Keadaan dimana pada Laporan Keuangan pemerintah Daerah pendapatan lebih kecil dari belanja?

Laporan Realisasi Anggaran menyajikan ikhtisar sumber, alokasi dan penggunaan sumber daya ekonomi yang dikelola dalam satu periode pelaporan. Laporan Realisasi Anggaran menyajikan sekurang-kurangnya unsur-unsur sebagai berikut: a. Pendapatan-LRA adalah penerimaan oleh entitas pemerintah melalui bendahara yang menambah SiLPA pada tahun anggaran yang bersangkutan, yang menjadi hak pemerintah dan tidak perlu dibayar kembali oleh pemerintah. b. Belanja adalah pengeluaran oleh entitas pemerintah melalui bendahara yang mengurangi SiLPA pada tahun anggaran yang bersangkutan dan tidak akan diperoleh kembali pembayarannya oleh pemerintah. c. Transfer adalah penerimaan/pengeluaran uang oleh suatu entitas pelaporan dari/kepada entitas pelaporan lain, termasuk Dana Perimbangan dan Dana bagi Hasil. d. Pembiayaan (financing) adalah setiap penerimaan/pengeluaran yang tidak berpengaruh pada kekayaan bersih entitas yang perlu dibayar kembali dan/atau akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran bersangkutan maupun tahun anggaran berikutnya yang dalam anggaran pemerintah dimaksudkan untuk menutup defisit atau memanfaatkan surplus anggaran. Penerimaan pembiayaan antara lain dapat berasal dari pinjaman dan hasil divestasi sedang pengeluaran pembiayaan antara lain digunakan untuk pembayaran kembali pokok pinjaman, pemberian pinjaman pada entitas lain, dan penyertaan modal oleh pemerintah.

Laporan Realisasi Anggaran menggambarkan perbandingan antara anggaran dengan realisasinya dalam satu periode pelaporan.

Kas merupakan aset lancar yang amat penting bagi perusahaan. Kas tidak boleh kosong karena dibutuhkan untuk operasional dan kebutuhan mendesak perusahaan. Tanpa kas tentu operasional akan terhambat. Kas sendiri ditampilkan dalam neraca saldo, neraca akhir dan laporan arus kas. Dalam pengelolaan kas akan timbul istilah surplus dan defisit kas.

Melalui surplus dan defisit kas maka Anda bisa mengetahui apakah pengelolaan dana telah dilakukan dengan baik atau tidak.

Istilah surplus dan defisit kas juga digunakan untuk berbagai laporan keuangan baik sifatnya komersial maupun non profit bahkan dalam anggaran pemerintah.

Pengertian Surplus dan Defisit Kas

Surplus adalah istilah yang digunakan apabila jumlah pemasukan lebih besar ketimbang pengeluaran. Sementara defisit istilah yang digunakan bilamana pengeluaran lebih besar ketimbang pemasukan. Surplus dan defisit kas sering menjadi istilah yang digunakan pemerintah dalam menggambarkan perekonomian negara.

Pengertian surplus dan defisit kas ini bukanlah hal yang awam di masyarakat. apalagi istilah defisit menjadi momok tersendiri bagi pemilik modal. Bila defisit kas terus dibiarkan maka  akan menyebabkan perusahaan bangkrut apalagi sebuah negara. Dalam laporan keuangan surplus dan defisit bisa disimak dengan jelas alirannya pada laporan arus kas.

Dampak Surplus dan Defisit Kas

Dampak dari surplus dan defisit kas akan sangat besar sekali pada aktivitas perusahaan diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Bila mengalami defisit kas maka segala beban yang perlu dibayarkan pada periode tersebut bisa saja terhambat. Tidak adanya kas mampu menyebabkan perusahan tidak bisa memberikan gaji, membayar hutang atau membeli bahan baku secara tunai

2. Surplus kas memberikan perusahaan banyak pilihan untuk menginvestasikan uang yang dimilikinya. Perusahaan mampu membayar tagihannya tepat waktu bahkan mudah berinvestasi

3. Menjadi tolak ukur investor dalam menilai kinerja manajemen perusahaan dalam mengelola modal mereka. Kepercayaan investor semakin tinggi bila laporan keuangan perusahaan selalu menunjukkan surplus kas.

