Konsekuensi pengaruh yang dirasakan dalam pengembangan koperasi di Indonesia

Konsekuensi pengaruh yang dirasakan dalam pengembangan koperasi di Indonesia

Jakarta - Pada tahun 1979, Mohammad Hatta pernah berujar bahwa, "Cita-cita koperasi Indonesia adalah dalam rangka menentang individualisme dan kapitalisme secara fundamentil". Pada satu dekade setelah milenium, ternyata geliat koperasi dunia mampu memberikan dampak yang dirasakan secara internasional sehingga pada tahun 2009, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa secara resmi menetapkan Tahun 2012 sebagai Tahun Koperasi Internasional.Penetapan ini disahkan dalam Resolusi PBB Nomor: A/RES/64/136. Resolusi ini mengikat seluruh anggota PBB dan tiap-tiap Anggota PBB diminta agar membuat program yang mengkampanyekan koperasi. Penetapan PBB ini adalah pengakuan mengenai peran koperasi dalam penurunan angka kemiskinan, penciptaan lapangan kerja dan mendorong terwujudnya integrasi sosial.Sekjen PBB, Ban Ki-moon, telah menyampaikan kepada masyarakat internasional untuk memberikan perhatian pada koperasi, sebagaimana dikutip dalam situs resmi PBB, "Cooperatives are a reminder to the international community that it is possible to pursue both economic viability and social responsibility".Yang terjemahannya kira-kira sebagai berikut, "Koperasi-koperasi adalah suatu pengingat kepada komunitas internasional bahwa adalah memungkinkan untuk mencapai dua hal berupa kemampuan ekonomi dan tanggung jawab sosial secara bersamaan".Tujuan ditetapkannya Tahun 2012 sebagai Tahun Koperasi Internasional yaitu, pertama, meningkatkan perhatian publik tentang koperasi dan kontribusinya terhadap pembangunan sosial ekonomi dan pencapaian Millennium Development Goals (MDGs).Kedua, mempromosikan pembentukan dan pertumbuhan koperasi; dan ketiga, mendorong pemerintah-pemerintah untuk membuat kebijakan, hukum, dan peraturan yang kondusif untuk pembentukan, pertumbuhan, dan stabilitas koperasi.Indonesia mempunyai catatan sejarah bahwa istilah koperasi pernah dicantumkan konstitusi yaitu dalam Penjelasan Pasal 33 Ayat 1 UUD 1945 (sebelum dihapuskan) berbunyi,"Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi".Amanat dalam konteks tersebut adalah bahwa Negara dapat membuat kebijakan-kebijakan yang pro-koperasi dan melahirkan undang-undang, baik secara langsung atau tidak langsung, harus berpihak pada koperasi.Negara juga bertanggungjawab untuk membangun perkoperasian, dengan melakukan penyesuaian-substansi-secara-konsisten pada produk perundang-undangan lainnya.Gerakan Koperasi sebenarnya juga dapat berpartisipasi dalam lingkup penyelenggaraan Negara sesuai dengan Undang-Undang Dasar (konstitusi).Sayangnya, hingga saat ini Gerakan Koperasi belum terbangun menjadi suatu kelompok kritis dalam menyikapi kehidupan bernegara dan belum memberikan kontribusi pemikiran terhadap penyelenggaraan Negara.Bahkan penghapusan Penjelasan Pasal 33 UUD 1945 yang memuat kata koperasi pun tak menjadi perhatian dari seluruh elemen Gerakan Koperasi, selama masa Reformasi ini.Ketika tidak dapat berpartisipasi langsung dalam kebijakan Negara, Koperasi, dalam pengertian badan hukum menurut UU Nomor 25 Tahun 1992, justru disalahgunakan oleh sebagian warga negara untuk memperkaya diri sendiri dan membodohi warga negara lainnya dengan model jasa keuangan yang padat modal.Dan lebih mengenaskan lagi adalah sebagian aparatur Pemerintah yang membidangi Koperasi ikut menjadi korban. Ini terjadi pada kasus Koperasi Langit Biru (KLB) beberapa waktu lalu.Kondisi demikian mencerminkan bahwa dimensi pendidikan koperasi telah terkikis dalam lingkungan aparatur pemerintahan yang membidangi koperasi itu.Selain aparatur pemerintahan, pendidikan perkoperasian di kalangan generasi muda pun semakin kabur. Pendidikan dasar, lanjutan dan tinggi, kurang lagi memperhatikan koperasi sebagai suatu bentuk cara pikir penyelesaian masalah.Koperasi pun tidak semata-mata sebagai suatu moral-ekonomi yang sesuai dengan apa yang disebut budaya Indonesia, melainkan sebagai suatu susunan cita-cita masyarakat yang mengutamakan kesejahteraan bersama.Bahkan menjadi ironi ketika Gerakan Kewirausahaan Nasional (GKN) dicanangkan, justru terjadi perselisihan antara Koperasi Mahasiswa dengan beberapa Perguruan Tinggi.Padahal Koperasi Mahasiswa merupakan wahana pendidikan perkoperasian, dimana salah satu dimensinya adalah kewirausahaan.Memang faktor akselerasi individu sebagai wirausaha dengan modal cukup dapat menciptakan dampak langsung secara materialistik, tetapi "menendang" Koperasi Mahasiswa dari lingkup pembinaan Perguruan Tinggi juga bukanlah tindakan yang etis dalam falsafah yang dianut dalam dunia pendidikan menurut Ki Hajar Dewantoro, "ing ngarso sung tuladha, ing madyo mangun karso, dan tut wuri handayani".Tetapi tampaknya perspektif "pro-koperasi" tidak diintegrasikan dalam kebijakan Pendidikan Tinggi, dan hanya di beberapa kampus saja yang mampu bertahan dan tetap bergeliat dalam dinamika berkoperasi.

