Jelaskan apa saja yang telah dilakukan Jan Pieterszoon Coen ketika memimpin VOC?

Jelaskan apa saja yang telah dilakukan Jan Pieterszoon Coen ketika memimpin VOC?
Rani Noviyanti(1*) (1) Universitas Indraprasta PGRI (*) Corresponding Author


ABSTRACT

Show

The establishment of the city of Batavia on the west coast of the north coast of Java, cannot be separated from the role of a figure named Jean Pieterzoon Coen. Although previously Jayakarta (the name before Batavia), was controlled and built by Pangeran Fatahillah, the situation and conditions in the social and economic fields of Jayakarta were not like the management of J.P. Coen. After Jayakarta was controlled by the VOC, through a military expedition policy designed by JP. Coen, the condition of the city of Jayakarta slowly gradually increased in the social and economic fields. The increase in the city of Batavia in the social and economic fields was based on three JP policies. Coen was quite brave, namely increasing trade activities in the Sunda port of Kalapa, revitalizing the position of the islands in northern Batavia as a base of administration and defense and security, and opening the widest door for Chinese traders and immigrants. The three policies, in fact, were purely based on the thoughts outlined by JP. Coen, after taking over the Jayakarta area from the mastery of Prince Fatahillah.

Keywords: J.P. Coen, Kota Batavia.

ABSTRAK

Pendirian kota Batavia di sebelah barat pesisir pantai utara Jawa, tidak dapat dipisahkan dari peran seorang tokoh yang bernama Jean Pieterzoon Coen. Meskipun sebelumnya Jayakarta (nama sebelum Batavia), dikuasai dan dibangun oleh Pangeran Fatahillah, akan tetapi situasi dan kondisi dalam bidang sosial dan ekonomi Jayakarta tidak seperti pada masa pengelolaan J.P. Coen. Setelah Jayakarta dikuasai oleh VOC, melalui kebijakan ekspedisi militer yang dirancang oleh JP. Coen, keadaan kota Jayakarta perlahan demi perlahan semakin meningkat dalam bidang sosial dan ekonomi. Peningkatan kota Batavia dalam lapangan sosial dan ekonomi dilatari oleh tiga kebijakan JP. Coen yang cukup berani, yakni meningkatkan aktivitas perdagangan di pelabuhan Sunda Kalapa, merevitalisasi kedudukan pulau-pulau di utara Batavia sebagai basis adiministrasi dan pertahanan dan keamanan, serta membuka pintu seluas-luasnya bagi pedagang dan pendatang etnis Tionghoa. Tiga kebijakan tersebut, sejatinya meurpakan murni hasil pemikiran yang dituangkan olh JP. Coen, setelah mengambil alih wilayah Jayakarta dari penguasaan pangeran Fatahillah.

Kata Kunci : J.P. Coen, Kota Batavia.



Atja, 1986. Carita Purwaka Caruban Nagari: Karya Sastra Sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.

Djafar, Hasan. 2008. “Beberapa Masalah Sekitar Kerajaan Sunda dan Sumber Sejarahnya”, (Makalah Pada Seminar Revitalisasi Makna dan Khasanah Situs Sindangbarang). Bogor: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Pemda Kab. Bogor

Han, F. De. 1922. Oud Batavia. Bandung: A.C. Mix & Co.

Hardi, Lasmidjah. 1987. Jakartaku Jakartamu Jakarta Kita. Jakarta: Yayasan Pecinta Sejarah & Pemerintah DKI Jakarta.

Heuken, Adolf. 1997. Tempat-Tempat Bersejarah Di Jakarta. Jakarta: Cipta Loka Caraka.

____________1999. Sumber-Sumber Asli Sejarah Jakarta Jilid 1. Jakarta: Cipta Loka Caraka.

Kartodirdjo, Sartono. 1987. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900 (Dari Emporium Sampai Imperium) Jilid 1. Jakarta: PT Gramedia.

Leo, Philip. 1973. Chinese Loanwords Spoken by the Inhabitants of the City of Jakarta. Jakarta: LRKN-LIPI.

Lohanda, Mona. 1996. The Kapitan Cina of Batavia 1837-1942 : A History of Chinese Establishment in Colonial Society. Jakarta : Djambatan.

Lubis, Nina H., dkk. 2003. Sejarah Tatar Sunda, Jilid 1. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran

Noorduyn, J. & H.TH. Verstappen. 1972. “Purnavarman’s River-works Near Tugu”. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 128: 298-307.

Pires, Tome. 2014. Suma Oriental Perjalanan Dari Laut Merah ke Cina & Buku Francisco Rodrigues (Diterjemahkan oleh Adrian Perkasa dan Anggita Pramesti). Jakarta: Penerbit Ombak.

Sagimun, 1988. Jakarta Dari Tepian Air ke Kota Proklamasi. Jakarta : Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Dinas Museum & Jakarta.