4. Surplus dan defisit kas menjadi bahan pertimbangan untuk menyusun anggaran kas yang digunakan dalam periode selanjutnya

5. Perusahaan melakukan reformasi, rekturisasi atau kebijakan perusahaan lainnya yang berkaitan dengan aliran dana didasari oleh surplus dan defisit kas

6. Meringkas penjelasan tentang penggambaran kondisi kas saat ini dan mudah dihafalkan


Bagaimana Menghitung Surplus dan Defisit Kas

Dalam pembukuan sederhana cara menghitung surplus dan defisit sangatlah mudah hanya menitik beratkan pada pemasukan dan pengeluaran kas. Semua transaksi yang berkaitan dengan kas akan tersaji dalam laporan arus kas yang wajib dibuat sebagai salah satu komponen laporan keuangan perusahaan.

Baik laporan arus kas metode langsung maupun tidak langsung wajib untuk mencatat segala pemasukan dan pengeluaran yang masuk. Pemasukan perusahaan bisa terbagi atas 3 jenis yaitu pemasukan kerja, portofolio dan pasif.

Pemasukan kerja merupakan pendapatan yang diperoleh dari melakukan pekerjaan misalnya penjualan tunai untuk produk yang diproduksi perusahaan.

Pemasukan portofolio merupakan pendapatan yang didapat dari bursa efek misalnya saja pembagian dividen. Sementara pendapatan pasif adalah pendapatan yang terus menghasilkan meskipun Anda tidak melakukan suatu pekerjaan seperti pendapatan dari menyewakan gedung.

Pengeluaran kas terbagi atas dua macam yakni yang sifatnya tetap dan variabel. Pengeluaran tetap adalah pengeluaran yang nilainya sama setiap bulannya misalnya saja biaya asuransi kendaraan. Pengeluaran variabel  memiliki nilai yang berubah-ubah setiap bulan contohnya biaya listrik dan air.

Rumus untuk menghitung surplus dan defisit kas adalah sebagai berikut :

Surplus kas = Total pemasukan  – Total pengeluaran, hasilnya selalu positif. Semakin besar nilainya maka  makin tinggi kas yang kini sedang dianggurkan.

Defisit kas = Total pemasukan – Total pengeluaran, hasilnya selalu negatif. Semakin tinggi minusnya maka makin tidak sehat kondisi kas yang Anda miliki.

Contohnya tuan Rudi memiliki total pendapatan dalam satu bulan sebesar Rp. 50.000.000. Dalam bulan tersebut ia telah membayar biaya listrik sebesar Rp. 11.000.000, biaya sewa rumah Rp.5.000.000 dan tagihan angsuran sepeda motor sebesar Rp.5.000.000 yang belum dibayarkan bulan ini.

= Rp.50.000.000-(Rp.11.000.000+Rp. 5.000.000+Rp. 5.000.000)

=Rp. 50.000.000-Rp. 21.000.000

= Rp. 29.000.000 (Surplus kas)

Bagaimana bila total pendapatan  tuan Rudi hanya mencapai Rp.20.000.000 saja per bulan ?

= Rp. 20.000.000 – Rp.21.000.000

= – Rp.1.000.000 (Defisit kas)

Maka dalam bulan tersebut tuan Rudi mengalami defisit kas. Ia harus segera mencari tambahan pemasukan untuk membayar tagihan yang belum terbayarkan pada bulan bersangkutan. Dalam mengatasi defisit Anda bisa merinci dahulu beban apa saja yang menjadi tanggungan.

Cari sumber pendanaan baru sementara misalnya dari pinjaman atau menjual atau menggadai barang. Lakukan pencatatan keuangan seakurat mungkin sehingga dana bisa dialirkan ke pos-pos yang benar-benar membutuhkan. Untuk membantu pencatatan pembukuan usaha Anda bisa dengan Harmony Smart Accounting.

Aplikasi ini bisa mencatat secara rinci pemasukan dan pengeluaran kas. Data tersimpan rapi dan mampu ditampilkan secara real time dan sistematis. Anda bahkan bisa mencoba Software Harmony secara gratis selama 30 hari dengan mendaftar disini.

Oleh: Agus Joko Pramono, Wakil Ketua BPK

Kita selama ini kerap dihadapkan pada perdebatan mengenai jumlah defisit anggaran yang layak dibebankan kepada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Perdebatan ini terjadi karena jumlah defisit erat kaitannya dengan pembiayaan yang harus diambil pemerintah.

Dalam konteks membangun negara, defisit merupakan hal wajar. Hampir semua negara meng­alaminya. Defisit terjadi apabila pendapatan negara lebih kecil dari belanja yang akan dieksekusi. Suatu negara menetapkan defisit karena ada manfaat lebih besar yang bisa diperoleh dari ang­garan belanja, misalnya untuk menunjang pembangunan, sementara pendapatan negara tidak mencukupi kebutuhan.

