Buruh menurunkan beras Bulog di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur, beberapa waktu lalu. JAKARTA, KOMPAS.com — Ketersediaan dan harga komoditas pangan di pasaran menjadi salah satu hal yang menjadi perhatian setiap tahun selama Ramadhan dan jelang Lebaran. Begitu pun halnya dengan tahun ini, pemerintah terus berupaya menjaga stabilitas harga dan stok pangan tersebut. Menko Perekonomian Darmin Nasution menyoroti beberapa hal terkait komoditas pangan selama sepekan Ramadhan ini dan jelang Lebaran pada Juni mendatang. Salah satunya adalah operasi pasar yang belum maksimal dilakukan oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag). "Ya, memang operasi pasar sudah dijalankan walaupun setelah evaluasi masih kurang banyak. Masih kurang banyak operasi pasar dilakukan dan perlu melibatkan lebih banyak pedagang dalam operasi pasar itu," ucap Darmin selepas rakor pangan bersama Mendag Enggartiasto Lukita, Kementan, dan Perum Bulog, Kamis (24/5/2018). Selain itu, Darmin juga menyoroti harga pangan yang turunnya tak terlalu signifikan. Menurut dia, harga pangan tersebut seharusnya bisa turun lebih jauh lagi jika operasi pasar diperbesar. "Kalau mau menurunkan harga lebih jauh selain operasi pasar diperbesar, kita itu perlu menurunkan juga harga penjualan kita," imbuh dia. Adapun hasil rakor pangan lainnya yang disebutkan Darmin adalah banyaknya stok pangan. Kecukupan itu merupakan kombinasi antara stok dalam negeri yang jumlahnya tak terlalu besar dengan ditambah stok dari impor. "Kita bisa memperbesar operasi pasar lagi. Kalau semua siap ya besok bisa dilakukan," sambung Darmin. Di sisi lain, Mendag Enggartiasto Lukita memastikan bahwa harga salah satu komoditas pangan, yakni daging ayam potong, di pasar sudah mengalami penurunan dibandingkan harga pada dua pekan lalu. "Tadi sudah dapat laporan harga turun, bahkan di di Pasar Ciputat juga turun. Laporan juga yang di Lampung kalau enggak salah ada di bawah patokan Rp 33.000 (per ekor). Jadi Rp 32.000," kata Enggartiasto. 08 Mar 2021, 15:35 WIB - Oleh:
Bisnis.com, JAKARTA – Pasar negara berkembang tengah terpukul lonjakan harga bahan baku karena komoditas mulai dari minyak, tembaga dan biji-bijian terdorong ekspektasi pemulihan ekonomi pascapandemi serta pelonggaran kebijakan moneter. Di Brazil, misalnya, harga kacang penyu andalan lokal naik 54 persen dibandingkan dengan Januari 2021. Di Rusia, konsumen membayar gula 61 persen lebih tinggi dari tahun lalu. Konsumen di Amerika Serikat, Kanada, dan Eropa juga tidak luput dari pukulan kenaikan harga karena perusahaan yang terhimpit pandemi dan biaya angkut yang meningkat, telah kehabisan cara untuk membendung lonjakan tersebut. Baca Juga : Harga Pangan Dunia Naik 9 Bulan Berturut-turut Selain itu, menurut NielsenIQ di AS, harga naik mendekati 3 persen pada tahun fiskal yang berakhir 2 Januari, kira-kira dua kali lipat tingkat inflasi keseluruhan. "Orang harus terbiasa membayar lebih untuk makanan,” kata Sylvain Charlebois, Direktur Lab Analisis Makanan Agri di Universitas Dalhousie di Kanada, dilansir Bloomberg, Senin (8/3/2021). Harga bahan pokok seperti biji-bijian, kedelai, dan gula telah melonjak, mendorong harga pangan global ke level tertinggi baru dalam 6 tahun. Kemungkinan harga-harga belum akan turun karena kombinasi cuaca buruk, peningkatan permintaan, dan rantai pasokan global yang hancur akibat virus. Di Inggris, tekanan diperparah oleh dampak Brexit yang menambah komplikasi dan penundaan pada perdagangan yang sebelumnya tanpa hambatan. Federasi Makanan dan Minuman