Soekanto, 1954. Dari Djajakarta ke Djakarta. Jakarta. Penerbit “Soerangan” Petjenongan 58 Djakarta.

Vermeulen, J.T.1938. De Chineezen te Batavia en de Troebelen van 1740. Leiden : E.Ijdo.

Wijayakusuma, Hembing. 2005. Pembantaian Massal 1740 Tragedi Berdarah Angke. Jakarta: Pustaka Populer Obor.

Wolters, O.W. 1967. Early Indonesian Commerce: A Study of the Origin of Siwijaya. Ithaca/New York: Cornell University


DOI: http://dx.doi.org/10.30998/sosioekons.v9i1.1688

  • There are currently no refbacks.

Copyright (c) 2017 Sosio e-Kons

Editorial Office:

Institute for Research and Community services (LPPM)
Universitas Indraprasta PGRI Address: Campus A Building 3, 2nd Floor Jl. Nangka No. 58 C (TB. Simatupang), Kel. Tanjung Barat, Kec. Jagakarsa, Jakarta Selatan 12530 Phone: (021) 7818718 – 78835283 ext. 123Close in sunday and public holidays in Indonesia

Work Hour: 09.00 AM – 08.00 PM

Jelaskan apa saja yang telah dilakukan Jan Pieterszoon Coen ketika memimpin VOC?


This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License.

Penduduk Batavia menjulukinya Mur Jangkung. Entah dari mana asalnya nama Mur itu. Yang jelas, Jan Pieterszoon Coen yang bertubuh kurus memang memiliki tinggi badan di atas rata-rata alias jangkung. Postur cekingnya didukung sorot mata yang amat tajam dan menusuk, seolah-olah selalu menyelidik apapun yang sedang ditatapnya.

Dikutip dari buku Romi Zarman berjudul Di Bawah Kuasa Antisemitisme: Orang Yahudi di Hindia Belanda 1861-1942 (2018), ada karya sastra Jawa pra-kolonial bertajuk “Baron Sakendar" yang memuat hikayat tentang Moer Djang Koen. Namun, tulis Zamran, hikayat ini tidak memberikan jawaban apa-apa mengenai silsilah julukan itu (hlm. 42).

Lidah pribumi melafalkan Moer Djang Koen menjadi Mur Jangkung, dan kebetulan pula orang Belanda itu memang bertubuh jangkung. Kata “Djang" dan “Koen" juga bisa merujuk kepada “Jan" dan “Coen". Namun, sekali lagi, belum diketahui mengenai “Mur" yang turut disematkan dalam hikayat maupun julukan bagi Jan Pieterszoon Coen.

Jan Pieterszoon Coen lahir di Hoorn, Belanda, pada 8 Januari 1587. Ia belajar ilmu dagang di Roma, Italia, sejak usia 13, sekaligus mempelajari berbagai macam bahasa asing.

Sempat pulang ke kampung halamannya, Coen lantas mengadu nasib ke timur jauh. Pada 22 Desember 1607, ia mengikuti kapten kapal Belanda yang bekerja untuk VOC, Pieter Willemszoon Verhoeff, berniaga rempah-rempah hingga ke Nusantara. Inilah untuk pertama kali Coen menginjakkan kaki di tanah yang kelak bakal dikuasainya.

Coen dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan bagaimana Kapten Verhoeff dan rekan-rekannya sesama orang Belanda dibantai di Banda. Beruntung, Coen yang turut dalam armada itu sebagai juru tulis, berhasil lolos dan menyelamatkan diri.

Kejadian tragis tersebut ternyata justru berbuah berkah bagi Coen. Kariernya di VOC melesat dengan relatif cepat. Bahkan, pada 18 April 1618 saat usianya baru 31 tahun, Coen ditunjuk menempati jabatan tertinggi sebagai Gubernur Jenderal VOC kendati baru diresmikan setahun berikutnya.