Perhitungan defisit dibuat untuk menjaga kestabilan ekonomi makro. Juga untuk menghasilkan kinerja fiskal yang sehat dan berkesinambungan. Bukan hanya sehat pada satu atau dua masa, tapi sehat secara berkesinambungan karena ada kaitannya dengan kemampuan membayar. Untuk itulah pemerintah melakukan pengendalian jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD, serta jumlah kumulatif pinjaman pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Berapa angka defisit yang tepat?

Defisit biasanya dibiayai dari utang. Karena ada utang yang ditarik, maka terbentuklah akumulasi jumlah utang. Oleh karena itu, selain defisit tahunan, akumulasi utang juga dikendalikan. Dengan begitu, ada dua hal yang dikendalikan: jumlah defisit anggaran dan jumlah total utang untuk menutup defisit.

Lalu, berapa angka defisit yang tepat? Sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, defisit APBN dibatasi maksimal 3 persen dari produk domestik bruto (PDB). Sedang­kan jumlah pinjaman pemerintah pusat dibatasi maksimal 60 persen dari PDB.

Untuk pemerintah daerah, defisit APBD dibatasi maksimal 3 persen dari produk regional bruto (PRB) daerah yang bersang­kutan. Adapun jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60 persen dari PRB daerah yang bersangkutan.

Ketentuan lebih lanjut mengenai hal tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan Pendapatan Belanja Daerah, serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dalam pasal 4 beleid tersebut ditetapkan bahwa jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD dibatasi tidak melebihi 3 persen dari PDB tahun bersangkutan.

Melalui PP ini, batasan defisit pemerintah pusat dan daerah ditetapkan digabung menjadi 3 persen terhadap PDB. Tujuannya agar defisit anggaran tidak membawa dampak negatif terhadap kestabilan ekonomi makro dalam jangka pendek dan jangka menengah. Selain itu, agar sesuai dengan kaidah-kaidah yang baik dalam pe­ngelolaan fiskal.

Dengan ketetapan itu, setiap daerah harus meminta izin terlebih dahulu kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) jika ingin membentuk defisit anggaran. Izin itu diajukan untuk meminta persetujuan Peraturan Daerah (Perda) tentang APBD. Setelah itu, Kemendagri berkoordinasi de­ngan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Jumlah kumulatif pinjaman juga diatur dalam pasal 4 PP 23 Tahun 2003. Sama seperti halnya defisit, jumlah kumulatif pinjaman pemerintah pusat dan pemerintah daerah digabung dan dibatasi tidak melebihi 60 persen dari PDB. Sehingga, kita sekarang dihadapkan pada satu ukuran standar, ya­itu 3 persen untuk defisit dan 60 persen untuk total utang. Ini pengertian menurut undang-undang kita.

Dalam standar akuntansi internasional, defisit salah satunya diatur dalam International Public Sector Accounting Standard (IPSAS) 3 tentang “Net Surplus or Deficit for Period, Fundamental Errors, and Changes in Accounting Policies” (Surplus atau Defisit Bersih untuk Periode Berjalan, Kesalahan Mendasar, dan Perubahan Kebijakan Akuntansi).  Ada dua hal yang dibahas terkait dengan positioning defisit.

Intinya mirip dengan praktik di Indonesia. Perbedaannya, IPSAS mengatakan defisit mau dilihat dari mana, apakah mau dilihat dari cash flow atau dilihat dari laporan operasional (income statement). Jika dilihat dari cash flow, maka defisit betul-betul dilihat dari jumlah kekurangan uang.

Sementara jika dilihat dari income statement yang berbasis akrual, bukan berbasis kas, bisa jadi antara jumlah beban yang dibayarkan dengan uang yang dikeluarkan berbeda. Di dalam konteks ini, IPSAS tidak mendefinisikan secara spesifik. Kita sendiri yang memitigasi. Bahwa, defisit untuk periode tertentu adalah kaitan dengan menjaga akuntabilitas dan positioning dari laporan keuangan.

Meningkatkan value

Perhitungan defisit tentu memiliki tujuan. Bagi Pemerintah Indonesia, ini menjadi suatu burden atau batasan. Pemerintah tidak boleh melewati batasan tersebut. Jika PDB Indonesia sebesar Rp14 ribu triliun, maka batasan defisit 3 persen seperti yang diatur dalam UU adalah sekitar Rp420 triliun. Maka, selisih antara pendapatan dan belanja tidak boleh lebih dari Rp420 triliun.