Inggris Raya memperkirakan bahwa birokrasi dan pemeriksaan perbatasan baru dapat menambah biaya 3 miliar poundsterling (US$4,1 miliar) per tahun untuk importir makanan. Industri makanan di Amerika Utara juga memiliki tantangan tersendiri. Secara khusus, kekurangan peti kemas dan supir truk telah membuat pengangkutan makanan menjadi lebih mahal, dan kenaikan harga minyak telah meningkatkan biaya pengemasan. Baca Juga : Ini Jurus Bulog Jamin Ketersediaan Pangan Jelang Ramadan Dengan meningkatnya tekanan ini, Rusia dan Argentina telah memberlakukan pembatasan harga pada bahan pokok tertentu dan memberlakukan tarif ekspor dalam upaya untuk menahan harga pangan dalam negeri. Di beberapa negara maju, pemerintah lebih fokus pada swasembada daripada kontrol harga. Prancis berencana meningkatkan produksi tanaman berprotein tinggi untuk mengurangi ketergantungan pada impor kedelai. Sementara itu, Singapura baru-baru ini menjadi negara pertama yang menyetujui penjualan daging yang dibuat di laboratorium karena mendorong peningkatan kapasitas pangan domestiknya. Sejumlah negara lain berupaya menggelontorkan stimulus yang masif. Berbicara di depan Komite Jasa Keuangan DPR AS akhir bulan lalu, Gubernur Federal Reserve Jerome Powell menyebut kerawanan pangan sebagai salah satu contoh bagaimana pandemi telah membebani masyarakat yang lebih miskin. "Ini pertanda bahwa dukungan diperlukan dan kami benar-benar perlu memulihkan ekonomi secepat mungkin," kata Powell. Simak Video Pilihan di Bawah Ini :
Source: Bloomberg Editor: Amanda Kusumawardhani pada 18 Jun 2015, 21:42 WIB Diperbarui 18 Jun 2015, 21:42 WIB Kenaikan bahan bakar minyak (BBM) mengakibatkan harga kebutuhan pokok di sejumlah pasar mengalami kenaikan, Jakarta, Selasa (18/11/2014). (Liputan6.com/Johan Tallo) Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah pusat dan daerah menjamin kebutuhan barang pokok lewat pengendalian stok dan harga untuk mengatasi gejolak harga barang. Hal itu telah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) tentang Penetapan dan Penyimpanan Harga Kebutuhan Pokok dan Barang Penting. Tim Komunikasi Presiden, Teten Masduki, mengatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) tentang Penetapan dan Penyimpanan Harga Kebutuhan Pokok dan Barang Penting pada Senin 15 Juni 2015. "Jadi dengan Perpres ini pemerintah pusat dan pemerintah daerah bisa menjamin kebutuhan barang pokok dan penting lewat pengendalian stok dan harga, termasuk juga pemberian fasilitas pengembangan infrastruktur dan lain sebagainya supaya stok terjamin," ujar Teten Masduki di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (18/6/2015). Teten mengatakan, dengan Perpres tersebut, dalam keadaan tertentu seperti saat Lebaran atau dan dalam kondisi yang tidak wajar, pemerintah pusat dan daerah bisa ikut mengendalikan stok dan harga. Pemerintah pusat dan Pemerintah daerah juga bisa mengendalikan harga juga ketika misalnya harga melonjak. "Saya kira Perpres ini sangat penting, supaya cadangan bahan pokok terjamin dan juga adanya stabilitas harga," kata Teten. Saat ditanya wartawan kenapa baru diumumkan sekarang, Teten mengatakan Perpres tersebut setelah disahkan harus menunggu penomoran dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham. "Jadi hanya karena nunggu penomoran saja," ujar Teten. Lalu, apakah Perpres tersebut sudah bisa digunakan saat Lebaran nanti? "Bisa, saya rasa Menteri Keuangan harus segera mèngeluarkan peraturan SK untuk mengatur . Jadi implementasi mengenai harga di Menteri Keuangan, pungkas Teten. (Luqman R/Ahm)
|