Berebut Sunda Kelapa Penunjukan Jan Pieterszoon Coen sebagai Gubernur Jenderal VOC terjadi lantaran pejabat sebelumnya, Laurens Reael, meletakkan jabatannya. Reael merasa sudah tidak sanggup lagi menghadapi persoalan dengan Kesultanan Banten yang dibantu oleh Inggris, pesaing utama VOC dalam perdagangan di kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara. Baca juga: Raja Banten, Sultan "Resmi" Pertama di Nusantara Selain itu, Reael juga berselisih paham dengan Dewan Direksi VOC atau The Heeren XVII terkait kebijakan dagang dalam persaingan dengan Inggris. Mundurnya Reael pada 1617 membuka jalan karier gemilang bagi Coen. Para petinggi VOC memilih Coen karena dinilai cemerlang, menguasai ilmu dagang dan berbagai bahasa, juga tegas serta berpengalaman di usia yang masih sangat muda.Coen harus menghadapi persoalan yang belum dituntaskan Reael. Seabrek pekerjaan menantinya, termasuk protes keras Maluku yang menentang kebijakan monopoli VOC, harga lada di Batam yang melangit karena ulah Inggris dan Cina, perlawanan dari laskar-laskar pendukung Kesultanan Mataram Islam di Jepara, juga permasalahan dengan Kesultanan Banten di Jayakarta yang direcoki Inggris.Dari semua urusan yang sebenarnya sama-sama mendesak itu, Coen memutuskan untuk merampungkan persoalan Jayakarta terlebih dulu. Coen melihat potensi Jayakarta sebagai kota pesisir yang ramai dan lokasinya strategis. Jayakarta, dalam pandangan Coen, cocok dijadikan sebagai pusat kegiatan VOC yang sebelumnya ada di Maluku. Baca juga: Belanda Melepas Manhattan Demi Pulau Kecil di Maluku Pamor Jayakarta memang sudah terdengar sejak berpuluh-puluh warsa silam. Tempat ini sebelumnya bernama Sunda Kelapa dan berada di wilayah kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Kerajaan ini merupakan kerajaan Sunda yang berpusat di Bogor, dan eksis hingga 1579 Masehi.Sanusi Pane dalam Sedjarah Indonesia (1955) menuliskan, Sunda Kelapa pada masa Pajajaran sudah dikenal sebagai kota pelabuhan internasional. Bandar dagang ini menjadi tempat bertemunya kaum saudagar dari berbagai penjuru dunia, termasuk dari Eropa dan Timur Tengah (hlm. 27). Selain itu, para peniaga lintas bangsa dari negeri-negeri Melayu, India, Jepang, serta Cina juga kerap singgah di Sunda Kelapa, selain para pedagang dan nelayan dari berbagai daerah di Nusantara. Baca juga: Salakanagara, Kerajaan (Sunda) Tertua di Nusantara (adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); Tahun 1522, Pajajaran berselisih dengan tiga kerajaan Islam, yakni Cirebon, Demak, dan Banten. Pajajaran kemudian meminta bantuan Portugis yang kala itu memang beraktivitas di Nusantara. Namun, pertempuran dimenangkan oleh pasukan gabungan kerajaan Islam yang dipimpin Fatahillah. Setelah kemenangan itu, Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, dan dipimpin oleh pejabat khusus yang ditunjuk oleh Kesultanan Demak. Setelah Demak runtuh pada 1554 karena konflik internal, Jayakarta dikelola oleh Kesultanan Banten.Hingga kemudian, Belanda datang dan ingin menguasai perdagangan di sekitar Selat Sunda, termasuk mengambilalih Jayakarta. Ambisi ini tentu saja ditentang oleh Banten dan lantas meminta bantuan Inggris yang memang cukup berpengaruh di perairan Malaka. Dari sinilah, VOC di bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen mempersiapkan misi merebut Jayakarta.

Pemimpin Muda yang Ambisius Armada VOC pertamakali berlabuh ke dermaga Jayakarta pada 1596. Benny G. Setiono melalui buku berjudul Tionghoa dalam Pusaran Politik (2008) mengungkapkan, saat itu terdapat kurang lebih 3.000 rumah, sebagian besar di antaranya dikelilingi pagar tanaman hijau (hlm. 78). Baca juga: Benarkah Fatahillah Membantai Rakyat Betawi? Untuk memperoleh izin berdagang, VOC harus membayar 1.200 real kepada pejabat pribumi yang ditugaskan memimpin wilayah itu, yang dikenal sebagai Pangeran Jayakarta. Maka, lanjut Setiono, sejak saat itu kapal-kapal Belanda diizinkan singgah di pelabuhan Jayakarta. Kompeni juga diperbolehkan membangun pos dagang dan gudang di kawasan itu.Hingga akhirnya, Jan Pieterszoon Coen melihat bahwa amat menguntungkan bagi VOC jika Jayakarta mampu dikuasai. Kepada The Heeren XVII, pada 1614 Coen mengatakan bahwa VOC tidak akan dapat menguasai perdagangan tanpa melakukan peperangan dan sebaliknya. Coen menegaskan, hanya ada satu cara untuk memperkokoh kekuasaan VOC, yaitu menghancurkan semua pihak yang merintangi, termasuk dalam urusan Jayakarta.Coen memang seorang ahli strategi dagang yang ulung. Dipaparkan Bernard Hubertus Maria Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia (2008), langkah awalnya adalah dengan menghentikan semua pembelian lada (hlm. 155). Kebijakan ini tentu saja mengacaukan pasar perdagangan lada.Coen kemudian mengancam akan memindahkan semua pabrik milik VOC ke Jayakarta. Selain itu, ia juga bernegosiasi dengan para pedagang Cina. Ketika Inggris mulai ikut campur dalam situasi ini, Coen hampir bisa memaksakan harga lada turun drastis hingga 50%. Baca juga: Perjanjian Zaragoza: Ketika Dunia Hanya Milik Spanyol & Portugis Kesultanan Banten yang turut merasa terancam dengan sepak-terjang Coen pun menjalin kerjasama dengan Inggris. Keduanya punya musuh bersama, yakni VOC. Terjadilah pertempuran di laut, pasukan gabungan Banten dan Inggris mulai menyerang kapal-kapal Cina yang hendak merapat ke Jayakarta.VOC, yang sebelumnya sudah memiliki kantor dagang di Jayakarta, tentunya tidak tinggal diam. Seperti yang dituliskan Vlekke, Coen memerintahkan gudang kompeni di Jayakarta diubah menjadi benteng pertahanan, dan mulai menyerang pos-pos dagang milik Inggris di lokasi yang sama (hlm. 155). Pasukan Coen membakar habis semua aset Inggris di Jayakarta.Kubu Inggris tentu saja murka dan mengancam akan memotong seluruh jalur komunikasi VOC dengan dunia luar. Inggris mengerahkan 11 kapal tempurnya untuk berpatroli di sekitar perairan Jayakarta. Perang terbuka segera dimulai.