Perhitungan defisit juga memiliki manfaat dalam bidang perencanaan. Contoh sederhananya, jika kita ingin membangun namun tidak punya uang, kita bisa merencanakan mencari sumber pendanaan untuk menutupi kekurangan uang.

Apakah dengan menjual barang, melakukan pinjaman, kerja sama dengan pihak ketiga, atau yang lainnya. Tapi, yang paling populer tentu adalah melakukan pinjam­an. Jadi, manfaat defisit dalam perencanaan adalah meningkatkan value yang lebih besar daripada resources yang dimiliki. Caranya dengan menyerap sumber pendanaan lain selain yang kita miliki.

Sebenarnya, bagaimana formulasi perhitungan defisit APBN saat ini? APBN menyatakan bahwa pendapatan dikurangi belanja adalah defisit. Metode pencatatan transaksi akuntansi yang digunakan adalah cash basis atau berbasis kas. Artinya, uang yang masuk akan diakui sebagai pendapatan apabila dana benar-benar sudah masuk ke kas negara. Begitu pula dalam hal belanja. Pengeluaran akan diakui sebagai belanja apabila uang sudah keluar.

Dengan metode cash basis, maka jika ada pembelanjaan terhadap suatu barang dan barang itu sudah dipakai namun belum digunakan, secara definisi itu belum dikategorikan sebagai belanja. Walaupun nilai dari pembelanjaan barang itu sudah digunakan dan dimanfaatkan, pemerintah tidak menganggap itu sebagai belanja karena belum dibayar. Dengan demikian, belanja menjadi unsur yang diskresif, terserah pemerintah. Dampaknya, kontrol terhadap defisit menjadi kurang bermanfaat.

Jika defisit sudah atau akan melewati batasan, pemerintah bisa memutuskan untuk tidak melakukan pembayaran terhadap belanja yang sudah dilakukan. Pembayarannya ditahan terlebih dahulu. Semakin banyak yang ditahan, semakin kecil nilai defisitnya. Ini yang sebenarnya legalize, tapi tidak tepat kemanfaatannya.

Dalam hal pendapatan pun demikian. Seperti diketahui, pemerintah setiap tahun mengembalikan kelebihan pembayaran pajak yang dibayarkan wajib pajak atau restitusi. Kalau kelebihan pajak dikembalikan, maka pendapatan pemerintah akan turun. Oleh karena itu, ada kalanya restitusi ditahan terlebih dahulu dan dibayarkan tahun berikutnya.

Hal itu pula yang membuat restitusi yang belum dibayar dari tahun ke tahun meng­alami peningkatan. Belanja yang belum dibayar dari tahun ke tahun pun naik. Jadi, angka perhitungan nilai defisit menjadi tidak terlalu valid karena ada intervensi.

Kendati demikian, seberapa besar tidak validnya perhitungan nilai defisit belum bisa kita simpulkan, karena kita belum menguantisasi secara formal. Saya pun tidak mau memunculkan perhitungan yang berbeda. Tetapi kalau analisis semata, bukan nilai formal, bisa ditinjau dari jumlah utang yang tidak dibayar. Kita bisa melihat dana bagi hasil (DBH) yang belum dibayar. Itu seharusnya menambah jumlah defisit. Kemudian juga jumlah subsidi yang tidak dibayar.

Agar perhitungan defisit tidak diintervensi, caranya sederhana. Yaitu dengan mengembalikan unsur-unsur yang sudah dimanfaatkan. Unsur yang sudah dipakai tapi belum dibayar, dimasukkan lagi ke dalam unsur defisit. Hal ini yang sebenarnya juga menjadi permintaan BPK. Memasukkan unsur yang belum dibayar menjadi usulan BPK agar perhitungan defisit benar-benar riil.

Saat ini pun ada belanja yang sebenarnya bukan belanja pemerintah pusat, yaitu transfer ke daerah. Pemerintah sebenarnya hanya menggeser bagian dari pendapatannya menjadi pendapatan pemerintah daerah. Dalam teori yang sebenarnya, yang disebut dengan belanja adalah apabila kita mendapatkan manfaat dari resources yang dikorbankan, bukan orang lain yang justru mendapat­kan manfaatnya. Biasanya, positioning dalam hal ini agak berbeda. Namun, untuk menyeragamkan, pemerintah tidak membuat tinjauan khusus terha­dap transfer. Idealnya, perhitungan defisit adalah pendapatan dikurangi jumlah transfer dan belanja dikurangi jumlah transfer.

