Konsep bhineka Tunggal Ika yang digambarkan dalam buku Sutasoma karangan Mpu Tantular adalah

Selama ini, makna Bhinneka Tunggal Ika yang diketahui bersama adalah ‘berbeda-beda namun tetap satu. Lalu, bagaimana makna aslinya sebagaimana tertulis dalam Kitab Sutasoma?

Oleh:

Tim Publikasi Hukumonline

Bacaan 2 Menit

Konsep bhineka Tunggal Ika yang digambarkan dalam buku Sutasoma karangan Mpu Tantular adalah

Ilustrasi. Foto: unsplash.com

Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan yang melekat pada lambang Garuda. Makna dari Bhinneka Tunggal Ika adalah berbeda-beda tetapi tetap satu. Jika dilihat dari sejarah historisnya, Bhinneka Tunggal Ika dituliskan dalam kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular pada masa Majapahit sekitar abad ke-14. Berikut pembahasan mengenai pengertian Bhinneka Tunggal Ika dalam Kitab Sutasoma.

Dalam Sutasoma, Istilah “Bhinneka Tunggal Ika” tertulis pada pupuh 139 bait 5. Adapun kutipan dan terjemannya sebagaimana diterangkan I Nyoman Pursika adalah sebagai berikut.

Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wisma, 

Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,

Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,

Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

Dengan terjemahan:

Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.

Mereka memang berbeda, tetapi bagaimana bisa dikenali?

Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal.

Terpecah belahlah itu, tapi tetap satu jua, seperti tidak ada kerancuan dalam kebenaran. 

Pembahasan Bhinneka Tunggal Ika dalam Sutasoma ini ditekankan pada perbedaan kepercayaan di kalangan masyarakat Majapahit. Puriska dalam Jurnal Pendidikan dan Pengajaran Jilid 42menerangkan bahwa Sutasoma mengajarkan toleransi kehidupan beragama yang menempatkan agama Hindu dan Buddha hidup berdampingan dengan rukun dan damai.

Lebih lanjut, meski Hindu dan Buddha merupakan dua ajaran yang berbeda, perbedaan tersebut tidak menimbulkan perpecahan karena kebenaran Hindu dan Buddha bermuara pada hal yang “satu”.

Bhinneka Tunggal Ika dalam Sansekerta

Istilah Bhinneka Tunggal Ika berasal dari bahasa Sansekerta. Puriska (2009:16) merincikan bahwa “Bhinneka” berasal dari gabungan kata “bhinna” yang artinya ‘berbeda-beda’ dan “ika” yang artinya ‘itu’. Kemudian, “tunggal” yang artinya ‘satu’. Lalu, “Ika” yang berarti ‘itu’.

Jika disimpulkan, Bhinneka Tunggal Ika berarti ‘yang berbeda-beda itu dalam yang satu itu’ atau ‘beraneka ragam namun satu jua’.

Dilanjutkan Puriska, konsep Bhnineka Tunggal Ika ini serupa dengan semboyan negara Amerika Serikat, yakni E Pluribus Unum yang berarti ‘bersatu walaupun berbeda-beda’ atau ‘berjenis-jenis tetapi tunggal’.

Secara sederhana, pengertian Bhinneka Tunggal Ika dalam buku Sutasoma membahas perihal perbedaan kepercayaan di zaman Majapahit yang hidup rukun dan berdampingan. Seiring perkembangan, yakni di masa kini, sebagaimana melekat dalam lambang Garuda, arti Bhinneka Tunggal Ika merujuk pada keragaman dalam masyarakat Indonesia di berbagai bidang kehidupan.

Kesulitan mengikuti perubahan berbagai peraturan? Pusat Data Hukumonline menyediakan versi konsolidasi yang menghimpun perubahan peraturan dalam satu naskah. Akses penuh Pusat Data Hukumonline dengan berlangganan Hukumonline Pro Plus sekarang!

Konsep bhineka Tunggal Ika yang digambarkan dalam buku Sutasoma karangan Mpu Tantular adalah
Umat Islam membagikan makanan kepada umat Hindu dalam Tradisi Ngejot di Banjar Tista, Desa Dapdap Putih, Buleleng, Bali, Rabu 12 Mei 2021. Tradisi yang digelar sehari sebelum perayaan Idul Fitri 1442 Hijriah tersebut untuk menjaga silaturahmi dan toleransi antar umat beragama. ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo

TEMPO.CO, Jakarta - Slogan Bhinneka Tunggal Ika selama ini diketahui berasal dari tulisan Mpu Tantular dalam Kitab Sutasoma yang muncul di era kekuasaan Majapahit. Namun konsep berbeda-beda tapi satu ini ternyata telah muncul sejak masa Mataram Kuno.