Pertentangan di Tahun 2012

Menurut International Cooperative Alliances (ICA), dalam Statuta yang direvisi pada tanggal 20 Nopember 2009, dinyatakan bahwa, "A co-operative is an autonomous association of persons united voluntarily to meet their common economic, social and cultural needs and aspirations through a jointly-owned and democratically controlled enterprise".Dalam terjemahan bebasnya kira-kira sebagai berikut; "Sebuah koperasi adalah perkumpulan otonom dari orang-orang yang bersatu secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial, dan budaya yang sama dan aspirasi melalui suatu kepemilikan bersama dan usaha yang dikendalikan secara demokratis".Dinamika yang berkembang dalam pertemuan itu mengacu pada dasar-dasar yang diletakkan oleh Rochdale Pioneers pada tahun 1844, yang menjadi cikal-bakal Gerakan Koperasi di seluruh dunia.Satu catatan penting di tahun 2012 adalah, Indonesia menyambut Tahun Koperasi Internasional dengan pengesahan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian pada tanggal 18 Oktober 2012.Pada Pasal 1 dinyatakan bahwa Koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip koperasi.Pengertian ini sedikit berbeda dengan uraian yang ada di dalam Statuta ICA, dimana pengertian ini memulainya dengan frasa "koperasi adalah badan hukum".Hal ini mungkin dimaksudkan untuk memperkuat aspek hukum, tetapi pengertian ini kemudian hanya memerintahkan tindakan-tindakan teknis terhadap koperasi-koperasi, yang secara halus sebenarnya disetarakan layaknya persekutuan modal.Tetapi dapat juga berarti sebaliknya, bahwa para Penyelenggara N egara memang tidak memahami alasan mendasar dari terbentuknya jatidiri koperasi itu.Kemungkinan lain yang terburuk adalah, bahwasanya kemiskinan filosofis dari Penyelenggara Negara, terutama aparatur pemerintahan yang membidangi koperasi itu (yang sebenarnya tidak perlu ada), telah mendegradasikan pengertian koperasi menjadi badan (hukum) usaha belaka.Degradasi ini telah secara kaku membatasi imajinasi para pegiat koperasi untuk membangun pondasi kesejahteraan bersama melalui koperasi. Kesejahteraan bersama ini pun tidak dapat dibatasi sekedar perhitungan ekonomi berupa pendapatan atau Selisih Hasil Usaha (SHU).Bahkan Muhammad Arsad Dalimunte, seorang pegiat koperasi di Kabupaten Banyumas, yang juga Ketua Pengawas KOPINDO, menyatakan pendapatnya dalam opini berjudul “SHU 0 (Nol) adalah Gagasan Revolusioner†(Radar Banyumas, 13 Januari 2013).Koperasi juga tidak boleh bersikukuh dengan ego-sektoralnya sendiri. Karena yang diperlukan koperasi sebenarnya bukanlah undang-undang baru, melainkan integrasi praktek koperasi dalam program-program lintas-sektoral.Upaya ini tak pernah dilakukan oleh Gerakan Koperasi maupun aparatur pemerintahan yang membidangi koperasi, karena kurangnya pemahaman historis-filosofis yang bersumber dari Rochdale Pioneers.Sebagaimana ungkapan dari Ketua Umum KOPINDO Mohammad Suhaimi dalam tajuk Napak Tilas ke Rochdale (Buletin KOPINDO VOICE Edisi 3, November 2012), "Hal lain