Kesinambungan fiskal

Perhitungan defisit sejatinya bisa bermanfaat pula dalam pengambilan kebijakan untuk menjaga kesinambungan fiskal. Untuk memaksimalkan tujuan ini, pemerintah perlu juga meningkatkan mitigasi terhadap defisit daerah. Selama ini, mitigasi itu belum optimal. Penyebabnya, sistem informasi pemerintah daerah berada di bawah Kemendagri. Sementara, yang menjadi bendahara negara adalah Kementerian Keuangan. Belum ada sistem informasi yang secara langsung mewajibkan daerah meminta izin terkait jumlah utang kepada Kemenkeu.

Lalu, apa kaitannya defisit dengan kebutuh­an utang dalam periode yang sama? Logika sederhananya, jumlah defisit akan sama dengan jumlah penambahan utang. Tetapi ternyata tidak demikian. Penambahan utang bisa lebih besar daripada jumlah defisitnya. Sebab, ada utang jatuh tempo yang harus dibayar.

Jadi, kalau batasan defisit sebesar Rp420 triliun, maka utang yang ditarik bisa lebih dari Rp420 triliun karena kita butuh cash untuk membayar utang jatuh tempo. Oleh karena itu, risiko dari jumlah pinjaman juga sangat penting untuk dimitigasi. Sebab, jika seandainya semakin lama jarak antara pendapatan dan belanja semakin besar, maka secara normatif kemampuan kita untuk membayar secara jangka panjang akan berkurang.

Untuk itulah Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia membuat batasan debt service coverage ratio. IMF menetapkan jumlah maksimal pembayaran utang jatuh tempo dan bunga sekitar 36 persen dari pendapatan suatu negara. Sedangkan pembayaran bunganya saja maksimal 10 persen dari pendapatan. Dan, Indonesia sudah melewati batasan itu.

Banyak yang bertanya, mengapa rasio defisit dan jumlah utang dikaitkan dengan PDB? Seperti kita ketahui, PDB secara sederhana adalah nilai dari barang yang diproduksi di suatu negara. Semakin besar PDB, maka semakin besar pajak yang diperoleh. Jika PDB tumbuh, pendapatan negara pun akan naik karena ada unsur penerimaan perpajakan. Atas alasan itulah jumlah utang dikaitkan dengan PDB. Semakin besar PDB, maka semakin besar kemampuan membayar.

Permasalahannya, rasio perpajakan di Indonesia semakin turun. Itu artinya, relasi antara PDB dan kemampuan membayar semakin rendah. Dengan demikian, meningkatnya nilai PDB belum tentu dapat meningkatkan pendapatan negara. Inilah yang terjadi di Indonesia.

Fiscal sustainability report

Merujuk pada data yang disampaikan Kementerian Keuangan dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2021, rasio perpajakan Indonesia pada 2015 sebesar 10,76 persen terhadap PDB. Pada 2016 turun menjadi 10,36 persen dan turun lagi menjadi 9,89 persen pada 2017. Rasio perpajakan sempat naik menjadi 10,24 persen pada 2018. Namun, pada 2019, kembali turun menjadi 9,76 persen.

Oleh karena itu, pemerintah perlu membuat fiscal sustainability report dalam jangka panjang dengan membuat proyeksi-proyeksi tertentu, lalu memasukkan unsur defisit dan utang. Dengan lapor­an tersebut, kita akan mengetahui bagaimana kemampuan kita membayar dan menyerap utang. Sehingga, ukurannya tidak hanya mengaitkan dengan PDB.

Hal ini yang belum terlihat secara detail dalam pola perhitungan pemerintah. Dalam laporan itu bisa dibuat bagaimana kondisi APBN selama 30 tahun ke depan. Saat ini, kita lebih merujuk pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang hanya lima tahunan.

Yang perlu saya tekankan, pandangan terkait defisit ini tidak ada kaitannya dengan kondisi yang kita hadapi sekarang, yaitu ketika pandemi Covid-19. Saya bicara ini dalam konteks normal. Di tengah pandemi Covid-19 yang masih belum terlihat ujungnya, kita memang sedang membutuhkan uang. Semua perusahaan terdampak. Hampir semua negara pun defisitnya meningkat. Biarkan pemerintah bekerja untuk memperbaiki perekonomian. BPK sebagai lembaga pemeriksa negara, akan mengawal akuntabilitas dan transparansi setiap kebijakan yang dibuat pemerintah.