Mengutip buku Melacak Jejak Spiritualitas Bhinneka Tunggal Ika dan Visi Penyatuan Nusantara karangan Maftukhin, doktrin Bhinneka Tunggal Ika dalam konteks sintesis-tantris bukan narasi autentik milik Mpu Tantular maupun ajaran spesifik dari Kitab Sutasoma melainkan kesadaran kolektif masyarakat.

Dalam buku tersebut Maftukhin menjelaskan jika Mpu Tantular sebenarnya hanya merepresentasikan kesadaran masyarakat dalam Sastra Kakawin. Hal-hal yang berkaitan dengan keberagaman sejatinya sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat jauh sebelum Kerajaan Majapahit berdiri.

Gagasan yang berhubungan dengan Bhinneka Tunggal Ika dapat dilacak sejak awal periode kerajaan Mataram Kuno atau pada awal abad 10 M saat berpindah dari wilayah Jawa bagian Tengah ke Timur.

Saat kerajaan Mataram Kuno menguasai Jawa, agama Hindu dan Budha menjadi agama mayoritas masyarakat. Meski persaingan antara Wangsa Syailendra dan Sanjaya makin lama makin mengganas, perang agama tak pernah tercatat dan tidak ada bukti yang ditemukan. Syailendra menganut agama Buddha dan Sanjaya penganut Siwa.

Bahkan saat bangsa Syailendra mulai memudar, tak menjadikan raja-raja dari wangsa Sanjaya memaksa masyarakat untuk menyembah Siwa. Mereka tetap menghormati bangunan Buddha dari Syailendra.

Bisa dilihat hingga kini, bangunan peninggalan Syailendra dan Sanjaya berdiri berdampingan. Borobudur yang merupakan warisan dari wangsa Syailendra tetap berdiri berdampingan dengan monumen Roro Jonggrang.

Dikutip dari buku tersebut, menurut catatan Bernanrd H.M. Vlekke, praktik penyembahan yang sangat eksklusif tidak pernah ditemukan. Munculnya agama-agama baru tidak menggeser agama lama namun turut menambah unsur dan pengayaan. Dengan kata lain tidak ada paksaan untuk menyembah Siwa atau Budha.

Tak hanya dalam konsep dan gagasan, namun juga menjiwai praktik politik dan kekuasaan, sosial-keagamaan, arsitektur dan juga sastra. Bukti-bukti mengenai hal ini dapat dilihat dari zaman ke zaman. Tidak mengherankan bahwa bangunan peribadatan sejak masa Mataram Kuno dengan mudah ditemukan perpaduan simbol Siwa dan Buddha yang merepresentasikan doktrin Bhinneka Tunggal Ika.

TATA FERLIANA

Baca juga:

Tahukah Kamu Asal Kata Minahasa, Maknanya Sama Seperti Bhineka Tunggal Ika

Konsep bhineka Tunggal Ika yang digambarkan dalam buku Sutasoma karangan Mpu Tantular adalah
Foto: Dewi Irmasari/detikcom

Jakarta - Indonesia punya semboyan 'Bhinneka Tunggal Ika' yang memiliki arti 'berbeda-beda tetapi tetap satu'. Semboyan itu menjadi moto bangsa Indonesia yang melambangkan persatuan di tengah keberagaman Indonesia.Sebenarnya frasa 'Bhinneka Tunggal Ika' telah tercipta jauh sebelum Indonesia merdeka. Bahkan penciptanya pun bukan seorang pejuang kemerdekaan. 'Bhinneka Tunggal Ika' adalah sebuah frasa yang terdapat dalam Kakawin Sutasoma. Kakawin sendiri berarti syair dengan bahasa Jawa kuno.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kakawin Sutasoma merupakan karangan Mpu Tantular yang dituliskan menggunakan bahasa Jawa kuno dengan aksara Bali. Diketahui, Kakawin Sutasoma dikarang pada abad ke-14. Kutipan frasa 'Bhinneka Tunggal Ika' sendiri terdapat dalam petikan pupuh 139 bait 5 pada Kakawin Sutasoma.Bila diterjemahkan tiap kata, Bhinneka punya arti 'beraneka ragam'. Kata tunggal berarti 'satu' dan ika berarti 'itu'. Sehingga, bila mengacu berdasarkan arti secara harfiahnya, 'Bhinneka Tunggal Ika' memiliki arti 'beraneka ragam itu satu'.