yang menarik di museum itu adalah simbol sekop dan arit (mirip dengan simbol Partai Komunis Indonesia). Sekop sebagai lambang kerja keras dan arit sebagai lambang kesabaran. Yang berarti bahwa koperasi mesti dibangun dengan kerja keras dan kesabaran".Perkumpulan koperasi tidak perlu "diatur-atur", mengingat ragam masalah yang dihadapi oleh tiap-tiap anggota masyarakat yang berbeda-beda di berbagai daerah.Terutama di Indonesia, bahwa koperasi harus memuat pendidikan yang membangun manusia Indonesia seutuhnya hingga berkekuatan dan berkedaulatan, serta sama sekali tidak mendahulukan ukuran ekonomi materialistik. Saat ini banyak koperasi di Indonesia yang hanya menjadi beban administrasi dan sosial.Lemahnya pendidikan perkoperasian dan pendidikan dalam koperasi telah menjadikan kuantitas (badan hukum) koperasi dijadikan indikator yang diutamakan dalam mengukur keberhasilan daripada watak sosialnya.Padahal koperasi juga mempunyai tanggung jawab untuk membangun kesadaran dalam rangka mendorong perubahan sosial.Dan lebih penting lagi adalah para pegiat koperasi tidak terus-menerus mengidentifikasi diri sebagai "korban" dari tatanan global yang menuntut inovasi tanpa henti.Tanpa mengabaikan dinamika global, maka tantangan nyata di dalam kehidupan Negara Indonesia adalah soal kemampuan untuk mencukupi kebutuhan hidup layak sehingga berkekuatan dan berkedaulatan.Kebutuhan hidup layak itu terutama adalah pangan (yang bergizi), pakaian (yang memadai), perumahan (yang layak huni), kesehatan (yang terjamin dan terpelihara), dan pendidikan (yang visioner dan imajinatif).Kebutuhan hidup layak merupakan prasyarat mutlak untuk bergaul dan berpartisipasi dalam komunitas (tunggal) dunia, serta membangun pondasi kesetaraan dalam pergaulan internasional.Sekali lagi, Negara harus benar-benar menomorsatukan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, agar tidak menjadi tenaga kasar di tengah hingar-bingar pergaulan antar-bangsa dalam arsitektur perekonomian global yang didominasi inovasi berbasis riset dan teknologi.Satu faktor penting dalam pemenuhan kebutuhan hidup yang layak itu adalah dengan penyediaan pangan bergizi bagi tiap-tiap warga Negara Indonesia pada tingkat konsumsi per kapita 100%. Penyediaan pangan bergizi harus dilakukan dengan menghasilkan sendiri produk-produk pangan itu.Ini bukan hanya sekedar soal kemauan Pemerintah atau kebijakan Negara, tetapi lebih merupakan syarat mutlak untuk mengakselerasi kesadaran dalam segala upaya menciptakan pondasi kualitas sumber daya manusia Indonesia.Akselerasi kesadaran itu adalah soal moralitas bernegara, yang tidak sama dengan moral agama, cara berpikir sebagai bangsa yang tidak sebagai konsumen belaka, dan terutama adalah orientasi dalam mengejar tercapainya cita-cita Indonesia menjadi bangsa dan negara yang berkedaulatan.Akselerasi kesadaran ini menjadi takkan ada gunanya apabila para pembuat kebijakan, yang berwenang dan mungkin sangat berkuasa, ternyata menyuburkan iklim predatorism terhadap rakyatnya sendiri.