J.P. Coen Menaklukkan Jayakarta Jan Pieterszoon Coen tak gentar. Pada awal 1619 itu, ia memimpin 7 kapal Belanda untuk menghadapi armada perang Inggris dan pecahlah pertempuran selama 3 jam. Hasilnya, VOC kewalahan dan akhirnya kalah. Coen terpaksa mundur, meninggalkan garnisunnya di Jayakarta dan berpesan kepada mereka untuk bertahan sampai titik darah penghabisan. (adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); Baca juga: Melayu, Islam, dan Politisasi Pribumi ala Kolonial Coen berlayar jauh menuju Maluku, pusat VOC kala itu, sembari mengkoordinasikan kembali pasukannya. Ia juga menulis surat kepada para petinggi VOC di Negeri Belanda dan melaporkan kekalahannya itu. Coen meminta tambahan pasukan serta kapal tempur untuk melawan Inggris (hlm. 156).Benteng VOC di Jayakarta ternyata selamat. Pasalnya, lawan-lawan mereka sibuk ribut sendiri terkait kepemilikan Jayakarta. Inggris dan Banten berebut hak milik atas kota pelabuhan itu. Begitu pula dengan Pangeran Jayakarta yang ternyata juga menyimpan hasrat serupa.Perpecahan tersebut dimanfaatkan betul oleh Coen berlayar kembali dari Maluku. Tanggal 28 Mei 1619, armada Coen memasuki benteng VOC di Jayakarta dan segera bersiap melakukan penyerangan. Dua hari kemudian, Coen memimpin 1.000 orang menyerbu pos-pos musuh mereka yang sedang lengah. Baca juga: Pertempuran Malaya Mengakhiri Penjajahan Belanda di Indonesia Tanggal 30 Mei 1619, Coen berhasil menguasai Jayakarta dan hanya kehilangan 1 orang prajuritnya yang tewas. Coen memerintahkan pasukannya untuk membumihanguskan kota pelabuhan yang kemudian diduduki sepenuhnya oleh VOC. Di saat yang sama, sebagaimana disebutkan dalam buku Sejarah Nasional: Ketika Nusantara Berbicara karya Joko Darmawan, Coen juga mengirimkan 17 armada lautnya untuk menyerang pelabuhan Banten (hlm. 22). VOC meraih kemenangan mutlak. Inggris kabur, Banten kewalahan, dan Jayakarta pun berhasil direbut.Di atas puing-puing Jayakarta, Coen memerintahkan pembangunan sebuah benteng baru yang lebih besar dan kuat. Selain itu, ia juga membangun kota kecil untuk tempat bermukim orang-orang Belanda yang telah turut bertempur bersamanya. Kota itulah yang dikenal sebagai Batavia, kendati Coen sebenarnya ingin memberinya nama Nieuw Hoorn alias Hoorn Baru, mengacu kepada kota kelahirannya di Belanda. Namun, usulan Coen terkait penamaan itu tidak disetujui para petinggi VOC. Baca juga: 13 Hari Pembantaian Orang Cina di Jakarta Tanggal 4 Maret 1621, nama Batavia dikukuhkan. Pemerintah daerahnya pun dibentuk. Sejak saat itu, Batavia resmi menjadi pusat kekuasaan VOC. Dari sinilah Belanda mengendalikan Nusantara hingga berabad-abad lamanya. Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Iswara N Raditya (tirto.id - isw/ivn) Penulis: Iswara N Raditya Editor: Ivan Aulia Ahsan