Konsep bhineka Tunggal Ika yang digambarkan dalam buku Sutasoma karangan Mpu Tantular adalah
Foto: Dewi Irmasari/detikcom

Kakawin Sutasoma kini bisa dilihat secara langsung dalam Pameran Pancasila yang diadakan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Pameran tersebut diadakan di Museum Nasional Indonesia, Jalan Medan Merdeka Barat, No 12, Gambir, Jakarta Pusat. Kakawin Sutasoma yang dipamerkan telah dituliskan kembali di atas daun lontar berukuran 40,5 X 3,5 cm pada tahun 1851 dengan isi 182 halaman dan tiap halamannya ditulis dalam 4 baris. Namun, tak diketahui siapa yang menuliskan ulang Kakawin Sutasoma tersebut, karena tidak ada petugas yang bisa ditanya perihal informasi lengkap kakawin tersebut.

detikcom mengunjungi Pameran Lahirnya Pancasila, Sabtu (2/6/2017). Dalam pameran yang berlangsung sejak 2 hingga 15 Juni 2017 ini, Kakawin Sutasoma bisa ditemukan tepat di tengah setelah gapura pintu masuk pameran. Pengunjung yang masuk pun dikenai biaya Rp 5.000 per orang. Jam bukanya yaitu pukul 08.00 WIB sampai 15.00 WIB. (irm/tor)

Jakarta -

Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa. Istilah tersebut diadaptasi dari sebuah kakawin peninggalan Kerajaan Majapahit. Seperti apa sejarahnya?

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika pertama kali diungkapkan oleh Mpu Tantular dalam kitabnya, kakawin Sutasoma. Dalam bahasa Jawa Kuno kakawin artinya syair. Kakawin Sutasoma ditulis pada tahun 1851 dengan menggunakan aksara Bali, namun berbahasa Jawa Kuno.

Bahan naskah yang digunakan untuk menulis kakawin Sutasoma terbuat dari daun lontar. Kitab tersebut berukuran 40,5 x 3,5 cm. Sutasoma menjadi sebuah karya sastra peninggalan Kerajaan Majapahit.

Dilansir laman Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), kakawin Sutasoma merupakan kitab yang dikutip oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam merumuskan semboyan NKRI.

Kutipan frasa 'Bhinneka Tunggal Ika' terdapat pada pupuh 139 bait 5. Berikut bunyi petikan pupuh tersebut:

"Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa".

Kalimat di atas artinya "Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal. Terpecahbelahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.

Mpu Tantular mengajarkan makna toleransi antar umat beragama dan dianut oleh pemeluk agama Hindu dan Buddha. Semboyan "Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa" sendiri digunakan untuk menciptakan kerukunan di antara rakyat Majapahit dalam kehidupan beragama.

Dikutip dari situs resmi Portal Informasi Indonesia, frasa Jawa Kuno tersebut secara harfiah mengandung arti berbeda-beda namun tetap satu jua. Bhinneka artinya beragam, tunggal artinya satu, ika artinya itu, yakni beragam satu itu.

Konon, pendiri bangsa yang pertama kali menyebut frasa Bhinneka Tunggal Ika adalah Moh Yamin. Dia mengucapkannya di sela-sela sidang BPUPKI. Sontak, I Gusti Bagus Sugriwa, tokoh yang berasal dari Bali, menyahut dengan ucapan "tan hana dharma mangrwa".

Dalam pendapat lain, Bung Hatta mengatakan bahwa frasa Bhinneka Tunggal Ika adalah usulan Bung Karno. Gagasan tersebut secara historis diusulkan setelah Indonesia merdeka, saat momen munculnya kebutuhan untuk merancang lambang negara dalam bentuk Garuda Pancasila.

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara, Bhinneka Tunggal Ika ditulis dengan huruf latin dalam bahasa Jawa Kuno tepat di bawah lambang negara. Sebagaimana bunyi Pasal 5 sebagai berikut:

"Di bawah lambang tertulis dengan huruf latin sebuah semboyan dalam bahasa Jawa-Kuno, yang berbunyi: BHINNEKA TUNGGAL IKA."

Jadi, semboyan Bhinneka Tunggal Ika pertama kali diungkapkan oleh Mpu Tantular dalam sebuah buku berjudul kakawin Sutasoma.

Simak Video "Kekuasaan Kerajaan Majapahit, Kejayaan Nusantara"



(kri/pay)