Pembaruan Paradigma

Dalam definisi hidup sebagai warga negara, maka seorang pegiat koperasi, dari Gerakan Koperasi maupun aparatur pemerintahan, harus mampu memajukan gagasan-gagasan yang kuat untuk mengubah potensi-potensi sumber daya manusia dan sumber daya alam di seluruh tanah air menjadi gerakan produktif yang kental inovasi, bernilai guna dan dapat memenuhi kebutuhan seluruh warga Negara. Gagasan-gagasan tersebut juga tidak sekedar mengadopsi praktek di negeri lain.Pada konteks koperasi, maka ketiadaan partisipasi dari (badan hukum) koperasi terhadap proses sosial merupakan dampak dari lemahnya aparatur pemerintahan yang membidangi koperasi.Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa akumulasi praktek ber-koperasi di Indonesia belum pernah diusulkan untuk memperkaya khasanah Gerakan Koperasi dunia.Sekali lagi bahwa ini adalah soal intelektualitas dan imajinasi para pegiat koperasi, dan yang paling nyata adalah soal rendahnya asupan pangan bergizi bagi manusia Indonesia pada umumnya.Sebagaimana sebuah pernyataan menarik dari Bapak Koperasi Indonesia, bahwa: Yang hendak kita persoalkan di sini ialah kedudukan soal usaha ekonomi dalam masyarakat kita. Kaum produsen sebagian yang terbesar terdiri dari bangsa kita. Kaum konsumen demikian pula.Akan tetapi kaum distributor terdiri daripada bangsa asing. Dan inilah suatu pokok yang penting yang menjadi sebab kelemahan ekonomi rakyat kita.Kaum saudagar asing dengan segala bujangnya yang terdiri daripada bangsa kita sudah melakukan "Einschaltung" ke dalam ekonomi kita. Sekarang usaha kita hendaklah mengerjakan "Ausschaltung" merebut jalan perdagangan itu dari tangan bangsa asing.Untuk mencapai maksud itu kaum industri tersebut mengadakan persatuan. Demikian pula seharusny a taktik ekonomi rakyat kita. Sebagai kaum produsen, rakyat kita harus menggabungkan diri untuk menimbulkan koperasi produksi.Misalnya tiap-tiap desa atau kumpulan desa menjadi persatuan koperasi produksi, bekerja bersama dan berusaha bersama. Kalau kaum tani Indonesia sudah bersatu dalam perekonomiannya, pendiriannya sudah kuat terhadap saudagar asing yang menjadi si pembeli."Ke arah inilah harus ditujukan ekonomi rakyat, kalau kita mau memperbaiki nasibnya. Usaha ini tidak mudah, menghendaki tenaga dan korban yang sepenuh-penuhnya dengan menyingkirkan segala cita-cita partikularisme. Dapatkah ia dicapai? Bagi kita tidak ada yang mustahil, asal ada kemauan. Susunlah kemauan itu lebih dahulu!" (Hatta: 1933).Metode berpikir dialektis tidak digunakan oleh para pegiat koperasi karena dimensi intelektualitas menyusut drastis dan imajinasi yang mandul sehingga koperasi yang selalu tersudut dalam setiap momentum perubahan.Gerakan Koperasi tidak memberikan pengaruh apapun terhadap perubahan sosial, selain menjadi kelompok yang merasa tidak berkepentingan terhadap kehidupan bernegara. Bukti yang paling nyata adalah hilangnya kata koperasi dari Undang-Undang Dasar 1945.Gerakan Koperasi telah gagal mengakumulasikan potensi yang dimiliki menjadi sebuah gerakan (politik) koperasi yang lebih fundamental, bahkan justru menjadi cenderung tereksploitasi oleh kepentingan-kepentingan di luar kesadaran yang seharusnya terbangun sebagaimana Rochdale Equitable Pioneers Society didirikan pada tahun 1844, yang diakui sebagai acuan di seluruh dunia, termasuk Indonesia.Pada konteks kekinian, maka semangat Gerakan Koperasi harus segera menyesuaikan kembali dengan praktek dan teori sebagaimana asal-usul munculnya Perintis dari Rochdale.Para pegiat koperasi harus memperbarui paradigma berkoperasi dengan menggali lebih dalam tentang "cara berpikir dialektis" dari 28 orang kelas pekerja di Inggris itu.Untuk memperbarui paradigma berkoperasi diperlukan pembelajaran yang intensif, tidak sekedar teori yang diulang-ulang, tetapi harus melakukan pembaruan di dalam perkumpulan orang-orang yang disebut koperasi itu.Indahnya cita-cita yang ditulis sebagai pasal di dalam undang-undang, takkan ada gunanya apabila metode pendidikan dan pembelajaran di dalam komunitas Gerakan Koperasi itu tidak diperbarui.Dan harus dimulai dengan pernyataan bahwa, pembaruan paradigma itu tidak mungkin dilakukan oleh golongan dogmatis yang berpikir instan dan miskin imajinasi.

*Penulis adalah Deputi bBidang Kajian Pengembangan Sosial Politik

Susilo Prayitno


Jl Anggrek Garuda, DKI Jakarta

082115120999

(wwn/wwn)