap berjuang dengan bergabung lagi dengan organisasi Insulinde yang akhirnya menjadi Nationaal-Indische Partij (NIP).Namun dia kembali dibuang ke Banda Neira karena dianggap melakukan sabotase pada Belanda. Dia pernah diizinkan kembali ke Jawa asalkan mau melepas hak politiknya.Cipto menolak dengan tegas dan rela dipindah ke beberapa tempat setelahnya. Akhirnya Cipto menghembuskan nafas terakhir pada 8 Maret 1943 di Jakarta.

Doktor Cipto Mangunkusumo diangkat sebagai pahlawan nasional melalui Surat Keputusan Presiden No. 109/TK/1964, pada tanggal 2 Mei 1964. Sosoknya kini juga ada dalam pecahan uang Rp200 rupiah berdasarkan keputusan Bank Indonesia pada 19 Desember 2016. (sur/sur)

LIVE REPORT

LIHAT SELENGKAPNYA

Ilustrasi tulisan. Foto: jarmoluk via Pixabay

Ki Hajar Dewantara merupakan seorang pelopor pendidikan Indonesia yang hidup di zaman penjajahan Belanda. Beliau lahir pada 2 Mei 1889 di Kawasan Keraton Yogyakarta.

Sebagai tokoh pendidikan, Ki Hajar Dewantara turut mendirikan sebuah perguruan yang diberi nama Taman Siswa. Tujuannya tidak lain untuk memberikan kesempatan bagi para pribumi supaya bisa memperoleh pendidikan setara dengan priyayi dan orang-orang Belanda.

Atas jasanya ini, kini beliau mendapat julukan sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Semasa hidupnya, Ki Hajar Dewantara juga berkarier sebagai wartawan di beberapa surat kabar, seperti Sedyotomo, Midden Java, De Express, dan lain-lain.

Beliau sering menulis artikel yang bersifat komunikatif dan patriotik, sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial rakyat Indonesia. Seperti apa contoh artikel yang ditulis Ki Hajar Dewantara?

Artikel yang Ditulis Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara atau Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, dikenal sebagai sosok yang kritis dan berwawasan luas. Dalam beberapa kesempatan, beliau kerap memberikan sudut pandangnya terhadap suatu persoalan. Salah satu yang paling berkesan ialah tulisan beliau yang berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda).

Ilustrasi menulis surat. Foto: Shutter Stock

Mengutip buku Tools for Study Skills: Teknik Meringkas karya Femi Olivia, artikel tersebut dimuat dalam surat kabar De Express milik Dr. Douwes Dekker pada tahun 1913. Ki Hajar Dewantara menulisnya sebagai kritikan atas sikap Belanda yang kerap meminta sumbangan kepada rakyat Indonesia untuk merayakan kemenangan mereka.

Dikisahkan pada saat itu, Ki Hajar Dewantara bersama dengan Setiabudhi dan Cipto Mangunkusumo, mendirikan Komite Bumiputera. Komite ini dicetuskan pada November 1913, sebagai tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda.

Komite Bumiputera banyak memberikan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang kerap bertindak semaunya. Suatu hari, Belanda pernah merayakan bebasnya mereka dari penjajahan Perancis. Kemudian menarik uang dari rakyat Indonesia untuk membiayai pesta perayaan tersebut.

Mewakili rakyat Indonesia, Ki Hadjar Dewantara menyatakan sikap keberatan terhadap perayaan tersebut. Ia pun menulis kritikan melalui artikel yang berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda). Dikutip dari buku Cinta Pahlawan Nasional Indonesia oleh Pranadipta Mahawira, bunyi artikel tersebut yaitu:

"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikit pun."

Ki Hajar Dewantara. Foto: istimewa

Menurut beberapa sumber, artikel tersebut cukup membuat marah penguasa kolonial. Akibatnya, ketiga pendiri Indische Partij yaitu Ki Hajar Dewantara, Setiabudhi, dan Cipto Mangunkusumo pun ditangkap dan diasingkan ke Belanda.

Meski begitu, Ki Hadjar Dewantara tidak merasa jera. Pada 3 Juli 1922, ia mendirikan Perguruan Nasional Taman Siswa (National Onderwijs Institut Tamansiswa) yang bertujuan untuk mengenalkan dan menanamkan metode pendidikan nasional.

Ki Hajar terus memberikan sumbangsihnya dalam dunia pendidikan Indonesia. Beliau wafat pada 26 April 1952 dan dimakamkan di Wijayabrata, Yogyakarta.

Tanggal lahirnya, 2 Mei, dijadikan sebagai peringatan Hari Pendidikan Nasional di Indonesia. Ia pun kini dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional.